BAB II LANDASAN TEORI
A. Definisi Konsep dan Batasan Konsep 1. Pengertian Konsep Diri Menurut Myers (2012: 47) menyatakan bahwa konsep diri adalah keyakinan spesifik yang dengan keyakinan tersebut manusia mampu mendefinisikan dirinya dalam bentuk skema diri. Skema adalah cetakan mental yang membuat manusia dapat mengenali dunianya. Konsep diri tidak hanya skema diri tentang siapa manusia itu namun akan menjadi apa manusia nantinya yaitu kemungkinan diri. Kemungkinan diri merupakan visi-visi mengenai diri yang diimpikan oleh manusia seperti diri yang kaya, kurus, dicintai, dan mencintai. Kemungkinan diri juga meliputi diri yang ditakutkan seperti diri yang pengangguran, tidak dicintai, gagal secara akademis dan lain-lain. Berdasarkan pendapat di atas konsep diri merupakan suatu pemikiran akan dibawa kemana diri seseorang dan akan dibentuk untuk masa depannya. Konsep diri berkaitan dengan kesiapan diri seseorang dalam menghadapi persoalan di masa mendatang dengan melihat visi dan misi yang ada dalam dirinya sendiri. Menurut Parsons (1986: 614-616) menyatakan bahwa konsep diri pada dasarnya kemampuan untuk menjaga diri sendiri sebagai objek, diri adalah kemampuan khas untuk menjaga subjek dan objek. Diri mengandaikan suatu proses sosial dan komunikasi diantara manusia. Diri muncul seiring dengan perkembangan dan melalui kegiatan dan hubungan-hubungan sosial. Diri secara dialektis berhubungan dengan pikiran, yakni di satu sisi menyatakan bahwa tubuh bukan suatu diri dan menjadi suatu diri hanya apabila pikiran telah berkembang. Di sisi lain, diri, bersama kerefleksifannya esensial bagi perkembangan pikiran. Perkembangan diri adalah refleksivitas atau kemampuan meletakkan diri secara tidak sadar ke tempat orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak. Orang akan mampu memeriksa dirinya
9
seperti yang akan dilakukan orang lain. Agar dapat mempunyai diri, individu harus mampu keluar dari dirinya sehingga dapat mengevaluasi diridan dapat menjadi objek bagi dirinya sendiri. Berdasarkan pendapat di atas konsep diri adalah suatu pemahaman dalam memahami dirinya untuk mengenali dirinya sendiri dalam suatu proses sosial dalam berhubungan dengan sesama manusia. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka seseorang harus mampu keluar dari dirinya sendiri sekaligus mampu mengevaluasi diri agar dapat diterima oleh masyarakat di sekitarnya. Menurut Mulyana (2005: 7-9) menyatakan bahwa konsep diri adalah pandangan manusia mengenai siapa dirinya dan hal itu hanya dapat diperoleh melalui informasi yang diberikan orang lain. Manusia yang tidak pernah berkomunikasi dengan manusia yang lainnya tidak akan mempunyai kesadaran bahwa dirinya adalah manusia. Konsep diri yang paling dini umumnya
dipengaruhi
oleh
keluarga,
dan
orang-orang
dekat
di
sekitarnyatermasuk kerabat. Aspek-aspek konsep diri seperti jenis kelamin, agama, kesukuan, pendidikan, pengalaman, rupa fisik dan sebagainya menegaskan aspek-aspek tersebut yang pada gilirannya menuntut berperilaku sebagaimana orang lain memandangnya. Berdasarkan pendapat di atas konsep diri adalah bagaimana pandangan orang di sekitarnya karena dirinya hanya dapat mengetahui siapa sesungguhnya karena berkaitan dengan penilaian orang lain. Konsep diri dalam pandangan di atas dipengaruhi oleh kondisi keluarga dan orang terdekat juga kerabatnya. Semakin baik kondisi keluarga, orang terdekat dan kerabatnya, maka seseorang semakin mudah memahami konsep dirinya. George Herbert Mead (dalam Mulyana, 2005: 10) mengatakan setiap manusia mengembangkan konsep dirinya melalui interaksi dengan orang lain dalam masyarakat dan itu dilakukan melalui komunikasi. Jadi manusia mengenal dirinya melalui orang lain yang menjadi cermin yang memantulkan bayangan orang tersebut. Konsep diri sebagai the looking glass-self, yang secara signifikan ditentukan oleh apa yang seseorang pikirkan mengenai pikiran orang lain terhadapnya, jadi menekankan pentingnya respons orang
10
lain yang diinterpretasikan secara subjektif sebagai sumber primer data mengenai diri. Konsep diri seseorang dinyatakan melalui sikap dirinya yang merupakan aktualisasi orang tersebut. Manusia sebagai organisme yang memiliki dorongan untuk berkembang yang pada akhirnya menyebabkan ia sadar akan keberadaan dirinya. Perkembangan yang berlangsung tersebut kemudian membantu pembentukan konsep diri individu yang bersangkutan. Perasaan individu bahwa ia tidak mempunyai kemampuan yang ia miliki. Padahal segala keberhasilan banyak bergantung kepada cara individu memandang kualitas kemampuan yang dimiliki. Pandangan dan sikap negatif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan individu memandang
seluruh
tugas
sebagai
suatu
hal
yang
sulit
untuk
diselesaikan.Sebaliknya pandangan positif terhadap kualitas kemampuan yang dimiliki mengakibatkan seseorang individu memandang seluruh tugas sebagai suatu hal yang mudah untuk diselesaikan. Konsep diri terbentuk dan dapat
berubah
karena
interaksi
dengan
lingkungannya.Konsep
dirididefinisikan secara umum sebagai keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang, perasaan dan pemikiran individu terhadap dirinya yang meliputi kemampuan, karakter, maupun sikap yang dimiliki individu. Berdasarkan pengertian di atas, maka konsep diri dapat diartikan sebagai perasaan atas diri membantu mengatur pikiran dan tindakan. Saat manusia melakukan proses informasi dengan acuan pada diri sendiri, maka manusia dapat mengingat dampak dengan baik. Diri merupakan kemampuan untuk menjaga subjek maupun objek yang dapat mengendalikan dan dikendalikan berdasarkan informasi dan percakapan yang terjadi di antara sesama individu. Konsep diri merupakan penentu sikap individu dalam bertingkah laku, artinya apabila individu cenderung berpikir akan berhasil, maka hal ini merupakan kekuatan atau dorongan yang akan membuat individu menuju kesuksesan. Sebaliknya jika individu berpikir akan gagal, maka hal ini sama saja mempersiapkan kegagalan bagi dirinya.
