BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Rerangka Teori dan Literatur II.1.1 Pengertian Pajak Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung secara terus menerus
dan
berkesinambungan
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan rakyat baik materil maupun spiritual. Untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut, sumber dana yang digunakan untuk pembiayaan bangunan dapat berupa pajak. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) nomor 28 tahun 2007 pasal 1 bagian 1, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan menurut Prof. Dr. P.J.A.Adriani yang dikutip oleh Waluyo (2011:2) dalam buku Perpajakan Indonesia, pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan. Dan menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH. (2011:.3), pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan 7
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak, adalah sebagai berikut: 1. Pajak merupakan iuran dari rakyat kepada negara. 2. Pembayaran pajak bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang. 3. Tidak ada kontraprestasi atau imbalan secara langsung oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk keperluan negara demi kemakmuran rakyat.
II.1.2 Jenis-Jenis Pajak Pajak di Indonesia dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelolah oleh pemerintah pusat dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP)- Kementrian Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelolah oleh pemerintah daerah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Berikut adalah berbagai jenis pajak pusat,yaitu: 1. Pajak Penghasilan (PPh) PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan
8
dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya. 2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean. Yang dimaksud dengan Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya. Orang pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang BKP atau JKP dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah BKP atau JKP, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. 3.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan BKP yang tergolong mewah adalah: a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau c. Pada
umumnya
barang
tersebut
dikonsumsi
oleh
masyarakat
berpenghasilan tinggi; atau d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
9
4.
Bea Meterai Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Mulai 1 Januari 2010 PBB perdesaan dan perkotaan menjadi Pajak Daerah sepanjang peraturan daerah tentang PBB yang terkait dengan perdesaan dan perkotaan telah diterbitkan. Apabila dalam jangka waktu dari 1 Januari 2010 sampai paling lambat 31 Desember 2013 peraturan daerah belum diterbitkan, maka PBB perdesaan dan perkotaan tersebut masih tetap dipungut oleh pemerintah pusat. Mulai 1 Januari 2014, PBB perdesaan dan perkotaan merupakan Pajak Daerah. Untuk daerah perkebunan,perhutanan, pertambangan, masih tetap merupakan Pajak Pusat. Dan berikut adalah berbagai jenis pajak daerah, yaitu: 1. Pajak Propinsi a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor; 10
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. 2. Pajak Kabupaten/Kota a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; g. Pajak Parkir. h. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
II.1.3 Subjek PPh Yang menjadi subjek pajak dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 2 ayat (1) adalah sebagai berikut: 1. a. Orang pribadi; b. Warisan yang belum tebagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak; 2. Badan; 3. Bentuk Usaha Tetap yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Subjek pajak tersebut terbagi lagi menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Berikut adalah subjek pajak dalam negeri:
11
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia; 2. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria: a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; c. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; 3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Sedangkan subjek pajak luar negeri adalah: 1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia; 2. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan 12
dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: 1. Tempat kedudukan manajemen; 2. Cabang perusahaan; 3. Kantor perwakilan; 4. Gedung kantor; 5. Pabrik; 6. Bengkel; 7. Gudang; 8. Ruang untuk promosi dan penjualan; 9. Pertambangan dan penggalian sumber alam; 10. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi; 11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,atau kehutanan; 12. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; 13. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; 13
14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; 15. Agen atau pegawai dari perusahan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia; dan 16. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
II.1.4 Objek dan Bukan Objek PPh Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (1), objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008; 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; 3. Laba usaha; 4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
14
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihakpihak yang bersangkutan; dan e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; 6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
15
7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak; 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; 11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; 12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing; 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 14. Premi asuransi; 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; 16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; 17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah; 18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan 19. Surplus Bank Indonesia. Sedangkan dalam pasal 4 ayat (3), yang dikecualikan dari objek pajak adalah: 1. a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang 16
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; 2. Warisan; 3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 2 ayat (1) huruf (b) sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit); 5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
17
6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor; 7.
Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 10. Dihapus; 11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 18
a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; 12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 14. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
II.1.5 Biaya yang Dapat dan yang Tidak Dapat Dikurangkan Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat (1) dan pasal 9 ayat (1), ada biaya yang dapat dikurangkan dan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk: 19
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain: a. Biaya pembelian bahan; b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; c. Bunga, sewa, dan royalti; d. Biaya perjalanan; e. Biaya pengolahan limbah; f. Premi asuransi; g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; h. Biaya administrasi; dan i. Pajak kecuali Pajak Penghasilan; 2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun; 3.
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; 5. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
20
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia; 7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan; 8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; b. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; d. Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan
bencana nasional
yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; 10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; 11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
21
12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah; dan 13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain biaya-biaya yang telah disebutkan diatas terdapat juga biaya-biaya yang dapat dikurangkan dari peredaran bruto. Berikut adalah biaya-biaya yang juga dapat dikurangkan dari peredaran bruto beserta dasar hukumnya, yaitu: 1.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-09/PJ.42/2002 pasal 1, atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaanya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutasn aktiva tetap kelompok 1 (Lampiran I butir 1 huruf c), dan atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen).
2.
Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE-29/PJ.4/1995 bagian II: a. Sesuai
dengan
pasal
3
Keputusan
Menteri
Keuangan
nomor
633/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994, bahwa pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam rangka dan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, untuk keamanan dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan situasi lingkungan kerja, boleh dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi
22
kerja, dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai walaupun diberikan bukan di derah terpencil. b. Pengertian keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan ini berkaitan dengan keamanan atau keselamatan pekerjaan yang biasanya diwajibkan oleh Departemen Tenaga Kerja atau Pemerintah Daerah setempat misalnya pakaian dan peralatan bagi pegawai pemadam kebakaran, proyek, pakaian seragam pabrik, hansip/satpam, penyediaan makanan dan minuman serta penginapan untuk awak kapal/pesawat, serta antar jemput pegawai. c. Pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan situasi lingkungan kerja misalnya pakaian seragam pegawai hotel dan penyiar TV, makanan tambahan bagi operator komputer/pengetik, makan dan minum cuma-cuma bagi pegawai restoran. Berikut adalah biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam menentukan Penghasilan Kena Pajak berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 9 ayat (1): 1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota; 3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
23
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang; b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; c. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan; d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan; e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; 5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
24
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan; 7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (3) huruf (a) dan huruf (b), kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat (1) huruf (i) sampai dengan huruf (m) serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; 8. Pajak Penghasilan; 9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; 10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; 11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
25
II.1.6 PPh Final PPh final memiliki 3 karakteristik, yaitu: 1. Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain (yang tidak final) dalam penghitungan PPh pada saat SPT Tahunan. 2. Jumlah PPh final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan. 3. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan. Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (2), berikut adalah penghasilan yang dapat dikenai PPh final (objek PPh final): 1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; 2. Penghasilan berupa hadiah undian; 3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan pernyataan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; 4. Penghasilan dari transaksi pengalihan
harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan 5. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 26
Besarnya PPh yang terutang bagi wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan. Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya, dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. Penyewa yang bertindak sebagai pemotong adalah sebagai berikut: 1.
Badan pemerintah;
2.
Subjek pajak dalam negeri;
3.
Penyelenggara kegiatan;
4.
Bentuk Usaha Tetap;
5.
Kerjasama operasi;
6.
Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
7.
Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemotong, yaitu: a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan oekerjaan bebas; dan b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan dan telah terdaftar sebagai wajib pajak dalam negeri.
27
II.1.7 Penyusutan Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 11, penyusutan
dilakukan
atas
pengeluaran
untuk
pembelian,
pendirian,
penambahan, perbaikan, atau perubahan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2009:169) dalam buku Perpajakan, Penyusutan dimulai pada: 1.
