BAB II LANDASAN TEORI Perkembangan kompetisi, perubahan jaman, peningkatan biaya, konsumen yang semakin pandai dan terinformasi dengan baik, menjadi setiap tantangan bagi setiap brand yang ada, untuk mempertahankan eksistensinya di dalam industri; Menjadi sebuah tantangan bagi setiap marketer, untuk menciptakan, mengubah, memperbaharui cara-cara baru untuk menarik hati konsumen. Suatu keharusan, setiap marketer harus mengerti tentang customer, brand and relationship between both of it Menjadi suatu dambaan bagi setiap perusahaan untuk memiliki banyak customer yang loyal terhadap mereknya. Era tahun 90-an, konsep brand equity dikembangkan, diukur didalam dan menjadi sebuah cabang ilmu marketing, ‘Brand Management’. Bagaimana cara pencapaian brand equity yang superior supaya perusahaan memiliki sustainable competitive advantage? Menurut Porter (1985), suatu perusahaan memiliki keunggulan bersaing jika perusahaan tersebut mampu memberikan manfaat yang sama dengan pesaing dengan biaya yang lebih murah atau melakukan differensiasi dibandingkan pesaingnya. Oleh karena itu, keunggulan bersaing dapat membuat perusahaan menciptakan superior value bagi para pelanggannya dan juga superior profit bagi perusahaan yang bersangkutan. Dalam buku “The End of Marketing as We Know it”, Zyman (2000) mengkritik praktek mass marketing (traditional marketing) yang mengabaikan fakta “consumer democracy” dikarenakan banyaknya pilihan yang dapat dipilih oleh
8
9
consumer didalam menggunakan, mengkonsumsi produk/jasa. Zyman menegaskan pentingnya mengerti consumer dan bagaimana cara mengembangkan intelligent merek digunakan sebagai alat membangun keunggulan bersaing suatu produk, bahkan positioning. Sebuah realita, marketer dalam era ”new era value economy” harus mampu menemukan pendekatan-pendekatan baru maupun mengembangkan pendekatan lama. Hanya mengandalkan pendekatan lama, tidak akan bertahan dalam lingkungan marketing yang penuh tantangan.
2.1 Brand 2.1.1 Definisi Brand Merek sering kali diartikan sebagai nama, simbol, ataupun gabungan keduanya yang digunakan untuk mengidentifikasikan identitas suatu produk dari sebuah perusahaan. Peranan merek pada era new-value economy menjadi penting dan merek digunakan sebagai alat membangun keunggulan bersaing suatu produk, bahkan perusahaan send iri. Merek menjadi alat yang membantu perusahaan untuk survive dengan menawarkan suatu unique value yang mampu mencapai mind space konsumen. Konsep Brand equity sendiri, telah diekspresikan kedalam beberapa definisi:
“Brand equity is the set of associations that permits the brand to earn greater volume than it would without the brand name” (Marketing Science Institute).
10
“…a set of brand assets and liabilities linked to a brand, its name and symbol, that add to or subtract from the value provided by a product or service to a firm and/or to that firm’s customers” (David Aaker). Assets dan liabilities yang menjadi dasar dari brand equity akan berbedabeda tergantung dari konteksnya. “A set of associations which are most strongly linked to a brand name” (Andrea Dunham). ”Is the degree of personal identification with a brand and its relevance to a customer situation” (Aaker 2004; Keller 2003).
Menurut Keller (2003: 8), Brand equity adalah “the differential effect of brand knowledge on concumer response to the marketing of the brand”. Dikenal dengan CBBE (Customer Based Brand Equity). Berawal dari model brand Equity Aaker (1991: 40). CBBE model lebih menekankan bagaimana consumer menanggapi pengaruh dari marketing atau ‘branding’. Consumer dapat memiliki persepsi yang berbeda, ketika menanggapi marketing dari sebuah brand, dideskripsikan, dapat secara positif atau negatif. Positif, apabila customer merefleksikan ketertarikan (favorable) terhadap brand ketika brand tersebut ada atau disebutkan maupun ketika brand tersebut tidak ada atau tidak disebutkan (marketing), maka customer tersebut memiliki tanggapan atau persepsi yang positif terhadap brand. Sedangkan apabila customer merefleksikan ketidaktertarikan atau ketidaksenangan (less favorable) terhadap brand ketika brand tersebut ada atau disebutkan maupun ketika brand tersebut tidak ada atau tidak
11
disebutkan, maka customer tersebut memiliki tanggapan atau persepsi yang negatif terhadap brand. CBBE model sendiri memiliki dua pendekatan, untuk mengukur brand equity, yaitu secara tidak langsung melalui brand knowledge (brand awareness dan brand image) maupun secara langsung melalui pengaruh brand knowledge tersebut terhadap customer responses. Dapat dilihat dalam gambar: Gambar 2.1. CBBE model
•
Consumer Response to Marketing
Brand Equity arises from differences in CONSUMER response
•
Brand Knowledge
What CONSUMERS learned, felt, seen, heard, experienced over time
•
Differential Effect
Reflected in CONSUMER perceptions, preferences, and behavior related to all aspects of the marketing of a brand Sumber: Kevin Lane Keller,2003
a. Brand Knowledge (1) Brand Awareness Relasi kekuatan seberapa kuat, kemampuan consumer untuk mengigat brand dalam berbagai kondisi. (a) Brand recognition
12
Brand recognition adalah kemampuan consumer untuk mengenali sebuah Brand, ketika diberikan sedikit cue atau informasi mengenai brand, misalnya hanya sedikit warna dari logo-brand. (b) Brand Recall Brand recall adalah kemampuan customer untuk memanggil kembali ingatannya mengenai Brand yang tersimpan didalam memori ketika diberikan kategori produknya, atau ketika ingin membeli produk tersebut. (2) Brand Image Persepsi terhadap sebuah brand, yang direfleksikan dengan asosiasi yang ada di dalam benak consumer. b. Consumer Response atau Consumer behavior (1) Perception (2) Preference (3) Behavior Terlihat, dengan bagaimana cara tujuan consumer di dalam membeli produk, menggunakan produk/jasa. Dan bagaimana pandangan, perasaan, atau pikiran (know, think, and feel) consumer terhadap brand lain.
Sedangkan elemen brand equity, Menurut David Aaker, tertulis dalam jur nal yang ditulis oleh Humdiana (2005), ”Ekuitas merek adalah seperangkat asset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama dan simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau jasa
13
kepada perusahaan atau pelanggan perusahaan.” Kalau positif, maka ekuitas merek akan menjadi asset kalau negatif, maka brand equity menjadi kewajiban (liabilities). Sebagai kewajiban, brand justru menyumbangkan nilai negatif pada produk. Kemudian digolongkan ke dalam lima kategori, yang terlihat pada gambar: Gambar 2.2. Brand Equity Brand Awareness
Perceived Brand Quality
Brand Associations • Personality • Benefits • Attitudes
• Brand Name • Symbols
Brand Loyalty
Brand Equity
Provides Value to Customer by enhancing: • Interpretation/processing of information • Confidence in the Purchase Decision • Use Satisfaction
Kelima kategori tersebut adalah: 1. Brand Loyalty (Loyalitas merek) 2. Brand Awareness (Kesadaran merek)
Other Proprietary Brand Assets
• • •
Patents Trademarks Channel relationships
Provides Value to Firm by enhancing:
•
Efficiency and effectiveness of Marketing Programs
• • • •
Brand Loyalty Prices/margins Brand extensions Trade leverage & competitive advantage
Sumber: David Aaker, 1991 p.40
14
3. Perceived Quality (Persepsi kualitas) 4. Brand Association (asosiasi-asosiasi merek sebagai tambahan terhadap persepsi kualitas) 5.Other proprietary Brand Asset (asset-asset merek lainnya seperti paten, cap, jaringan bisnis dan lain- lain).
