BAB II LANDASAN TEORI A. Asuransi Konvensional 1. Pengertian Asuransi Konvensional Kata asuransi berasal dari bahasa inggris, insurance. Insurance mempunyai pengertian; asuransi, jaminan. Kata asuransi dalam bahasa Indonesia telah diadopsi ke dalam kamus besar bahasa Indonesia dengan padanan kata pertanggungan. Yang dimaksud asuransi menurut Wirjono Prodjodikoro adalah suatu persetujuan pihak yang menjamin dan berjanji kepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas. 17 Asuransi dapat pula diartikan sebagai suatu persetujuan dimana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan mendapat premi untuk mengganti kerugian, atau tidak diperolehnya keuntungan yang diharapkan yang dapat diderita karena peristiwa yang tidak diketahui lebih dahulu.18 Asuransi atau pertanggungan menurut Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang usaha perasuransian adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan 17 18
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: Intermassa, 1987), hlm.1 Radiks Purba, Memahami Asuransi di Indonesia, (Jakarta: PPM, 1992), hlm.125
20
21
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.19 Asuransi dari sudut pandang ekonomi merupakan metode untuk mengurangi resiko dengan jalan memindahkan dan mengkombinasikan ketidakpastian akan adanya kerugian keuntungan. Menurut sudut pandang bisnis, asuransi adalah sebuah perusahaan yang usaha utamanya menerima/menjual jasa pemindahan resiko dari pihak lain, dan memperoleh keuntungan dengan berbagi resiko di antara sejumlah nasabahnya. Dari sudut pandang sosial asuransi sebagai sebuah organisasi sosial yang menerima pemindahan resiko dan mengumpulkan dana dari anggota-anggotanya guna membayar kerugian yang mungkin terjadi pada masing-masing anggota asuransi tersebut.20 Definisi asuransi sebenarnya bisa dideskripsikan dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis, sosial ataupun berdasarkan pengertian matematika. Hal itu berarti terdapat lima definisi bagi asuransi. Tidak ada suatu definisi yang dapat memenuhi masingmasing sudut pandang tersebut. Asuransi merupakan bisnis unik, yang di dalamnya terdapat kelima aspek tersebut, yaitu aspek ekonomi, hukum 19
Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Hasan Ali, Asuransi Perspektif Hukum Islam Dalam; Suatu Tinjauan Analisis Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Prenada Media,2004), hlm. 59. 20
22
sosial, bisnis dan aspek matematika.21 Secara esensial ada lima unsur dalam asuransi, di antaranya adalah: a. Perjanjian yang mendasari terbentuknya antara keperdataan perikatan (muamalah). b. Premi berupa sejumlah uang yang sanggup dibayarkan oleh tertanggung kepada penanggung. c. Adanya ganti rugi dari penanggung kepada pihak tertanggung jika terjadi klaim atau masa perjanjian selesai. d. Adanya suatu peristiwa yang tak tentu dan adanya suatu risiko yang memungkinkan ada atau tidaknya risiko. e. Pihak-pihak melakukan perjanjian, yakni penanggung dan tertanggung. Kelima unsur yang terdapat dalam asuransi tersebut, memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lainnya, baik hubungan stuktural maupun fungsional. Antara unsur penanggung dengan tertanggung keduanya memiliki hubungan fungsional dengan unsur-unsur lain, yaitu pembayaran premi, pembayaran ganti rugi, dan peristiwa yang tidak terduga. Hubungan dari kelima unsur tersebut dapat digambarkan pada gambar di bawah ini:
21
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari’ah (Life and General), (Jakarta; Gema insani,2004), hal. 27.
23
Gambar 2.1 Hubungan unsur-unsur dalam asuransi
Penanggung
Tertanggung
Perjanjian Peristiwa tidak terduga
Pembayaran ganti rugi
Pembayaran premi
Dijelaskan oleh Muhammad Shidiqqi bahwa asuransi merupakan suatu kebutuhan dasar bagi manusia, karena kecelakaan dan konsekuensi finansialnya
memerlukan santunan.