Bulan dilakukannya pengeluaran;
2.
Untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan pengerjaan harta tersebut selesai;
3.
Dengan ijin dari Direktur Jenderal Pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan. Terdapat 2 metode dalam menghitung besarnya penyusutan, yaitu
metode garis lurus (straight line method) dan saldo menurun (double declining method). Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu metode untuk melakukan penyusutan. Metode garis lurus (straight line method) diperkenankan digunakan untuk untuk semua kelompok harta tetap berwujud. Sedangkan metode saldo menurun (double declining method) hanya diperkenankan digunakan untuk kelompok harta berwujud bukan bangunan saja.
28
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan Garis Lurus
Saldo menurun
4 tahun
25%
50%
8 tahun
12,5%
25%
16 tahun
6,25%
12,5%
20 tahun
5%
10%
20 tahun
5%
-
10 tahun
10%
-
a. Bukan bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4
b. Bangunan Permanen Tidak permanen
Tabel 2.1 Penyusutan atas Harta Berwujud Sumber data: Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 11
Berdasarkan
Lampiran
I
Peraturan
Menteri
Keuangan
nomor
96/PMK.03/2009 tentang Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan, berikut adalah pengelompokan jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan, yaitu: 1. No. 1.
Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan kelompok 1 Jenis Usaha Semua jenis usaha
Jenis Harta a.
Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan;
b.
Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung, duplikator,
mesin
fotokopi,
mesin
akunting/pembukuan, komputer, printer, scanner dan sejenisnya; c.
Perlengkapan tape/cassette,
lainnya video
seperti
recorder,
amplifier, televisi
dan
sejenisnya; d.
Sepeda motor, sepeda dan becak;
29
e.
Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa yang bersangkutan;
f.
Dies, jigs, dan mould;
g.
Alat-alat komunikasi seperti pesawat telepon, faksimile, telepon seluler dan sejenisnya.
2.
Pertanian,
perkebunan,
kehutanan, perikanan 3.
Industri
makanan
Alat yang digerakkan bukan dengan mesin seperti cangkul, peternakan, perikanan, garu dan lain-lain.
dan
minuman
Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti, huller, pemecah kulit, penyosoh, pengering, pallet, dan sejenisnya.
4.
5.
Transportasi dan
Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai
Pergudangan
angkutan umum.
Industri semi konduktor
Falsh memory tester, writer machine, biporar test system, elimination (PE8-1), pose checker.
6.
7.
Jasa Persewaan Peralatan
Anchor, Anchor Chains, Polyester Rope, Steel Buoys,
Tambat Air Dalam
Steel Wire Ropes, Mooring Accessoris.
Jasa telekomunikasi selular
Base Station Controller
Tabel 2.2 Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam Kelompok 1 Sumber data: Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009
2.
No. 1.
Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan kelompok 2
Jenis Usaha Semua jenis usaha
Jenis Harta a.
Mebel dan peralatan dari logam termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan merupakan bagian dari bangunan. Alat pengatur udara seperti AC, kipas angin dan sejenisnya;
b.
Mobil, bus, truk, speed boat dan sejenisnya;
c.
Container dan sejenisnya.
30
2.
Pertanian,
perkebunan,
a.
kehutanan, perikanan
Mesin pertanian/perkebunan seperti traktor dan mesin bajak, penggaruk, penanaman, penebar benih dan sejenisnya;
b.
Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau
memproduksi
bahan
atau
barang
pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan. 3.
Industri
makanan
dan
a.
minuman
Mesin yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan, misalnya pabrik susu, pengalengan ikan;
b.
Mesin misalnya
yang mesin
mengolah minyak
produk
kelapa,
nabati,
margarin,
penggilingan kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian seperti penggilingan beras, gandum, tapikca; c.
Mesin
yang
menghasilkan/memproduksi
minuman dan bahan-bahan minuman segala jenis; d.
Mesin
yang
menghasilkan/memproduksi
bahan-bahan makanan dan makanan segala jenis. 4.
