BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Konsep Benchmarking Sistem pengukuran kinerja merupakan kunci untuk memandu dan menguji
hasil dari proses perbaikan, tetapi tidak mengindikasikan bagaimana suatu proses harus diperbaiki. Salah satu pendekatan yang dapat membantu melengkapi hal tersebut adalah benchmarking. Definisi Benchmarking menurut David dan Stanley (1998) dalam bukunya "introduction to total quality" sebagaimana dikutip oleh Rio Grace Sitompul dengan judul tesisnya Benchmarking Jasa Remittance pada PT Bank Central Asia, Tbk terhadap jasa remittance pada bank mendefinisikan Benchmarking sebagai berikut : Benchmarking is the proses of comparing and measuring an organization:s operations or it's internal proseses against those of a best-in-class performer from inside or outside its industry. Dari definisi di atas diketahui bahwa Benchmarking merupakan proses membandingkan dan mengukur suatu kinerja perusahaan atau internal proses perusahaan terhadap pembandingnya yang mempunyai produk sejenis tetapi lebih unggul dan perusahaan tersebut bertaraf internasional.
11
12
Menurut definisi yang telah dikemukakan Watson (2008), “Benchmarking merupakan proses pengukuran yang sistematis dan berkesinambungan; proses mengukur dan membandingkan secara berkesinambung atas proses-proses bisnis suatu organisasi dengan tokoh-tokoh proses bisnis manapun di seluruh dunia, untuk mendapatkan informasi yang akan membantu upaya tersebut memperbaiki kinerjanya. “ Jadi selain merupakan proses pengukuran yang terutama menghasilkan tolak ukur komparatif, Benchmarking menggambarkan cara mencapai kinerja yang cemerlang. Jadi proses Benchmarking melahirkan dua jenis hasil yaitu tolak ukur kinerja komparatif dan faktor penentu dan faktor penentu ini mencerminkan mekanisme di balik kinerja proses. Sedangkan di dalam buku Robert C. Camp tahun 1989, benchmarking : The Search forIndustry Best Practise that lead to Superior Performance. Milwaukee, ASQC Quality Press, 1989, ia mengutip rumus yang dikemukakan oleh David T. Kearns, CEO dari Xerox Corporation sebagai : suatu proses pengukuran terusmenerus atas produk, jasa dan tata cara kita terhadap pesaing kita yang terkuat atau badan usaha lain yang dikenal sebagai yang terbaik.” atau Benchmarking adalah suatu metode yang digunakan dalam manajemen untuk meningkatkan kualitas dengan mempelajari kemampuan perusahaan. Untuk itu Benchmarking adalah suatu atau teknik yang digunakan untuk membantu memusatkan dan memonitoring perhatikan
13
tentang pekerjaan yang buruk dan bagaimana cara kita untuk dapat mengerjakan dengan baik. Menurut Pawitra (2008), “Benchmarking adalah suatu proses belajar yang berlangsung secara sistematis dan terus-menerus setiap bagian dari suatu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan yang terbaik atau pesaing yang paling unggul.” Sedangkan menurut Goetsch dan Davis (2008), “Benchmarking sebagai proses pembanding dan pengukuran operasi atau proses internal organisasi terhadap mereka yang terbaik dalam kelasnya, baik dari dalam maupun dari luar industri.” Berdasarkan beberapa definisi Benchmarking tersebut diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa dapat dikatakan benchmarking membutuhkan kesiapan “Fisik” dan “Mental”. Secara “Fisik” karena dibutuhkan kesiapan Sumber daya manusia dan teknologi yang matang untuk melakukan benchmarking secara akurat, Sedangkan secara “Mental” adalah bahwa pihak Manajemen perusahaan harus bersiap diri bila setelah dibandingkan dengan pesaing, ternyata mereka menemukan kesenjangan yang cukup tinggi. 2.2
Total Benchmarking Benchmarking yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak disusun dalam
suatu konsep yang disebut Total Benchmarking di definisikan sebagai proses membandingkan rasio-rasio yang terkait dengan tingkat laba perusahaan dan berbagai
14
input dalam kegiatan usaha dengan rasio-rasio yang sama yang dianggap standar untuk kelompok usaha tertentu, serta melihat hubungan keterkaitan antar rasio untuk menilai kewajaran kinerja keuangan dan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak. Dengan demikian total total benchmarking memiliki karakteristik : 1. Benchmark disusun berdasarkan kelompok usaha 2. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio berkaitan dengan tingkat laba dan inputinput perusahan. 3. Hubungan keterkaitan antar rasio-rasio diperhatikan. 4. Fokus pada penilaian kewajaran Kinerja laporan keuangan dan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Rasio merupakan alat yang penting dalam melakukan analisa laporan keungan. Rasio (%) digunakan untuk mengkonversi angka-angka dalam laporan keuangan ke dalam bentuk yang lebih banyak untuk diperbandingakan dengan data tahun-tahun lainnya untuk satu Wajib Pajak (vertikal) ataupun dibandingkan antar Wajib Pajak dalam bidang Industri tertentu (horizontal). Rasio bisa lebih menggambarkan posisi satu Wajib Pajak dibandingkan dengan Wajib Pajak lainnya dalam satu industry yang sama dibandingkan dengan angka-angka rupiah laporan keuangan. Secara umum, analisa rasio akan berguna untuk :