2.1.2 Brand Loyalty (Loyalitas merek) Brand loyalty (loyalitas brand) merupakan suatu ukuran keterikatan pelanggan terhadap sebuah brand. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke brand produk lain, terutama jika pada brand tersebut didapati ada perubahan, baik menyangkut harga atau attribute lain. Mengapa Brand Loyalty merupakan tujuan akhir setiap marketer terhadap customer? Why? Jawabannya, karena Brand Loyalty, mempengaruhi secara langsung profit perusahaan. Gambar 2.3. Loyalty = Profit
profit
Value
LOYALTY
Sumber:Robinette&Claire, 2001. p.9
Secara umum, loyalitas didefinisikan sebagai “evaluation of the perceived discrepancy between prior expectations... and the actual performance of the product”
15
(Tse and Wilton,1988). Dan dimodifikasi oleh Oliver pada tahun 1997 tertulis dalam jurnalnya, “loyalty is decribed here as, a deeply held commitment to rebuy or repatronize a preffered product/service consistently in the future, thereby causing repetitive same brand or same brand-set purchasing, despite situational influences and marketing efforts having the potential to cause switching behavior.” Dilanjutkan dengan “fervently desires to rebuy a product or service and will have no other”. Definisi ini menekankan pada konsep behavioural dan attitudinal. Dengan demikian, menurut konsep ini, marketer hanya dapat mengamati apa yang dilakukan oleh konsumen namun tidak mengetahui mengapa konsumen melakukannya. Mengutip dari jurnal yang disusun oleh Henning Isbrecht & Nadezhda Prigozhaeva, Assael, menambahkan bahwa ada kemungkinan pembelian ulang dari sebuah brand tidak merepresentasikan komitmen melainkan hanya merepresentasikan penerimaan dari brand tersebut. Karena alasan inilah banyak ahli pemasaran yang berpendapat bahwa konsumen hanya dapat dianggap sebagai loyal jika attitude konsumen terhadap brand tersebut lebih baik dibandingkan terhadap brand kompetitor lainnya. Dikarenakan era persaingan global, seakan-akan konsumen selalu memiliki pilihan-pilihan lain yang selalu lebih baik dari yang sudah ditawarkan. Menjadi kesimpulan bahwa consumer yang menjadi loyal, harus percaya (believe) bahwa produk yang dihasilkan oleh perusahaan adalah yang terbaik dibandingkan alternatif lainnya. Dengan demikian George Day menyimpulkan, “true brand loyalty occurs when the customer holds favourable attitude towards brand in addition to purchasing it repeatedly”.
16
Berdasarkan Oliver dalam jurnalnya tahun 1999, dimana Oliver merumuskan tiga tingkat loyalitas,yaitu pola cogition-affect-conation. Secara spesifik, consumer menjadi loyal dengan cognitive sense, kemudian affective sense, cognative manner, dan kemudian behavioral manner atau yang disebut sebagai ”action inertia”. Gambar 2.4. Loyalty Phases with Corresponding Vulnerabilities Stage
Identifying Marker
Cognitive
loyalty to information such as price, feauters, and so forth.
Affective
loyalty to a liking " I buy it because I like it"
Conative
Loyalty to an intention: "I'm commited to buying it"
Action
Loyalty to action inertia, coupled with the overcoming obstacles
Sumber: Whence Consumer Loyalty, Journal of Marketing, 1999
a. Cognitive loyalty Tingkatan loyalitas awal, dimana adanya attribut dari brand, yang memiliki informasi terhadap consumer, bahwa brand tersebut memiliki nilai lebih dibandingkan dengan brand alternatif lain yang ada di dalam industri. Loyalitas dalam tahap ini hanya didasarkan pada performance dari produk itu sendiri saja. Ketika melibatkan experience maka akan beranjak pada tahap berikutnya. b. Affective Loyalty Dalam tahap ini, liking or attitude terhadap brand sudah mulai terbentuk, didasarkan pada rasa kepuasan dari penggunaan produk. Tetapi hal ini tidak mencengah terjadinya switching terhadap brand lain, karena consumer belum memiliki loyalitas dengan tingkat komitmen yang lebih
17
tinggi. Pembeli pada tingkatan ini termasuk dalam kategori puas, meskipun mungkin mereka memindahkan pembeliannya ke brand lain dengan menanggung switching cost (biaya peralihan). c. Conative Loyalty Conative mengimplikasikan
suatu
komitmen
pembelian
ulang
(repurchase) terhadap suatu brand, adanya komitmen yang el bih dalam untuk membeli kembali produk brand yang sama. Menjadi sebuah motivasi. Pada tingkatan ini dijumpai perasaan emosional yang terkait pada brand. d. Action Loyalty Intensi yang ada pada tahap sebelumnya berubah menjadi sebuah tindakan. Intensi motivasi yang ada pada tahap sebelumnya berubah menjadi readiness to act (kesiapan untuk tindakan membeli).
Seorang pelanggan yang sangat loyal terhadap suatu brand tidak akan dengan mudah memindahkan pembeliannya ke brand lain, apapun yang terjadi dengan brand tersebut. Sebaliknya, pelanggan akan brand tersebut, pada umumnya tidak didasari kepada ketertarikan mereka pada brandnya tetapi lebih didasarkan pada kharakteristik produk, harga dan kenyamanan pemakaiannya itupun berbagai attribute lain yang ditawarkan oleh brand produk alternatif. Menurut Jill dan Griffin dalam bukunya, ’Customer Loyalty’ (2002: 21), perasaan customer terhadap jasa atau produk ditentukan oleh dua dimensi: the degree of preference (the extent of the customer’s conviction about the product or service)
18
and the degree of perceived product differentiation (how significantly the customer distinguishes the product or service from alternatives.)
Gambar 2.5. Four types of Loyalty Repeat Purchase
Relative Attachment
High
Low
High
premium Loyalty
Latent Loyalty
Low
Inertia Loyalty
No Loyalty
Sumber: Jill Griffin, 2002. p.22
a. No Loyalty Dengan berbagai alasan, ada beberapa customer yang tidak pernah mengembangkan Loyalitas terhadap beberapa jenis jasa atau produk. Dikarenakan rendahnya attachment dikarenakan asosiasi preferensi yang rendah dengan persepsi bahwa antara produk atau jasa yang satu dengan yang lainnya tidak ada bedanya (menurut consumer). b. Inertia Loyalty Pada tingkat ini pembeli merasa puas dengan brand produk yang dikonsumsi dan tidak ada alasan untuk pindah ke brand lain. Pembeli ini dalam membeli merupakan suatu efek yang didasari atas kebiasaan mereka saja, tidak adanya keterikatan terhadap suatu brand.