Asuransi
merupakan organisasi
penyantun masalah-masalah yang universal, seperi kematian mendadak, cacat, penyakit pengangguran, kebakaran, banjir, badai kerugian finansial yang disebabkannya.22 Secara garis besar asuransi dapat diartikan sebagai transaksi pertanggungan yang melibatkan dua pihak tertanggung dan penanggung dimana penanggung menjamin pihak tertanggung bahwa akan mendapatkan peggantian terhadap suatu kerugian yang mungkin akan dideritanya sebagai akibat dari suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi atau yang semula belum dapat ditentukan saat/kapan terjadinya, sebagai kontra prestasinya sitertanggung diwajibkan membayar sejumlah uang kepada si 22
Hundi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2002), hal 317.
24
penanggung yang besarnya sekian persen dari nilai pertanggungan yang biasa disebut premi. B. Asuransi Syariah 1. Pengertian Asuransi Syariah Dalam bahasa Arab asuransi disebut at-ta’min, penanggung disebut mu’ammin sedangkan tertanggung disebut
mu’amman lahu atau
musta’min. at-ta’min diambil dari kata amana
memiliki arti memberi
perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, sebagaimana firman Allah: “Dialah
Allah
yang
mengamankan
mereka
dari
ketakutan”.(Quraisy:4) Dari kata tersebut muncul kata-kata yang berdekatan sebagai berikut. ( ) ا ال منة من الخو ف: aman dari rasa takut ( ) ا الما نةضدالخيا نة: amanah lawan dari khianat ( ) االيمان ضدالكفر: iman lawan dari kufur.23 Dari arti terakhir di atas, dianggap paling tepat untuk mendefinisikan istilah at-ta’min, yaitu “Men-ta’min-kan sesuatu adalah seseorang membayar/menyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan
23
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 28
25
seseorang
mempertanggungkan
atau
mengasuransikan
hidupnya,
rumahnya atau mobilnya.”24 Asuransi syariah adalah suatu pengelolaan risiko yang memenuhi ketentuan syariah, tolong menolong secara mutual yang melibatkan peserta dan operator .25
Penulis sendiri mmengungkapkan asuransi syariah adalah sebuah sistem dimana para peserta mendonasikan sebagian atau seluruh kontribusi/ premi yang mereka bayar untuk digunakan membayar klaim atas musibah yang dialami oleh sebagian peserta. Proses hubungan peserta dan perusahaan dalam mekanisme pertanggungan pada asuransi syariah adalah sharing of risk atau saling menanggung resiko. Apabila terjadi musibah, maka semua peserta asuransi syariah saling menanggung. Dengan demikian, tidak terjadi transfer resiko ( transfer of risk atau memindahkan resiko) dari peserta ke perusahaan.
2. Landasan Hukum Asuransi Syariah 1. Al-qur’an Apabila dilihat sepintas keseluruhan ayat Al-qur’an tidak terdapat satu ayat pun yang menyebutkan istilah asuransi seperti yang kita kenal sekarang ini baik istilah at-ta’min ataupun at-takaful. Namun demikian, walaupun tidak menyebutkan secara tegas, terdapat ayat yang menjelaskan tentang konsep asuransi dan yang mempunyai 24 25
Ibid Muhaimin Iqbal,Asuransi Umum Syariah,(Jakarta: Gema Insani),hal 2
26
muatan-muatan nilai-nilai dasar yang ada dalam praktik asuransi. Di antara ayat-ayat Al-qur’an tersebut antara lain: a. Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan. 1. QS. Al-Hasyr (59): 18 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui yang kamu kerjakan”. b. Perintah Allah untuk saling menolong dan bekerja sama. 1) QS. Al-Maidah (5): 2 “…Tolong menolong kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
Dan
bertaqwalah
kamu
kepada
Allah,
sesungguhnya Allah aamat berat siksa-Nya”. c. Perintah Allah untuk saling melindungi dalam keadaan susah. a. QS.Al-Quraisy (106): 4 “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan ketakutan.”