15
a. Memahami kinerja satu industri; b. Membandingkan kinerja perusahaan (Wajib Pajak) dengan benchmark-nya; c. Melakukan komparasi dengan tahun-tahun lainnya; d. Membantu dalam menentukan tingkat risiko ketidakpatuhan di Wajib Pajak Untuk membantu mendayagunakan analisa rasio, perlu dilakukan penetapan standar kinerja operasional untuk Wajib Pajak dalam satu bidang usaha tertentu atau dibuat satu benchmark (patokan) kinerja yang nantinya akan digunakan untuk mengukur apakah kinerja laporan keuangan satu Wajib Pajak kurang, sesuai atau melebihi benchmark-nya. Hal ini didasari asumsi bahwa kelompok Wajib Pajak dalam satu perusahaan tertentu akan mempunyai perilaku biaya yang cenderung sama. 2.3 Karakteristik Total Bencmarking Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-139/PJ/2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking Tahap V yang menindaklanjuti Ketentuan Surat Edaran Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya disebutkan bahwa Rasio Total Benchmarking memiliki karakteristik sebagai berikut : 1. Rasio Total benchmarking disusun berdasarkan kelompok usaha;
16
2. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan tingkat laba dan input-input perusahaan; 3. Ada keterkaitan antar rasio benchmark; 4. Fokus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban perpajakan. 2.4
Tujuan dan Manfaat Total Benchmarking Tujuan keseluruhan dari Benchmarking adalah untuk memahami praktek-
praktek terbaik dalam melaksanakan berbagai aktifitas untuk belajar bagaimana menjadi yang terbaik dan segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk memperbaiki kekurangannya. Ada
hubungan
yang
erat
antara
Benchmarking
dengan
perbaikan
berkesinambugan. Adapun hubungan tersebut adalah : a. Situasi persaingan yang semakin kompetitif sehingga menuntut tiap perusahaan untuk cepat melakukan perbaikan dan penyempurnaan pada tiap aspek yang menjadi kelemahannya. b. Benchmarking dapat memberikan informasi utama kepada perusahaan mengenai posisi relative perusahaan terhadap praktek dan proses yang terbaik dalam kelasnya serta proses-proses yang perlu di ubah oleh perusahaan.
17
c. Benchmarking dapat menjadi informasi mengenai kualitas suatu perusahaan. Sedangkan Tujuan Total benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu : 1. Menjadi pedoman dan sebagai pembanding dengan kondisi SPT Tahunan yang dilaporkan oleh Wajib pajak; 2. Membantu pengawasan Kepatuhan Wajib Pajak, terutama menyangkut kepatuhan materialnya. Sedangkan Manfaat Total Benchmarking adalah : 1. Supporting tools bagi program intensifikasi penggalian potensi Pajak; 2. Alat bantu dalam penghitungan tax gap. 2.5
Jenis - Jenis Benchmarking Pada Umumnya ada empat jenis Benchmarking yaitu : 1. Benchmarking Internal Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan operasi suatu bagian dengan bagian internal lainnya dalam suatu organisasi.
18
2. Bencmarking Kompetitif Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan perbandingan dengan berbagai pesaing.
3. Benchmarking Fungsional Dalam Benchmarking fungsional diadakan perbandingan fungsi atau proses dari perusahaan-perusahan yang berada di berbagai industry. 4. Benchmarking Generik Benchmarking generik adalah perbandingan pada proses bisnis fundamental yang cenderung sama di setiap industry. Oleh karena prose situ sama di setiap perusahaan, misalnya menerima pesanan, pelayanan, pelanggan dan mengembangakan strategi, maka dapat diadakan Benchmarking meskipun perusahaan itu berada di bidang industry yang berbeda. 2.6
Prinsip – Prinsip Benchmarking Dalam melakukan Benchmarking maka prinsip-prinsip yang harus dijadikan
acuan agar Benchmarking ini tepat dan akan menghasilkan studi yang sukses. Prinsipprinsip ini adalah resiprositas, analogi, pengukuran, dan validitas. Kunci bagi Benchmarking yang sukses adalah prinsip resiprositas yaitu praktek yang didasarkan pada hubungan timbal balik, melakukan Benchmarking jika hendak mencapai tingkat tertinggi alih pengetahuan diantara mitra Benchmarking proses operasional yang dikaji harus komparatif atau analogis, Benchmarking merupakan perbandingan kinerja yang diukur diantara setidaknya dua perusahaan,
19
maksudnya adalah memahami mengapa ada berbagai tingkat kinerja dan bagaimana caranya mencapai tingkat kinerja yang lebih tinggi. Benchmarking untuk menjamin reorientasi yang akurat, tolak ukur sampel, tolak ukur kejadian pada waktu atau tempat tertentu perlu dikaitkan dengan system pengkuran yang digunakan. Dari teori Benchmarking ini kebijakan rasio total Benchmarking yang telah diterapkan oleh DJP untuk menentukan rasio-rasio keuangan perusahaan yang dianggap baik dan mewakili klasifikasi usaha dengan membandingkan rasio Benchmak ini terhadap Wajib Pajak.