11
2.
Pengertian Pekerja Seks Komersial Menurut Samad (2012) menyatakan bahwa pelacuran berasal dari
bahasa Latin yaitu pro-stituere atau pro-stauree yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan pergendakan. Sehingga pelacuran atau prostitusi bisa diartikan sebagai perjualan jasa seksual, seperti oral seks atau hubungan seks untuk uang. Pelacur wanita disebut prostitue, sundal, balon, lonte; sedangkan pelacur pria disebut gigolo. Pelaku pelacur kebanyakan dilakukan oleh wanita. Pekerja seks komersial adalah salah satu bentuk perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri dengan kehendak-kehendak masyarakat atau kelompok tertentu dalam masyarakat. Pekerja seks komersial adalah para pekerja yang bertugas melayani aktivitas seksual dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah memakai jasa mereka tersebut. Pekerja seks komersial (PSK) adalah wanita sejati yang telah melepaskan topeng dari wajahnya dan tidak lagi mereka butuh terhadap cinta, menepati janji dan kesucian (Saadawi, 2003:166). Menurut Kartono (2005: 214) menyatakan bahwa Wanita Tuna Susila atau PSK atau WTS adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak. Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan
perbuatan-perbuatan
seksual
sebagai
mata
pencaharian.
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat (Dalam Kartono, 2015: 214) menyatakan bahwa Pelacur adalah mereka yang biasa melakukan hubungan kelamin di luar pernikahan yang sah. Menurut Soedjono (1981: 112) menyatakan bahwa wanita pelacur ialah wanita yang menjual dirinya kepada laki-laki (dengan menerima bayaran atas service yang diberikan). Gadis-gadis yang menjadi pelacur disebabkan karena adanya perbuatan yang mendurhakai kesuciannya oleh kejadian-kejadian yang tidak bertanggungjawab, lebih sedikit dibanding mereka yang memasuki mata pencaharian tersebut dengan alasan mencari nafkah.
12
Sedangkan menurut Pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut menyatakan bahwa: Barangsiapa yang pekerjaannya atau kebiasaannya, dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah. Pekerja
Seks
Komersial
adalah para
pekerja
yang
bertugas
melayani aktivitas seksual dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah memakai jasa mereka tersebut (Koentjoro, 2004:26). Di beberapa negara istilah prostitusi dianggap mengandung pengertian yang negatif. Di Indonesia, para pelakunya diberi sebutan Pekerja Seks Komersial (PSK). Ini artinya bahwa para perempuan itu adalah orang yang tidak bermoral karena melakukan suatu pekerjaan yang bertentangan dengan nilainilai kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat.Karena pandangan semacam ini, para pekerja seks mendapatkan cap buruk(stigma) sebagai orang yang kotor, hina, dan tidak bermartabat. Tetapi orang-orang yang mempekerjakan mereka dan mendapatkan keuntungan besar dari kegiatan ini tidak mendapatkan cap demikian. Jika dilihat dari pandangan yang lebih luas, akan diketahui bahwa sesungguhnya yang dilakukan pekerja seks adalah suatu kegiatan yang melibatkan tidak hanya si perempuan yang memberikan pelayanan seksual dengan menerima imbalan berupa uang, tetapi ini adalah suatu kegiatan perdagangan yang melibatkan banyak pihak. Jaringan perdangan ini juga membentang dalam wilayah yang luas, yang kadangkadang tidak hanya di dalam satu negara tetapi beberapa negara. Pekerjaan melacur atau nyundal sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman kondom. Kata pekerja sudah bisa dipastikan ada hubungannya dengan lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan yang diperbolehkan 13
harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif yang diatur oleh peraturan
perundang-undangan,
termasuk
sistem
pengupahan
dan
keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui oleh pemerintah. “Seks” tidak termasuk kelompok suatu jenis jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak tepat kalau istilah pekerja seks komersial itu ditujukan bagi para pekerja seks komersial atau pelacur. Istilah pekerja seks sepertinya merupakan sebuah pemolesan bahasa yang dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut.Banyak pekerja seks yang bekerja di mall (sebagai pegawai mall dan merangkap pekerja seks untuk mencari uang tambahan). Pekerja seks sekaligus mahasiswi, akrab disebut ayam kampus, pekeja seks yang merangkap sebagai para pekerja atau pelayan di tempat-tempat hiburan malam yang ada didaerah perkotaan dan di kantorkantor sebagai sekretaris, yang harga tubuh mereka cukup tinggi dan transaksi terkadang melalui kartu kredit. Berdasarkan hal di atas dapat dilihat bahwa pekerja seks sebagai bagian dari prasyarat kinerja dan transaksi dagang yang tidak selalu lepas dari ramainya pusat-pusat ekonomi yang strategis. Sistem pekerja seks cenderung mempunyai hubungan yang bersifat temporer insidental. Strategi tersebut tampak pada mekanisme kerja mereka mengenai istilah short time dan long time booking yang semuanya hanya terjadi dalam waktu tertentu (setengah jam, satu jam, satu malam). Lebih lanjut dalam kalangan PSK juga mempunyai tingkatantingkatan operasional diantaranya: a. Segmen kelas rendah Segemen kelas PSK seperti ini tidak terorganisir, tarif pelayanan seks terendah yang ditawarkan, dan biaya beroperasi dikawasan kumuh seperti halnya pasar, kuburan, taman-taman kota dan tempat lain yang sulit dijangkau, bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan dengan para PSK tersebut.