Industri mesin
Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin ringan (misalnya mesin jahit, pompa air).
5.
Perkayuan, kehutanan
a.
Mesin dan peralatan penebangan kayu;
b.
Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang kehutanan.
6.
Konstruksi
Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump truck, crane buldozer dan sejenisnya.
7.
Transportasi dan
a.
Pergudangan
Truk kerja untuk pengangkutan dan bongkar muat,
truk
peron,
truck
ngangkang,
dan
sejenisnya; b.
Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang dan sebagainya) termasuk kapal pendingin, kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang
31
mempunyai berat sampai dengan 100 DWT; c.
Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal-kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT;
d.
Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat sampai dengan 250 DWT;
8.
Telekomunikasi
e.
Kapal balon.
a.
Perangkat pesawat telepon;
b.
Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman dan penerimaan radio telegraf dan radio telepon.
9.
Industri semi konduktor
Auto frame loader, automatic logic handler, baking oven, ball shear tester, bipolar test handler (automatic), cleaning machine, coating machine, curing oven, cutting press, dambar cut machine, dicer, die bonder, die shear test, dynamic burn-in system oven, dynamic test handler, eliminator (PGE-01), full automatic handler, full automatic mark, hand maker, individual mark, inserter remover machine, laser marker (FUM A-01), logic test system, marker (mark), memory test system, molding, mounter, MPS automatic, MPS manual, O/S tester manual, pass oven, pose checker, re-form machine, SMD stocker, taping machine, tiebar cut press, trimming/forming machine, wire bonder, wire pull tester.
10.
Jasa Persewaan Peralatan
Spoolling Machines, Metocean Data Collector
Tambat Air Dalam 11.
Jasa Telekomunikasi Seluler
Mobile Switching Center, Home Location Register, Visitor Location Register. Authentication Centre, Equipment Identity Register, Intelligent Network Service Control Point, intelligent Network Service Managemen Point, Radio Base Station, Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini Link, Antena
Tabel 2.3 Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam Kelompok 2 Sumber data: Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009
32
3. Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan kelompok 3 No. 1.
Jenis Usaha
Jenis Harta
Pertambangan selain minyak
Mesin-mesin
yang
dipakai
dalam
bidang
dan gas
pertambangan, termasuk mesin-mesin yang mengolah produk pelikan.
2.
Permintalan, pertenunan dan
a.
pencelupan
Mesin
yang
mengolah/menghasilkan
produk-
produk tekstil (misalnya kain katun, sutra, seratserat buatan, wol dan bulu hewan lainnya, lena rami, permadani, kain-kain bulu, tule); b.
Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing, printing, finishing, texturing, packaging dan sejenisnya.
3.
Perkayuan
a.
Mesin
yang
mengolah/menghasilkan
produk-
produk kayu, barang-barang dari jerami, rumput dan bahan anyaman lainnya;
4.
Industri kimia
b.
Mesin dan peralatan penggergajian kayu.
a.
Mesin peralatan yang mengolah/menghasilkan produk industri kimia dan industri yang ada hubungannya dengan industri kimia (misalnya bahan kimia anorganis, persenyawaan organis dan anorganis dan logam mulia, elemen radio aktif, isotop, bahan kimia organis, produk farmasi, pupuk, obat celup, obat pewarna, cat, pernis, minyak eteris dan resinoida-resinonida wangiwangian, obat kecantikan dan obat rias, sabun, detergent dan bahan organis pembersih lainnya, zat albumina, perekat, bahan peledak, produk pirotehnik, korek api, alloy piroforis, barang fotografi dan sinematografi;
b.
Mesin
yang
mengolah/menghasilkan
produk
industri lainnya (misalnya damar tiruan, bahan plastik, ester dan eter dari selulosa, karet sintetis,
33
karet tiruan, kulit samak, jangat dan kulit mentah). 5.
Industri mesin
Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin menengah dan berat (misalnya mesin mobil, mesin kapal).
