BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan tentang Kredit dan Perjanjian Kredit 1. Istilah dan Pengertian Kredit Kata kredit berasal dari bahasa Romawi yaitu credere yang berarti kepercayaan akan kebenaran, dan apabila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa pihak bank selaku kreditor memberikan kepercayaan
untuk meminjamkan sejumlah uang kepada
nasabah atau debitor, karena debitor dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan Mengenai istilah kredit, terdapat beberapa pengertian antara lain : a. R. Subekti “Kredit berarti kepercayaan. Seorang nasabah yang mendapat kredit dari bank memang adalah orang yang mendapatkan kepercayaan dari bank”1 b. Mariam Darus Badrulzaman Secara umum kredit diartikan sebagai “The ability to borrow on the opinion conceived by the lender that we will be repaid”2 Istilah kredit banyak dipakai dalam sistem perbankan konvensional yang berbasis pasar bunga (interest based), sedangkan dalam hukum perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) yang berbasis pada keuntungan riil yang dikehendaki (margin) ataupun bagi hasil (profit sharing)3 Untuk lebih jelasnya dapat diperhatikan pengertian yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan: 1
R.Subekti,Jaminan-jaminan untuk Pemberian Kredit menurut Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 1 2
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23 3 Abdul Ghofur Anshori dalam Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.264
8
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberianbunga.” Ketentuan Pasal 1 angka 11 UU Perbankan tersebut memberikan unsur-unsur pokok kredit sebagai berikut : a. Adanya kesepakatan pinjam-meminjam; b. Objeknya adalah uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan uang; c. Pinjaman tersebut merupakan utang; d. Dapat ditagih dalam jangka waktu tertentu; e. Pembayaran pokok utang disertai bunga pinjaman. Sebelumnya dikatakan bahwa kredit diberikan atas dasar kepercayaan. Hal ini berarti bahwa prestasi yang diberikan dapat dikembalikan oleh penerima kredit sesuai dengan waktu dan syarat-syarat yang disepakati bersama. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Budi Untung menyebutkan unsur-unsur kredit sebagai berikut, yaitu: a.
b.
c.
Kepercayaan Hal ini diartikan bahwa pemberi kredit yakin bahwa prestasi (uang dan jasa atau barang) yang diberikannya akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. Tenggang waktu Tenggang waktu diartikan sebagai waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih tinggi nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang. Degree of risk Degree of risk merupakan risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari. Semakin panjang jangka waktu kredit yang diberikan, maka semakin tinggi pula risikonya, sehingga terdapat unsur ketidaktentuan yang 9
tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur risiko, karena adanya unsur risiko ini maka dibutuhkan jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi atau objek kredit Prestasi atau objek kredit ini tidak hanya diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga berbentuk barang atau jasa, tetapi karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang sering kita jumpai dalam praktik perkreditan.4 Di dalam pengertian kredit terkandung dua aspek, yaitu aspek ekonomis dan aspek yuridis. Aspek ekonomis ialah adanya bunga oleh yang menerima pinjaman sebagai imbalan yang diterima kreditor sebagai keuntungan. Sedangkan aspek yuridisnya adalah adanya dua pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian, dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dalam pemberian kredit terdapat dua pihak yang berkepentingan secara langsung, yaitu pihak yang berkelebihan uang disebut pemberi kredit dan pihak yang membutuhkan uang disebut penerima kredit. Sehingga bilamana terjadi pemberian kredit berarti pihak yang berkelebihan uang memberikan uangnya (prestasi) kepada pihak yang memerlukan uang dan pihak yang memerlukan uang ini berjanji akan mengembalikan uang tersebut di suatu waktu tertentu di masa yang akan datang, di sini kemudian terkaitlah prestasi tersebut. Sebelum fasilitas kredit diberikan maka bank harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan. Penilaian kredit oleh bank dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mendapatkan keyakinan tentang nasabahnya, seperti melalui prosedur penilaian yang benar dan sunguh-sungguh. Pemberian kredit mengandung risiko (credit risk), Komiteuntuk Pengawasan Perbankan mendefinisikan resiko kredit sebagai kemungkinan
4
Budi Untung, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, 2000, hlm.3
10
kehilangan saldo pinjaman sebagian atau seluruhnya karena wanprestasi5, maka pemberian kredit harus dilandasi oleh keyakinan kreditor atas kemampuan debitor untuk dapat melunasi hutangnya tepat pada waktunya dan jumlah yang sesuai dengan yang diperjanjikan, untuk itu diperlukan evaluasi resiko kredit yaitu
dimana bank menilai kelayakan dari
calondebitur terhadap pinjaman berupa analisis resiko kredit. Analisis kredit akhirnya menghasilkan estimasi kemungkinan gagal bayar/ wanprestasi debitur.6 Oleh karena itu dalam pemberian kredit, dilakukan dengan berpegang pada beberapa prinsip. Pemberian kredit oleh pihak bank kepada pihak debitor tidak terjadi begitu saja, tetapi harus mengetahui informasi mengenai calon debitornya dengan tujuan untuk mengurangi risiko yang akan terjadi di kemudian hari yaitu dengan prinsip 5 C. Prinsip 5 C adalah adalah sebuah pendekatan untuk mengevaluasi kelayakan kredit menggunakan berbagai faktor.7 Dalam penjelasan Pasal 8
UU Perbankan menyatakan bahwa untuk
memperoleh keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah kreditor untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan, maka sebelum memberikan kredit pihak perbankan melakukan penilaian terhadap penerima pinjaman atau kreditor yang meliputi: a) Character Character merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat atau watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benarbenar harus dapat dipercaya. Untuk membaca watak atau sifat dari calon debitor dapat dilihat dari latar belakang si nasabah, baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti cara hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hobby dan jiwa social. Dari 5
Kolapo, T. Funso,” Credit Risk and Commercial Banks Peformance in Nigeria: A Panel Model Approach”,Australian Journal of Business and Management Research Vol.2 No.02 Mei 2012 hlm. 31 6 Baklouti Ibtissem, “Credit Risk Management in Micro finance : The Conceptual Framework”, Journal of Finance and Risk Perspectives, Vol. 2, Issue 1, Nov. 2013, hlm. 17 7 Suleiman M. Abbadi,”Methods of Evaluating Credit Risk used by Commercial Banks in Palestine”, International Research Journal of Finance and Economics, Issue 111 July, 2013, hlm. 151
11
sifat dan watak ini dapat dijadikan suatu ukuran tentang “kemampuan” nasabah untuk membayar. b) Capacity Capacity adalah analisis untuk mengetahui kemampuan nasabah dalam membayar kredit. Dari penilaian ini terlihat kemampuan nasabah dalam mengelola bisnis. Kemampuan ini dihubungkan dengan latar belakang pendidikan dan pengalamannya selama ini dalam menggelola usahanya, sehingga akan terlihat “kemampuannya” dalam mengembalikan kredit yang disalurkan. Capacity sering juga disebut dengan Capability. c) Capital Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif atau tidak, dapat dilihat dari laporan keuangan (neraca dan laporan rugilaba) yang disajikan dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas dan solvabilitasnya, rentabilitas dan ukuran lainnya. Analisis capital juga harus menganalisis dari mana sumber mana saja modal yang ada sekarang ini, termasuk prosentase modal yang digunakan untuk membiayai proyek yang akan dijalankan, berapa modal sendiri dan berapa modal pinjaman. d) Condition of economic Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi, sosial dan politik yang ada sekarang dan prediksi untuk dimasa yang akan datang. Penilaian kondisi atau prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benarbenar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relatif kecil. e) Collateral Merupaka jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahan dan kesempurnaan, sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.8
2. Pengertian Perjanjian Kredit Dalam praktek perbankan setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati antara pihak kreditor dan pihak debitor maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis. Format dari
8
Djoni S Gazali dan Rachmadi Usman, op.cit, hlm. 273-274
12
perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan, akan tetapi ada hal-hal yang harus diperhatikan yaitu bahwa perjanjian tersebuttidak boleh kabur atau tidak jelas, juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan syarat sahnya perjanjian, sekaligus pula harus memuat secara jelas mengenai jumlah besarnya kredit, jangka waktu kredit, tata cara pembayaran kembali kredit, bunga, jaminan serta persyaratan lainnya yang lazim dalam perjanjian kredit. Pada umumnya, perjanjan kredit perbankan menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract), dalam prakteknya perjanjiannya telah disediakan oleh pihak bank sebagai kreditor sedangkan debitor hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik. Apabila debitor menerima semua ketetuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka ia berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, tetapi apabila debitor menolak ia tidak perlu untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut. Perjanjian kredit ini perlu memperoleh perhatian yang sangat khusus baik oleh bank sebagi kreditor maupun oleh nasabah sebagai debitor, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pegelolaan, dan penatalaksanaan kredit tersebut. Berkaitan dengan itu menurut Ch. Gatot Wardoyo perjanjian kredit mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut: a. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok; b. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasanbatasan hak di antara kreditor dan debitor; c. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring Kredit.9 3. Bentuk Perjanjian Kredit Perjanjiandapat dibuat secara lisan atau tertulis yang penting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata, tetapi dari sudut 9
Hermansah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2007, hlm. 72
13
pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti bagi para pihak yang membuatnya. Di era modern ini perjanjian lisan disarankan untuk tidak digunakan meskipun secara teori diperbolehkan karena lisan sulit dijadikan sebagai alat pembuktian bila terjadi masalah di kemudian hari. Untuk itu setiap transaksi apapun harus dibuat tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Dasar hukum perjanjian kredit secara tertulis dapat mengacu pada : a. Pasal 1 angka 11Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; Dalam Pasal itu terdapat kata-kata : Penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa pemberian kredit harus dibuat perjanjian, meskipun dalam pasal itu tidak ada penekanan perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis tetapi dalam organisasi bisnis modern dan mapan maka untuk kepentingan administrasi
yang
rapi
dan
teratur
dan
demi
kepentingan
pembuktian sehingga pembuktian tertulis dari suatu perbuatan hukum menjadi suatu keharusan, maka kesepakatan perjanjian kredit harus tertulis. b. SK Direksi Bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 27/7/UPPB masing-masing Tanggal 31 Maret 1995
tentang Kewajiban Penyusunan Pelaksanaan Kebijaksanaan
Perkreditan bagi Bank Umum. Pada Lampiran Penyusunan Pedoman Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKPK) angka 450 tentang Perjanjian Kredit yang dinyatakan setiap kredit yang telah disetujui dan disepakati pemohon kredit wajib dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit) secara tertulis, baik dibawah tangan ataupun dihadapan notaris. Sebelum ketentuan ini terdapat ketentuan yang sama dalam Surat Bank Indonesia yang
14
ditujukan kepada segenap Bank Devisa Nomor 03/1093/UPK/KPD Tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pemberian kredit oleh bank kepada debitornya menjadi pasti bahwa : a. Perjanjian diberi nama Perjanjian kredit; b. Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis. Bentuk perjanjian kredit dibedakan menjadi : a. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan. Akta dibawah tangan artinya perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan kepada debitor untuk disepakati. Untuk bank,
biasanya
bank
mempermudah
dan
mempercepat kerja
sudah mempersiapkan formulir perjanjian
dalam bentuk standar (standardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan terlebih dahulu secara lengkap. Menurut Pasal 1874 KUH Perdata yang dimaksud akta dibawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantara Pejabat yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti, jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. Akta yang dibuat di bawah tangan agar tidak mudah dibantah atau disangkal mengenai kebenaran tanda tangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk memperkuat pembuktian, maka akta tersebut harus dilegalisasi. Legalisasi merupakan pernyataan dari pejabat yang berwenang mengenai kebenaran tanda tangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta tersebut. Berdasarkan Ordonansi Staatsblad 1916 Nomor 43 dan 46 tentang Waarmerken van Onderhandsche Akten Enz (Cara Manandai Surat/Akta di Bawah Tangan), pejabat yang diberi wewenang untuk melegalisasi adalah Notaris, Ketua Pengadilan Negeri, Bupati Kepala Daerah dan Walikota.