14
b. Segmen kelas menengah Segmen kelas ini dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa menetapkan tarif harga pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar untuk di booking semalaman. c. Segmen kelas atas Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang relatif tingggi yang menggunakan night club sebagai ajang pertama untuk mengencani wanita panggilan atau menggunakan kontak khusus hanya untuk menerima pelanggan tersebut. d. Segmen kelas tertinggi Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita model. Super germo yang mengorganisasikan perdagangan wanita kelas atas ini. Berdasarkan segmen kelas tersebut, maka penyebab pekerja seks dapat dilihat dari berbagai perspektif yaitu perspektif politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. a. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif politik Pekerja seks merupakan sejarah panjang keberadaan perempuan dimana pilihan kehidupan seksual mereka hanya mempunyai beberapa opsi secara garis besar yakni menikah dan membujang atau menjadi pekerja seks. Pekerja seks juga sering dan bahkan selalu menjadi bagian dari kondisi dan prasyarat tingkat dua terhadap lahirnya kota dan industrialisasi. Baik itu dibidang pertambangan, jasa hingga pariwisata. Pada masa kini, beberapa daerah di dunia maupun di Indonesia mempunyai keragaman dalam menyikapi mencuatnya keberadaan kegiatan pekerja seks tersebut. Hal ini dapat dilihat dari variasi latar belakang kebudayaan mereka. Di samping itu, pekerja seks seakan menjadi komunitas tertentu yang seringkali dimarginalkan oleh masyarakat, begitu juga hak-haknya. Selain itu banyak yang memperlakukan pekerja seks dengan tidak selayaknya karena profesi mereka yang dianggap juga tidak
15
layak, bahkan ketika lokalisasi tempat mereka bekerja di razia seakan-akan posisi mereka selalu salah. b. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif pendidikan Selain itu latar belakang pendidikan merupakan ajang pemicu lainnya. Mereka tidak mendapatkan ruang kesempatan untuk memasuki ladang pekerjaan yang membutuhkan latar belakang pendidikan setingkat sarjana. Selain itu juga kemampuan memadai dalam memasuki berbagai sektor pekerjaan yang dianggap lebih terhormat dan bergengsi oleh masyarakat. Rendahnya pendidikan membuat kaum pekerja seks tak mempunyai keleluasaan secara ekonomi dalam hal memilih pekerjaan. Dalam hal ini rendahnya latar belakang pendidikan pekerja seks juga sering menimbulkan lemahnya daya tawar mereka, timbulnya kepasifan dan kepribadian yang naif dalam melakukan sebuah interaksi. Selain itu mereka juga membuka lebar ruang-ruang pemaksaan serta kekerasan untuk masuk menerjang mereka, baik dari pihak mucikari, pelanggan, hingga pemerintah daerah sendiri. c. Penyebab adanya pekerja seks perspektif sosial Penyebab lahirnya pekerja seks yang diakibatkan oleh kesulitan ekonomi seperti yang dijelaskan di atas akan menjadi sebuah bahan dari perdebatan hangat jika dilihat dari perspektif kultural. Dari perspektif sosial kultural akan terlihat berbagai nuansa yang lolos dari sudut pandang dan hitungan ekonomi. Pekerja seks lahir dari berbagai latar belakang sosial kultural yang menstimulasinya seperti permisfitas kultural, tekanan keluarga, aspirasi materil oleh individu hingga lahirnya pemujaan simbol akibat hasrat konsumsi yang tinggi, yaitu merupakan fenomena pergeseran masyarakat dari yang sekedar mengkonsumsi barang berdasarkan kebutuhan dasar dan mendesak kepada kebutuhan akan pemenuhan citra dan nilai simbolitas yang dapat meningkatkan gengsi sosial ditengah pergaulan dengan sekitar.
16
d. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif ekonomi Jika ditilik dari prasyarat kerja, pemaknaan pelacur memenuhi unsur yang nyaris serupa dan memang sama terhadap berbagai prasyarat yang dimasukkan sebagai unsur kerja. Mulai dari profesionalitas, skill, disiplin dan pengalaman yang diiperlukan. Selain itu, ada terdapat pula unsur yang diperdagangkan dan ditransaksikan. Permasalahan kemudian adalah
barang
apa
yang
ditransaksikan
dengan
objek
lawan
interaksi/hubungan mereka. Jika seorang guru menjual otaknya, jika seorang kuli menjual tenaga dan pundaknya, maka seorang pekerja seks menjual kelaminnya. Kelamin yang dianggap privat inilah yang kemudian menjadi permasalahan ketika berpindah atau ditransaksikan ke area publik. (Henderina, AR: 2012). Pada fenomena pekerja seks, terdapat beberapa unsur transaksi yang merupakan unsur dari mekanisme kerja, dimana sang subjek menggunakan tubuh sebagai komoditas untuk dijual dalam satuan harga yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak tanpa ada yang merasa dirugikan dan kedua belah pihak merasa puas. Uang atau barang tertentu menjadi elemen utama perantara kedua subjek yang tengah melakukan kesepakatan. Karena mudah, menjadi elemen yang dapat digerakkan kembali, maka pekerjaan menjual tubuh juga merupakan bagian dari mata pencaharian, dimana mereka menumpukan sandaran pada kerja tersebut. Jika lokasi mata pencaharian mereka dirusak seperti pembongkaran atau penggusuran lokalisasi, maka hilanglah mata pencaharian mereka sebagai andalan dan sandaran. Hal ini tentunya tak berbeda dengan mata pencaharian lainnya, seperti petani, nelayan, dan guru. 3.