19
c. Latent Loyalty Memiliki tingkat attachment yang cukup tinggi, namun rendah didalam repeat purchase, biasanya dalam tahap ini, lebih dipengaruhi oleh faktor situasi daripada faktor attitude. d. Premium Loyalty Pada tingkatan ini pembeli merupakan pelanggan yang setia. mereka memiliki suatu kebanggaan sebagai pengguna suatu brand dan bahkan brand tersebut menjadi sangat penting bagi mereka dipandang dari segi fungsinya maupun sebagai suatu ekspresi mengenai siapa sebenarnya mereka. Adanya high attachment dan high repeat patronage. Biasanya ketika customer dalam tahap ini, maka mereka dengan senang akan membagi kepuasan mereka dengan keluarga atau kerabatnya, menciptakan buzz. Aaker mendefinisikan beberapa tingkatan dari loyalitas seperti di gambar 2.6. berikut Gambar 2.6 Piramida Brand Loyalty
Commited buyer
Liking the Brand
Satisfied Buyer
Habitual Buyer
Switcher
Sumber: David Aaker,1997, Hal.92
20
Setiap tingkatan mewakili tantangan pemasaran yang berbeda dan juga beragam aset yang berbeda untuk dikelola dan dimanfaatkan. 1. Tingkat loyalitas terendah adalah nonloyal buyer yang bersikap sama sekali indifferent terhadap brand. Setiap brand dipersepsikan sebagai cukup baik dan brand name tidak memainkan banyak peranan di dalam keputusan pembelian. Apapun dengan harga lebih baik atau tempat yang lebih nyaman akan lebih disukai, sehingga frekuensi pembelian kembali (repurchase) kecil. Konsumen semacam ini biasanya disebut sebagai switcher atau price buyer. 2. Tingkat kedua ditempati oleh para pembeli yang puas dengan produk atau setidaknya tidak tidak puas. Pada dasarnya, tidak ada dimensi dari ketidakpuasan yang mampu untuk mendorong perubahan apalagi jika perubahan itu membutuhkan suatu upaya (seperti promosi). Pembeli semacam ini biasanya diberi istilah habitual buyers. Segmen ini cukup rentan terhadap penawaran dari kompetitor yang dapat memberikan sebuah keuntungan nyata untuk berpindah ke produknya. Namun mereka cukup sulit untuk diraih karena tidak ada alasan bagi mereka untuk secara aktif mencari alternatif produk lain. 3. Tingkat ketiga terdiri dari mereka yang juga puas (satisfied buyer), dan sebagai tambahan, memiliki switching cost yang dapat berupa biaya waktu, uang, atau risiko kinerja yang berkaitan dengan berpindah merek. Untuk dapat menarik pembeli macam ini, kompetitor perlu mengatasi masalah switching cost dengan menawarkan insentif untuk berpindah atau dengan menawarkan
21
keuntungan yang cukup besar untuk mengkompensasi switching cost. Kelompok ini dapat disebut sebagai switching-cost loyalty. 4. Pada tingkat keempat kita akan menemukan mereka yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Preferensi mereka dapat berdasarkan pada asosiasi dengan hal-hal seperti simbol, serangkaian pengalaman penggunaan (use experience), atau perceived quality yang tinggi. Segmen pada tingkat keempat ini dapat diberi istilah friends of the brand karena adanya ikatan perasaan/emosi. 5. Tingkat teratas pada piramida loyalitas ditempati oleh committed customers. Mereka memiliki rasa bangga karena menemukan dan/atau menjadi pengguna dari sebuah merek. Merek ini merupakan hal yang sangat penting bagi mereka baik secara fungsional maupun sebagai ekspresi dari siapa diri mereka. Mereka memiliki keyakinan yang sangat tinggi akan merek sehingga merekomendasikannya kepada orang lain. Nilai terpenting dari committed customer adalah pengaruhnya kepada orang lain dan juga kepada pasar itu sendiri. Dengan pengelolaan dan pemanfaatan yang benar, brand loyalty dapat menjadi asset strategis bagi perusahaan. Berikut ini adalah beberapa potensi yang dapat diberikan oleh brand loyalty kepada perusahaan.
22
a. reduced marketing cost (mengurangi biaya pemasaran) Dalam kaitannya dengan biaya pemasaran, akan lebih mudah mempertahankan pelanggan dibandingkan dengan mendapatkan pelanggan baru. b. Trade leverange (meningkatkan perdagangan) Loyalitas yang kuat terhadap suatu brand akan menghasilkan peningkatan perdagangan dan memperkuat keyakinan perantara pemasaran. c. attracting new customers (menarik minat pelanggan baru) Dengan banyaknya pelanggan yang merasa puas dan suka suatu brand akan menambah keyakinan untuk mengkonsumsi brand tersebut dan akan merekomendasikan brand tersebut kepada orang yang dekat dengannya sehingga akan menarik pelanggan baru. d. provide time to respond to competitive threats (memberi waktu untuk merespons ancaman persaingan) Brand loyalty akan memberikan waktu pada sebuah perusahaan untuk merespon gerakan pesaing
2.1.3 Brand Awareness (Kesadaran merek) Brand awareness adalah tingkat kemampuan pembeli potensial untuk mengenali atau mengingat kembali suatu brand adalah anggota dari kategori produk tertentu. Di dalamnya terlibat hubungan antara kelas produk dan brand. Pengenalan brand (brand recognition) adalah tingkat terendah dari brand awareness. Menurut Aaker (1997:90), kesadaran merek adalah kesanggupan calon pembeli untuk
23
mengenali atau mengingat kembali suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Konsumen cenderung membeli suatu merek yang sudah dikenal, konsumen akan aman, terhindar dari berbagai resiko pemakaian dengan asumsi merek sudah dikenal lebih dapat diandalkan. Gambar 2.7 Piramida Kesadaran Merek
Puncak Pikiran (Top of Mind) Pengingatan kembali merek (Brand Recall) Pengenalan kembali merek (Brand Recognition) Tidak menyadari merek (Brand Unawareness)
Sumber: David Aaker,1991
Tingkatan paling rendah adalah tingkat pengenalan merek atau yang disebut juga tingkat pengingatan kembali dengan menggunakan bantuan (aided recall). Pada tingkatan selanjutnya adalah pengigatan kembali merek (brand recall) atau tingkatan pengenalan merek tanpa menggunakan bantuan (unaided recall). Tingkatan tertinggi adalah pengenalan merek yang disebut pertama kali tanpa bantuan yang telah meraih kesadaran puncak pikiran. Sedangkan tidak menyadari merek adalah merek yang tetap tidak dikenal walaupun sudah dilakukan pengingatan kembali dengan bantuan.
24
2.1.4 Perceived Quality (Persepsi kualitas) Perceived quality dapat didefinisikan sebagai keseluruhan evaluasi
yang
diberikan oleh customer terhadap apa yang didapatkan dengan apa yang telah dikorbankan atau dibayarkan untuk mendapatkan jasa atau produk tertentu. (Bolton and Drew, 1991). Sedangkan, Di dalam jurnal Michael D.Johnson, Hermann dan Huber (2006), mengatakan, “perceived value as a brand construct that encompasses perceptions of quality given price and inputs versus output relative to the competition”, Persepsi pelanggan terhadap kualitas keseluruhan atau superioritas suatu produk, relatif terhadap alternatif produk maupun terhadap harga atau nilai uang yang dikorbankan untuk produk tersebut ,”good level of performance for the money I pay.” (Johnsons,2006). Kualitas produk dapat dilihat dari kine rja produk, ciri- ciri produk, daya taha n produk, kemampuan dalam memberikan layanan, dan kualitas produk. Service quality dapat dilihat dari pelayanan yang diberikan kepada konsumen dalam bentuk nyata, yaitu penampilan dan kemampuan sarana dan prasaran fisik harus dapat diandalkan, servis, respon kepada pelanggan, serta empati (memberikan perhatian yang bersifat personal kepada pelanggan dan berupaya untuk memahami keinginan konsumen), dan kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Karena persepsi kualitas merupakan persepsi pelanggan maka persepsi kualitas tidak dapat ditentukan secara obyektif. Persepsi kualitas yang positif akan mendorong keputusan pembelian dan menciptakan kesukaan dan berakhir pada loyalitas terhadap
25
suatu produk. Sebaliknya, perspsi kualitas yang negatif akan menyebabkan produk tidak disukai dan tidak akan bertahan lama di pasar. Menurut Al Ries dan Laura Ries (1999:51), persepsi kualitas berada di benak pembeli dan apabila ingin memiliki merek yang ampuh maka harus membangun persepsi kualitas yang ampuh didalam benak pembeli. Dimensi persepsi kualitas untuk konteks produk dapat dibagi menjadi: 1. Kinerja: Dikaitkan dengan kharakteristik operasional utama dari produk 2. Kharateristik produk: Dikaitkan dengan feature atau bagian-bagian tambahan produk. 3. Kesesuian dengan spesifikasi: Dikaitkan dengan spesifikasi yang telah ditentukan. 4. Keandalan: Konsistensi dari kinerja produk setiap kali digunakan. 5. Ketahanan: Mencerminkan umur ekonomis dari produk 6. Pelayanan: Mencerminkan kemampuan memberikan pelayanan pada produk. 7. Hasil akhir: mengarah pada kualitas yang dirasakan. Menurut David A.Aaker (1997:126), persepsi kualitas memberikan nilai dalam beberapa bentuk: 1. Alasan untuk membeli Karena keterbatasan informasi, waktu dan uang, menyebabkan konsumen mengambil keputusan pembelian hanya didasarkan pada persepsi kualitas merek yang akan dibelinya. 2. Differensiasi atau posisi
26
Suatu kharakteristik paling penting bagi merek, adalah posisinya didalam dimensi persepsi kualitas. Apakah merek tersebut merupakan yang terbaik, sama baiknya dengan merek lain? Bernilai atau Ekonomis? 3. Harga Optimum Persepsi kualitas memberikan keuntungan dalam menetapkan harga optimum sehingga dapat meningkatkan laba dan atau memberikan sumber daya untuk reinvest pada merek tersebut. 4. Perluasan saluran distribusi Persepsi kualitas memiliki arti penting bagi pengecer, distributor dan saluran distributor lainnya. Distributor dan pengecer akan termotivasi untuk menjadi penyalur merek atau produk yang memiliki persepsi kualitas tinggi sehingga semakin memperluas saluran distribusi merek tersebut. 5. Perluasan merek Persepsi kualitas yang kuat dapat dieksplorisasikan kearah perluasan merek yaitu dengan menggunakan merek tertentu untuk masuk kedalam kategori baru. Dimana kemungkinan untuk sukses lebih besar karena persepsi kualitas yang kuat.