6.
Transportasi dan
a.
Pergudangan
Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal penangkapan ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT;
b.
Kapal
dibuat
khusus
untuk
mengela
atau
mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT; c.
Dok terapung;
d.
Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat di atas 250 DWT;
e.
Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala jenis.
7.
Telekomunikasi
Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak jauh.
Tabel 2.4 Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam Kelompok 3 Sumber data: Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009
4. Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan kelompok 4 No.
Jenis Usaha
Jenis Harta
1.
Konstruksi
Mesin berat untuk konstruksi
2.
Transportasi dan
a.
Lokomotif uap dan tender atas rel.
b.
Lokomotif listrik atas rel, dijalankan dengan
Pergudangan
batere atau dengan tenaga listrik dari sumber luar. c.
Lokomotif atas rel lainnya.
34
d.
Kereta,
gerbong
termasuk
penumpang
kontainer
khusus
dan
barang,
dibuat
dan
diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat atau beberapa alat pengangkutan. e.
Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat
untuk
pengangkutan
barang-barang
tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji tambang
dan
sejenisnya)
termasuk
kapal
pendingin dan kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 1.000 DWT. f.
Kapal dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung dan sebagainya, yang mempunyai berat di atas 1.000 DWT.
g.
Dok-dok terapung.
Tabel 2.5 Jenis-Jenis Harta yang Termasuk Dalam Kelompok 4 Sumber data: Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan nomor 96/PMK.03/2009
II.1.8 Rekonsiliasi Rekonsiliasi adalah proses untuk mendapatkan angka laba fiskal atau laba kena pajak dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap laba komersial atau laporan rugi laba komersial. Dengan demikian, rekonsiliasi dilakukan untuk mengubah laporan laba rugi komersial menjadi laporan laba rugi fiskal sehingga dapat dihitung besarnya PPh badan yang terutang. Dimana laporan laba rugi komersial adalah laporan yang disusun berdasarkan standar akuntansi. Sedangkan laporan laba rugi fiskal adalah laporan yang disusun berdasarkan peraturan pajak.
35
Menurut Diaz Priantara (2012:268) dalam buku Perpajakan Indonesia, terdapat perbedaan antara standar akuntansi dan peraturan pajak, yaitu perbedaan sementara atau waktu (time difference) dan perbedaan tetap atau permanen. Perbedaan sementara atau waktu (time difference) adalah perbedaan yang disebabkan
bukan
karena
ketentuan
perpajakan
melarang
atau
tidak
memperkenankan pengakuan penghasilan atau biaya. Sebaliknya, perbedaan tetap atau permanen terjadi karena ketentuan perpajakan melarang atau tidak memperkenankan pengakuan penghasilan atau biaya. Perbedaan sementara dapat terjadi karena: No. 1.
Keterangan Perbedaan Prinsip
Penjelasan dan Contoh Pengaturan dalam menghitung laba rugi fiskal berbeda
dengan
ketentuan/peraturan
dalam
menghitung laba rugi komersial. Untuk
menghitung
laba
fiscal,
tidak
dapat
dikurangkan beban untuk pegawai: a.
Yang diberikan dalam bentuk natura, missal: pemberian sembako, hadiah lebaran;
b.
Imbalan
dalam
bentuk
fasilitas-fasilitas,
misalnya fasilitas: kesehatan, perumahan, pajak, yang ditanggung perusahaan; c.
Sumbangan.
Catatan: terdapat pengecualian,
misal seragam
satpam/kerja, makan untuk semua pegawai di tempat kerja, sumbangan untuk bencana nasional dapat dikurangkan.
36
2.
Keterbatasan pilihan dalam
Dalam hal penyusutan, fiskal hanya mengenal
menentukan
Metode Garis Lurus (Straight Line Method) dan
metode
Pembukuan/Akuntansi
Metode Saldo Menuirun (Double Declining Method); Dalam hal penilaian persediaan/harga pokok, fiskal hanya mengenal metode FIFO dan Metode Rata-rata.