2.7
Proses dan Metode Penetapan Benchmarking Proses dan metode penetapan Benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen
Pajak Nomor SE-139/PJ/2010 tentang Penetapan Rasio Total Benchmarking tahap V yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu : 1. Nilai
masing-masing
benchmarking
ditetapkan
untuk
masing-masing
kelompok usaha berdasarkan 5 digit kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Wajib Pajak. Klasifikasi Lapangan Usaha yang dimaksud adalah KLU sesuai dengan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-34/PJ/2003 tanggal 14 Februari 2003; 2. Penetapan rasio-rasio benchmarking untuk keseluruhan kelompok usaha yang dilakukan secara bertahap oleh Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak.;
20
3. Sumber data yang digunakan dalam tahap awal pembentukan benchmarking adalah data internal dalam system informasi perpajakan DJP, yang terdiri dari: Elemen-elemen Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan; Elemen-elemen Surat Pemberitahuan Masa PPN; Elemen-elemen Transkip Laporan Keuangan Tabel 1.2 : Elemen-elemen Data Penghitungan Rasio Benchmarking Uraian Penjualan Harga Pokok Penjualan Laba Bersih dari Operasi Laba Bersih sebelum Pajak PPh Terhutang Biaya Gaji Biaya bunga Biaya sewa Penyusutan dan amortisasi Penghasilan dari Luar Usaha Biaya dari luar usaha Biaya lain-lain
Nama Elemen SPT Peredaran Usaha Harga Pokok Penjualan Penghasilan Netto dari Usaha Jumlah Penghasilan Netto Komersial PPh Terhutang Gaji, Upah, Bonus, gratifikasi,honor,THR,dll Biaya bunga pinjaman Biaya Sewa + Biaya Royalti Biaya penyusutan dan amortisasi Penghasilan dari Luar Usaha Biaya dari luar usaha Biaya transportasi Biaya sehubungan dengan jasa Biaya Piutang tak tertagih Biaya Pemasaran dan promosi Biaya lainnya
Pajak Masukan Biaya sehubungan dengan jasa
Sumber Form 1771-I no 1a Form 1771-I no 1b Form 1771-I no 1d Form 1771-I no 3 Form 1771 no 4 Form 1771-II no 2 kol 3+4 Form 1771-II no 6 kol 3+4 Form 1771-II no 5 kol 3+4 Form 1771-II no 9 kol 3+4 Form 1771-II no 4 kol 3+4 Form 1771-I no 1e Form 1771-I no 1e Form 1771-II no 3 kol 3+4 Form 1771-II no 7 kol 3+4 Form 1771-II no 8 kol 3+4 Form 1771-II no 10 kol 3+4 Form 1771-II no 11 kol 3+4 Form 1111 B2 (2012-2013) Masa Jan-Des
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak 2009
Perhitungan semua rasio selain rasio PPN menggunakan elemen data hasil perekaman Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan. Data Penjualan, HPP, Laba bersih dari operasi, Laba sebelum pajak diambil dari formulir 1771
21
Lampiran I, sedangkan data PPh Terhutang diambil dari hasil perekaman induk formulir 1771. Data-data Gaji, sewa, bunga, penyusutan, dan biayabiaya lain diambil dari perekaman formulir 1771 Lampiran II. Apabila data perekaman formulir 1771 Lampiran II tidak lengkap, maka data tersebut dilengkapi menggunakan data perekaman transkip laporan keuangan. Data Pajak Masukan diperoleh dari perekaman SPT PPN Formulir 1111. Elemenelemen data yang diperlukan untuk perhitungan rasio tersebut dijabarkan dalam Tabel 1.2 diatas.
Beberapa Wajib Pajak yang dipilih sebagai sampel dari populasi masingmasing kelompok usaha. Pemilihan dilakukan secara judgemental dengan mempertimbangkan sampel tersebut harus memiliki nilai rasio-rasio yang dianggap baik dan wajar dalam kelompok usahanya.
Penentuan nilai benchmark dilakukan dengan menghitung rata-rata rasio keuangan perusahaan-perusahaan yang diambil sebagai sampel, dengan menggunakan metode penghitungan rata-rata tertimbang (weighted average).