2.1.5 Brand Association (Asosiasi merek) Brand association adalah apapun di ingatan seseorang yang “terhubung” dengan suatu brand. Sekumpulan brand associations akan membent uk brand image. Pengertian brand equity, menurut Keller (1993), mengatakan bahwa brand equity
27
menyangkut identifikasi asosiasi brand di dalam benak konsumen, strong, favorable, atau asosiasi unik terhadap brand tersebut.” Menurut Davis (2000), mengatakan bahwa asosiasi merek merupakan bagian dari brand image. Brand image adalah persepsi yang bertahan lama (enduring perception), dibentuk melalui pengalaman, dan sifatnya relatif konsisten (Sciffman dan Kanuk, 2000). Kesan-kesan yang terkait dengan merek akan semakin meningkat dengan semakin banyaknya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi suatu merek, atau semakin sering penampakan merek tersebut dalam strategi komunikasi. Asosiasi merek yang saling berhubungan, akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut brand image. Semakin banyak asosiasi yang terhubung maka semakin kuat brand image yang dimiliki oleh merek tersebut. Asosiasi merek yang membentuk brand image menjadi pijakan konsumen dalam keputusan pembelian dan loyalitas pada merek tersebut. Asosiasi-asosiasi dengan suatu merek pada umumnya dihubungkan dengan beberapa hal, seperti yang ditulis oleh Aaker (1997:167), hubungan tipe asosiasi yaitu: 1. Attribut produk Mengasosiasikan attribut atau kharakteristik produk merupakan strategi positioning yang paling sering dipakai. Cara seperti ini efektif karena jika attribut tersebut bermakna, asosiasi dapat secara langsung diterjemahkan dalam alasan pembelian suatu merek. 2. Attribut tak berwujud
28
Pemakaian attribut tak berwujud seperti persepsi kualitas, kemajuan tekno logi atau kesan nilai yang mengiktisarkan serangkaian attribut produk yang obyektif. 3. Manfaat bagi pelanggan Attribut produk memberikan manfaat pada pelanggan, maka terdapat hubungan keduanya. Manfaat bagi pelanggan terbagi dua yaitu: manfaat rasional (rational benefit) yang berkaitan erat dengan suatu attribut produk yang dapat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan yang rasional; dan manfaat psikologis (psychological benefit)yang seringkali merupakan konsekuensi ekstrem dalam proses pembentukan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika membeli atau memakai merek tersebut. 4. Harga relatif Harga relatif sebagai salah satu attribut produk. Evaluasi terhadap suatu merek diawali dengan menentukan posisi merek tersebut didalam satu atau dua tingkat harga. 5. Penggunaan (aplikasi) Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu penggunaan atau aplikasi tertentu. 6. Pengguna (pelanggan) Pendekatan mengasosiasikan merek tersebut dengan tipe pengguna atau pelanggan dari produk tertentu. 7. Orang terkenal
29
Mengkaitkan orang terkenal atau artis dengan sebuah merek dapat mentransfer asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal ke merek tersebut. 8. Gaya hidup (kepribadian) Sebuah merek dapat diilhami oleh gaya hidup pelanggannya dengan kepribadian dan kharakteristik gaya hidup yang hampir sama. 9. Kelas produk Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya. 10. Pesaing Mengetahui pesaing dan berusaha untuk menyamai atau bahkan mengungguli pesaing. 11. Negara (wilayah geografis) Sebuah negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang erat degan produk, bahan dan kemampuan.
2.1.6 Other proprietary Brand Asset (asset-asset merek lainnya seperti paten, cap, jaringan bisnis dan lain-lain). Aset suatu brand akan sangat berharga jika aset tersebut dapat mencegah kompetitor menarik konsumen untuk berpindah ke produknya.
2.1.7 Manfaat dan peranan Brand equity Seperti dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Bilson Simamora yang bertajuk, “Aura Merek”, tahun 2002 mengatakan, peranan brand equity sebagai berikut: 1. Brand equity dapat menuatkan program memikat para konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama.
30
2.
Empat dimensi Brand equity yang terakhir dapat menguatkan loyalitas merek. Perceived quality, asosiasi, dan nama yang terkenal dapat memberikan alasan untuk membeli dan dapat mempengaruhi kepuasaan penggunaan.
3.
Brand equity dapat memberikan landasan untuk pertumbuhan melalui perluasan merek.
4. Brand equity dapat memberikan dorongan dalam saluran distribusi.
Peter dan Olson (1999), mengatakan bahwa brand equity memberikan nilai keapada perusahaan dan konsumen. Dalam perspektif perusahaan, brand equity memberikan keuntungan, aliran kas dan pangsa pasar yang lebih tinggi. Sedangkan dalam perspektif konsumen, brand equity terkait dengan sikap merek positif dan kuat didasarkan pada arti dan keyakinan positif dan jelas tentang merek dalam consumer mind. Sikap merupakan bagian yang penting, sebuah merek yang memiliki ekuitas, berarti disikapi secara positif oleh konsumen. Davis (2000), mencatat bahwa merek yang kuat memperoleh manfaat- manfaat sebagai berikut: 1.
Loyalitas memungkinkan terjadinya transaksi terulang, bahkan dapat menganjurkan merek tertentu kepada orang lain. Semaskin kuat merek, loyalitas semakin tinggi, maka konsumen akan lebih toleran terhadap kesalahan produk atau perusahaan.
2.
Merek yang kuat memungkinkan perusahaan menetapkan harga yang lebih tinggi (premium) yang berarti marjin yang lebih tinggi bagi perusahaan.
31
3.
Merek yang kuat memberikan kredibilitas pada merek lain yang menggunakan merek tersebut.
4.
Merek memungkinkan return yang lebih tinggi.
5.
Merek yang kuat memungkinkan differensiasi relatif dengan pesaing yang jelas, bernilai dan berkesinambungan.
6. Merek yang kuat memungkinkan fokus internal yang jelas. Merek yang kuat menjadi daya tarik untuk menarik karyawan-karyawan berkualitas, sekaligus mempertahankan karyawan-karyawan (yang puas). 7. Merek yang kuat menarik konsumen untuk hanya menggunakan faktor merek dalam pengambilan keputusan pembelian.