Pengertian Balai Rehabilitas Rehabilitasi
mangandung
makna pemulihan
kepada kedudukan
(keadaan, nama baik) yang dahulu (semula) atau perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat (KBBI, 1998:92).Jadi apabila kata
17
rehabilitasi dipadukan dengan kata sosial, maka rehabilitasi sosial bisa diartikan sebagai pemulihan kembali keadaan individu yang mengalamai permasalahan sosial kembali seperti semula. Soekanto (1985:423), rehabilitasi sebagai suatu proses atau teknik mendidik kembali serta mengarahkan kembali dan motivasi pelanggar atau penjahat, sehingga perilakunya sesuai dengan aturan-aturan kemasyarakatan. Rehabilitasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses perbaikan atau membangun dalam menanggulangi pekerja seks komersial agar dapat berkarya sesuai dengan harkat dan martabat dan menjadi anggota masyarakat. Rehabilitasi sosial merupakan upaya yang ditujukanmengintegrasikan kembali seseorang ke dalam kehidupan masyarakatdengan cara membantunya menyesuaikan diri dengan keluarga, masyarakat, dan pekerjaan. Seseorang dapat berintegrasi denganmasyarakat apabila memiliki kemampuan fisik, mental, dan sosial serta diberikan kesempatan untuk berpartisipasi. Semisal terdapat seseorang yang mengalami permasalahan sosial seperti PSK, maka mereka akan dicoba untuk dikembalikan kedalam keadaan sosial yang normal seperti orang pada umumnya. Mereka diberi pelatihan atau keterampilan sehingga mereka tidak kembali lagi menjadi PSK dan bisa mencari nafkah dari keterampilan yang ia miliki tadi. Rehabilitasi sosial merupakan suatu sarana yang diperuntukkan bagi orang-orang yang tersingkir dari sosial masyarakatnya semula karena orang tersebut dianggap sebagai sampah atau aib bagi masyarakatnya. Keberadaan PSK dalam suatu masyarakat selama ini dianggap sebagai sampah bagi masyarakat dan dari sisi kesehatan dianggap sebagai penyebar penyakit seperti HIV/AIDS. Dari sudut pandang agama, profesi tersebut dipandang sebagai pekerjaan yang dilarang dan diberi label pekerjaan haram. Dengan keberadaan PSK yang dianggap bercitra buruk tersebut, maka balai rehabilitasi PSK semata-mata
bertujuan
untuk
mengembalikan
kondisi
PSK
kepada
masyarakatnya yang normal dengan diberi bekal keahlian sehingga dapat hidup dengan bekal.
18
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri adalah suatu keyakinan diri yang membentuk sifat serta sikap seseorang untuk membentuk dirinya sendiri. Konsep diri berkaitan erat dengan skema diri yaitu suatu cetakan mental yang membuat diri mengenal dunianya. Konsep diri juga berkaitan dengan suatu konsep akan menjadi apa dirinya di kemudian hari. Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah orang yang secara sengaja atau tidak sengaja dan terpaksa atau sukarela melakukan hubungan layaknya suami istri dengan imbalan ataupun tanpa imbalan. Pekerja Seks Komersial (PSK) tidak hanya dilakukan oleh kaum perempuan saja namun dapat juga dilakukan oleh kaum laki-laki. Kenyataan di masyarakat menunjukkan bahwa Pekerja Seks Komersial (PSK) identik dengan kaum perempuan, sehingga kaum perempuan yang terjun ke dunia prostitusi inilah yang terkadang dipandang hina oleh masyarakat. Balai rehabilitasi adalah suatu tempat dan instansi yang berada di bawah naungan departemen sosial yang menampung Pekerja Seks Komersial (PSK) yang telah terjaring oleh aparat keamanan dengan tujuan merehabilitasi perempuan yang sudah terjun ke dunia prostitusi. Program-program yang dijalankan pada balai rehabilitasi bertujuan untuk memberikan bekal agar Pekerja Seks Komersial (PSK) dapat memulai hidup baru dan kembali ke masyarakat dengan bekal kecakapan keahlian yang telah didapatkan di balai rehabilitasi. Prostitusi terjadi disebabkan oleh tiga faktor yang dimulai dari faktor keluarga seperti tuntutan ekonomi pada keluarga, karena tekanan dari lingkungan keluarga dan faktor lingkungan dimana seseorang tersebut tinggal. Persoalan prostitusi dapat dilihat dari tiga hal antara lain: 1. Akibat-Akibat Pelacuran terhadap Lingkungan Menurut Walgito (2003: 51) lingkungan mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan individu, dan teori ini pada umumnya menunjukkan kebenaran. Lingkungan secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi lingkunganfisik, yaitu lingkungan yang berupa alam, misalnya keadaan tanah, keadaan musim dan sebagainya. Lingkungan alam yang
19
berbeda akan memberikan pengaruh yang berbedà pula kepada individu. Misalnya daerah pegunungan memberikan pengaruh yang lain apabila dibandingkan dengan daerah pantai. Daerah yang mempunyai musim dingin akan memberikan pengaruh yang berbeda dengan daerah yang penuh dengan musim panas. Lingkungan sosial merupakan lingkungan masyarakat. Dalam lingkungan masyarakat ini adanya interaksi individu satu dengan individu lain. Keadaan masyarakatpun akan memberikan pengaruh tertentu terhadap perkembangan individu. Lingkungan sosial ini biasanya dibedakan menjadi dua yaitu: 1) lingkungan sosial primer, yaitu lingkungan sosial dengan adanya hubungan yang erat antara anggota satu dengan anggota lain, anggota satu saling kenal mengenal dengan baik dengan auggota lain. Oleh karena di antara anggota telah ada hubungan yang erat, maka sudah tentu pengaruh dan lingkungan sosial ini akan lebih mendalam apabila dibandingkan dengan lingkungan sosial yang hubungannya tidak erat, 2) lingkungan sosial sekunder, yaitu lingkungan sosial yang hubungan anggota satu dengan anggota lain agak longgar. Pada umumnya anggota satu dengan anggota lain kurang atau tidaksaling kenal mengenal. Mustapa (2013) menyatakan dari hasil penelitian yang dilakukannya diketahui bahwa pelacuran dapat memberikan pengaruh negatif bagi kehidupan dalam bermasyarakat. Adapun bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan oleh Pekerja Seks Komersial (PSK) seperti masalah sosial, ekonomi, keamanan dan moral, juga menimbulkan masalah lain yaitu penyebaran penyakit kelamin yang sangat berbahaya bagi keselamatan manusia bahkan kematian seperti halnya HIV/AIDS, penyakit menular mematikan. Jenis penyakit ini dapat mengancam siapa saja baik laki-laki atau perempuan, mereka dapat tertular karena sifat penyakit HIV AIDS merupakan golongan PMS (Penyakit Menular Seksual) selain penyakit yang lain seperti spilis. Berdasarkan pendapat di atas, lingkungan berpengaruh besar terjadinya pelacuran. Lingkungan primer merupakan lingkungan yang saling kenal antara sesama individu tidak mudah terjadinya pelacuran, sedangkan
20
pada lingkungan sekunder dimana seseorang tidak saling mengenal, maka akan rentan terjadinya pelacuran. Hal ini disebabkan semakin individu saling mengenal, maka akan muncul rasa malu dan tanggungjawab sosial akan tinggi, sebaliknya pada lingkungan yang tidak saling kenal akan rentan terjadi pelacuran
karena
terbentuk
kehidupan
sosial
yang
individu
tanpa
mempedulikan masyarakat sekitarnya. Menurut Kartono (2015: 249-250) menyatakan bahwa beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran terhadap lingkungan secara umum antara lain: a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin atau kulit. b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur terkadang melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan. c. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika. d. Merusak seni-seni moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali menggoyahkan norma perkawinan sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum dan agama. e. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya wanita-wanita pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya karena sebagian besar harus diberikan kepada germo. Dengan kata lain ada sekelompok manusia benalu yang memeras darah dan keringat para pelacur ini. Pelacuran merupakan bentuk penyimpangan seksual atau dorongan seks yang tidak wajar dan dorongan seks yang tidak terintegrasi dalam kepribadian, sehingga relasi seks itu sifatnya impersonal tanpa afeksi dan emosi (kasih sayang), berlangsung cepat, tanpa mendapatkan kepuasan dipihak wanita. Seks dijadikan “bahan perdagangan” sehingga terjadi komersialisasi seks berupa penukaran kenikmatan seksual dengan materi dan uang. Ada pelampiasan nafsu seks secara bebas liar dalam relasi seks dengan banyak orang.