2.8
Rasio Total Benchmarking Menurut pedoman Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-139/PJ/2010 tentang
Penetapan Rasio Total Benchmarking tahap V yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, rasio-rasio yang digunakan dalam Total Benchmarking meliputi 14 rasio yang terdiri dari rasio-rasio yang mengukur kinerja operasional,
22
rasio input, rasio PPN, dan rasio aktivitas luar usaha. Pemilihan 14 Rasio tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa rasio yang digunakan sedapat mungkin mampu memberikan gambaran secara menyeluruh atas kegiatan operasional perusahaan dalam satu periode dan berkaitan dengan semua jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak. Rasio-rasio tersebut meliputi : 1. Gross Profit Margin (GPM) 2. Operating Profit Margin (OPM) 3. Pretax Profit Margin (PPM) 4. Corporate Tax to Turn Over Ratio (CT-TOR) 5. Net Profit Margin (NPM) 6. Dividend Payout Ratio (DPR) 7. Rasio PPN (pn) 8. Rasio Gaji / Penjualan (g) 9. Rasio Bunga / Penjualan (b) 10. Rasio Sewa / Penjualan (s) 11. Rasio Penyusutan / Penjualan (py) 12. Rasio Penghasilan Luar Usaha / Penjualan (pl) 13. Rasio Biaya Luar Usaha / Penjualan (bl) 14. Rasio Input lainnya / Penjualan (x) Dengan mengukur rasio GPM, OPM, PPM, CTTOR, NPM, pl dan bl pemilihan rasio tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa rasio yang digunakan sedapat mungkin mampu memberikan gambaran secara menyeluruh atas kegiatan
23
operasional perusahaan dalam suatu periode/satu tahun pajak dan berkaitan dengan semua jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak sebagaimana tercermin dalam Penghitungan Laba Rugi (Income Statement) perusahaan. Pengukuran secara menyeluruh tersebut yang dapat mengindikasikan ketidakwajaran. Pada prinsipnya, rasio-rasio tersebut merupakan rasio yang dihasilkan dari analisis vertikal suatu penghitungan Laba Rugi perusahaan (Lihat Gambar 2.2). Gambar 2.2 : Contoh Laporan Laba - Rugi Perhitungan Laba Rugi PT. ABC Periode 1 Januari - 31 Desember 200X
Penjualan Dikurangi : Harga Pokok Penjualan Laba bruto Dikurangi : Beban usaha lainnya Laba bersih dari operasi Pendapatan lain-lain Beban lain-lain Pendapatan/beban lain2 – netto Laba bersih sebelum pajak Dikurangi : PPh terutang Laba bersih setelah pajak
%terhadap Penjualan
Rupiah 100 35
100% 35% 65%
65 30 35
30% 35% 3% -1% 2% 37% 9% 28%
3 (1) 2 37 9 28
-->
--> --> --> --> --> -->
Rasio GPM OPM pl bl PPM CTTOR NPM
Sumber : Direktorat Jenderal Pajak 2009 Keseluruhan rasio yang digunakan dalam total benchmarking dapat dijelaskan masing-masing sebagai berikut : Rasio Kinerja Operasional 1.
Gross Profit Margin (GPM) Gross Profit Margin (GPM) merupakan perbandingan antara laba kotor terhadap Penjualan. Nilai GPM menunjukkan seberapa besar proporsi
24
penjualan perusahaan yang tersisa setelah digunakan untuk menutup ongkos untuk menghasilkan atau memperoleh produk yang dijual. GPM =
Laba Kotor Penjualan
X 100%
atau
Penjualan - HPP Penjualan
X 100%
Laba kotor adalah selisih antara penjualan dan harga pokok penjualan. Nilai GPM menunjukkan seberapa besar proporsi penjualan perusahaan yang tersisa setelah digunakan untuk menutup ongkos untuk menghasilkan atau memperoleh produk yang dijual. 2.
Operating Profit Margin (OPM) Operating Profit Margin (OPM) merupakan perbandingan antara laba bersih dari operasi terhadap penjualan. Nilai OPM menunjukkan seberapa besar proporsi penjualan perusahaan masih tersisa setelah digunakan untuk menutup seluruh biaya operasional perusahaan. Makin besar nilai OPM menunjukkan bahwa perusahaan makin efisien dalm memanfaatkan biaya-biaya yang dikeluarkannya untuk menghasilkan penjualan. OPM =
Laba Bersih dari Operasi Penjualan
X 100%
Laba bersih dari operasi adalah selisih antara penjualan dengan nilai total biaya perusahaan untuk kegiatan operasional. Laba bersih dari operasi pada umumnya diperoleh dengan mengurangi nilai penjualan dengan harga pokok penjualan, beban umum dan beban administrasi. Laba bersih dari operasi menunjukkan nilai laba bersih perusahaan yang diperoleh semata-mata dari
25
kegiatan operasional perusahaan. Nilai OPM menunjukkan seberapa besar proporsi penjualan perusahaan masih tersisa setelah digunakan untuk menutup seluruh biaya operasional perusahaan. Makin besar Nilai OPM menunjukkan bahwa perusahaan makin efisien dalam memanfaatkan biaya-biaya yang dikeluarkannya untuk menghasilkan penjualan. 3.