3.
Perbedaan
waktu
saat
Dalam hal kerugian karena adanya piutang yang tak
pembebanan
sebagai
tertagih,
biaya/pengakuan
sebagai
Kerugian diakui apabila piutang tersebut nyata-nyata
penghasilan
fiskal
tidak
mengenal
pencadangan.
tidak dapat ditagih setelah malalui upaya yang maksimal dan dibuatkan daftar nominatifnya.
4.
Diakui
sebagai
biaya
dengan syarat
Pengeluaran tertentu dapat diakui sebagai biaya apabila
dipenuhi
syaratnya.
Misal:
biaya
entertainment dapat dikurangkan sebagai biaya apabila disertai dengan daftar nominatif. 5.
Tidak sepenuhnya diakui
Penyusutan mobil sedan dan pemeliharaannya, pulsa
sebagai beban usaha
telepon seluler hanya diakui sebagai beban sebesar 50% dalam penghitungan laba fiskal.
6.
Terdapat
penghasilan
tertentu yang dipisahkan
Penghasilan-penghasilan tertentu yang dikenakan PPh Final, baik penghasilan maupun biayanya dipisahkan dari penghasilan lainnya. Misalnya penghasilan dari bunga deposito, sewa ruko, penjualan tanah dan bangunan.
Tabel 2.6 Perbedaan Sementara Sumber data: buku Perpajakan Indonesia menurut Diaz Priantara.
Dalam melakukan rekonsiliasi ini, terdapat koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negatif. Koreksi fiskal positif adalah penyesuaian pos-pos rugi laba yang menyebabkan jumlah laba bersih sebelum pajak pada laporan laba rugi fiskal menjadi lebih besar dibandingkan dengan laporan laba rugi komersial. Koreksi fiskal negatif adalah penyesuaian pos-pos laba rugi yang menyebabkan 37
jumlah laba bersih sebelum pajak pada laporan laba rugi fiskal menjadi lebih kecil dibandingkan dengan laporan laba rugi komersial.
II.1.9 Norma Penghitungan Penghasilan Neto Berdasarkan Undang-Undnag PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 14, wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), dapat memilih untuk menyelenggarakan pencatatan ataupun pembukuan. Bagi bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan, dibutuhkan norma penghitungan penghasilan neto untuk menghitung besarnya penghasilan neto. Dengan diperolehnya penghasilan neto ini, maka dapat diperoleh pula besarnya PPh yang terutang. Norma penghitungan penghasilan neto diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-536/PJ./2000. Salah satu jenis usaha yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-536/PJ./2000 adalah jenis usaha rumah makan dan minum seperti restoran/rumah makan, night club, catering, restorasi kereta api, cafeteria, kantin, warung nasi/kopi dan sejenisnya, tidak termasuk night club, restoran dan bar yang merupakan salah satu fasilitas hotel dan penginapan. Dimana besarnya tarif norma penghitungan penghasilan neto untuk 10 ibu kota propinsi adalah 25%, sedangkan ibu kota propinsi lainnyadan daerah lainnya adalah 20%. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor KEP-536/PJ./2000 pasal 4 ayat (1) huruf (a), sepuluh ibu kota propinsi meliputi Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Pontianak. 38
II.1.10 PPh 21 Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 21 ayat (1) huruf (a), yang wajib melakukan pemotongan PPh 21 adalah: 1. Pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; 2. Bendahara pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan; 3. Dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apa pun dalam rangka pensiun; 4. Badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; dan 5. Penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan dengan pelaksanaan suatu kegiatan. Sedangkan pemotongan PPh 21 dilakukan atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti gaji, upah, honorarium, dan tunjangan yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Untuk menghitung besarnya PPh 21 yang terutang pada pegawai tetap, terlebih dahulu menghitung penghasilan neto. Penghasilan neto diperoleh dari penghasilan bruto berupa gaji ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang diberikan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kemudian dikurangkan dengan 39
biaya jabatan (bagi pegawai yang memiliki jabatan) dan biaya pensiun. Menurut Prof. Dr. Mardiasmo (2009:169) dalam buku Perpajakan, besarnya biaya jabatan sebesar
5%
dari
penghasilan
bruto,
setinggi-tingginya
Rp