2. Sunnah Nabi SAW
lapar
dan
mengamankan
mereka
dari
27
a. Hadist tentang aqilah Diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra. Dia berkata: berselisih dua orang wanita dari suku huzuail, kemudian salah satu wanita tersebut
melempar
batu
ke
wanita
yang
lain,
sehingga
mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka, ahli waris dari wanita yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah SAW. Maka Rasulullah SAW memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan pemutusan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang darah (diyat) yang diibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki). (HR. Bukhori) 26 b. Hadist tentang anjuran meninggalkan ahli waris yang kaya Diriwayatkan dari Amir bin Sa’ad bin Aby Waqasy, telah bersabda Rasulullah SAW : “Lebih baik jika engkau meninggalkan anak-anak kamu (ahli waris) dalam keadaan kaya raya, dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin (kelaparan) yang meminta-minta kepada manusia lainnya”.(HR. Bukhori) 27
3. Ijtihad 26 27
Kitab Al Bukhori, juz 9, (Bairut), hal 4 Kitab Al Bukhori, juz 4, (Bairut), hlm 3
28
a. Fatwa sahabat Praktik sahabat berkenaan dengan pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilakukan oleh kholifah kedua, Umar bin Khattab, beliau berkata, “Orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak disengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat mereka”. Umar lah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar secara professional per wilayah, dan orang-orang yang terdaftar diwajibkan untuk saling menanggung beban. 28 b. Ijma’ Para sahabat telah melakukan Ittifaq (kesepakatan) dalam hal aqilah yang dilakukan oleh khalifah umar bin khattab. Adanya ijma’ atau kesepakatan ini tampak dengan tidak adanya sahabat lain yang tidak menentang pelaksanaan aqilah ini. Aqilah adalah iuran darah yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (ashabah) dari si pembunuh (orang yang menyebabkan kematian orang lain secara tidak sewenang-wenang). Dalam hal ini kelompoklah yang menanggung pembayarannya, karena si pembunuh merupakan anggota dari kelompok tersebut. Dengan tak adanya sahabat yang menentang khalifah umar, bisa disimpulkan
28
Hasan Ali, Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm.116
29
bahwa terdapat ijma’ dikalangan sahabat Nabi SAW mengenai persoalan ini. 29 c. Qiyas Yang dimaksud qiyas adalah metode ijtiihad dengan jalan menyamakan hukum suatu hal yang tidak ada ketentuannya didalam Al-qur’an dan Al-hadist dengan hal lain yang hukumnya disebut dalam Al-qur’an dan As-sunnah karena persamaan illat (penyebab atau alasannya).30 Dalam kitab fathul bari, disebutkan bahwa dengan datangnya islam sistem aqilah diterima Rasulullah SAW menjadi bagian dari hukum islam. Ide pokok dari aqillah adalah dari suku Arab zaman dulu harus siap untuk melakukan kontribusi finansial atas nama si pembunuh untuk membayar ahli waris korban. Kesiapan untuk membayar kontribusi ini sama dengan pembayaran premi pada praktik asuransi syariah saat ini. 31 C. Kebijakan Pemerintah Tentang Asuransi Syari’ah Asuransi merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Kegiatan asuransi di Indonesia sudah lama dilakukan. Sedangkan kegiatan asuransi yang berdasar pada Hukum Islam belum lama berkembang di Indonesia. Untuk itu kegiatan asuransi syariah masih berdasar pada peraturan perundang-undangan yang selama ini berlaku sepanjang peraturan mengenai asuransi syariah ini masih 29
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,2005), hlm. 242 H.M. Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm.120. 31 Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syari’ah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm 31. 30
30
belum dibuat. Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia adalah salah satu lembaga yang diakui oleh pemerintah untuk memberikan pedoman dalam pelaksanaan produk-produk syariah di lembaga-lembaga keuangan syariah, termasuk asuransi syariah. 32
Dalam menjalankan usahanya, perusahaan asuransi dan reasuransi syariah berpegang pada pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah disamping Fatwa DSN-MUI yang paling terkini yang terkait dengan akad perjanjian asuransi syariah yaitu Fatwa No.51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musyarakah pada asuransi syariah, Fatwa No. 52/DSNMUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syariah, Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah.
Peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan asuransi syariah yaitu33:
1.
Keputusan Menteri
Keuangan Republik
Indonesia
Nomor
426/
KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi syariah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 3 yang menyebutkan bahwa ”Setiap pihak dapat melakukan
32 33
Gemala Dewi, Hukum Perikatan Islam dI Indonesia, (Jakarta: Kencana,2006), hlm 164-165. Mujahidinimeis.wordpress.com,19 Juli 2011
31
usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah…” Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, Pasal 32 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi konvensional, dan Pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dengan prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
2.
Keputusan Menteri
Keuangan Republik
Indonesia
Nomor
424/
KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep. 4499/ LK/2000 tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.
D. Perbandingan Antara Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional Konsep
asuransi
syariah
berbeda
dengan
konsep
asuransi
konvensional. Dengan perbedaan konsep ini tentunya akan mempengaruhi operasionalnya yang dilaksanakan akan berbeda satu dengan lainnya. Berikut
32
adalah perbedaan antara asuransi syariah dan asuransi konvensional yang dikemukakan oleh Muhammad Syakir Sula. 34 Tabel 1.1 Asuransi Syari’ah
No
Prinsip
Asuransi Konvensional
1.
Konsep
Perjanjian antara dua pihak Sekumpulan orang yang atau
lebih,
dengan
pihak
membantu,
penanggung saling menjamin dan
mengikatkan
diri
tertanggung menerima
mana saling
kepada bekerja sama dengan dengan cara
premi
masing-masing
asuransi, mengeluarkan
dana
untuk memberikan pergantian tabarru’ kepada tertanggung 2.
Asal-usul
Dari masyarakat Babilonia Dari
Al-aqidah,
4000-3000 SM yang dikenal kebiasaan dengan
perjanjian jauh
suku
sebelum
arab islam
Hammurabi. Dan tahun 1668 datang. Kemudian di M di Coffe House London sahkan oleh Rasulullah berdirilah Lloyd of London menjadi hukum Islam, sebagai cikal bakal asuransi bahkan telah tertuang konvensional
dalam kontitusi pertama di
34
dunia
(kontitusi
Muhammad Syakir Sula, Landasan Syari’ah, Rapat Karja Nasional PT. Asuransi Takaful Keluarga (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 326-328.
33
Madina) yang dibuat langsung Rasulullah 3.
Sumber
Bersumber
Hukum
manusia
dari dan
pikiran Bersumber dari wahyu
kebudayaan, Ilahi. Sumber hukum
berdasarkan hukum positif, dalam
syariah
hukum alami dan contoh adalah sebelumnya
Islam
Al-qur’an,
Sunnah
rasul,
ijma’,
fatwa sahabat, qiyas, istihsan, dan marshalih mursalah 4.
Maghrib
Tidak selaras dengan syariah Bersih
dari
adanya
(Maisir,
Islam karena adanya Maisir, praktik Gharar, maisir
Gharar dan Gharar dan Riba, hal yang dan riba.
5.
Riba)
diharamkan dalam muamalah
DPS
Tidak ada, sehingga dalam Ada,
(Dewan
banyak
Pengawas
bertentangan dengan kaidah- pelaksanaan
Syari’ah)
kaidah syara’
yang
praktiknya untuk
berfungsi mengawasi
operasional perusahaan agar
terbebas
dari
praktik-praktik muamalah bertentangan
yang dengan
prinsip-prinsip syariah.
34
6.
Akad
Akad
mu’awadah, akad
idz’aan, tijarah
akad
gharra
dan
mulzim) 7.
(akad Akad tabarru’ dan akad
jual-beli
(mudharabah,
akad wakalah,
wadiah,
syirkah, dsb)
Jaminan/Ri
Transfer of
Risk, dimana Sharing of Risk, dimana
sk (Risiko)
terjadi transfer risiko dari terjadi
proses
saling
tertanggung
kepada menanggung antara satu
penanggung
peserta dengan peserta lainnya (ta’awun)
8.