15
b. Perjanjian kredit yang dibuat dengan akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris dinamakanakta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta otentikmempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Hakim terikat dan harus menerima apa adanya. Hakim tidak dapat meminta alat bukti lain selain akta otentik itu sendiri. Menurut Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempatkan dimana akta dibuat. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa disebut akta otentik apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1)
Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat dihadapan pegawai umum, yang ditunjuk oleh undang-undang;
2)
Bentuk akta ditentukan undang-undang dan cara membuatnya akta harus menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang;
3)
Di tempat dimana pejabat berwenang membuat akta tersebut. 10
4. Sifat Perjanjian Kredit Perjanjian Kredit apabila dilihat dari sifatnya merupakan perjanjian konsensual, artinya dengan ditandatanganinya perjanjian kredit antara debitor dan kreditor tidak menyebabkan debitor dapat menarik kredit melainkan harus memenuhi syarat-syarat penarikan terlebih dahulu, misalnya debitor harus menyerahkan barang jaminan yang telah diikat sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau menyerahkan jaminan yang cukup. Menurut Sutan Remy Sjahdeni, perjanjian kredit bukanlah perjanjian riil seperti halnya perjanjian pinjam meminjam. Perjanjian kredit mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan perjanjian pinjam meminjam. Ciri-ciri pembeda itu adalah : 10
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Cetakan Kelima, CVAlfabeta , Bandung, 2014, hlm. 101
16
a. Sifat konsensuil dari suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian pinjam meminjam uang yang bersifat riil. Perjanjian kredit adalah perjanjian loan of money menurut hukum Inggris yang dapat bersifat riil maupun konsensuil, tetapi bukan perjanjian peminjaman uang menurut Hukum Indonesia yang bersifat riil. Bagi perjanjian kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat tangguh tidak dapat dibantah lagi bahwa perjanjian itu merupakan perjanjian yang konsensuil sifatnya. b. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabahnya tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan tertentu oleh nasabah debitor, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki debet kredit. Hal ini berarti debitor bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian kredit adalah perjanjian peminjaman uang. c. Pembeda lain adalah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindahbukuan. Pada perjanjian uang biasa uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditor ke dalam kekuasaan debitor dengan tidak disyaratkan bagaimana cara debitor menggunakan uang pinjaman itu.11 Perjanjian kredit dapat dikonstruksikan sebagai perjanjian pokok, karena di dalam perjanjian dapat terlaksana dengan adanya jaminan. Hal ini dikarenakan perjanjian kredit tersebut pada umumnya selalu diikuti dengan perjanjian ikutan (accessoir) berupa perjanjian jaminan.12 Perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan faslitas kredit dari lembaga perbankan. 5. Hapusnya Perjanjian Kredit 11
Sutan Remy Sjahdeini dalam Johanes Ibrahim, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi dalam Hukum Positif, CV. Utomo Bandung,2004, hlm. 110 12 Eugenia Liliawati Moejono, Tinjauan Yuridis Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dalam Kaitannya dengan Pemberian Kredit oleh Perbankan, Harvavindo, 2003, hlm. 18
17
Suatu perjanjian dapat hapus karena persetujuan dari kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian kredit hapus karena : a. Ditentukan oleh para pihak di dalam perjanjian; b. Adanya pembatalan oleh salah satu pihak terhadap perjanjiannya; c. Adanya pernyataan penghentian perjanjian secara sepihak oleh bank; d. Jikalau yang berutang menurut pendapat bank melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syarat-syarat persetujuan atau pengakuan hutang. e. Jikalau semata-mata menurut pendapat bank yang ditanggungkan tidak cukup lagi dan tanggungan tidak ditambah, baik karena musnah, hilang, ataupun karena harganya turun. f. Jikalau yang menanggung (borg) jatuh ke dalam keadaan yang tidak mampu, dan tidak diganti dengan borg lain yang dianggap cukup oleh bank.13
6. Debitor Wanprestasi dan Akibat Hukumnya Suatu perjanjian yang sudah disepakati bersama oleh para pihak yang membuatnya, sering terjadi tidak dipenuhi prestasinya sebagaimana mestinya oleh salah satu pihak, atau terjadi wanprestasi. Menurut kamus hukum wanprestasi berarti suatu keadaan yang menyebabkan debitor tidakmemenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya.14 Pada umumnya yang melakukan wanprestasi atau ingkar janji adalah debitor. Bentuk-bentuk dari wanprestasi adalah : a.
Debitor tidak memenuhi prestasi sama sekali;
b.
Debitor terlambat dalam memenuhi prestasi;
c.
Debitor berprestasi tidak sebagaimana mestinya. Akibat yang sangat penting dari tidak dipenuhinya perikatan ialah
kreditor dapat meminta ganti rugi atas biaya rugi dan bunga yang 13
Ignatius Ridwan Widyadharma, Hukum sekitar Perjanjian Kredit, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm. 33 14 Rocky Marbun dkk, Kamus Hukum Lengkap, Visimedia, Jakarta, 2012, hlm. 328-239
18
dideritanya.15 Tuntutan ini timbul sebagai pelaksanaan hak dan kewajiban dalam perjanjian yang berdasar pada Pasal 1243 KUH Perdata. Adanya kewajiban ganti rugi bagi debitor, maka undang-undang menentukan bahwa debitor harus terlebih dahulu dinyatakan berada dalam keadaan lalai (ingebreke stelling). Pihak kreditor umumnya sudah membuat peringatan (somasi) agar debitor memenuhi kewajibannya namun tetap dilalaikannya sehingga diambil langkah hukum lebih lanjut.
B. Tinjauan tentang Jaminan 1. Pengertian dan Fungsi Jaminan Berbicara tentang jaminan, pada umumnya selalu dihubungkan dengan pemberian kredit. Suatu lembaga keuangan baik bank maupun bukanbank, termasuk lembaga pembiayaan, didalam memberikan kredit atau
pembiayaan
Jaminan
yang
umumnya
dimaksud
meminta
disini
jaminan
bisa jaminan
kepada debitor.
kebendaan maupun
jaminan perorangan.16 Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu“Zekerheid” atau “Cautie”.
Zekerheid atau “Cautie” mencakup
secara umum cara-cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungjawaban umum debitor terhadap hutang-hutangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan istilah agunan. Istilah agunan dapat dibaca di dalam Pasal 1 angka 23 UU Perbankan, agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dalam Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 20-30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban 15
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2004, hlm. 10
16
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 21
19
yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali hubungannya dengan hukum benda-benda.17 Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/69/KEP/DIR Tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit menyatakan bahwa "Jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitor untuk melunasi kredit sesuai dengan yang diperjanjikan". Dalam konteks pemberian kredit, menurut Sutan Remy Sjahdeini, jaminan kredit adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai, mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitor berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat kreditor dan debitor18 Adapun selengkapnya dari ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata dimaksud adalah sebagai berikut : Pasal 1131 KUH Perdata: Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Pasal 1132 KUH Perdata: Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang menghutangkan kepadanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara orang- orang yang berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan. Dari pengertian jaminan sebagaimana telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami konsepsi jaminan sebagai berikut : a. Difokuskan pada pemenuhan kewajiban kepada kreditor; b. Wujud jaminan ini dapat dinilai dengan uang (jaminan materiil); 17
Mariam Darus Badrulzaman,Bab-Bab tentang Creditverband, Gadai, dan Fidusia, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 227 – 265 18 Sutan Remy Sjahdeini,op.cit, hlm.132
20
c. Timbulnya
jaminan
karena
adanya
perikatan
antara
kreditor
dengan debitor; d. Keyakinan kreditor atas kesanggupan debitor untuk melunasi hutangnya. Sering dikatakan bahwa bisnis bank harus dijalankan dengan hatihati, bahkan “super hati-hati”. Inilah yang sering diistilahkan dengan “prudent banking”. Oleh karena itu bank harus dapat dijalankan secara aman (safe), layak (sound) dan tanpa risiko yang substansial (substansial risk). Prinsip kehati-hatian bank tersebut menjadikan bank sebagai sebuah bisnis yang konservatif atau prudent banking tersebut terutama disebabkan oleh : a.