Pretax Profit Margin (PPM) Pretax Profit Margin (PPM) merupakan perbandingan antara laba bersih sebelum pajak terhadap penjualan. Nilai PPM menunjukkan besarnya laba bersih perusahaan relativ terhadap penjualan. Makin besar PPM menunjukkan makin tingginya tingkat laba bersih yang dihasilkan baik dari kegiatan operasional maupun dari kegiatan lainnya. PPM =
Laba Bersih sebelum Pajak
X 100%
Penjualan
Laba bersih sebelum Pajak adalah laba bersih yang diperoleh perusahaan baik dari kegiatan operasional perusahaan maupun dari penghasilan lainnya, sebelum memperhitungkan Pajak Penghasilan yang Terhutang. Laba bersih sebelum Pajak dapat diperoleh dari menambahkan laba bersih dari operasi dengan Penghasilan dari Luar Usaha, dikurangi Biaya dari Luar Usaha. Nilai NPM menunjukkan besarnya laba bersih perusahaan relative terhadap nilai penjualan. Makin besarnya PPM menunjukkan makin tingginya tingkat
26
laba bersih yang dihasilkan baik dari kegiatan operasional maupun kegiatan lainnya.
4.
Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR) Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR) merupakan rasio Pajak Penghasilan terutang terhadap penjualan. Nilai CTTOR menunjukkan besarnya PPh yang terutang dalam suatu tahun relative terhadap Penjualan yang dilakukan oleh perusahaan. Makin besar CTTOR menunjukkan makin besar proporsi hasil penjualan perusahaan yang digunakan untuk membayar Pajak Penghasilan. CTTOR =
PPh Terutang
X 100%
Penjualan Nilai CTTOR menunjukkan besarnya PPh yang terutang dalam satu tahun relative terhadap penjualan yang dilakukan oleh perusahaan. Makin besar CTTOR menunjukkan makin besar proporsi hasil penjualan perusahaan yang digunakan untuk membayar Pajak Penghasilan. 5.
Net Profit Margin (NPM) Net Profit Margin (NPM) merupakan perbandingan antara laba bersih setelah Pajak terhadap Penjualan. Nilai NPM menunjukkan besarnya Laba Bersih yang dihasilkan perusahaan setelah memperhitungkan PPh yang terutang.
27
Makin besar NPM menunjukkan makin tingginya kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba bagi pemilik (pemegang saham). NPM=
Laba Bersih setelah Pajak
X 100%
Penjualan
Laba
bersih
setelah
pajak
adalah
laba
bersih
perusahaan
setelah
memperhitungkan Pajak Penghasilan yang terutang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Nilai NPM menunjukkan besarnya laba bersih yang dihasilkan perusahaan. 6.
Devidend Payout Ratio (DPR) Devidend Payout Ratio (DPR) merupakan rasio nilai pembayaran Dividen terhadap laba bersih. Nilai DPR menunjukkan seberapa besar proporsi laba bersih yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen tunai.
DPR =
Laba Bersih setelah Pajak
X 100%
Penjualan
Nilai DPR menunjukkan seberapa besar proporsi laba bersih yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen tunai.
28
Rasio PPN 7.
Rasio PPN (pn) Rasio PPN merupakan rasio total pajak masukan yang dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam satu tahun pajak terhadap penjualan, tidak termasuk pajak masukan yang dikreditkan dari transaksi antar cabang. Nilai Rasio PPN dihitung sebagai berikut : Pn = Jumlah Pajak Masukan Januari - Desember x 100% Penjualan
Dalam rasio PPN ini Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam satu tahun Pajak terhadap penjualan, dalam menentukan rasio ini. Direktorat Jenderal Pajak memakai asumsi bahwa transaksi yang terjadi di bulan yang sama akan dilaporkan di dalam bulan itu juga, misalnya transaksi yang terjadi di bulan Januari akan dilaporkan di bulan Januari pula, hal ini sangat bertolak belakang dengan praktek yang umum di lapangan karena transaksi yang terjadi di bulan Desember PKP diberi kesempatan untuk membuat Faktur Pajak paling lambat diakhiri bulan berikutnya yaitu paling lambat tanggal 31 Januari sehingga transaksi tersebut baru akan dilaporkan di bulan januari, sehingga periode penjualan selama Januari s.d Desember menurut yang dilaporkan di SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan tentu akan berbeda dengan yang dilaporkn di SPT Masa Januari - Desember PPN di tahun yang sama. Oleh karena penyesuaian-penyesuaian dan koreksi atas
29
pemakaian rasio ini harus benar-benar mendapat perhatian dari pemakai instrument di lapangan. Rasio 8.