6.000.000
(enam juta rupiah) setahun atau Rp 500.000 (lima ratus ribu sebulan). Sedangkan untuk biaya pensiun sebesar 5% dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya Rp 2.400.000 (dua juta empat ratus ribu rupiah) setahun atau Rp 200.000 (dua ratus ribu rupiah) sebulan. Penghasilan neto pegawai tetap tersebut dikurangkan dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). PTKP diatur pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005 yang berlaku mulai 1 Januari 2006. Besarnya PTKP adalah sebagai berikut: Status
Basarnya PTKP
Untuk diri wajib pajak orang pribadi
Rp 15.840.000
Tambahan untuk wajib pajak kawin
Rp 1.320.000
Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah semenda
Rp 1.3200.000
dalam garis keturunan lurus satu serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya maksimal 3 orang
Tabel 2.7 Penghasilan Tidak Kena Pajak Sumber data: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.03/2005
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ditentukan oleh keadaan pada awal tahun kalender atau pada awal bulan dari bagian tahun kalender. Setelah
dikurangkan,
hasilnya
berupa
penghasilan
kena
pajak.
Penghasilan kena pajak ini kemudian dikalikan dengan tarif yang sesuai dengan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat (1) huruf (a), yaitu: 40
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000
5%
Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000
15%
Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000
25%
Diatas Rp 500.000.000
30%
Tabel 2.8 Penghasilan Kena Pajak Sumber data: Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat (1) huruf (a)
Jumlah dari hasil perkalian tersebut merupakan PPh 21 yang terutang. Apabila wajib pajak orang pribadi yang dikenakan PPh 21 tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka tarif pasal 17 tersebut akan dikenakan 20% lebih tinggi. Sedangkan untuk menghitung besarnya PPh 21 yang terutang atas jasa tenaga ahli, dapat diperoleh dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf (a) dikalikan dengan 50% dikalikan dengan jumlah penghasilan bruto. Penghitungan tersebut diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-31/PJ/2009. Yang dimaksud dengan jasa tenaga ahli adalah seperti pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, botaris, penilai, dan aktuaris.
II.1.11 PPh 23 PPh 23 merupakan PPh yang dipotong atau dipungut atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan 41
pemerintah, atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Dengan kata lain, subjek pajak atau penerima penghasilan yang dipotong PPh 23 adalah wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Sedangkan pemotong PPh 23 meliputi: 1. Badan pemerintah; 2. Subjek pajak badan dalam negeri; 3. Penyelenggara kegiatan; 4. Bentuk Usaha Tetap; 5. Perwakilan perusahaan luar negeri; 6. Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemotong PPh 23, yaitu: a. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan oekerjaan bebas; dan c. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran berupa sewa. Berikut adalah tarif dan objek PPh 23: 1. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas: a. Dividen, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (1) huruf (g); b. Bunga, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat (1) huruf (f); d. Royalti; 42
e. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong PPh 21 ayat (1) huruf (e) dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008. Hadiah dan penghargaan yang dipotong atau dipungut PPh 21 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan. Sedangkan hadiah dan penghargaan yang dipotong atau dipungut oleh PPh 23 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh wajib badan dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan. 2. Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi. 3. Sebesar 2% dari jumlah bruto atas: a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang dikenakan PPh yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan nomor 36 tahun 2008 ; b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh 21 dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008.