Peranan bank yang cukup menentukan dalam perkembangan moneter dan ekonomi secara makro;
b.
Sinpanan dalam bentuk deposito, giro, tabungan, dan lain-lain yang berarti suatu bank mempertaruhkan uang rakyat;
c.
Karateristik bisnis bank harus selalu sesuai antara dana yang diterima dan dana yang disalurkan, sehingga unsur-unsur spekulatif ditekan seminimal mungkin. Sementara Thomas Suyatno dalam Rachmadi Usman menyatakan
bahwa kegunaan jaminan kredit adalah : a. Memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari agunan apabila debitor melakukan cidera janji, yaituuntuk membayar kembali utangnya pada waktu yang ditetapkan dalam perjanjian; b. Menjamin agar debitor berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaan dapat dicegah atau sekurangkurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil; c. Memberikan dorongan kepada debitor untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitor dan/atau
21
pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang dijaminkan kepada bank.19 Keberadaan jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunujang pembangunan ekonomi. Keberadaan jaminan dapat memberikan manfaat baik bagi kreditor maupun debitor. Bagi debitor, dengan adanya benda jaminan itu dapat memperoleh fasilitas kredit dari bank dan tidak khawatir dalam pengembangan usaha yang dijalankannya, karenasudah tersedia modal yang memadai sesuai dengan kebutuhannya. Dengan modal yang diperoleh melalui fasilitas kredit itu debitor dapat menjalankan bisnisnya dengan lancar. Sedangkan manfaat jaminan bagi kreditor, mencakup : a.
Terwujudnya keamanan transaksi dagang yang ditutup;
b.
Memberikan kepastian hukum bagi kreditor.20
Kepastian hukum yang dimaksud adalah kepastian hukum untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitor. Apabila debitor tidak mampu dalam pengembalian pokok kredit dan bunga, maka bank dapat melakukan eksekusi terhadap benda jaminan. 2. Jenis-jenis Jaminan Salah satu prinsip yang dipegang oleh lembaga keuangan bank atau lembaga-lembaga pembiayaan yang memberikan kredit atau pembiayaan adalah mensyaratkan adanya jaminan yang harus diserahkan oleh debitor. Jaminan yang dimaksud dalam hal ini adalah baik jaminan kebendaan dan jaminan perorangan.21 Untuk lebih jelasnya akan diuraikan secara lebih lanjut tentang jaminan kebendaan dan jaminan perorangan sebagai berikut : a. Jaminan kebendaan. Jaminan kebendaan ialah Jaminan yang berupa hak mutlak 19
Racmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hlm. 287 20 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 31 21 Y.Sogar Simamora, Tanggung Gugat Penanggung Dalam Lembaga Personal Guarantiee dan Corporate Guarantiee, Karya Abditama, Surabaya, 2000, hlm. 67
22
atas sesuatu benda dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu dari debitor atau pihak ketiga sebagai penjamin, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya, dan dapat dialihkan. Jaminan kebendaan ini selain dapat diadakan antara kreditor dengan debitornya juga dapat diadakan antara kreditor denganpihakketigayang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang (debitor) sehingga hak kebendaan ini memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya. Jaminan kebendaan lahir dan bersumber pada perjanjian. Jaminan ini ada karena diperjanjikan antara kreditor dengan debitor. Jaminan
dalam bentuk Hak
Tanggungan, hypotheek, gadai, dan
fidusia tergolong jaminan kebendaan karena diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditor dan debitor. Jaminan kebendaan ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) golongan yaitu: 1) Jaminan benda tidak bergerak. Jaminan benda tidak bergerak meliputi: a) Tanah (dengan atau tanpa bangunan dan tanaman diatasnya); b) Mesin dan peralatan yang melekat pada tanah dan bangunan, dan merupakan satu kesatuan dengan tanah dan bangunan tersebut; c) Bangunan rumah atau hak milik atas rumah susun bilamana tanahnya berstatus hak milik atau hak guna bangunan. 2) Jaminan benda bergerak Dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu: a) Benda berwujud (1) Kendaraan bermotor (2) Mesin-mesin (3) Kapal laut dan kapal terbang yang telah terdaftar (4) Persediaan barang b) Benda tidak berwujud (1) Wesel (2) Sertifikat deposito (3) Obligasi
23
(4) Saham 22 Pembagian benda bergerak dan benda tidak bergerak memiliki arti yang penting dalam menentukan jenis lembaga jaminan mana yang dapat digunakan untuk pengikatan perjanjian kredit. Jika benda jaminan berupa benda bergerak maka dapat digunakan lembaga jaminan yaitu gadai dan fidusia. Sedangkan jika benda jaminan merupakan benda tidak bergerak maka lembaga jaminannya adalah hypotheek atau Hak Tanggungan. b. Jaminan perorangan Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, selalu berupa suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditor) dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban dari si berutang (debitor), bahkan jaminan perorangan ini dapat diadakan tanpa pengetahuan dari si
berutang
(debitor)
tersebut,
sehingga
jaminan
perorangan
menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lain. Termasuk dalam jaminan perorangan adalahpersonal guarantee, corporate guarantee dan atau perikatan tanggung menanggung. Jaminan perorangan kurang disukai dalam praktek, karena para kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang harus bersaing dengan kreditor lain dalam pemenuhan kewajiban debitor, dan karena pihak ketiga juga tidak mengikatkan harta tertentu dalam
perjanjian
sehingga
pihak
ketiga
sering
melakukan
pengingkaran terhadap kesanggupannya. Jaminan perorangan tidak memiliki hak privilege atau hak yang diistimewakan terhadap kreditor lainnya,
maka jaminan
itu hampir tidak berarti bagi pihak bank sebagai pihak pemberi kredit. 22
Siswanto Sutojo, Analisis Kredit Bank Umum, PT. Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 191
24
Hal ini disebabkan karena pihak kreditor menginginkan jaminan yang lebih kuat dan bersifat khusus sehingga bila suatu saat debitor tidak memenuhi utangnya maka bank dapat dengan mudah menyita dan melelang barang yang dijadikan jaminan tersebut.23 Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang terdapat dalam jaminan kebendaan dan jaminan perorangan, sebagai berikut : a. Hak mutlak atas suatu benda; b. Cirinya mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu; c. Dapat dipertahankan terhadap siapapun; d. Selalu mengikuti bendanyadan e. Dapat dialihkan kepada pihak lainnya. Unsur jaminan perorangan, yaitu : a. Mempunyai hubungan langsung pada benda tertentu; b. Hanya dapat dipertahankan terhadap debitor tertentu; c. Terhadap harta kekayaan debitor pada umumnya.
C. Tinjauantentang Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan Hak-hak yang bersifat memberikan jaminan secara khusus diatur dalam bab-bab XIX,XX dan XXI dari Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Hak-hak mana adalah previlege, gadai, dan hypotheek dikatakan secara khusus, karena disamping hak-hak jaminan tersebut masih ada hak-hak jaminan yang lain. Hak-hak jaminan yang lain itu ada yang diatur di dalam maupun di luar KUH Perdata.24 Sejak lahirnya UUPA pada tanggal 24 September 1960, maka pada tanggal 9 April 1996, lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang
23
Kwik Kian Gie, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 18 24
Purwahid Pratik dan Kashadi, op.cit, hlm. 4.