Rasio Gaji / Penjualan (g) Rasio Gaji / Penjualan merupakan rasio antara jumlah biaya gaji, upah dan tunjangan atau yang sejenisnya yang dibebankan dalam suatu tahun terhadap penjualan. Nilai g menunjukkan besarnya proporsi hasil penjualan yang digunakan untuk membayar biaya tenaga kerja seperti gaji, upah, tunjangan dan / atau pembayaran lainnya yang berhubungan dengan penggunaan tenaga kerja. Makin tinggi nilai g menunjukkan bahwa suatu perusahaan membutuhkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. g=
Jumlah Biaya Gaji
X 100%
Penjualan
Nilai g menunjukkan besarnya proporsi hasil penjulan yang digunakan untuk membayar biaya tenaga kerja seperti gaji, upah, tunjangan dan/atau pembayaran lainnya yang berhubungan dengan penggunaan tenaga kerja. Makin tinggi nilai g menunjukkan bahwa suatu perusahaan membutuhkan biaya tenaga kerja yang lebih tinggi. Sebagai contoh perusahaan dengan nilai g yang tinggi dapat berarti bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang mengandalkan keahlian pekerjaannya, misalnya perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa professional.
30
9.
Rasio Bunga / Penjualan (b) Rasio Bunga / Penjualan merupakan rasio antara totl beban bunga terhadap Penjualan, tidak termasuk bunga yang dibebankan sebagai biaya di luar usaha (other expense). b=
Jumlah Beban Bunga
X 100%
Penjualan 10.
Rasio Sewa / Penjualan (b) Rasio Sewa / Penjualan merupakan rasio antara total beban sewa dan royalty terhadap penjualan.
s=
Jumlah Beban Sewa
X 100%
Penjualan
11.
Rasio Penyusutan / Penjualan (py) Rasio Penyusutan / Penjualan merupakan rasio antara total beban penyusutan dan amortisasi terhadap penjualan. pys =
Jumlah Beban Penyusutan Penjualan
12.
Rasio Input lainnya (x)
X 100%
31
Rasio input lainnya merupakan rasio antara total biaya-biaya yng dibebankan dalam suatu tahun buku selain beban gaji/upah, sewa, bunga, penyusutan, dan beban di luar usaha terhadap penjualan. x=
Jumlah Beban-beban Lain
X 100%
Penjualan
Rasio Aktivitas Di Luar Usaha 13.
Rasio Penghasilan Di luar Usaha / Penjualan (pl) Rasio Penghasilan Di luar Usaha / Penjualan (pl) merupakan rasio antara total penghasilan dari luar usaha terhadap penjualan.
pl =
Penghasilan dari Luar Usaha
X 100%
Penjualan
14.
Rasio Biaya Di luar Usaha / Penjualan (bl) Rasio Biaya Di luar Usaha / Penjualan (bl) merupakan rasio antara total biaya luar usaha terhadap penjualan.
bl =
Beban dari Luar Usaha Penjualan
X 100%
32
2.9
Pemanfaatan Rasio Benchmark Penggunaan rasio-rasio benchmark untuk melakukan pengujian kepatuhan
terhadap suatu Wajib Pajak. Panduan yang disajikan ini sekedar merupakan ilustrasi bagaimana rasio-rasio dalam total benchmarking ini dapat dimanfaatkan. Pengguna dapat mengembangkan sendiri cara-cara pemanfaatan yang dianggap lebih tepat dan lebih efisien sesuai dengan kebutuhan masing-masing pengguna. Dalam ilustrasi ini, aspek yang dapat diuji menggunakan benchmark meliputi : a.
Biaya Usaha Biaya Usaha meliputi Harga Pokok Penjualan dan Beban Usaha Lainnya.
Istilah yang digunakan maupun cara penggolongan jenis-jenis beban mungkin berbeda-beda tergantung jenis usaha maupun model pembukuan yang digunakan oleh Wajib Pajak. Biaya Usaha Wajib Pajak dapat dibandingkan dengan Benchmark dengan langkah-langkah sebagai berikut : Membandingkan rasio HPP / Penjualan terhadap rasio benchmark, dimana rasio HPP / Penjualan = 100% - GPM; Membandingkan rasio Biaya Usaha Lain / Penjualan dan Biaya Usaha Lain / Penjualan diatas dengan rasio benchmarknya. Melakukan analisis terhadap hasil perbandingan tersebut. b.