Pengelola
Tidak ada pemisahan dana Pada
produk-produk
dana
yang
(life)
berakibat
terjadinya saving
terjadi
dana hangus (untuk produk pemisahan dana, yaitu saving life)
dana tabarru’ (derma) dan
dana
peserta,
sehingga
tidak
mengenal istilah dana hangus.
Sedangkan
untuk term insurance (life)
dan
insurance
general semuanya
bersifat tabarru’ 9.
Investasi
Bebas melakukan investasi Dapat dalam batas-batas ketentuan investasi
melakuka sesuai
35
perundang-undangan,
dan ketentuan
perundang-
tidak terbatasi pada halal dan undangan,
sepanjang
haramnya objek atau sistem tidak investasi yang digunakan
bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah islam.
Bebas
dari riba dan tempattempat investasi yang terlarang 10. Kepemilika n dana
Dana yang terkumpul dari Dana yang terkumpul premi menjadi
peserta
seluruhnya dari
peserta
milik perusahaan. bentuk
Perusahaan menggunakan menginvestasikan
iuran
bebas kontribusi,
dalam atau
merupakan
dan milik peserta (shahibul kemana mal) asuransi syariah
saja
hanya
sebagai
pemegang
amanah
(mudharib)
dalam
mengelola dana tersebut 11. Unsur premi
Unsur premi terdiri dari table Iuran atau kontribusi mortalita (mortality tables), terdiri
dari
unsur
bunga (interest), biaya-biaya tabarru’ dan tabungan asuransi (cost of insurance)
(yang
tidak
mengandung
unsur
36
riba)
tabarru’
dihitung
dari
juga table
mortalita , tetapi tanpa perhitungan
bunga
teknik 12. Loading
Loading
pada
konvensional
asuransi Pada sebagian asuransi
cukup
besar syariah, loading (komisi
terutama diperuntukan untuk agen) tidak dibebankan komisi agen, bisa menyerap pada peserta tapi dari premi tahun pertama dan dana pemegang saham. kedua. Karena itu nilai tunai Namun sebagian yang pada
tahun
pertama
dan lainnya mengambilkan
kedua biasanya belum ada dari (masih hangus)
sekitar
20-30
persen saja dari premi tahun pertama. Dengan demikian
nilai
tunai
tahun pertama sudah terbentuk 13. Sumber
Sumber biaya klaim adalah Sumber
pembayara
dari
rekening
n klaim
sebagai penanggung
perusahaan, klaim
pembayaran diperoleh
konsekuensi pembayaran
dari
rekening
terhadap tabarru’ yaitu peserta
tertanggung. Murni bisnis dan saling
menanggung.
37
tidak ada nuansa spiritual
Jika salah satu peserta mandapat
musibah,
maka peserta lainnya ikut
menanggung
bersama risiko 14. Sistem akuntansi
Menganut konsep akuntansi Menganut
konsep
accrual basis, yaitu proses akuntansi cash basis, akuntansi
yang
terjadinya keadaan
mengakui mengakui
peristiwa non
mengakui
kas.
apa
yang
atau benar-benar telah ada, Dan sedangkan
pendapatan, basis
accrual dianggap
peningkaytan asset, expensis, bertentangan
dengan
liabilities dan jumlah tertentu syariah
karena
yang
adanya
dalam datang
baru
akan
waktu
diterima mengakui
yang
akan pendapatan,
harta,
beban atau utang yang akan
terjadi
dimasa
yang
akan
datang.