25
Berkaitan dengan Tanah, yang merupakan perwujudan dari ketentuan Pasal 51 UUPA. Selama ketentuan Undang-Undang belum terbentuk melalui ketentuan Peralihan Pasal 57 UUPA, peraturan tentang hypotheek, sebagaimana diatur dalam Buku II KUH Perdata Indonesia dan ketentuan Creditverband, sebagaimana diatur dalam S. 1908 : 542 jo S. 1937 : 190, dinyatakan tetap berlaku.25 Di dalam Pasal 1131 KUH Perdata disebutkan bahwa segala kebendaan dari si berutang (debitor), baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan yang dibuatnya. Hal ini berarti bahwa segala harta kekayaan seseorang menjadi jaminan untuk seluruh utang-utangnya. Bila pada saat utangnya jatuh tempo dan ia lalai dalam memenuhi kewajibannya terhadap kreditornya, maka kekayaan orang itu dapat disita dan dilelang, yang hasilnya kemudian digunakan untuk memenuhi kewajiban atau membayar hutang kepada kreditornya. Pasal 1131 KUH Perdata dapat dikatakan merupakan pengertian dari lembaga jaminan yang menerangkan bahwa segala kebendaan seorang debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi jaminan untuk segala perikatan pribadi debitor tersebut. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap utang-utangnya, tanggung jawab mana berupa menyediakan kekayaannya baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak,jika perlu dijual untuk melunasi utang-utangnya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tanggungan atas segala perikatan dari seseorang seperti yang diuraikan dalam Pasal 1131 KUH Perdata maupun tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang seperti yang diatur dalam Pasal 1139-1149 (Piutang yang diistimewakan), Pasal 1150-1160 (Gadai), Pasal 116225
J.Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan,PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 3
26
1178 (Hypotheek), Pasal 1820-1850 (Penanggungan utang), dan akhirnya seperti yang ditetapkan yurisprudensi ialah Fidusia. Tanggungan atas segala perikatan seseorang disebut jaminan secara umum sedangkan tanggungan atas perikatan tertentu dari seseorang disebut jaminan secara khusus.26 Dalam pemberian kredit perbankan, barang tidak bergerak atau barang berwujud tanah merupakan agunan yang dinilai paling aman serta mempunyai nilai ekonomis yang relatif tinggi. Penerimaan tanah sebagai agunan yang diterima bank tentunya mempunyai tujuan untuk menjamin pelunasan kredit melalui penjualan agunan baik secara lelang maupun dibawah tangan, dalam hal debitor cidera janji (wanprestasi). Dengan berlakunya UUHT, kalangan perbankan amat mengharapkan masalah eksekusi yang dahulu sering timbul pada waktu berlakunya hypotheek tidak muncul lagi atau paling tidak dapat dikurangi. Salah satu syarat bagi lembaga jaminan yang ideal, adalah benda jaminan
mudah
dieksekusi,
jika
debitor
wanprestasi
atau
tidak
melaksanakan kewajiban keuangannya kepada kreditor. Hal ini adalah salah satunya yang mendasari dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah. Pada dasarnya lembaga atas tanah di Indonesia sejak dulu telah diatur dan diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dimana disebutkan dalam Pasal 25 : Hak Milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, Pasal 33 : Hak Guna Usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, Pasal 39 : Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang, Pasal 51 : Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan
26
Oey Hoe Tion, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 14
27
tersebut dalam Pasal 25,33 dan 39 diatur denganUndang-Undang.27 Hak Tanggungan adalah salah satu jenis hak jaminan yang dimaksudkan untuk menjamin utang seorang debitor yang memberikan hak diutamakan kepada seorang kreditor tertentu yaitu pemegang jaminan itu untuk didahulukan terhadap kreditor lainnya (droit de preference) apabila debitor cidera janji. Hak Tanggungan hanya menggantikan hypotheek sepanjang menyangkut tanah. Pemberian Hak Tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungan sampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertipikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan. Rangkaian perbuatan hukum Hak Tanggungan memerlukan beberapa tahap yang diatur dalam pasal 10 UUHT yang menyebutkan : 1. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut. 2. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Perjanjian yang diuraikan dalam Pasal 10 ayat (1), merupakan perjanjian aceessoir yang didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok berupa perjanjian kredit atau perjanjian pinjam-meminjam uang atau perjanjian lainnya, yang menimbulkan hubungan pinjam meminjam uang antara kreditor dengan debitor. Perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit atau perjanjian hutang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang bentuknya. : 27
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA Pelaksanaannya, Hukum Tanah Nasional,Jilid 1 Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 55
28
Isi
dan
Hak Tanggungan sesuai dengan Pasal 1 angka1 UUHT memberi definisi sebagaiberikut : “ Hak Tanggungan atas tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah,yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”. Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yangdimuat didalam definisi tersebut. Unsur-unsur pokok itu adalah : 1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang; 2. Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA; 3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (Hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu; 4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu; 5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Apabila kita bandingkan definisi Hak Tanggungan tersebut dengan definisi hypotheek dalam KUH Perdata, hypotheek di definisikan sebagai berikut, hypotheek adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Dalam definisi hypotheek tersebut diatas, disebutkan unsur-unsur hypotheek sebagai berikut : 1. Hypotheek adalah suatu hak kebendaan; 2. Obyek hypotheek adalah benda-benda tak bergerak; 3. Untuk pelunasan suatu perikatan. Membandingkan definisi Hak Tanggungan dengan definisi hypotheek, ternyata pembuat Undang-undang dari UUHT lebih baik
29
memuat rumusan definisi Hak Tanggungan dari pada membuat Undangundang KUH Perdata dalam membuat rumusan definisi hypotheek. Dalam rumusan definisi hypotheek banyak unsur-unsur dari hypotheek yang belum dimasukkan, sehingga definisi tersebut masih sangat jauh untuk memberikan gambaran mengenai apa uang dimasukan dengan hypotheek. Sekalipun rumusan definisi Hak Tanggungan lebih baik pada rumusan definisi hypotheek dalam KUH Perdata, tetapi belum semua unsur-unsur yang berkaitan dengan dengan Hak Tanggungan telah dimasukan dalam rumusan definisinya. Misalnya dalam rumusan definisi Hak Tanggungan itu belum dimasukkan bahwa Hak Tanggungan adalah suatu hak kebendaan. Pemberian Hak Tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungansampai dilakukan pendaftaran dengan mendapatkan sertipikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan. Rangkaian perbuatan hukum Hak Tanggungan memerlukan beberapa tahap yang diatur dalam Pasal 10 UUHT yang menyebutkan : 1. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakanbagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut. 2. Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatanAkta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersama dengan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Hak Tanggungan inilah yang memberikan kepastian kepada kreditor mengenai haknya untuk memperoleh pelunasan dari hasil penjualan atas tanah atau hak atas tanah yang menjadi objek Hak
30
Tanggungan itu bila debitor ingkar janji atau wanprestasi, sekalipun tanah atau hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan itu dijual oleh pemiliknya (pemberi Hak Tanggungan) kepada pihak ketiga. Penulis menggunakan teori perlindungan hukum dari Phillipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat berupa : 1. Tindakan pemerintah yang bersifat preventif; 2.Tindakan pemerintah yang bersifat represif.28 Bersifat preventif artinya pemerintah lebih bersikap hati-hati dalam pengambilan danpembuatan keputusan karena masih dalam bentuk tindakan pencegahan. Sedangkan repesif artinya pemerintah harus lebih bersikap tegasdalam pengambilan dan pembuatan keputusan atas pelanggaran yang terjadi. Perlindungan hukum preventif memiliki ketentuan-ketentuan dan ciri tersendiri dalam penerapannya. Perlindungan hukum ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berisi ramburambu dan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu. Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah untuk mencegah suatu pelanggaran atau sengketa sebelum hal tersebut terjadi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggunganatas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah merupakan perlindungan hukum preventif, karena dalam peraturan perundang-undangan ini berisi rambu-rambu, batasan, hak dan kewajiban kreditor, debitor dan pembeli obyek Hak Tanggungan. UUHT memberikan perlindungan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan, mempunyai hak preferen dan kedudukan utama terhadap kreditor lain dan mengikat debitor untuk melaksanakan kewajibannya dan / atau prestasi. Pembeli obyek Hak Tanggungan, baik dalam suatu 28
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1997, hlm.2
31
pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negerimaupun dalam jual beli sukarela, dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinyaitu dibersihkan dari segala beban
Hak
Tanggungan
yang
melebihi
harga
pembelian.
Selengkapnya sesuai dengan ciri-ciri Hak Tanggungan pada angka 2 dibawah ini.
2. Ciri-Ciri dan Sifat Hak Tanggungan Dalam UUHTdikemukakan bahwa sebagai lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat Hak Tanggungan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :29 a. Droit de preferent; artinya memberikan kedudukan atau mendahului kepada pemegangnya, yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1). Maksud dari kedudukan diutamakan atau mendahului adalah bahwa jika cidera janji, kreditor Pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan hak mendahului daripada kreditor-kreditor yang lain. b. Droit de suite; artinya selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada, yang diatur dalam Pasal 7 UUHT. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas ; Sehinggadapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi; Bagidebitoryang cidera maka dapat dilakukan lelang obyek yang dijadikan jaminan yang disebut parate eksekusi, yang diatur dalam Pasal 224 HIR/ 258 RBg. Sifat dari Hak Tanggungan adalah accessoir dari perjanjian pokok, artinya bahwa perjanjian Hak Tanggungan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri. Perjanjian pokok bagi perjanjian Hak
29
Purwahid Patrik dan Kashadi, op.cit, hlm.62-64
32
Tanggungan adalah perjanjian utang piutang yang menimbulkan utang yang dapat dijamin. 3. Objek dan Subjek Hak Tanggungan Pada dasarnya obyek Hak Tanggungan adalah tanah sesuai dengan asas pemisahan horizontal yang berlaku dalam asas hukum tanah nasional maka dimungkinkan pemilik hak atas tanah berbeda dengan pemilik bangunan atau benda-benda lainnya yang berada diatas tanah. Untuk membebani Hak Jaminan atas tanah dengan objek Hak Tanggungan
harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:30
a. Dapat dinilai dengan uang; Maksudnya bahwa obyek Hak Tanggungan dapat dijual dan dilelang jika debitor wanprestasi. b. Menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dalam daftar umum; Dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan yang diberikan kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dibebani, sehingga orang dapat mengetahuinya (asas publisitas). c. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan; Sehingga dapat segera direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya. d. Perlu ditunjuk oleh undang-undang sebagai hak yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas dalam Pasal 4 UUHT telah menentukan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, meliputi : a. Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA; b. Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku dan wajib didaftar menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
30
Ibid, hlm. 19
33
Dalam perjanjian subjek Hak Tanggungan antara lain : a. Pemberi Hak Tanggungan Menurut Pasal 8 ayat (1) UUHT, adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan, pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarkan Hak Tanggungan, kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan harus ada pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. b. Penerima Hak Tanggungan Dalam Pasal 9 UUHT, pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, tanah tetap dalam penguasaan pemberi Hak Tanggungan. Dalam hal ini pemegang Hak Tanggungan dapat dilakukan oleh WNI, WNA, Badan Hukum Indonesia atau Badan Hukum Asing. 4. Proses Pembebanan Hak Tanggungan Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah Hak Tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Hak Tanggungan ini lahir melalui tata cara pembebanan yang meliputi proses kegiatan, yaitu: a. Tahap pemberian Hak Tanggungan dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang didahului dengan perjanjian Hutang Piutang yang dijamin. b. Tahap pendaftaran oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan.31 Tahap pemberian Hak Tanggungan, mengacu pada ketentuan 31
Ibid , hlm. 64
34
Pasal 10 UUHT yang menetapkan bahwa Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menyebabkan hutang tersebut. Pemberian Hak Tanggungan ini dilakukan dengan Akta Pemberian Hak Tanggunganoleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Menteri Agraria/Ketua BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Sebelum
melaksanakan
pembuatan
Akta
Pemberian
Hak
Tanggungan menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto Pasal 97 Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tahapannya adalah sebagai berikut : a. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan setempat tentang kesesuaian sertipikat hak atas tanah/hak milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan jaminan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan serta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wajib menolak pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan jika ternyata sertipikat yang diserahkan adalah palsu atau tidak sesuai lagi dengan data yang ada di Kantor Pertanahan; b. Selanjutnya Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dihadiri oleh pemberi dan penerima Hak Tanggungan dan dua orang saksi; c. Akta Pemberian Hak Tanggungandibuat rangkap dua semuanya asli, ditanda tangani oleh pemberi Hak tanggungan dan kreditor penerima Hak Tanggungan serta dua orang saksi dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT); d. Lembar pertama disimpan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), sedangkan lembar kedua dan satu lembar salinannya yang sudah diparaf oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diserahkan ke Kantor Pertanahan untuk pembuatan sertipikat Hak Tanggungan; 35
e. Penyampaian Akta Pemberian Hak Tanggungan dan warkah lain wajib dilakukan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah Akta Pemberian Hak Tanggungan ditanda tangani sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (2) UUHT, namun keterlambatan pengiriman berkas tersebut, misalnya Hak Tanggungan tersebut tidak dapat didaftarkarena tanah tersebut telah kedahuluan terkena sita jaminan. Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan memuat isi yang wajib dicantumkan dan isi yang sifatnya fakultatif (tidak wajib dicantumkan). Berdasarkan pasal 11 ayat (1)isi yang wajib dicantumkan meliputi : a. b. c. d. e.