Koreksi Fiskal
33
Dalam menghitung PPh terutang dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak mengalikan tarif pajak yang berlaku dengan Penghasilan Kena Pajak. Nilai Penghasilan Kena Pajak pada dasarnya merupakan nilai Laba Komersial Perusahaan yang disesuaikan dengan sejumlah koreksi fiskal baik berupa Koreksi Fiskal Positif maupun Koreksi Fiskal Negatif, serta memperhitungkan sejumlah kompensasi kerugian tahun sebelumnya, jika ada. Rasio-rasio benchmarking dapat dimanfaatkan pula untuk menguji apakah nilai total koreksi fiskal suatu Wajib Pajak dapat dipandang wajar atau tidak bila dibandingkan dengan benchmark pada usaha sejenis. Kewajaran tersebut dapat dinilai dengan membandingkan antara rasio PPh terutang / Laba bersih Komersial Wajib Pajak dengan benchmarknya, dimana rasio tersebut dapat dihitung dengan cara membagi CTTOR terhadap PPM. Hasil pembandingan tersebut, apabila ternyata rasio Wajib Pajak lebih rendah dibanding benchmark, harus dianalisis secara hati-hati apakah Wajib Pajak yang bersangkutan juga melakukan kompensasi kerugian, sebelum dapat menarik kesimpulan adanya indikasi bahwa Koreksi Fiskal Positif / Negatif yang dilakukan ternyata lebih rendah / tinggi dari yang seharunya. c.
Penghasilan dan Biaya Luar Usaha Pengujian atas penghasilan dan biaya luar usaha dilakukan dengan
membandingkan nilai Rasio Penghasilan Luar Usaha / Penjualan (pl) dan Rasio Biaya Luar Usaha / Penjualan (bl) Wajib Pajak terhadap rasio pl dan bl benchmark. Analisis dilakukan terhadap pembandingan tersebut. d.
Objek Pemotongan dan Pemungutan PPh
34
Pengujian dilakukan dengan membandingkan rasio-rasio yang berkaitan dengan Objek Pemotongan dan Pemungutan PPh terhadap benchmarknya. Rasiorasio yang dibandingkan meliputi rasio Gaji / Penjualan (g) terkait Objek PPh Pasal 21. Rasio Bunga / Penjualan (b) terkait Objek PPh Pasal 23, dan Rasio Sewa / Penjualan terkait Objek PPh Pasal 23 dan Pasal 4 ayat (2). e.
Kewajaran Pajak Masukan Pengujian kewajaran Pajak Masukan pada dasrnya dilakukan dengan
membandingkan rasio Pajak Masukan / Penjualan (pn) Wajib Pajak dengan rasio benchmarknya, serta membandingkan perhitungan pembelian bahan berdasarkan laporan keuangan dengan pembelian bahan (barang) berdasarkan pengkreditan Pajak Masukan.
3.0
Konsep Kepatuhan Perpajakan Menurut Nurmantu dalam Rahayu (2010:138) “Kepatuhan Perpajakan dapat
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak bisa memenuhi kewajiban perpajakkannya dan melaksanakan hak perpajakkannya”. Sementara menurut Nasucha yang dikutip oleh Rahayu (2010:139) menyatakan bahwa Kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan dari: 1. Kewajiban Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri; 2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan;
35
3. Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran Pajak terhutang; 4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan Menurut Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000 menyatakan bahwa: “Kepatuhan Perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu Negara. “ Dalam melakukan Benchmarking, suatu organisasi membandingkan nilai-nilai tertentu (dari dalam organisasi) dengan suatu titik referensi atau standar keunggulan yang sebanding dengan tujuan menentukan langkah-langkah yang sistematik dan terarah dalam mencapai tujuan yang diharapkan. 3.1
Jenis Kepatuhan Kepatuhan Wajib pajak menurut Rahayu (2010:138) terdiri dari :
1. Kepatuhan Formal yaitu Suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Perpajakan. 2. Kepatuhan Material yaitu Suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantive / hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yang
36
sesuai isi dan jiwa Undang-undang Pajak. Kepatuhan Material juga dapat meliputi kepatuhan formal. 3.2
Pemeriksaan Pajak Dengan Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Mardiasmo (2009:50) “Pemeriksaan Pajak adalah serangkaian
kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan.” Pemeriksaan Pajak merupakan tindakan Fiskus untuk menilai Kepatuhan Wajib Pajak baik secara formal maupun materiil. Ini ditujukan agar ada upaya penegakan hukum sehingga akan meniadakan ketidak adilan terhadap Wajib Pajak yang telah melaksanakan Kewajiban Perpajakkannya dengan baik. Menurut Sidik dalam bukunya Rahayu (2010 : 137) menyebutkan pengertian Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela (voluntary of compliance) adalah : " Bahwa Kepatuhan merupakan tulang punggung self assessment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut." Fungsi Pemeriksaan terhadap peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak dan analisa mengenai jumlah tambahan penerimaan Pajak dari aktifitas pemeriksaan menunjukan
37
rasio yang semakin meningkat, yang diharapkan adalah merupakan gambaran keberhasilan Pemeriksaan Pajak untuk meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak sekaligus meningkatkan penerimaan Negara. 3.3
Penelitian-Penelitian Sebelumnya Agar tidak terjadi plagiarism maupun pengulangan tema penelitian, berikut
hasil
penelitian-penelitian terdahulu tentang Analisis Rasio Total Benchmarking
yang secara ringkas dapat dilihat dalam rangkuman hasil penelitian dalam tabel 1.3 di bawah ini : Tabel 1.3 RANGKUMAN HASIL PENELITIAN TERDAHULU No .