Sementara apakah itu benar-benar
dapat
terjadi
Allah
hanya
yang tahu 15. Keuntunga
Keuntungan yang diperoleh Profit yang diperoleh
38
n (profit)
dari
surplus
underwriting, dari
surplus
komisi reasuransi, dan hasil underwriting, investasi seluruhnya adalah reasuransi, keuntungan perusahaan
komisi
dan
investasi
hasil bukan
seluruhnya
menjadi
milik perusahaan, tetapi dilakukan
bagi
(mudharabah)
hasil dengan
peserta 16. Misi Visi
dan Secara garis besar misi utama Misi
yang
diemban
dari asuransi konvensional dalam asuransi syari’ah adalah misi ekonomi dan misi adalah sosial
aqidah,
misi
ibadah (ta’awun), misi ekonomi (iqtishod) dan misi
pemberdayaan
umat (sosial)
Dari tabel tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa konsep dasar asuransi syariah adalah tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al birri wat taqwa). Konsep tersebut sebagai landasan yang diterapkan dalam setiap perjanjian transaksi bisnis dalam wujud tolong menolong (akad takafuli) yang menjadikan semua peserta sebagai keluarga besar yang saling menanggung satu sama lain di dalam menghadapi resiko, yang
39
kita kenal sebagai sharing of risk, sebagaimana firman Allah SWT yang memerintahkan kepada kita untuk ta’awun (tolong menolong) yang berbentuk al birri wat taqwa (kebaikan dan ketakwaan) dan melarang ta’awun dalam bentuk al itsmi wal udwan (dosa dan permusuhan).35 Firman Allah dalam surat al-Baqarah 188, “Dan janganlah kalian memakan harta di antara kamu sekalian dengan jalan yang bathil, dan janganlah kalian bawa urusan harta itu kepada hakim yang dengan maksud kalian hendak memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu tahu." Hadist Nabi Muhammad SAW, "Mukmin terhadap mukmin yang lain seperti suatu bangunan memperkuat satu sama lain," Dan "Orang-orang mukmin dalam kecintaan dan kasih sayang mereka seperti satu badan. Apabila satu anggota badan menderita sakit, maka seluruh badan merasakannya.
Dalam asuransi konvensional, asuransi merupakan transfer of risk yaitu
pemindahan
risiko
dari
peserta/tertanggung
ke
perusahaan/penanggung sehingga terjadi pula transfer of fund yaitu pemindahan dana dari tertanggung kepada penanggung. Sebagai konsekuensi maka kepemilikan dana pun berpindah, dana peserta menjadi milik perusahaan asuransi.
35
http://shantindk.wordpress.com/2009/07/15/akad perjanjian pada lembaga asuransi. 26 Agustus 2011
40
E. Akad Tabarru’ Tabarru’ barasal dari kata tabarra’a-yatabarra’u- yatabarra’an, artinya sumbangan, hibah, dana kabajikan, atau derma. Orang yang memberi sumbangan disebut mutabarri’/ dermawan. Tabarru’ merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain, tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi. Jumhur ulama mendefinisikan tabarru’ dengan akad yang mengakibatkan pemilikan harta, tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam kedaan hidup kepada orang lain secara sukarela. 36 Kontrak atau akad dalam praktik fiqih mu’amalah menjadi prinsip karena akan menentukan sah atau tidaknya secara syari’ah dalam suatu aktivitas sosial yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang. Bagitu pula dengan kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi. Asuransi konvensional menerapkan kontrak yang dalam syariah disebut kontrak jual beli (tabaduli). Dalam kontrak tersebut harus memenuhi syarat-syarat kontrak jual beli. Ketidakjelasan persoalan besarnya premi yang harus dibayarkan karena bergantung terhadap usia peserta, padahal hanya Allah yang tahu kapan seseorang itu meninggal. Hal itu mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut gharar atau katidakjelasan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda dalam asuransi konvensional dalam praktiknya cacat secara hukum islam. Lain halnya dalam asuransi jiwa syari’ah, yaitu akad yang digunakan bukan akad jual beli, 36
Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah (Life and General), (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm.35-36
41
melainkan kontrak tolong menolong (takafuli). Karena itu, asuransi jiwa syari’ah menggunakan apa yang disebut sebagai kontrak tabarru’ yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak tersebut merupakan salah satu jalan alternatif untuk mendapatkan uang yang sah dan dibenarkan oleh fiqih muamalah dalam melepaskan diri dari praktik yang diharamkan pada asuransi konvensional. Tujuan dari dana tabarru’ dimaksud adalah memberikan dana kebijakan yang disertai niat keikhlasan untuk tujuan saling membantu seorang dengan orang lain sesama peserta asuransi syari’ah apabila diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karena itu dana tabarru’ disimpan dalam satu rekening khusus, sehingga bila terjadi resiko dana klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabaru’ yang sudah diniatkan oleh semua peserta asuransi untuk kepentingan tolong-menolong.37 Akad tabarru’ merupakan proses akad yang dilakukan antara sesama peserta penabung yang sama-sama menabung atau menjadi peserta asuransi syariah. Pada akad tabarru’ ini, sesama peserta saling mengumpulkan dana bersama yang dinamakan dengan dana tabarru’. Dana tabarru’ ini merupakan kumpulan dana bersama dari seluruh peserta asuransi syariah. Dana inilah yang nantinya akan dipersiapkan untuk membantu para peserta yang sedang mengalami resiko/musibah di kemudian hari.