II.1.12 PPh 31E Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 31E ayat (1), wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan 43
Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat (1) huruf (b) dan ayat (2a) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Dengan
demikian,
apabila
penghasilan
bruto
lebih
dari
Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka penghasilan kena pajaknya langsung dikalikan dengan tarif 25%. Dan bila penghasilan bruto berkisar antara Rp 0 sampai dengan Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka: 1. Bila penghasilan bruto kurang dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), maka seluruh penghasilan kena pajaknya mendapat pengurangan 50%. 2.
Bila penghasilan bruto lebih dari Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) tetapi tidak melebihi Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah), maka yang mendapat pengurangan 50% hanya bagian penghasilan bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
PPh (50% x 28%) x penghasilan Terutang = kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
+
28% x penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas.
Gambar 2.1 Rumus Penghitungan PPh Terutang Sumber data: Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 31E ayat (1)
44
Penghasilan kena pajak dari bagian bruto yang = memperoleh fasilitas
Rp4.800.000.000 peredaran bruto
x
penghasilan kena pajak
Gambar 2.2
Rumus Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dari Bagian Bruto yang Memperoleh Fasilitas Sumber data: Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 31E ayat (1)
Penghasilan kena pajak penghasilan kena pajak dari bagian bruto yang = penghasilan kena pajak - dari bagian bruto yang tidak memperoleh fasilitas memperoleh fasilitas
Gambar 2.3
Rumus Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dari Bagian Bruto yang Tidak Memperoleh Fasilitas Sumber data: Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 31E ayat (1)
Berdasarkan Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 17 ayat (1) huruf (b), tarif yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto adalah sebesar 28%. Namun sejak tahun 2010, tarif tersebut berubah menjadi 25%.
II.1.13 Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak Cara menghitung penghasilan kena pajak untuk wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan dan pembukuan serta wajib pajak badan diatur dalam Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 16. Penghasilan kena pajak merupakan dasar perhitungan untuk menentukan besarnya PPh yang terutang. Berikut adalah perhitungannya: 1.
Untuk wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan, penghasilan kena pajak diperoleh dari peredaran bruto dikalikan dengan
45
norma penghitungan penghasilan neto dan hasilnya dikurangkan dengan PTKP. 2.
Untuk wajib pajak orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan, penghasilan kena pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan yang termasuk dalam objek pajak (Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat 1) dengan biaya yang dapat dikurangkan (Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat 1), kerugian yang dihasilkan dari peredaran bruto dikurangkan dengan biaya yang dapat dikurangkan (Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat 2), PTKP, serta biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam Undang-Undnag PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf (c), (d), (e), (g).
3.
Untuk wajib pajak badan, penghasilan kena pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan yang termasuk dalam objek pajak (UndangUndang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 4 ayat 1) dengan biaya yang dapat dikurangkan (Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat 1), kerugian yang dihasilkan dari peredaran bruto dikurangkan dengan biaya yang dapat dikurangkan (Undang-Undang PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 6 ayat 2), dan biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam Undang-Undnag PPh nomor 36 tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf (c), (d), (e), (g).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka terdapat perbedaan penghitungan pajak penghasilan pada bentuk usaha orang pribadi yang menyelenggarakan pencatatan, pembukuan, dan pada bentuk usaha badan hukum. Yang
46
membedakan antara badan hukum dengan orang pribadi yang menyelenggarakan pembukuan adalah: No. 1.
2.
Badan Hukum
Orang Pribadi
Penghasilan neto tidak dikurangkan
Penghsilan neto dikurangkan dengan
dengan PTKP
PTKP
PPh yang terutang = penghasilan kena
PPh yang terutang = penghasilan kena
pajak x tarif pasal 17 ayat (2a), yaitu
pajak x tarif pasal 17 ayat (1a)
sebesar 25% 3.
PPh yang terutang dapat dikurangkan
PPh yang terutang tidak dikurangkan
dengan kredit pajak (PPh 22,23,24, dan
dengan kredit pajak.
25).
Tabel 2.9 Perbandingan Perlakuan Pajak Penghasilan Sumber data: Analisa penulis yang berdasarkan Undang-Undang PPh no 36 tahun 2008
47