Peneliti
Variabel Penelitian
1 .
Theresia Damayanti (2011)
2 .
Eko Sukmono Adiritonga (2011)
3 .
Hasil Penelitian
Woro
Bayu Sarjono & Kautsar Riza Salman (2012)
Meneliti apakah Rasio total benchmarking yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sesuai dengan kondisi Wajib Pajak (WP) khususnya pada perusahaan Rokok yang terdaftar di BEI . Rasio Total Benchmarking bukanlah merupakan alat untuk menentukan kepatuhan Wajip Pajak, akan tetapi hanyalah indikator awal bagi DirJen Pajak untuk menganalisis penyimpangan Wajib Pajak terhadap aturan pajak. Terdapat perbedaan rasio benchmarking pada setiap KLU khususnya di perusahaan sektor keuangan terutama untuk rasio biaya bunga terdapat perbedaan selisih setelah dilakukan perbandingan dan diharapkan DJP secara sistematis mendeteksi resiko ketidakpatuhan yang tinggi untuk melakukan tindak lanjut yang sesuai.
38
4 .
Michael Paulus Dain Devie (2013)
Variabel Independen : Konsep Penggunaan Benchmarking ; Plan ; Search; Observe
a. a.
Variabel dependen : Konsep Keunggulan Bersaing ; Konsep Kinerja Perusahaan ; Kinerja Keuangan, Kinerja Operasional.
5 .
Mhd. Ridoan (2010)
Variabel Terkait : Target penerimaan Pajak tahun 2010 dan tahun berikutnya dengan menerapkan kegiatan Benchmarking oleh Wajib Pajak di Kanwil DJP Jakarta Pusat. b.
Meneliti minat para manager perusahaan khususnya setiap manager yang bergerak pada sektor jasa dalam hal keunggulan bersaing terhadap kinerja organisasi dengan menerapkan benchmarking untuk meningkatkan kinerja perusahaan di Kota Surabaya. b.Perusahaan di Surabaya yang menerapkan benchmarking kurang melakukan evaluasi kinerja perusahaan , oleh karena itu diperlukan dalam hal ini evaluasi secara berkala sebagai dasar tahap awal menerapkan proses benchmarking untuk menciptakan keunggulan bersaing yang positif . a. Meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi fiskus dalam menilai kewajaran laporan Wajib Pajak secara negative pada setiap perusahaan yang dibawah benchmark sehingga langsung menghimbau Wajib Pajak agar menyesuaikan laporan perpajakannya dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). b. Penetapan Kelompok Lapangan Usaha (KLU) yang salah akan mengakibatkaan penerapan benchmark menjadi tidak sesuai dengan tujuannya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada pokok
permasalahan
yaitu
peneliti
ingin
menguraikan
permasalahan-
permasalahan yang timbul sehubungan dengan penerapan Rasio Total Benchmarking serta pemanfaatannya sebagai upaya Direktorat Jenderal Pajak dalam mengawasi Kepatuhan Perpajakan setiap Wajib Pajak (WP) khususnya Wajib Pajak Badan di Sektor Perdagangan yang terdaftar di BEI dalam melaksanakan kewajiban perpajakanya secara tepat sesuai dengan system perpajakan di Indonesia yaitu Self Assesment dimana Wajib Pajak diberikan kepercayaan dan memiliki tanggung jawab penuh untuk memenuhi kewajiban perpajakanya seperti menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakanya dengan benar. Dalam hal ini peneliti akan menganalisis kinerja laporan keuangan dengan cara membandingkan rasio laporan keuangan
39
perusahaan dengan rasio total Benchmarking sebagai alat bantu (supporting tools) bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk menilai kewajaran laporan keuangan perusahaan dengan menggunakan rasio profitabilitas seperti Gross Profit Margin (GPM), Operating Profit Margin (OPM), Pretax Profit Margin (PPM), Corporate Tax Turn Over Ratio (CTTOR), Net Profit Margin (NPM), Rasio Penghasilan Luar Usaha Terhadap Penjualan dan Rasio Biaya Luar Usaha Terhadap Penjualan.
3.4
Kerangka Konseptual KERANGKA KONSEPTUAL LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN RASIO TOTAL BENCHMARKING KEWAJARAN KINERJA LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN
KEPATUHAN WAJIB PAJAK ( WP ) BADAN / PERUSAHAAN
Bagan 3.2 : Kerangka Konseptual Sumber : Olahan Peneliti