21
Berdasarkan pendapat di atas akibat yang ditimbulkan dari pelacuran adalah penyebaran penyakit kelamin atau kulit, merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, berkorelasi dengan kriminalitas dan obat-obatan terlarang seperti narkoba, merusak seni-seni moral, susila, hukum dan agama dan pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. 2. Ciri-ciri dan Fungsi Pelacuran Menurut Kusumastuti (2009) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa ciri-ciri wanita yang bekerja sebagai pekerja seks komersial yaitu: mempunyai ukuran tubuh yang proporsional, pakaian yang dikenakan sangat beragam dari yang sangat minim dan ketat yang menonjolkan bagian tubuhnya sampai dengan rok panjang dan kain dengan atasan berupa kaos, usia berkisar antara 17 – 25 tahun, pada umumnya berstatus belum menikah, dan pendidikan yang pernah dijalani sangat beragam, mulai dari SD sampai dengan SMU. Seseorang yang memutuskan menjadi pelacur sebenarnya bukan tujuan dalam mencari nafkah, melainkan sebagai salah satu dari upaya untuk mencapai tujuan lain yang lebih utama, karena mereka tidak pernah bercita-cita menjalani profesi sebagai penjaja seks dan mau menjalani profesinya karena berbagai faktor. Profesi PSK selama ini selalu diidentikkan dengan sekse perempuan, meski pada kenyataannya sekarang ini kaum lakilaki juga mulai merambah profesi ini. Prosentase jumlah perempuan PSK yang lebih besar menyebabkan masalah ini selalu dikaitkan dengan perempuan. Terjunnya seorang perempuan ke dalam dunia prostitusi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Menurut Kartono (2005: 234-242) menyatakan bahwa ciri-ciri pelacuran yang berada di desa-desa, hampir-hampir tidak terdapat pelacur. jika ada, maka mereka itu adalah pendatang-pendatang dan kota yang singgah untuk beberapa han atau pulang ke desanya. Juga desa perbatasan yang dekat dengan kota-kota dan tempat-tempat sepanjang jalan besar yang dilaui truktruk dan kendaraan umum sering dijadikan lokasi oleh wanita-wanita tunasusila. Sedang di kota-kota besar, jumlah pelacur diperkirakan 1-2% dan jumlah penduduknya. Dalam bilangan ini sudah termasuk para prostitue yang
22
tersamar atau gelap, dari kelas menengah dan kelas tinggi yang sifatnya nonprofesional (amateurisme). Mereka itu beroperasi secara sembunyisembunyi, baik secara individual maupun tergabung dalam satu sindikatsindikat amourette yang berdagangseks serta cinta asmara. Banyaknya langganan yang dilayani oleh para wanita tunasusila ialah 5-50 orang, dalam jangka waktu 12-24 jam. Bahkan di waktu-waktu perang dan masa-masa yang kisruh, mereka itu mampu melayani 6-120 langganan dalam waktu yang sama. Pelacur-pelacur ini bisa digolongkan dalam dua kategori, yaitu: a. mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan suka reb berdasarkan motivasi-motivasi tertentu; b. mereka yang melakukan tugas melacur karena ditawan/dijebak dan dipaksa oleh germo-germo yang terdiri atas penjahatpenjahat, cab-cab, dan anggota-anggota organisasi gelap penjual wanita dan pengusaha bordil. Dengan bujukan dan janji-janji manis, ratusan bahkan ribuan gadis-gadis cantik dipikat dengan janji akan mendapatkan pekerjaan terhormat dengan gaji besar Namun pada akhirnya, mereka dijebboskan ke dalam rumah-rumah pelacuran yang dijaga dengan ketat, secara paksa, kejam, dan sadistis, dengan pukulan dan hantaman mereka hams melayani buaya-buaya seks yang tidak berperikemanusiaan. Jika para gadis itu tampak ragu-ragu atau enggan melakukan relasi seks, maka mereka itu dihajar dengan pukuan-pukuban dan diberi obat-obat perangsang nalsu seks, sehingga mereka menjadi tidak sadar dan tidak berdaya. Dan di bawah pengaruh obat-obatan itu, mereka dipaksa melakukan adeganadegan porno/cabub yang scram (namun menghancurkan hati anak-anak gadis tersebut) dengan bandit-bandit seks. Ciri-ciri khas dan pelacur itu ialah sebagai berikut: a. Wanita, lawan pelacur ialah gigolo (pelacur pria, lonte laki-laki). b. Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya. Bisa merangsang selera seks kaum pria.