Nama dan identitas pemegang dan pemberi Tanggungan; Domisili para pihak; Penunjukan secara jelas hutang; Nilai tanggungan; Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan.
Hak
Di samping isi wajib Akta Pemberian Hak Tanggungan, dimuat juga isi yang sifatnya fakultatif yaitu tidak harus dimuat dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Isi ini tidak mempengaruhi terhadap sahnya akta. Pihak-pihak bebas menentukan untuk menyebutkan atau tidak janjijanji ini dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Adapun isi yang sifatnya fakultatif dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, yang meliputi : a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; b. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau susunan obyek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan; c. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek hak Tanggungan. d. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan Hak Tanggungan. e. Janji bahwa Pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji.
36
f. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan. g. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. h. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum. i. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asurasi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan. j. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. k. Janji yang dimaksud dalam pasal 14 ayat (4).32 Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada pemegang Hak Tanggungan, Hak Tanggungan tersebut belum lahir, lahirnya Hak Tanggungan setelah didaftar, yaitu pada saat dibukukan dalam buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah Hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat Hak atas tanah yang bersangkutan. Mengenai tanggal buku tanah Hak Tanggungan adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran. 5. Berakhirnya Hak Tanggungan Dalam Pasal 18 ditentukan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan; b. Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan; c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri; d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. 32
Ibid, hlm. 71-73
37
Pembersihan Hak Tanggungan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19 Undang-Undang Hak Tanggungan pada dasarnya dalam rangka melindungi kepentingan pembeli obyek Hak Tanggungan, agar benda yang dibelinya terbebas dari Hak Tanggungan yang semula membebaninya, yaitu jika harga pembelian tidak mencukupi untuk melunasi benda yang dijamin. Apabila tidak dilakukan pembersihan, Hak Tanggungan yang bersangkutan akan tetap membebani obyek Hak Tanggungan yang dibelinya. Pembeli obyek Hak Tanggungan baik dalam satu pelelangan umum atas perintah Ketua Pengadilan Negeri maupun jual beli sukarela dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya dibebaskan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian. Atas dasar pernyataan pemegang Hak Tanggungan yang bersangkutan dilakukan pencatatan pembersihan oleh Kepala Kantor Pertanahan pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanahyang dijadikan jaminan Roya
Hak
Tanggungan
atau
pencatatan
hapusnya
Hak
Tanggungan diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Hak Tanggungan. Pencatatan hapusnya Hak Tanggungan tersebut dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan mencoret catatan adanya Hak Tanggungan yang bersangkutan pada buku tanah dan sertipikat objek yang dijadikan jaminan, dalam waktu tujuh hari kerja dihitung sejak diterimanya permohonan roya dari pihak yang berkepentingan. Pendaftaran hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan oleh hapusnya utang dilakukan berdasarkan : a. Pernyataan dari kreditor bahwa utang yang dijamin telah hapus atau dibayar lunas dituangkan dalam sebuah akta otentik/bawah tangan; b. Tanda bukti pembayaran pelunasan utang yang dikeluarkan oleh orang yang berwenang menerima pembayaran itu; c. Kutipan risalah lelang obyek Hak Tanggungan disertai pernyataan kreditor bahwa pihaknya melepaskan Hak Tanggungan untuk jumlah
38
yang melebihi hasil lelang yang dituangkan dalam sebuah pernyataan dibawah tangan. Sesuai dengan sifat accesoir Hak Tanggungan, adanya Hak Tanggungan
tergantung
pada
adanya
piutang
yang
dijaminkan
pelunasannya, piutang itu hapus karena pelunasan atau sebab lain, maka dengan sendirinya Hak Tanggungan dapat melepas Hak Tanggungan, yang mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan yang dilakukan dengan pernyataan tertulis kepada pemberi Hak Tanggungan. Setelah Hak Tanggungan hapus, maka dilakukan pencoretan oleh Kantor Pertanahan pada Buku Tanah Hak Atas Tanah dan Sertifikat Hak Atas Tanah.
D. Tinjauantentang Eksekusi 1. Pengertian Eksekusi Pengadilan merupakan suatu lembaga yang berfungsi sebagai salah satu wadah yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan diantara para pihak yang berperkara agar masing-masing hak asasinya dapat terlindungi. Biasannya tujuan para pihak yang berperkara menyerahkan perkaranya ke pengadilan agar perkara tersebut dapat terselesaikan dengan baik dan tuntas, akan tetapi suatu putusan yang telah ditetapkan haruslah dijalankan supaya perkara itu bisa terselesaikan dengan baik dan tuntas. Pada prinsipnya, pelaksanaan putusan pengadilan atau yang lazimnya disebut eksekusi ini hanya dapat dilaksanakan apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Selain itu eksekusi juga hanya dapat dijalankan terhadap putusan yang bersifat condemnatoir. Meskipun ada suatu perlawanan pelaksanaan eksekusi tetap dapat dijalankan, kerena dengan adanya suatu perlawanan tidak menghambat jalannya pelaksanaan eksekusi. Eksekusi dalam bahas Belanda disebut executie atau uitvoering, dalam kamus hukum diartikan sebagai pelaksanaan putusan pengadilan.