2.2 Relationship Marketing 2.2.1 Definisi Relationship Marketing Relationship marketing, adalah upaya kegiatan marketing fokus pada customer retention. Berdasarkan cuplikan Rafel dan Ahmed dalam artikel yang ditulis oleh Ahmad Muklis (2003), bahwa Relasional adalah aset berharga dan mendasar perusahaan lebih dari nilai aset fisik, paten, produk atau pasar transaksional dengan konsumen sekalipun, karena relasional menentukan masa depan perusahaan, baik relasional dengan pelanggan, dengan investor, dan bahkan dengan karyawan. Relationship marketing fokus pada customer keeping, daripada customer getting. “Relationship marketing is how a company finds you; get to know you; keep in touch with you; tries to ensure you get what you want from them, not just in the product but in every aspect of them dealing with you; checks that you are getting
32
what they promised you-all subject to it being mutually worthwhile to both parties.”(Stone and Woodcock,1995). “In essence, relationship marketing means developing customers as partners, a process much different than traditional transaction based marketing” (Bowen and Shoemaker). “The objective of this new paradigm – called one-to-one marketing or relationship marketing is give an enterprise the capacity to threat its customers as individuals and thereby develop a continuing business relationship with them.” (Peppers and Rogers, 1995). Tujuannya adalah penciptaan loyal customers dikarenakan oleh faktor lainnya, selain faktor ekonomi dan atribut produk. Safisfaction, kepuasan semata tidak selalu berlanjut kepada loyalitas konsumen. Satisfaction, trust dan commitment merupakan kunci dalam relationship marketing.
2.2.2 “Six Market” Model Di dalam jurnal Andrian Payne, Ballantyne, Christopher dalam jurnalnya tahun 2005, mengatakan bahwa pendekatan yang didasarkan Relationship pada marketing menawarkan sebuah agenda reformasi stakesholders dengan sebuah penekanan pada kolaborasi stakesholder itu sendiri. Pemahaman peranan Relationship jangka panjang, baik dengan pelanggan ataupun dengan grup stakeholders yang lain, sekarang ini mulai diminati dan telah masuk pada seluruh literatur tentang Relationship marketing.
33
Dalam tahapan ini, Adrian Payne memaparkan beberapa stakeholders dan disebut sebagai “Six Market” Stakeholders Model, sebagai berikut: 1. “Customer Markets” termasuk “existing” dan “prospective” customers. 2. “employee markets” berhubungan dengan kepegawaian pada organisasi tersebut. 3. “supplier markets” termasuk “traditional suppliers” yang akan membentuk strategic alliance) 4. “Referral markets” termasuk 2 kategori utama – “existing” Customer yang merekomendasikan supplier mereka ke yang lain, dan “referral” sources, atau “multipliers”, sebagai contoh sebuah firma akuntansi yang mungkin bekerja sama dengan firma hukum. 5. “influencer markets” – termasuk financial analysts, shareholders, the business press, the government, and consumer groups. 6. “Recruitment Market” – Organisasi termasuk internal departments dan staff. Gambar 2.8 “Six Market” Model Internal markets (Pemasaran Internal: setiap karyawan adalah pelanggan internal atau pemasok internal) Supplier markets (kolaborasi dengan para pemasok terpilih)
Referral markets (menciptakan pendukung, selain pelanggan – perantara, agensi, dsb)
Customer Markets (pemeliharaan pelanggan, customer Recruitment markets (sumberdaya manusia/orang-orang terlatih)
Influence markets (Industri yang turut mempengaruhi: asosiasi, pemerintah, dll)
Sumber: Relationship Marketing: The U.K. Perspectives, article of handbook, 2000
34
2.2.3 Peranan Relationship Marketing Menurut Bambang Winarto mengatakan, manfaat- manfaat Relationship Marketing terhadap Customers: 1. Keuntungan yang didapat oleh konsumen melebihi apa yang dharapkan oleh konsumen, seperti kualitas pelayanan yang baik, produk yang dapat dikustomisasi, penambahan nilai (value), dan mengurangi keraguan. 2. Bejou et al. (1998) mengatakan dengan relationship marketing juga mengurangi perceived risk dari konsumen sebagai salah satu manfaatnya. Di dalam jurnal John Egan, mengatakan, menurut Mintel didalam risetnya mengatakan bahwa, “Customers more getting out of loyalty schemes than retailer” (Khan 1998). Insentif yang digunakan untuk memeprtahankan pelanggan berbiaya tinggi. Market sendiri melakukan peperangan, “price wars” dan “differential advantage”. Maka dengan melakukan Relationship Marketing (RM), maka perusahaan dapat memiliki Long term benefit dan sustainable advantage. “Long term Relationship bring Long term advantage” (Murphy 1997) didalam jurnal yang sama. Dengan melakukan hubungan jangka panjang dengan pelanggan, maka akan menimbulkan, keuntungan jangka panjang serta meningkatkan keuntungan dari pelanggan tersebut. Sustainable advantage, sudut pandang yang mengatakan bahwa apabila konsumen puas maka konsumen tersebut akan loyal terhadap suatu merek, ternyata filosopi tersebut belum tentu terjadi, tidak semua konsumen yang puas akan loyal terhadap merek tertentu. Melainkan konsumen yang memiliki keterikatan emosional lebih menimbulkan keinginan untuk “shop around”.
35
Didalam industri yang memiliki kompleksitas comparability, continual reassurance dan frequent comparison diperlukan untuk memastikan konsumen yang ada tetap puas.
2.3. Services Marketing 2.3.1. Services Marketing dalam lingkungan kita “Ours is a service economy and it has been for some time” - Karl Albrecht and Ron Zemke Sebagai konsumen, kita menggunakan service setiap hari. Menyalakan lampu, mendengarkan radio, berbicara di telepon, naik bis, potong rambut, atau mengirimkan pakaian kotor kita ke binatu, semua adalah contoh dari penggunaan service pada tiap individu. Kabar buruknya, konsumen tidak selalu senang dengan mutu (quality) dan nilai (value) dari layanan yang diterimanya. Banyak konsumen yang komplain untuk beberapa produk service yang mereka gunakan, lampu selalu mati, telepon selalu terkena gangguan, pakaian yang kembali menjadi rusak dan lain sebagainya. Bagi penyedia jasa service, sering menghadapi kompetisi yang ketat, sehingga menyebabkan mereka memiliki kekhawatiran berlebihan dalam menghadapi kompetisi tersebut. Untuk itu, bagi penyedia service perlu mengetahui bagaimana mereka dapat menyenangkan konsumennya bersamaan dengan produktifitas yang baik, keuntungan yang didapat, memiliki staff yang menyenangkan, dan kayawan yang kompeten. Arti service dalam buku Services Marketing – People, Technology, Strategy (Christopher Lovelock and Jochen Wirtz; 9);
36
“A Service is an act or performance offered by one party to another. Although the process may be tied tp a physical product, the performance is transitory, often intangible in nature, and does not normally result in ownership of any of the factors of production.” “A Service is an economic activity that creates value and provides benefits for customers at specific times and places by bringing about a desired change in, or on behalf of, the recipient of the service.”