23
c. Masih muda-muda. 75% dari jumlah pelacur di kota-kota ada di bawah usia 30 tahun. Yang terbanyak ialah 17-25 tahun. Pelacuran kelas rendahan dan menengah acap kali mempekerjakan gadis-gadis pra-puber berusia 11-15 tahun, yang ditawarkan sebagai barang baru. d. Pakaiannya sangat menyolok, beraneka warna, sering aneh-aneh/eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria. Mereka itu sangat memperhatikan penampilan lahiriahnya, yaitu; wajah, rambut, pakaian, alat-alat kosmetik dan parfum yang merangsang. e. Menggunakan teknik-teknik seksual yang mekanistis, cepat, tidak hadir secara psikis (afwezig, absent minded), tanpa emosi atau afeksi, tidak pernah bisa mencapai orgasme sangat provokatif dalam ber-coitus, dan biasanya dilakukannya secara kasar. f. Bersifat sangat mobil, kerap berpindah dari tempat/kota yang satu ke tempat/kota lainnya. Biasanya, mereka itu memakai nama samaran dan sering berganti nama, juga berasal dari tempat atau kota lain, bukan kotanya sendiri, agar tidak dikenal oleh banyak orang. Khususnya banyak terdapat migran-migran dari daerah pedesaan yang gersang dan miskin yang pindah ke kota-kota, mengikuti arus urbanisasi. g. Pelacur-pelacur profesional dari kelas rendah dan menengah kebanyakan berasal dan strata ekonomi dan strata sosial rendah. Mereka pada umumnya tidak mempunyai keterampilan/ skill khusus, dan kurang pendidikannya. Modalnya ialah: kecantikan dan kemudaannya. Pelacur amateur, di samping bekerja sebagai buruh di pabrik, restoran, bar, tokotoko sebagai pelayan dan di perusahaan-perusahaan sebagai sekretaris, mereka menyempatkan diri beroperasi sebagai pelacur tunggal atau sebagai wanita panggilan. Sedang pelacur-pelacur dan kelas tinggi (high class prostituees) pada umumnya berpendidikan sekolah lanjutan pertama dan atas, atau lepasan akademi dan perguruan tinggi, yang beroperasi secara amatir atau secara profesional. Mereka itu bertingkah laku immoril karena didorong oleh motivasi motivasi sosial danlatau ekonomis.
24
h. 60-80% dari jumlah pelacur ini memiliki intelek yang normal. Kurang dari 5% adalah mereka yang lemah ingatan (feeble minded). Selebihnya adalah mereka yang ada pada garis-batas, yang tidak menentu atau tidak jelas derajat inteligensinya. Pada umumnya, para langganan dari pelacur itu tidak dianggap berdosa atau bersalah, tidak immodi atau tidak menyimpang. Sebab perbuatan mereka itu didorong untuk memuaskan kebutuhan seks yang vital. Yang dianggap immorial cuma pelacumya. Namun, bagaimanapun rendahnya kedudukan sosial pelacur, karena tugasnya memberikan pelayanan seks kepada kaum laki-laki, ada pula fungsi pelacuran yang positif sifatnya di tengah masyarakat, yaitu sebagai berikut. a. Menjadi sumber pelancar dalam dunia bisnis. b. Menjadi sumber kesenangan bagi kaum politisi yang harus hidup berpisah dengan istri dan keluarganya. Juga dijadikan alat untuk mencapai tujuantujuan polilik tertentu. c. Menjadi sumber hiburan bagi kelompok dan individu mempunyai jabatan/pekerjaan mobil, misalnya: pedagang, sopir-sopir pengemudi, anggota tentara, pelaut, polisi, buaya-buaya seks, playboy, pria-pria yang single tidak kawin atau yang ban bercerai, laki-laki iseng dan kesepian, mahasiswa, anak-anak remaja dan adolesens yang ingin tahu, suamisuami yang tidak puas di rumah, para olahragawan yang tengah ditatar dalam pusat latihan, pegawai negeri yang belum sempat memboyong keluarganya di tempat kerja yang baru; pengikut-pengikut kongres, seminar, rapat kerja, musyawarah nasional dan seterusnya. d. Menjadi sumber pelayanan dan hiburan bagi orang-orang cacat, misalnya: pria yang buruk wajah, pincang, buntung, abnormal secara seksual, para penjahat (orang kriminal) yang selalu dikejar-kejar polisi, dan lain-lain. Menurut Kusumastuti (2009) fungsi pelacuran Berdasarkan pendapat di atas, ciri-ciri pelacur antara lain cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif menarik,
masih muda-muda, pakaiannya sangat
menyolok, menggunakan teknik-teknik seksual yang mekanistis dan cepat,
25
tidak hadir secara psikis, bersifat sangat mobil, dan memiliki intelek yang normal. Sedangkan fungsi pelacuran antara lain sumber pelancar dalam dunia bisnis, sumber kesenangan bagi kaum politisi yang jauh dari istrinya, dan sumber hiburan. 3. Penyebab Timbulnya Pelacuran Menurut Humsona (2010: 33-37) menyatakan bahwa faktor penyebab timbulnya pelacuran pada diri seseorang adalah dari faktor internal dan eksternal yang kedua faktor tersebut saling berkaitan. Faktor internal meliputi perasaan ingin tahu dan coba-coba, aspirasi material yang tinggi, kebutuhan afeksi yang tinggi, pribadi yang belum masak dan pengetahuan seks yang terbatas. Sedangkan faktor eksternal adalah berpindahnya konsep reproduksi menjadi konsep rekreasi dalam sexual intercourse, dan anggapan yang menyatakan bahwa bermain seks dengan anak-anak diibaratkan sebagai obat kuat yang dapat memberikan keberuntungan tertentu, dari sudut pandang orang tuadi daerah tertentu dan ada anggapan yang menyatakan anak adalah ibarat sawah, adanya budaya paternalistik dan egoisme laki-laki yang menuntut pemuasan seks menyimpang, sebagai bentuk dari kemiskinan struktural, dan sebagai hasil dari sebuah pembelajaran. Faktor ingin tahu dan coba-coba merupakan alasan klasik yang sering muncul. Hal ini terjadi karena pendidikan seks anak lebih banyak diperoleh dari teman sebayanya yang bersifat sepotong-potong, tidak urut, tidak lengkap dan menonjolkan segi erotisme. Didapatnya pengetahuan seks yang kurang benar juga disebabkan oleh orang tua yang kebanyakan masih bersifat tertutup dan menganggap seks sebagai sesuatu yang tabu. Tidak terpenuhinya kebutuhan afeksi yang tinggi dibarengi kontrol yang lemah dari orang tua menyebabkan anak mencari pemenuhan kebutuhan itu kepada orang lain yang justru memanfaatkannya. Media massa juga berperan besar melalui tayangan yang berbau seks dan pornografi, sedang dunia mode dan fashion membuat remaja semakin menyadari potensi seksual dan sensualitasnya untuk mendapatkan uang