39
Menurut R. Subekti, Eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi putusan.Lebih lanjut dikemukakannya bahwa Pengertian eksekusi atau pelaksanaan putusan, mengandung arti bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, sehingga putusan itu harus dipaksakan padanya dengan bantuan kekuatan hukum. Dengan kekuatan hukum ini dimaksudkan pada polisi, kalau perlu polisi militer (AngkatanBersenjata).33 Pendapat yang sama dikemukakan oleh Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata yang menyatakan, bahwa eksekusi adalah tindakan paksa oleh Pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan dengansukarela.34 Sejalan dengan kedua pendapat tersebut diatas, dapat dilihat pendapat dari Sudikno Mertokusumo yang menyatakan pelaksanaan putusan/eksekusi ialah realisasi dari kewajiban pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan tersebut.35 Masih sejalan dengan pendapat tersebut adalahpendapat M.Yahya Harahap yang menyatakan bahwa : “ Eksekusi adalah sebagai tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tiada lain daripada tindakan yang berkesinambungan dari seluruh proses hukum acara perdata. Eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan tata tertib beracara yang terkandung dalam HIR/RBg.36 Sedangkan hukum eksekusi menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofyan adalah Hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hak-hak kreditur dalam perutangan yang tertuju terhadap harta kekayaan debitor, manakala perutangan itu tidak 33
R Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 2009,hlm. 128 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalamTeori dan Praktek,Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm. 10 35 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,Liberty Yogyakarta,1998,hlm. 206 36 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi BidangPerdata,Gramedia, Jakarta,2005,hlm.1 34
40
dipenuhi secara sukarela oleh debitor.37 Hukum eksekusi ini sebenarnya tidak diperlukan apabila pihak yang dikalahkan dengan sukarela mentaati bunyi putusan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak semua pihak mentaati bunyi putusan dengan sepenuhnya. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan bilamana putusan tidak ditaati dan bagaimana cara pelaksanaannya.38 Bila melihat pengertian eksekusi yang dikemukakan oleh para sarjana tersebut diatas, tampak bahwa pengertian eksekusi terbatas pada eksekusi oleh Pengadilan (Putusan Hakim), padahal juga dapat dieksekusi menurut hukum acara yang berlaku HIR dan RBgyang juga dapat dieksekusi adalah salinan/grosse Akta yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang berisi kewajiban untuk membayar sejumlah uang. Lebih lanjut dapat dilihat pandapat Bachtiar Sibarani, yang menyatakan bahwa eksekusi adalah pelaksanaan secara paksa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap / pelaksanaan secara paksa dokumen perjanjian yangdipersamakan dengan putusan Pengadilan yang berkekuatanhukum tetap.39
2. Jenis-jenis Eksekusi Seperti telah dijelaskan, salah satu asas eksekusi adalahhanya dapat dijalankan terhadap putusan pengadilan yangmemiliki kekuatan hukum tetap yang bersifat condemnatoir, yakni dalam amar putusan terdapat pernyataan ”penghukuman”terhadap tergugat untuk melakukan salah satu perbuatan yaitu: a. Menyerahkan sesuatu barang atau eksekusi riil dalam bentuk penjualan lelang (Pasal 200 ayat (1) HIR /pasal218 ayat (2) RBg); b. Mengosongkan sebidang tanah atau rumah, yang disebut dengan eksekusi riil (Pasal 1033 Rv); 37
Sri Soedewi, Hukum Jaminan di Indonesia. Pokok-pokok Hukum Jaminan danJaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 2000,hlm. 1 38 Ateng Affandi dan Wahyu Affandi, Tentang melaksanakan Putusan Hakim Perdata, Alumni, Bandung, 2003,hlm. 32 39 Bachtiar Sibarani, “Parate Eksekusi dan Paksa Badan”, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 15,September 2001, hlm. 6
41
c. Melakukan suatu perbuatan tertentu atau menghentikansuatu perbuatan atau keadaan (Pasal 225 HIR/pasal 259 RBg); d. Membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR/pasal 208 RBg). Jika ditinjau dari sasaran yang hendak dicapai oleh hubungan hukum yang
tercantum
berdasarkan
amar
putusanpengadilan
yang
bersifat
condemnatoir, seperti tersebut di atas, maka jenis eksekusi dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentukyaitu: 1) Melaksanakan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR/ pasal 259 RBg); 2) Eksekusi Riil (Pasal 1033 Rv); 3) Eksekusi membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR/Pasal208Rbg).40 Berikut penjelasan masing-masing : 1) Eksekusi Untuk Melakukan Suatu Perbuatan Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan diatur dalam pasal 225 HIR, yang menyatakan yang intinya jika seseorang dihukum akan melakukan suatu perbuatan, dan ternyataia tidak melakukannya, maka pihak yang dimenangkan, memiliki wewenang untuk meminta pertolongan pada Ketua Pengadilan agar kepentingannya didapatkan. 2) Eksekusi Riil Eksekusi riil yaitu melakukan suatu “tindakan nyata/riil ”seperti menyerahkan sesuatu barang, mengosongkan sebidang tanah atau rumah, melakukan suatu perbuatan tertentu, dan menghentikan suatu perbuatan atau keadaan. Misalnya meyerahkan barang, pengosongan sebidang tanah atau rumah, pembongkaran, menghentikan suatu perbuatan tertentu, dan lain-lain. Eksekusi riil ini dapat dilakukan langsung dengan perbuatan nyata, sesuai dengan amar putusan tanpa memerlukan lelang. Sumber hubungan hukum yang disengketakan dalam eksekusi riil, pada umumnya ialah upaya hukum yang mengikuti persengketaan hak milik atau persengketaan hubungan hukum yang didasarkan atas perjanjian jual beli, sewa menyewa, atau perjanjian melaksanakan suatu perbuatan. 40
Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm. 181
42
Proses beracara pada eksekusi riil, Ketua Pengadilan Negeri cukup mengeluarkan surat penetapan yang memerintahkan eksekusi atas permintaan pihak yang dimenangkan (penggugat). Dengan penetapan itu, Panitera atau Juru Sita pergi kelapangan melaksanakan penyerahan atau pembongkaran secaranyata. Dengan penyerahan atau pembongkaran, eksekusi sudah sempurna dan dianggap selesai. 3) Eksekusi Pembayaran Sejumlah Uang Yaitu eksekusi yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar sejumlah uang (pasal 196 HIR/pasal 208 RBg) ini kebalikannya dari eksekusi riil dimana eksekusi tidak dapat dilakukan langsung sesuai dengan amar putusan tanpa pelelangan terlebih dahulu. Dengan kata lain, eksekusi yang hanya dijalankan dengan pelelangan terlebih dahulu, hal ini disebabkan nilai yangakan dieksekusi itu bernilai uang. Sumber hubungan hukum yang disengketakan dalam eksekusi pembayaran sejumlah uang sangat terbatas sekali, yaitu semata-mata hanya didasarkan atas persengketaan perjanjian utangpiutang dan ganti rugi berdasarkan cidera janji/wanprestasi, dan hanya dapat diperluas berdasarkan pasal 225 HIR, dengan membayar nilai sejumlah uang apabila tergugat tidak mau menjalankan perbuatan yang dihukumkan dalam batasan jangka waktu tertentu. 3. Eksekusi Hak Tanggungan dan Ketentuan Pelaksananya Hal-hal mengenai eksekusi Hak Tanggungan, oleh undang-undang telah diatur dalam ketentuan Pasal 20 UUHT yang mengatur tentang eksekusi Hak Tanggungan, yang ditentukanbahwa: (1) “Apabila debitor cidera janji maka berdasarkan: a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lainnya.
43
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. (3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis pada pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan. (4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan ayat (1),(2) dan (3) batal demi hukum. (5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.” Jenis eksekusi yang dimaksudkan dalam Pasal 20 UUHT sesuai dengan dasar filosofis perjanjian jaminan yang tujuannya adalah bagaimana caranya supaya debitor bersedia memenuhi kewajibannya, maka kreditor menahan sesuatu yang berharga bagi debitor, sehingga apabila debitor ingin memiliki kembali dan menguasai secara penuh sesuatu yang berharga tersebut, debitor harus terlebih dahulu memenuhi kewajibannya. Apabila debitor tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dalam waktu yang diperjanjikan, hal tersebut sebagai titik tolak bahwa debitor dikatakan melakukan perbuatan cidera janji.41 Adapun mengenai pilihan eksekusi obyek Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 20 UUHT yang pada dasarnya memuat 3 (tiga)jenis eksekusi, yaitu : (1) eksekusi melalui penjualan di bawah tangan; (2) eksekusi atas kekuasaan sendiri (parate executie); (3) eksekusiberdasarkan titel eksekutorial.
41
Herowati Poesoko, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2007, hlm.308
44
a. Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan Eksekusi obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan merupakan cara yang paling mudah dan dapat diperjanjikan bersama oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Tujuan utama penjualan obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangan ini adalah untuk mencari harga tertinggi, sehingga tidak merugikan debitor atau pemilik barang jaminan. Seringkali terjadi jika penjualan obyek hak jaminan (termasuk Hak Tanggungan) dilakukan melaui pelelangan umum maka harga jualnya jauh dibawah harga pasar.Agar debitor selaku pemilik benda tidak bergerak tidak dirugikan oleh praktek penjualan obyek jaminan dengan harga murah maka
undang-undang
memberikan
peluang
kepada
debitoruntuk
menawarkan dan mencari pembeli sendiri sebelum bendajaminan dijual melalui lelang.Eksekusi obyek Hak Tanggungan secara di bawah tangandapat dilakukan jika sebelumnya telah disepakati bersama oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan. Pelaksanaan penjualan di bawah tangan dapat dilakukan setelah lewat satu bulan sejak diberitahukan oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat serta tidak ada pihak yang keberatan. Mengenai eksekusi penjualan di bawah tangan di dalam Pasal 20 UUHT tidak dijelaskan siapa yang melakukan penjualan, debitor sendiri atau kreditor. Biasanya ketentuan mengenai penjualan di bawah tangan ini ditujukan kepada kreditor, artinya yang melakukan penjualan dalam arti menentukan harganya adalah kreditor. Untuk melakukan tindakan tersebut kreditor mutlak harus membuat kesepakatan dengan debitor. Apabila dilihat ketentuan Pasal 20 ayat (3) UUHT nampak bahwa kesepakatan untuk menjual di bawah tangan yang dibuat oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan adalah pada saat hutang dapat ditagih (opeisbare). Hal itu terlihat dari adanya ketentuan yang menyatakan bahwa penjualan baru dapat dilakukan dalam waktu paling sedikit satu bulan setelah
45
diberitahukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Disamping itu dari ketentuan mengenai keharusan diumumkan dalam media cetak atau media lain sebelum pelaksanaan penjualan juga dapat ditafsirkan bahwa penjualan dibawah tangan yang dimulai dari pencapaian kesepakatan danpengumuman penjualan baru dapat dilakukan jika hutang dapat ditagih. Sedangkan jika debitor tidak dapat ditemui, sengaja menghindar atau menghilang sejak terjadinya kredit macet, maka penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan tidak mungkindapat dilakukan. Karena salah satu syarat dilakukan penjualan dibawah tangan tersebut harus ada persetujuan atau kesepakatanantara
pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan. Apabila debitor berada dalam keadaan tidak hadir maka kreditor dapatmenggunakan fasilitas parate eksekusi yang diatur dalam Pasal 6UUHT jika dia merupakan kreditor pertama. Berdasarkan hak atas parate eksekusitersebut kreditor berhak meminta dilakukan penjualan lelang atas obyek Hak Tanggungan kepada Kantor Pelayanan Kekayaaan Negara dan Lelang di tempat wilayah letak tanah yang akan dilelang tanpa terlebih dahulu meminta fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri. b. Eksekusi atas kekuasaan sendiri (parate executie) Dalam Penjelasan Umum angka 9 UUHT disebutkan bahwa salah satu ciri khas Hak Tanggungan adalah mudah danpasti eksekusinya jika debitor cidera janji. Lebih lanjut Penjelasan Umum tersebut menyatakan bahwa eksekusi Hak Tanggungan dilakukan berdasarkan lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg. Penjelasan Pasal14 ayat (2) dan ayat (3) juga menyatakan bahwa irah-irah yang terdapat pada sertifikat Hak menegaskan
adanya
kekuatan
Tanggungan dimaksudkan untuk
eksekutorial
pada
sertifikat
Hak
Tanggungan, sehingga jika debitor cidera janji maka sertifikat Hak Tanggungan dieksekusi seperti halnya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dandengan menggunakan lembaga parate executie sesuai hukum acara perdata yang berlaku.