37
Zainudin Ali, Hukum Asuransi Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),hlm.59
42
F. Fatwa DSN-MUI No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 53/DSNMUI/III/2006 tentang akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah.38 Menimbang: a. Bahwa fatwa No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah dinilai sifatnya masih sangat umum sehingga masih perlu dilengkapi dengan fatwa yang lebih rinci b. Bahwa salah satu fatwa yang diperlukan adalah fatwa tentang akad Tabarru’ untuk asuransi; c. Bahwa oleh karena itu, Dewan Syariah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang Akad Tabarru’ untuk dijadikan pedoman.
Mengingat: 1. Firman Allah SWT,antara lain: 1) QS. An-Nisa’ (4) ayat 2: Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan)itu adalah dosa yang besar. 2) QS. An-Nisa’ (4) ayat 9: Dan hendaklah takut kepada Allah orangorang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak
38
Ibid.,hlm 150-155
43
yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. 3) QS. Al-Hasyr (59) ayat 18: Hai orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. 4) QS. Al-Maidah (5) ayat 1: Hai orang yang beriman, tunaikanlah akadakad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibicarakan
kepadamu.
(yang
demikian
itu)
dengan
tidak
menghalalkan yang berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya. 5) QS. An-Nisa’(4) ayat 58: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, hendaklah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesunggunya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat. 6) QS. An-Nisa’ (4) ayat 29: Hai orang yang beriman,janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara bathil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela diantara kalian. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesunggunya Allah Maha Penyayang kepadamu
44
7) QS. Al-Ma’idah (5) ayat 2: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. 2. Hadits hadis Nabi SAW,tentang beberapa prinsip bermuamalah, antara lain: 1) Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah: Barang siapa
melepaskan dari seorang muslim suatu di
dunia, Allah akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya. 2) Hadis Nabi Muhammad yang di riwayatkan oleh Muslim dari AnNu’man bin Syair: Perumpamaan orang dalam beriman dalam kasih sayang, saling mengasihi dan mencintai bagaikan tubuh (yang satu); jikalau satu bagian menderita sakit maka bagian lain akan turut menderita. 3) Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari: Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan, satu bagian menguatkan bagian yang lain. 4) Hadis Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh At-Tirmizi, AdDaraquthni, dan Al-Baihaqi dari ‘Amir bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Abdullah bin ‘Amr bin Ash: Barang siapa yang mengurus anak yatim yang memiliki harta, hendaklah ia perniagakan, dan
45
janganlah membiarkannya (tanpa diperniagakan) hingga habis oleh sedekah (zakat dan nafkah). 5) Hadist Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf: kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. 6) Hadist Nabi Muhammad yang diriwatatkan oleh Ibnu Majjah dari Ubaidah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu Abbas dan Malik dari Yahya: Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pura mambahayakan orang lain. 3. Kaidah Fiqih: 1) “ Pada dasarnya, semua bentuk muammalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 2) “ Segala mudharat harus dihindari sedapat mungkin.” 3) “ Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan.”