2.3.2. The Services Marketing Mix Bauran pemasaran menurut Kotler (2003:78) adalah campuran dari variabelvariabel yang dapat dikendalikan, yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk mengejar tingkat penjualan yang diinginkan dalam pasar sasaran. Menurut Basu Swastha (1990:78) mengartikan bauran pemasaran sebagai kombinasi dari empat variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran perusahaan, yakni produk, harga, kegiatan promosi dan sistem distribusi. Sedangkan menurut Sutojo (2001:1) bauran pemasaran didefinisikan sebagai istilah yang dipakai untuk menjelaskan kombinasi empat besar pembentuk inti sistem pemasaran sebuah organisasi. Keempat tersebut adalah penawaran, produk, struktur harga, kegiatan promosi, dan sistem distribusi. Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa bauran pemasaran adalah campuran atau kombinasi variabel- variabel pemasaran yang dapat dikendalikan dan dipergunakan perusahaan untuk mengejar tingkat penjualan yang diinginkan dalam pasar sasaran. Dalam strategy marketing pada umumnya, biasanya para marketer
37
menggunakan konsep 4P ketika mereka hendak meluncurkan sebuah produk ke pasar. Namun dalam industri Service, 4P saja tidak cukup, oleh sebab it u menggunakan 7P. 7P biasa digunakan dalam industri service dimanapun juga. Berikut ini adalah penjelasan mengenai ketujuh elemen dalam the services marketing mix (bauran pemasaran industri jasa), menurut
Christopher dan Jochen dalam buku service
marketing (2004:165): 1. Product Elements Para manager harus menyeleksi feature dari produk utama yang ditawarkan – dan seperangkat elemen – elemen tambahan yang berkaitan dengan service yang menjadikan keduanya sebuah produk yang utuh. Pendeknya, dibutuhkan perhatian yang menyeluruh pada segala aspek produk yang akan ditawarkan dari tampilan servicenya untuk memiliki kemampuan untuk menciptakan nilai bagi konsumen. 2. Place and Time Mengirimkan Elemen – elemen produk ke konsumen melibatkan keputusan pada tempat dan waktu pengiriman, sebaik metode dan channel yang digunakan. Pengiriman mungkin melibatkan channel distribusi elektronik atau fisik atau bahkan keduanya, bergantung pada kebutuhan service yang tersedia. 3. Promotion and Education Tidak ada Program Marketing/Pemasaran yang sukses tanpa komunikasi yang efektif. Komponen ini memainkan 3 hal utama yaitu; 1. Menyediakan kebutuhan informasi dan saran, 2. Membujuk konsumen yang menjadi target atas manfaat dari produk spesifik yang kita sediakan dan 3. Mendorong
38
mereka untuk mengambil sebuah keputusan pada waktu yang bersamaan. Dalam Service Marketing, banyak komunikasi adalah pengajaran dalam halhal alamiah, khususnya bagi konsumen baru. Perusahaan membutuhkan waktu untuk mengajari konsumen-konsumen ini tentang keuntungan dari service yang kita berikan, dimana dan kapan memperolehnya, dan bagaimana untuk berpartisipasi dalam proses service yang ditawarkan. Komunikasi bisa disampaikan oleh individu, seperti sales, staf baris depan, atau melalui media, seperti; tv, radio, koran, majalah, poster, brosur, website dan lain lain. Aktifitas promosi dapat mempengaruhi pilihan brand, dan insentif/pendorong bisa digunakan untuk membuat konsumen membeli produk yang ditawarkan. 4. Price and Other users outlays Komponen ini ada pada pihak manajemen dari keseluruhan pembiayaan yang terjadi oleh konsumen dalam mendapatkan keuntungan dari produk service yang ditawarkan. Karenanya, Strategy service marketing tidak dibatasi pada ketentuan-ketentuan pricing tradional yang membatasi harga jual ke konsumen, penetapan margin untuk beberapa perantara yang digunakan, dan membangun jangka waktu kredit. Para pemasar harus mengerti, dimana menyatukan, mencari minimal pembiayaan yang lain yang konsumen sukai dalam terjadinya pembelian dan penggunaan service yang ditawarkan. Pembiayaan ini dapat meliputi biaya tambahan keuangan, seperti biaya pengiriman, biaya waktu, usaha fisik dan mental yang tidak diinginkan.
39
5. Physical Environment Tampilan gedung, tanah, kendaraan, furniture interior, perlengkapan, anggota staff, logo, bahan baku cetakan, dan hal- hal lainnya yang dapat terlihat oleh mata telanjang sehingga dapat menimbulkan persepsi positif bagi konsumen yang melihatnya pada perusahaan service tersebut. 6. Process Menciptakan dan mengirimkan elemen produk ke konsumen memerlukan desain dan implementasi dari proses yang efektif. Sebuah proses adalah sebuah metode dan rangkaian tindakan dalam penampilan service. Proses desain yang buruk sering menciptakan kelambatan, birokrasi, dan pengiriman service yang tidak efektif dan hasilnya tidak memuaskan konsumen. Begitu juga, proses yang kurang baik, membuat service itu sulit untuk staff baris depan untuk melakukan pekerjaan mereka dengan baik, menghasilkan produktifitas yang rendah dan meningkatkan kemungkina n kegagalan service. 7. People Banyak Service bergantung pada interaksi langsung antara konsumen dan karyawan perusahaan. Kealamiahan interaksi ini, seperti potong rambut, berbicara pada staff call center, akan berpengaruh kuat pada persepsi konsumen pada mutu service. Oleh sebab itu, perusahaan membutuhkan usaha- usaha yang cermat dalam mencari karyawan, melatihnya, dan memotivasi.
40
2.4
Analisis Segmenting, Targeting, Positioning Dengan melakukan analisis STP sebagai langkah awal identifikasi konsumen,
sehingga mempermudah perusahaan didalam melakukan strategi pemasaran yang tepat guna. Terbagi kedalam tiga proses, keseluruhan proses pemasaran baik branding maupun marketing beranjak mulai dari segmentasi, kemudian Targeting, dan Positioning. Banyak para ahli marketer mengemukakan pendapatnya tentang STP. Segmentasi menurut Cravens (2006:99) mengatakan, “ Market segmentatio is the process of placing buyers in a rduct-market into subgroups so that the member of each segment display similar responsiveness to a particular positioning strategy.” Dimana sebagai suatu upaya bagi perusahaan untuk keluar dari mass-market thinking, dan mencoba untuk mengidentifikasikan market segmen yang besar. Menurut Kotler ada tiga pendekatan tradisional yang dapat dilakukan untuk melakukan segmentasi (2003:163). Disempurnakan dengan pernyataan Cravens (2006: 108), yaitu dengan membagi segmentasi kedalam tiga grup yaitu: 1. Demographic group, yaitu kharakteristik konsumen biasanya usia, gender, ras, tingkat pendapatan, lokasi geografis. 2. Needs group, yaitu preferensi konsumen, status brand loyalty, suatu kebutuhan yang memerlukan solusi tertentu. 3. Purchase behavior group, yaitu kharakteristik umum yang dimiliki oleh konsumen dalam segmen tertentu didalam melakukan pembelian, seperti ukuran pembelian, frekuensi pembelian.
41
Targeting adalah keputusan perusahaan mengenai segmen pasar mana yang hendak dilayani atau dibidik. Tingkat kesuksesan perusahaan akan jauh lebih tinggi dengan melayani target pasar tertentu (bermain dalam ceruk yang lebih kecil). Menurut Keller (2003:120), dengan mengidentifikasi target pasar tertentu sangatlah penting karena setiap konsumen memiliki pengetahuan brand yang berbeda-beda, persepsi dan preferensi yang berbeda-beda. “Brand Positioning is the heart of marketing strategy” menurut Keller. Sedangkan Kotler mengatakan, “ act of designing te company’s offer and image so that occupies a disctinct value place in the target customer’s mind.”. Positioning adalah bagaimana cara komunikasi perusahaan meletakkan nama, merek atau setiap attribut produk kedalam pikiran konsumen.
2.5 Analisis SWOT dan Strategi Pemasaran Yang Sesuai. 2.5.1
Menganalisa
Siklus
Hidup
Produk
dan
Tingkat
Kedewasaan Pasar Sesungguhnya antara siklus produk dan tingkat kedewasaan pasar sangat berhubungan erat. Siklus hidup produk menerangkan tahap-tahap dimana suatu kategori produk melalui usianya dalam pasar. Konsep siklus hidup produk memfokuskan pada apa yang sedang terjadi terhadap suatu produk atau merek tertentu. Sedangkan tingkat kedewasaan pasar lebih banyak ditentukan oleh sikus hidup permintaan atau teknologi. Kedewasaan atau evolusi pasar (menurut Kotler) dpengaruhi pula oleh adanya kebutuhan baru, pesaing, teknologi, saluran distribusi,
42
dan perkembangan lainnya. Keeratan hubungan antara siklus hidup produk dan kedewasaan pasar adalah berdasarkan anggapan bahwa pasar baru muncul atau terbentuk ketik produk diciptakan untuk memenuhi kebutuhan yang belum terealisir. Sesungguhnya konsep asal siklus hidup produk adalah siklus hidup permintaan atau teknologi.