46
Pada Hak Tanggungan, menurut Pasal 11 ayat (2) huruf eUUHT juga ditegaskan bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji-janji, antara lain janji pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri jika debitor cidera janji. Sebagai suatu hak yang diperjanjikan, maka keberadaanya baruada jika secara tegas disepakati bersama oleh debitor dan kreditor dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Suatu janji baru ada dan mengikat jika telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak yang memperjanjikan. Apabila Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut sudah didaftarkan ke Kantor Pertanahan, maka secara otomatis janji-janji yang tercantum didalamnya (termasuk janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri) ikut didaftar sehingga mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak dan pihak ketiga. Sehingga bila debitor wanprestasi maka penjualannya harus dilakukan melalui pelelangan umum. Ketentuan harus dijual di muka umum itu dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada debitor dari kenakalan kreditor,yakni guna menghindari terjadinya penjualan jaminan yang merugikan debitor. Dengan demikian jika debitor benar-benar wanprestasi maka pemegang Hak Tanggungan pertama dapat melaksanakan janji tersebut dengan menjual lelang obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri (parate executie). Pelaksanaan parateexecutie tidak mendasarkan pada Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBgseperti
yang
disebutkan
oleh
Penjelasan
Umum
angka
9
danPenjelasan Pasal 14 dan 26 UUHT. Jadi parate executie itu dilaksanakan tanpa fiat eksekusi atau penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan hak yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditor pertama sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UUHT. Sedang eksekusi menurut Pasal 224 HIR /Pasal 258 RBg bukanlah parate executie, karena eksekusi berdasarkan pasal tersebut harus meminta fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi menurut Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg ditujukan pada grosse akta hipotik dan surat hutang yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Jadi eksekusi berdasarkan kedua
47
pasal tersebutharus meminta fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan atau dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri, sedangkan parateexecutie dilakukan sendiri oleh kreditor tanpa meminta fiat eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri. c. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial Jika
debitor
wanprestasi
bank
langsung
meminta
kepada
Pengadilan Negeri agar dilaksanakan eksekusi berdasarkan sertifikat Hak Tanggungan yang mempunyai titel eksekutorial. Eksekusi demikian didasarkan pada Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg yang mengatur eksekusi terhadap dokumen selain putusan pengadilan yang mempunyai titel eksekutorial. Eksekusi berdasarkan Pasal 224 HIR/Pasal 258 RBg dilakukan oleh kreditor dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar sertifikat Hak Tanggungan dieksekusi. Permohonan eksekusi diajukan oleh kreditor dengan menyerahkan sertifikat Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar diterbitkan fiat atau surat perintah sehingga eksekusi dapat dijalankan secara paksa, bahkan dengan bantuan aparat keamanan sekalipun. Fiat eksekusi merupakan eksekusi yang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaaan Negara dan Lelang setelah mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, meski pengadilan tidak melakukan pemeriksaan seperti dalam perkara perdata biasa, dan terhadappermohonan fiat eksekusi ini pihak Pengadilan Negeri cukup melakukan pemeriksaan terhadap syarat-syarat formal yang telah ditentukan. Berdasarkan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan Negeri tersebut yang biasanya disusuli dengan terbitnya surat perintah penjualan lelang, maka Kantor Pelayanan Kekayaaan Negara dan Lelang melakukan penjualan atas obyek Hak Tanggungan di muka umum. Namun sebelum Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan fiat eksekusi biasanya didahului dengan pemberian peringatan (aanmaning) kepada debitor agar dalam jangka waktu tertentu dia memenuhi kewajibannya secara sukarela. Apabila aanmaning tidak ditanggapi, barulah Ketua Pengadilan Negeri menerbitkan surat perintah
48
penyitaan untuk selanjutnya diterbitkan perintah penjualan lelang kepada Kantor Pelayanan Kekayaaan Negara dan Lelang. Dalam hal ini yang bertindak selaku penjual lelang adalah Ketua Pengadilan Negeri untuk kepentingan kreditor, sehingga yang berhak menentukan syarat-syarat lelang adalah Ketua Pengadilan Negeri selaku pemohon lelang. Sebelum pelelangan dilaksanakan harus didahului pengumuman sebayak 2 (dua) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 15 hari melalui surat kabar. Sebelum saat pengumuman lelang dikeluarkan debitor masih diberi kesempatan untuk melunasi utang, biaya dan bunga (Pasal 20 ayat (5) UUHT dan Penjelasannya). Dalam praktek yang terjadi selama ini meski pelelangan sudah diumumkan, namun jika debitor mambayar utang beserta semua biaya dan bunga, maka pelelangan akan dihentikan. Setelah semua persyaratan permohonan lelang dipenuhi kemudian Kantor Pelayanan Kekayaaan Negara dan Lelang melakukan pelelangan atas obyek Hak Tanggungan secara umum dimana hasilnya digunakan untuk melunasi utang debitor dan sisanya (kalau ada) akan dikembalikan kepada debitor. Apabila hasil penjualan lelang tidak mencukupi untuk melunasi utang debitor, hal ini tidak berarti kewajiban debitor hapus begitu saja, utang debitor tetap merupakan kewajiban yang harus dibayar. Hanya saja pemenuhan utang tersebut tidak lagi dijamin dengan jaminan kebendaan yang bersifat khusus tetapi dengan jaminan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.
A. Teori Perlindungan Hukum Istilah teori perlindungan hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu legal protection theory, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan theorie van de wettelijke bescherming, dan dalam bahasa Jerman diebut dengan theorie der rechtliche schutz.42 Teori perlindungan hukum merupakan teori yang mengkaji tentang 42
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Tesis danDisertasi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm.259
49
wujud atau bentuk atau tujuan perlindungan, subjek hukum yang dilindungi serta objek perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada subjeknya.43 Unsur-unsur yang tercantum dalam defenisi teori perlidungan hukum meliputi : 1. Adanya wujud atau bentuk perlindungan atau tujuan perlindungan; 2. Subjek hukum; dan 3. Objek perlindungan hukum.44 Penulis menggunakan teori perlindungan hukum dari Phillipus M. Hadjon yang menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi rakyat berupa : 1. Tindakan pemerintah yang bersifat preventif; 2.Tindakan pemerintah yang bersifat represif.45 Bersifat preventif artinya pemerintah lebih bersikap hati-hati dalam pengambilan dan pembuatan keputusan karena masih dalam bentuk tindakan pencegahan.Sedangkan repesif artinya pemerintah harus lebih bersikap tegas dalam pengambilan dan pembuatan keputusan atas pelanggaran yang terjadi. Perlindungan hukum preventif memiliki ketentuan-ketentuan dan ciri tersendiri dalam penerapannya. Perlindungan hukum ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang berisi rambu-rambu dan batasan-batasan dalam melakukan sesuatu. Perlindungan ini diberikan oleh pemerintah untuk mencegah suatu pelanggaran atau sengketa sebelum hal tersebut terjadi. Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah merupakan perlindungan hukum preventif, karena dalam peraturan perundangundangan ini berisi rambu-rambu, batasan, hak dan kewajiban kreditor, debitor dan pembeli obyek Hak
Tanggungan. UUHT memberikan
perlindungan bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan, mempunyai hak preferen dan kedudukan utama terhadap kreditor lain dan mengikat debitor untuk melaksanakan kewajibannya dan / atau prestasi.
43
Ibid, hlm. 263 Loc.cit 45 Phillipus M. Hadjon, loc. cit 44
50
B. Teori Efektivitas Hukum Peraturan perundang-undangan, baik yang tingkatannya lebih rendah maupun yang lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparat penegak hukum dapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa membedakan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Semua orang dipandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Namun dalam realitasnya peraturan perundang-undangan yang ditetapkan tersebut sering dilanggar, sehingga aturan itu tidak berlaku efektif. Tidak efektifnya undangundang bisa disebabkan karena undang-undangnya kabur atau tidak jelas, aparatnya yang tidak konsisten dan atau masyarakatnya tidak mendukung pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Apabila undang-undang itu dilaksanakan dengan baik, maka undang-undang itu dikatakan efektif. Dikatakan efektif karena bunyi undang-undangnya jelas dan tidak perlu adanya penafsirsn, aparatnya menegakkan hukum secara konsisten dan masyarakat yang terkena aturan tersebut sangat mendukungnya. Teori efektivitas hukum mengkaji tentang hal tersebut diatas. Istilah teori efektivitas hukum berasal dari terjemahan bahasa Inggris yaitu effectiveness of the legal theory, bahasa Belanda disebut dengan effectiviteit van de juridische theorie,bahasa Jermannya, yaitu wirksamkeit der rechtlichen theorie.46 Mengenai eksekusi Hak Tanggungan, penulis menggunakan teori efektivitas hukum.Tentang teori efektivitas hukum, C.G. Howard dan R.S. Mummers dalam bukunya Law : It’s Nature and Limitmengemukakan delapan syarat agar hukum dapat berlaku secara efektif, disajikan berikut ini : 1. Undang – undang harus diancang dengan baik, kaidah – kaidah yang mematoki harus dirumuskan dengan jelas dan dapat dipahami dengan penuh kepastian.Tanpa patokan – patokan yang jelas seperti itu, orang sulit untuk mengetahui apa yang sesungguhnya diharuskan, sehingga undang – undang tidak akan efektif; 2. Undang – undang itu dimana mungkin, seyogianya bersifat melarang, dan bukannya bersifat mengharuskan.dapat dikatakan
46
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, op.cit, hlm. 301
51
3.
4.
5.
6.
7.