Memperhatikan: 4. Pendapat para ulama antara lain: 1) Wahbah Az-Zuhaili, sejumlah dana (premi) yang diberikan oleh peserta asuransi adalah Tabarru’ (amal kebajikan) dari peserta kepada (melalui) perusahaan yang digunakan untuk membantu peserta yang memerlukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati; dan perusahaan memberikannya (kepada peserta) sebagai tabarru’ atau
46
hibah murni tanpa imbalan. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Mu’ammalat AlMaliyyah Al-Mu’ashirah, (Dimasyq: Dar Al-Fikr,2002), hlm.287) 2) Mushtafa Zarqa’, Analisis fiqih terhadap kewajiban (peserta) untuk memberikan tabarru’ secara bergantian dalam akad asuransi ta’awuni adalah “kaidah tentang kawajiban untuk memberikan tabarru’ dalam mazhab Malik. (Mushtafa Zarqa’, Nizham At-Ta’min, hlm.58-59; Ahmad Sa’id Syaraf Ad-Din, ‘Uqud At-Ta’min wa ‘Uqud Dhamam Al-Istitsmar, hlm 244-147; dan Sa’di Abu Jaib, At-Ta’min bainb AlHazhr wa Al-Ibahah, hlm.53) 3) Ahmad Salim Milham, Hubungan hukum yang timbul antara para peserta asuransi sebagai akibat akad ta’min jama’i (asuransi kolektif) adalah akad tabarru’, setiap peserta adalah pemberi dana tabarru’ kepada peserta lain yang terkena musibah berupa ganti rugi (bantuan,klaim) yang menjadi haknya; dan pada saat yang sama ia pun berhak menerima dana tabarru’ ketika terkena musibah (Ahmad Salim Milhim, At-ta’min Al-Islami, hlm. 83) 4) Hasil lokakarya Asuransi Syari’ah DSN-MUI dengan AASI (Asosiasi Asuransi Syari’ah Indonesia) tanggal 7-8 Jumadil Ula 1426H/14-15 Juni 2005 M. 5) Pendapat dan saran peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada 23 shafar 1427 H/23 Maret 2006 M.
47
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: Fatwa tentang akad tabarru’ pada Asuransi Syari’ah 1. Pertama: Ketentuan Umum Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan: a. Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan reasuransi syari’ah; b. Peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah 2. Kedua: Ketentuan Hukum a. Akad tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi b. Akad tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis. 3. Ketiga: Ketentuan Akad a. Akad tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong antar peserta, bukan untuk tujuan kamersial. b. Dalam akad tabarru’ harus disebutkan sekurang-kurangnya: 1) Hak dan kewajiban masing-masing perseta secara individu 2) Hak dan kewajiban peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok 3) Cara dan waktu pembayaran premi dan klaim
48
4) Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan. 4. Keempat: Kedudukan para Pihak Dalam Akad Tabarru’ a. Dalam akad tabarru’ peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah. b. Peserta secara individu merupakan pihaak yang berhak menerima dana tabarru’(muamman/mutabarra’lahu)
dan
secara
kolektif
selaku
penanggung (muammin/mutabarri’) c. Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi. 5. Kelima: Pengelolaan a. Pembukuan dana tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya. b. Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’. c. Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau akad mudharabah musyarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil ujrah. 6. Keenam: Surplus Underwriting a. Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternative sebagai berikut: 1) Diperlakukan sepenuhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’ 2) Disimpan sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen resiko.
49
3) Disimpan ssebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta. b. Pilihan terhadap salah satu alternative tersebut diatas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad. 7. Ketujuh: Devisit Underwriting a. Jika terjadi deficit underwriting atas dana tabarru’ (deficit tabarru’), maka perusahaan asuransi wajib menanggilangi kekurangan tersebut dalam bentuk qardh (pinjaman) b. Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru’. 8. Kedelapan: Ketentuan Penutup a. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau tidak terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. b. Fatwa ini berlaku mulai sejak tanggal ditetapkan, denggan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat
kekeliruan, akan diubah dan
disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di: Jakarta Tanggal: 23 Maret 2006/23 Shafar 1427 H