26
demi memenuhi tuntutan gaya hidup. Aspirasi material yang tinggi dipersepsikan hanya dapat diraih melalui melacur sebagai satu-satunya sarana untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Kemiskinan keluarga telah dimanfaatkan oleh teman yang lebih dahulu terjerumus dalam dunia prostitusi, sementara seseorang tidak merasa dirinya telah dijerumuskan, tetapi justru diselamatkan. Bahlan merasa mendapatkan pengalaman baru yang lebih menarik daripada sebelumnya (Humsona, 2010: 33-37). Berdasarkan pendapat di atas faktor timbulnya pelacuran terdiri dari dua hal yaitu internal dan eksternal. Faktor internal meliputi rasa ingin tahu, coba-coba dan pengetahuan serta pendidikan seks yang rendah. Sedangkan faktor eksternal adalah perubahan konsep reproduksi seksual dalam diri seorang menjadi konsep rekreasi yang dipengaruhi suatu anggapan bahwa bermain seks dengan banyak pasangan akan mendatangkan kebahagiaan dan kepuasan tersendiri. Menurut Murray (1991: 10-11) dalam analisisnya menyatakan bahwa akibat berbagai tekanan sosial ekonomi dibarengi dengan kebutuhan hidup yang terus-menerus meningkat menimbulkan hasrat, dorongan untuk mencari lapangan kerja yang dapat memberi berbagai tingkat kebutuhan hidup
yang
lebih
baik
agar
dapat
memantapkan
perekonomian
keluarga.Kenyataan atau realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat dan pemerintah yang selalu terkait dengan politik ekonomi, dan tidak lepas dari luasnya sarana transportasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta bertambah luasnya komunikasi merupakan dampak dari globalisasi yang semakin menebarkan pesona keindahan dalam kehidupan kita. Penggambaran ketergantungan masyarakat yang menunjuk pada tingkat perekonomian negara berimbas pada sebagai masyarakat yang ingin bertahan hidup. Berdasarkan pendapat di atas penyebab terjadinya pelacuran adalah tekanan ekonomi keluarga dan dorongan untuk memperbaiki kondisi ekonomi dirinya. Sempitnya lapangan pekerjaan dan gaji yang tidak
27
mencukupi kebutuhan ekonominya juga menjadi faktor penyebab timbulnya pelacuran.
B. Penelitian Terdahulu Pencantuman hasil penelitian terdahulu yang sejenis dilakukan sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian-penelitian lanjutan. Di bawah ini merupakan bentuk penelitian sejenis yang dirangkum oleh peneliti sehingga dapat menjadi acuan maupun pertimbangan yaitu: 1.
Penelitian ini berjudul Rehabilitasi Pekerja Seks Komersial melalui Pelatihan Keterampilan di Lokalisasi Sunan Kuning Semarang. Oleh sari, setiawan pada tahun 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pelatihan keterampilan pekerja seks komersial dengan pelatihan keterampilan salon, kegiatan yang diajarkan meliputi, perawatan rambut dan perawatan wajah. Perawatan rambut meliputi cara memotong rambut, pewarnaan rambut, creambath, hair mask, rebonding. Perawatan wajah meliputi facial dan rias wajah. Faktor yang mendukung proses pelatihan keterampilan adalah mendapat dana dari pemerintah, adanya tutor dalam pelatihan keterampilan, dan dukungan dari resos dan tutor dalam pelaksanaan tes. Faktor yang menghambat proses pelatihan keterampilan adalah tidak disetujuinya oleh bapak ibu asuh dari pekerja seks komersial, pekerja seks komersial yang kurang serius mengikuti pelatihan keterampilan, dan kurang menguasai materi yang diberikan. Hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa, (1) Resosialisasi Argorejo Sunan Kuning menyelenggarakan pelatihan keterampilan kepada para pekerja seks komersial untuk memberikan bekal keterampilan. Bentuk kegiatan pelatihan yang keterampilan salon. Kegiatan pelatihan salon tersebut diajarkan beberapa cara tata rias rambut dan perawatan wajah. (2) Rehabilitasi pekerja seks komersial melalui pelatihan keterampilan di lokalisasi Sunan Kuning Semarang dipengaruhi oleh tujuan dari penyelenggara rehabilitasi maupun pekerja seks komersial. Tujuan penyelenggaran untuk memberi keterampilan kepada para pekerja seks komersial agar tidak selamanya bekerja
28
sebagai pekerja seks komersial dengan keterampilan yang sudah diperoleh dari kegiatan tersebut, sedangkan pekerja seks komersial masih saja ada yang tidak serius dalam mengikuti kegiatan pelatihan keterampilan. Saran yang dapat penulis rekomendasikan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) bagi germo, penulis berencana menyampaikan kepada germo sebagai bapak atau ibu asuh bagi para pekerja seks komersial untuk tidak mempersulit anak asuhnya untuk mengikuti kegiatan rehabilitasi yang diadakan oleh pihak Resosialisasi Argorejo, karena tidak selamanya anak asuh bekerja sebagai pekerja seks komersial. (2) bagi pemerintah daerah, penulis berencana menyampaikan kepada pemerintah daerah Semarang untuk memberi alat-alat
untuk
keterampilan
lain
dan
menambah
alat
untuk
keterampilan salon karena alat-alat keterampilan salon ada yang rusak.
2.
Penelitian yang dilakukan oleh Rohim (2010) di Universitas Profesor Muhammad Hamka Jakarta dengan judul “Konsep Diri Eks Wanita Tuna Susila di Balai Sosial”. Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan program rehabilitasi, interaksi, adaptasisosial, dan konsep diri mantan pelacur sebelum dan sesudah bergabung dengan pusat rehabilitasi. Penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan, karena ketika peneliti mengungkapkan kenyataan subjektif dari satu pelacur yang masuk dan bergabung dalam proses rehabilitasi, kesiapan adaptasi juga terungkap. Penelitian dilakukan dengan metode wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi sebagai
teknik
dalam
mengumpulkan
data.