8.
bahwa hukum prohibitur itu pada umumnya lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum mandatur; Sanksi yang diancamkan dalam undang – undang itu haruslah berpadan dengan sifat undang – undang yang dilanggar.Suatu sanksi yang mungkin tepat untuk suatu tujuan tertentu, mungkin saja akan dianggap tidak tepat untuk tujuan lain; Berat sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidaklah boleh terlalu berat.Sanksi yang terlalu berat dan tak sebanding dengan macam pelanggarannya akan menimbulan keengganan dalam hati para penegak hukum (khususnya para juri) untuk menerapkan sanksi itu secara konsekuen terhadap orang–orang golongan tertentu; Kemungkinan untuk mengamati dan menyidik perbuatan– perbuatan yang dikaidahi dalam undang – undang harus ada. Hukum yang dibuat untuk melarang perbuatan–perbuatan yang sulit dideteksi, tentulah tidak mungkin efektif. Itulah sebabnya hukum berkehendak mengontrol kepercayaan–kepercayaan atau keyakinan–keyakinan orang yang tidak mungkin akan efektif; Hukum yang mengandung larangan – larangan moral akan jauh lebih efektif ketimbang hukum yang tak selaras dengan kaidah – kidah moral, atau yang netral.Sering kita menjumpai hukum yang demikian efektifnya, sehinga seolah – olah kehadirannya tak diperlukan lagi, karena perbuatan – perbuatan yang tak dikendaki itu juga sudah dicegah oleh daya kekuatan moral dan norma sosial.Akan tetapi, ada juga hukum yang mencoba melarang perbuatan–perbuatan tertentu sekalipun kaidah–kaidah moral tak berbicara apa – apa tentang perbuatan itu, misalnya larangan menunggak pajak. Hukum seperti itu jelas kalah efektif jika dibandingkan dengan hukum yang mengandung paham dan pandangan moral di dalamnya; Agar hukum itu bisa berlaku secara efektif, mereka yang bekerja sebagai pelaksana–pelaksana hukum harus menunaikan tugas dengan baik.Mereka harus mengumumkan undang–undang secara luas.Mereka harus menafsirkan secara seragam dan konsisten, serta sedapat mungkin senapas atau senada dengan bunyi penafsiran yang mungkin juga dicoba dilakukan oleh warga masyarakat yang terkena. Aparat– aparat penegak hukum harus juga bekerja keras tanpa mengenal jemu untuk menyidik dan menuntut pelanggar – pelanggar; Akhirnya,agar suatu undang – undang dapat efektif, suatu standar hidup sosio–ekonomi yang minimal harus ada di dalam masyarakat. Pula di dalam masyarakat ini, ketertiban umum sedikit atau banyak harus mudah terjaga.47
47
Marcus Priyo Gunarto,”Kriminalisasi dan Penalisasi dalam Rangka Fungsionalisai Perda Pajak dan Retribusi”,Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2008, hlm. 69 - 70
52
Dari delapan syarat itu, maka dapat dipilah menjadi tiga syarat supaya aturan hukum dikatakan efektif.Ketiga syarat itu meliputi : 1. Undang – undangnya ; 2. Adanya pelaksana hukum; dan 3. Kondisi sosio – ekonomi masyarakat. Apabila dikaitkan dengan eksekusi Hak Tanggungan, Undang – undang yang dibuat dan ditetapkan harus : 1. Dirancang dengan baik Dalam hal ini Undang – Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah sebagai perwujudan dari ketentuan pasal 51 Undang– Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria . 2. Substansinya, meliputi : a.Bersifat melarang; b.Mengandung sanksinya.sanksinya tidak terlalu berat; c.Mengandung moralitas Dalam hal ini Bab V pasal 20 UUHT menyebutkan sebagai berikut: (1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan : a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ; atau b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang – undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor – kreditor lainnya; (2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Pelaksana hukum adalah aparat yang melaksanakan hukum itu sendiri,jika dikaitkan dengan eksekusi Hak Tanggungan maka :
53
1. Pemegang obyek Hak Tanggungan menjual obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, hal ini disebut parate executie yang dilaksanakan melalui lelang di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)dengan Undang-Undang Lelang (Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 terakhir dirubah dengan Staatsblad 1941:3) dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.106/ PMK.06 /2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.93/ PMK.06/ 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. 2. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) dalam hal ini melalui Pengadilan Negeri. Pelaksana hukum harus melaksanakan tugasnya dengan baik. Efektifitas hukum harus dilihat pada kondisi sosio ekonomi masyarakat.Semakin baik ekonomi masyarakat, maka makin efektif undang–undang
tersebut,
hal
ini
dikarenakan
masyarakat
yang
bersangkutan tidak ada yang melakukan pelanggaran hukum.Semakin rendah ekonomi masyarakat,maka semakin banyak terjadi pelanggaran hukum.Apabila dikaitkan eksekusi Hak Tanggungan, sosio ekonomi masyarakat semakin baik dalam hal ini diantaranya berkurangnya non performing loan atau kredit macet, maka eksekusi Hak Tanggungan dapat diminimalisir atau tidak perlu dilakukan.
C. Penelitian yang Relevan Penelitian mengenai eksekusi Hak Tanggungan telah dilakukan oleh penelitian terdahulu yang antara lain : 1.
Penelitian Siti Nurfarhah Tane dengan judul“ Pelaksanaan Parate Eksekusi Hak Tanggungan menurut Undang – Undang No.4 Tahun 1996 di kota Semarang” (Tesis Program Magister Kenotariatan Univesitas Diponegoro Semarang Tahun 2003 ). Penelitian ini membahas pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan yang dipilih antara bank
54
pemerintah dengan bank swasta.Penelitian diatas mempunyai kesamaan dengan penelitian yang dilakukan penulis dalam hal ini eksekusi Hak tanggungan tetapi dalam penelitian diatas berupa pilihan eksekusi Hak Tanggungan antara bank pemerintah dengan bank swasta sedang penulis memfokuskan pada perbandingan eksekusi Hak Tanggungan
melalui
Pengadilan Negeri dengan parate eksekusi melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). 2.
Penelitian Basiran dengan judul “Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan melalui Pasal 6 Undang – Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah berikut Benda – Benda yang berkaitan dengan Tanah di PT.Bank UOB Buana cabang Green Garden Jakarta Barat” ( Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2009 ).Penelitian ini membahas pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan melalui pasal 6 UUHT.Penelitian
diatas mempunyai
kesamaan dengan penelitian yang dilakukan penulis dalam hal ini eksekusi Hak Tanggungan tetapi dalam penelitian diatas berupa pelaksanaan
eksekusi
melalui
pasal
6
UUHT
sedang
penulis
memfokuskan pada perbandingan eksekusi Hak Tanggungan
melalui
Pengadilan Negeri dengan parate eksekusi melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara 3.
Penelitian Edy Purwanto dengan judul “Penyelesaian Kredit Bermasalah melalui Parate Eksekusi dengan Cara Penjualan di Bawah Tangan atas Obyek Hak Tanggungan di PT.Bank Niaga, Tbk semarang”.( Tesis Program Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang Tahun 2008). Penelitian ini membahas mengenai penjualan obyek Hak Tanggungan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan dengan melaksanakan penjualan di bawah tangan melalui pasal 20 ayat (2) UUHT.Penelitian diatas mempunyai kesamaan dengan penelitian penulis yaitu eksekusi Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji ada tiga pilihan yaitu parate eksekusi,titel eksekutorial,penjualan bawah tangan sedang penulis memfokuskan padaperbandingan eksekusi Hak
55
Tanggungan melalui Pengadilan Negeri dengan parate eksekusi melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
D. Kerangka Berpikir Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan pada awalnya dimulai dari adanya perjanjian kredit antara kreditor (dalam hal ini adalah bank) dan debitor (nasabah). Sebelum pelaksanaan perjanjian kredit debitor harus menyerahkan jaminan. Jaminan disini bisa berupa jaminan barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Adapun jaminan ini akan memberikan perlindungan terhadap kreditor sehubungan dengan dana yang akan dipinjamkan kepada debitor (kredit). Setelah jaminan tersebut memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh kreditor dan tidak dalam sengketa maupun bertentangan dengan peraturan yang ada maka pelaksanaan perjanjian kredit bisa dimulai sampai jangka waktu yang sudah ditentukan. Dalam perjalanan debitor bisa mengalami suatu keadaan, yang pertama, bisa memenuhi prestasi sampai dengan jangka waktu kredit selesai dan yang kedua, sekaligus menjadi suatu permasalahan dalam penulisan tesis ini adalah manakala debitor wanprestasi atau tidak memenuhi prestasi, maka disinilah akan timbul yang disebut kredit bermasalah. Kreditor dalam menyelesaikan kredit bermasalah senantiasa mengacu kepada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah bila mana jaminan tersebut berupa jaminan tidak bergerak (yang menjadi titik berat penulis dalam penulisan tesis ini). Adapun permasalahan tersebut salah satunya bisa menjual jaminan melalui atau secara lelang. Adapun eksekusi obyek Hak Tanggungan bisa melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) maupun Pengadilan Negeri. Di sinilah penulis akan meneliti lebih lanjut tentang perbandingan eksekusi Hak Tanggungan melalui Pengadilan Negeri dengan parate eksekusi melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL)mengenai prosedur dan pelaksanaannya sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya. Selanjutnya digambarkan dengan
56
bagan berikut ini : Debitur
Perjanjian Kredit
Teori Perlindungan hukum
Jaminan
Kreditur
Pelaksanaan Kredit
Wanprestasi (Pada saat jatuh tempo prestasi tidak terpenuhi/tidak lunas)
Memenuhi Prestasi (Pada saat jatuh tempo prestasi terpenuhi/lunas)
Kredit Bermasalah
Teori efektifitas hukum
Eksekusi Obyek Hak Tanggungan
Pengadilan Negeri
Gambar 1 Kerangka Berpikir
57
KPKNL