2.5.2 Siklus Hidup Produk Pengertian siklus hidup produk adalah bahwa produk memiliki masa hidup yang terbatas. Penjualan produk dan keuntungan melewati tahapan yang berbeda, setiap tahap memberikan tantangan yang berbeda bagi para retailer. Oleh karena itu, setiap produk memerlukan strategi pemasaran, keuangan, produksi, pembelian dan personalia yang berbeda dalam setiap tahap dalam siklus hidup. Tahapan dalam siklus hidup produk adalah sebagai berikut: (a) Tahap introduction (perkenalan), ditandai dengan ciri-ciri: periode pertumbuhan penjualan lambat, produk baru diperkenalkan, belum mendapat laba, biaya perkenalan produk besar. (b) Tahap growth, terjadi hal- hal: pertumbuhan pasar cepat, peningkatan laba, penjualan meningkat. (c) Tahap mature (kedewasaan), dimana terjadi: pertumbuhan penjualan menurun, produk telah diakui oleh pembeli potensial, laba relatif stabil atau menurun, peningkatan biaya pemasaran untuk melawan pesaing. (d) Tahap decline (penurunan), dengan ciri-ciri: penjualan menurun, laba menurun.
43
2.5.3 Tingkat Kedewasaan Pasar Telah dikemukakan diatas bahwa dalam kedewasaan pasar lebih ditentukan oleh siklus hidup permintaan atau teknologi dimana hal ini merupakan konsep awal dari siklus hidup produk. Dalam siklus hidup permintaan atau teknologi terjadi perubaha tingkat kebutuhan, dan kebutuhan itu dipenuhi oleh teknologi. Didalam siklus permintaan atau teknologi terdapat serangkaian bentuk produk yang secara terusmenerus memenuhi kebutuhan pada waktu tertentu. Menurut Cravens ciri-ciri dalam tahap kedewasaan industri atau pasar adalah seperti yang terlihat pada tabel berikut. Tabel 2.1 Tahap Kedewasaan Industri DESKRIPSI Rate Pertumbuhan
Potensi Industri
Lini Produk
Jumlah Pesaing
Infant Rendah
Sulit ditentukan
Sedikit, perubahan perlahan tergantung kebutuhan konsumen
TAHAP KEDEWASAAN INDUSTRI Growing Mature
Decline
lebih cepat daripada GDP, Penjualan rate lebih rendah daripada GDP, Volume penjualan industri menurun berekpansi sifat pertumbuhan siklis permintaan lebih besar dari volume sudah jenuh, supply lebih besar dari industri, perkembangan tidak begitu sudah jelas pasar primer mulai jenuh permintaan jangka panjang kelihatan Lini produk meningkat, orientasi pada multisegmen
Lini produk menjadi sedikit, mengisi Sedikit, tapi tertuju untuk kebutuhan segmen sempit besar
Jumlah & tipe pesaing tidak stabil, Mula-mula sedikit, kemudian menjadi Menurun, industri terbagi menurut mula-mula banyak mencapai puncak Agak stabil dan cenderung menurun banyak supplier-supplier kecil kemudian menurun
Tidak stabil, sulit mengukur share, share terkonsentrasi
Rangking berubah-ubah, hanya sedikit yang mendapatkan share besar
Tidak stabil, share sedikit, perusahaan dengan share besar Turun, volume pasar turun, share mulai terancam, persaingan ceruk, terkonsentrasi perusahaan dengan share kecil sulit untuk naik.
Pola Pembelian
bervariasi, ada konsumen yang loyal dan ada yang tidak
Ada konsumen yang loyal, pembeli agresif, pembelian ulang, ada sensitifitas harga
supplier dikenal baik, pola pembelian konsumen sangat loyal karena sudah terbenuk, konsumen loyal jumlah produksi sedikit, konsumen pada supplier tertentu, sensitivitas dan supplier terikat satu dengan harga naik yang lain
Kemudahan untuk masuk (dalam hal modal)
Mudah, kesempatan mungkin tidak jelas
Mudah, kehadiran pesaing meningkat
Sangat penting, dimulai dari terobosan teknologi, persaingan teknologi
Sedikit teknologi muncul, perbaikan kinerja teknologi, perbaikan lini produk
Kestabilan pangsa pasar
Teknologi
sulit, pesaing terbatas, pertumbuhan mulai turun
sedikit insentif
Perbaikan proses dan material, Sedikit berperan, mencari teknologi teknologi yang berkembang diluar baru untuk memperbaharui industri dipakai untuk mencari pertumbuhan efisiensi
Sumber: Cravens, (2006:64)
44
2.5.4 Mengarahkan Strategi Pemasaran Yang Sesuai Dengan Siklus Hidup Produk Dan Tingkat Kedewasaan Pasar. Tiap-tiap tahap dalam siklus hidup produk dan tingkat kedewasaan pasar menghendaki perubahan strategi pemasaran dari waktu ke waktu. Di bawah iniakan digambarakan strategi pemasaran masing- masing menurut siklus hidup produk dan tingkat kedewasaan pasar. 1. Strategi Pemasaran untuk Siklus Hidup Produk Tabel 2.2 Strategi dan Tahap Hidup Produk
CIRI-CIRI
Infant
TAHAP SIKUS HIDUP PRODUK Growing Mature
Decline
Supaya produk dikenal dan dicoba
Memaksimalkan pangsa pasar
Memaksimalkan profit dan mempertahankan pasar
Produk
Menawarkan produk dasar
Menawarkan perluasan produk, pelayanan, dan garansi
Mendiversifikasi merek dan model
Menghentikan item lemah
Price
Menggunakan cost-plus
Harga penetrasi pasar
Harga menyesuaikan atau memakan pesaing
Harga dipotong
Distribusi selektif
Distribusi selektif
Distribusi lebih intensif
Distribusi selektif, menutup outlet yang merugikan
Bauran Pemasaran
Mengurangi pengeluaran dan memperbaiki merek
Strategi:
Distribusi
Pengiklanan
Membentuk product awarness pada Membentuk ingin tahu dan minat Menekankan pada perbedaan merek Iklan dikurangi hingga tingkat adopsi awal dan pengantara pada pasar massal dan keuntungan mempertahankan yang paling loyal
Promosi Penjualan
Sangat kuat untuk menarik pembeli Dikurangi untuk mendapatkan Ditingkatkan untuk memantapkan Dikurangi hingga tingkat minimal agar mencoba dan ada yang tidak permintaan konsumen yang tinggi merek Sumber: Whellen and Hunger (1995: 142)
45
2. Strategi pemasaran menurut Kedewasaan Pasar Tabel 2.3 Strategi dan Tingkat Kedewasaan Pasar POSISI PERSAINGAN Dominan
Kuat
TINGKAT KEDEWASAAN PASAR Growing Mature
Infant
Decline
Grow fast
Grow fast
Defend Position
Defent position
Start up
Cost leadership
Focus
Renew
Renew
Renew
Grow into maturity
Defend position
Grow fast
Start up
Grow fast
Cost Leadership
Find niche
Diferensiasi
Catch up
Renew, Focus
Hold niche
Bertumbuh dengan cepat
Cost leadership
Differentiate
Hang in
Differensiasi
Grow with industry
Grow Market Industry Harvest
Diferensiasi yang Favorable
Start up
Differentiate, focus find
Harvest
Catch up
and hold niche grow with
Turn around
Focus
the industry
Find niche
Grow fast
Bertahan
Retrench
Retrench
Start up
Harvest, Catch up
Harvest
Divest
Grow with the industry
Hold niche, hang in
Turn around
Retrench
Focus
Find niche
Find niche
Turn around, Focus
Retrench
Grow with the industry
Lemah
Find niche
Turn around
Withdraw
Catch up
Retrench
Divest
Withdraw
Growth with industry
Sumber: Whellen and Hunger (1995: 145)
Beberapa definisi tentang strategi-strategi yang dapat digunakan yaitu sebagai berikut: 1. Start up: pengenalan produk dengan terobosan teknologi 2. Grow with the industry: membatasi usaha secukupnya untuk mempertahankan pangsa pasar. 3. Cost leadership: mencapai harga terendah dengan level kualitas yang bisa diterima. 4. Differentiate: mencapai pembedaan produk/kualitas/service yang tinggi (seperti yang dipersepsikan oleh konsumen) dengan biaya yang dapat diterima.
46
5. Focus: menyeleksi segmen tertentu atau khusus untuk dilayani 6. Renew: memperbaharui lini produk yang bersaing dengan antisipasi penjualan industri masa depan 7. Defend position: posisi persaingan menyerang dan stabil 8. Harvest: mengubah posisi persaingan atau pangsa pasar menjadi lebih tinggi 9. Find Niche: upaya menemukan ceruk pasar tertentu 10. Hold niche: memposisikan posisi ceruk 11. Hang in: memperpanjang eksistensi didalam mengantisipasi perubahan menyenangkan di masa depan. 12. Turn around: mengatasi kelemahan kinerja dalam waktu terbatas 13. Retrench: memotong investasi dan mengurangi level resiko atau kehilangan.. 14. Divest: menyelamatkan bisnis dengan menjual lini produk, merek, fasilitas distribusi, atau kapasitas produksi. 15. Withdraw: menarik/memindahkan bisnis dari persaingan.
2.5.5 Analisis SWOT Dalam mengukur korporat/ perusahaan maka manajemen perlu memonitor lingkungan internal perusahaan dan lingkungan eksternal. Wheelen & Hunger (1995:142) mengatakan analisa SWOT ini merupakan analisa situasi, dimana perusahaan memulai proses formulasi strategi agar mendapatkan kesesuaian antara kesempatan eksternal dan kekuatan internal sementara perusahaan bekerja dalam lingkungan dimana ada ancaman eksternal dan kelemahan internal. SWOT adalah akronim dari Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats yang merupakan faktor- faktor strategik dalam organisasi. Menurut Fred R. David (2001:64):
47
1. Strength & Weaknesses Kekuatan dan kelemahan internal perusahaan, merupakan suatu hal yang dapat dikendalikan oleh perusahaan itu sendiri. Analisa kekuatan internal dan eksternal perusahaan, merupakan analisa yang dilakukan terhadap seluruh bagia perusahaan. Dengan adanya analisis ini, perusahaan diharapkan dapat meningkatkan keuntungan yang dihasilkan dari kekuatan internal perusahaan dan memperbaiki kelemahan yang ada didalam perusahaannya. 2. Opportunities & Thread Peluang dan ancaman berasal dari luar perusahaan, biasanya mengacu kepada ekonomi secara makro, hukum, perubahan pada teknologi serta trend persaingan usaha dimasa yang akan datang. Dengan adanya analisa peluang dan ancaman ini, diharapkan perusahaan mampu meningkatkan keuntungan dari adanya peluang usaha serta meredam resiko dari adanya ancaman usaha yang dilihatnya.
2.5.6 Matriks IE Merupakan bagian dari formulasi strategi. Menurut Fred R.David (2001), terdapat sebuah matriks yang dapat mengukur peuang dan ancaman perusahaan. Matriks tersebut adalah matriks EFE (External Factors Evaluation). Matriks ini menyimpulkan dan mengevaluasi kondisi luar perusahaan yang berdampak kepada perusahaan. Kemudian adanya matriks IFE (Internal Factors Evaluation) atau matriks evaluasi faktor internal perusahaan, merupakan alat untuk erangkum dan menganalisa kekuatan dan kelemahan yang terdapat disetiap bagian dalam
48
perusahaan. Alat ini sekaligus dapat membantu perusahaan dalam mengidentifikasi hubugan kerja setiap bagian didalam perusahaan. Kedua matriks diatas, akan dipertemukan kedalam sebuah matriks IE (Internal-Eksternal), yaitu matriks yang terbentuk dari 2 dimensi dimana sumbu x menunjukkan skor total IFE (Internal Factors Evaluation). Sedangkan sumbu Y menunjukkan skor total EFE (External Factors Evaluation). Bentuk matriks IE adalah seperti yang terlihat pada tabel berikut. Gambar 2.9 Matriks IE Total Skor IFAS Kuat 4.00
Rata-Rata 2.00-2.99
Lemah 1.00-1.99
Kuat 3.00-4.00
I
II
III
Rata-Rata 2.00-2.99
IV
V
VI
Lemah 1.00-1.99
VII
VIII
IX
4.00
Total Skor EFAS
3.00-
1.00
1.00 Sumber: Fred R.David (2001:208)
Matriks IE terbagi menurut tiga region utama dalam hal implikasi strategy yaitu: 1. Region 1 terdiri dari sel-sel I, II, IV, disebut region “Grow and build” (tumbuh dan membangun). Strategi yang sesuai adalah: strategi intensif yaitu: penetrasi pasar, pengembangan pasar, pengembangan produk) dan strategi integratif yaitu: integrasi ke hulu, integrasi ke hilir, integrasi horizontal).
49
2. Region 2 terdiri dari sel-sel III, V, VI disebut region “Hold and maintain” (pegang dan bertahan). Strategi yang sesuai adalah: penetrasi pasar dan pengembangan produk. 3. Region 3 mencangkup sel-sel VI, VII, IX, disebut juga region “harvest or divest”. Strategi yang dikembangkan pada region ini adalah dengan pembagian atau penjualan asset, atau hanya menuai hasil saja dan tidak berusaha banyak.
2.5.7 TOWS (Threats-Opportunities-Weaknesses-Strength) TOWS Matrix merupakan alat yang penting untuk mencocokan strategi bagi para manajer terutama guna membantu mengembangkan 4 strategi, yaitu: strategi SO, Strategi WO, Strategi WT, Strategi ST. Analisa TWOS matrix adalah analisa yang didasarkan pada analisa SWOT. Adapun matrixnya tergambar sebagai berikut. Gambar 2.10 TOWS Matrix
Strength - S
Opportunities - O
Threats - T
Weakness - W
SO Strategies WO Strategies (Use Strength to take advantage (Overcome Weakness by taking of Opportunities) advantage of Opportunities )
ST Strategies (Use Strengths to avoid Threats)
WT Strategies (minimize weakness & avoid Threats)
Sumber: Fred R. David (2001:206)
50
2.5.8
Strategy
Menurut Fred.R David, terdapat 13 strategy umumnya dikelompokkan menjadi 4 kelompok strategi besar, yaitu: Tabel 2.4 Alternatif Strategi dan Definisi No.
Strategi
Definisi
1
Forward Integration
Mendapatkan kepemilikan atau kontrol terhadap distributor atau pengecer
2
Backward Integration
Mendapatkan kepemilikan atau kontrol terhadap perusahaan pemasok
3
Horizontal Integration
Mendapatkan kepemilikan atau meningkatkan kontrol terhadap kompetitor
4
Market Penetration
Meningkatkan pasar yang ada untuk produk tertentu melalui peningkatan usaha pemasaran
5
Market Development
Memperkenalkan produk yang sudah ada ke daerah pemasaran yang baru (menambah pangsa pasar)
6
Product Development
Meningkatkan penjualan dengan cara memperbaiki produk yang sudah ada atau mengembangkan produk baru
7
Concentric Diversification
Menambah produk baru yang saling berhubungan dengan produk yang sudah ada, untuk pasar yang sama
8
Conglomerate Diversification
Menambah produk baru yang tidak saling berhubungan dengan produk yang sudah ada, untuk pasar yang berbeda
9
Horizontal Diversification
Menambah produk baru yang tidak saling berhubungan dengan produk yang sudah ada, dengan tujuan untuk memuaskan pelanggan yang ada.
10
Joint Venture
Dua atau lebih perusahaan membentuk perusahaan yang terpisah dari kedua induknya
11
Divestitute
Menjual sebuah unit bisnis atau kepemilikan unit bisnis kepada pihak lain.
12
Retrenchment
Penghematan biaya dengan cara mengurangi sebagian dari asset perusahaan untuk mengatasi menurunnya penjualan dan keuntungan
13
Liquidation
Menjual seluruh asset perusahaan atau menutup perusahann
Kelompok
Vertical Integration Strategy
Intensive Strategy
Diversification Strategy
Defensive Strategy
Sumber: Fred R David (2001: 64)