Penelitian
ini
menunjukkan bahwa konsep diri mantan pelacur adalah negatif sebelum masuk rehabilitasi (ketika menjadi pelacur) berdasarkan motivasi subjek untuk menjadi pelacur, dan juga sebagai citra diri akibat persepsi fisik, mental, dan sosial selama sebagai pelacur. Selain itu ditemukan polarisasi konsep diri menjadi konsep diri yang positif
dan
negatif
setelah
bergabung
dengan
rehabilitasi,
berdasarkan persepsi diri fisik, sosial, dan mental. Dari konsep
29
polarisasi diri, terbentuk menjadi tiga tipologi pelacur mantan, yaitu mantan pelacur optimis, mantan pelacur dilematis, dan mantan pelacur pesimis. Dalam konteks kesiapan adaptasi sosial, juga ditemukan tiga klasifikasi kesiapan adaptasi sosial mantan pelacur di Bina Karya Wanita “Harapan Mulya” yang menjadi pusat Rehabilitasi Kedoya Jakarta yaitu; mantan pelacur siap adaptasi, mantan pelacur tidak siap, dan mantan yang pragmatis atau pelacur bersyarat. 3.
Penelitian berjudul Pola Interaksi Sosial Psk Dengan Masyarakat Sekitar Lokalisasi Dan Dampak Yang Ditimbulkannya Di Lokalisasi Klubuk Di Desa Sukodadi Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang oleh Syifa’ Urohman F. Penelitian ini membahas mengenai pola interaksi psk dengan masyarakat sekita. Berdasarkan hasil analisis data dapat diketahui bahwa: (1) Lokalisasi Klubuk berdiri mulai tahun 1993. Keberadaan lokalisasi tersebut adalah pindahnya para pelacur atau pekerja seks komersial dari Lokalisasi Tunggorono yang telah dibubarkan oleh Pemerintah Kota Jombang ke warung-warung pingir jalan tepatnya di Desa Sukodadi Kecamatan Kabuh Kabupaten Jombang. Tidak semua rumah di Lokalisasi Klubuk di jadikan tempat pelacuran. Keamanan Lokalisasi Klubuk, dijaga oleh 5 hansip dan seluruh warga Klubuk, dan apabila terjadi tindak kriminalitas yang dilakukan oleh pendatang, pengunjung dari luar lokalisasi sepenuhnya tanggung jawab dari pihak POLSEK Kabuh; (2) Pola interaksi yang dilakukan warga sekitar lokalisasi yaitu membaur dengan warga sekitar lokalisasi dengan cara ikut serta membantu warga sekitar untuk mengadakan acara hajatan dan juga ikut memebantu warga sekitar yang megalami kesusahan. Sehingga warga Dusun Klubuk itu menganggap seperti keluarga, tidak ada yang membandingkan satu sama lain selama itu dalam hal positif; (3) Dampak yang ditimbulkan dari keberadaan kompleks Lokalisasi Klubuk bagi masyarakat Desa Sukodadi adalah; adanya efek buruk terhadap kesehatan warga masyarakat Desa Sukodadi; sedikit banyak meringankan beban perekonomian warga
30
sekitar yang berprofesi sebagai pedagang maupun yang membuka usaha warung dan toko; adanya keretakan rumah tangga karena suami tertarik dengan pekerja seks komersial; Dengan berdirinya mushola yang di bangun dengan uang swadaya masyarakat lokalisasi sendiri, warga berharap dapat menjalankan kehidupan beragama dengan baik dan lancar; (4) Persepsi masyarakat terhadap pola interaksi para PSk di Desa Sukodadi Kabuh Jombang adalah Masyrakat Desa Sukodadi tidak merasa terganggu dengan kedatangan para PSK karena mereka bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga keberadaannya diterima baik oleh warga sekitar lokalisasi. Mengenai masalah pekerjaan sebagi germo dan PSK masyarakat sekitar lokalisasi tidak mau tau karena menurut masyarakat sekitar masalah pekerjaan itu adalah urusan masing-masing yang menjalaninya; (5) Prospektif keberadaan lokalisai Klubuk di Desa Sukodadi Kabuh Jombang adalah warga ingin penduduk lokalisasi itu menerima tawaran dari Pemerintah Kabupaten Jombang untuk menekan jumlah Pekerja Seks Komersial dengan memberikan dana sosial untuk alih provesi yang mana dulunya bekerja sebagai Germo dan PSK agar beralih ke pekerjaan yang lebih layak di pandang oleh masyarakat (wirausaha, karyawan swasta, peternak, petani, dll).
4.
Transformation
Prostitute
Identity
Within
the
Prostitution
Rehabilitasion Program. Oselin, Sharon S. 2009. Artikel ini membahas proses transformasi identitas di kalangan pelacur masuk dalam Program Prostitusi Rehabilitasi (PRP). Saya menilai bagaimana warga transisi dari menyimpang ke identitas non – menyimpang dengan memeriksa pembicaraan mereka ( rekonstruksi biografi ) dan perilaku (peran embracement) melalui observasi partisipan dan wawancara mendalam selama jangka waktu . Berangkat dari literatur yang ada yang berfokus pada perubahan identitas dalam organisasi kaku terstruktur , saya menganalisis sebuah situs yang unik , yang berisi dua bentuk struktur - jumlah organisasi dan pengaturan kelembagaan quasi - Total . Dalam 31
konteks ini , saya menemukan mantan pelacur bergerak melalui tiga fase
berturut
perubahan
karena
mereka
berusaha
untuk
menumpahkan identitas menyimpang . studi masa depan akan perlu mempertimbangkan
bagaimana
berbagai
struktur
organisasi
menghambat atau memfasilitasi proses ini. 5.
Domestic minor sex trafficking and the detentionto- protection pipeline oleh Jennifer Musto .(2013).Perubahan diskursif terkenal yang sedang terjadi sehubungan dengan individu, terutama sex tradeyang terlibat pemuda di Amerika Serikat. Di mana setelah mereka mungkin memiliki telah diprofilkan sebagai remaja pelaku, mereka sekarang, berkat perhatian luas untuk perdagangan manusia, sementara dilihat oleh penegak hukum dan non-negara mereka sekutu sebagai calon korban perdagangan seks minor dalam negeri, penuh dengan trauma masa lalu dan sejarah keluarga turbulen yang mengotorisasi intervensi negara. Artikel ini meneliti bagaimana kebijakan
anti-perdagangan
manusia
telah
diskursif
dibayangkan memperluas kepolisian dan rehabilitatif
ulang
intervensi
untuk pemuda. Menggambar pada mendalam wawancara dan observasi etnografi, itu melacak situs diskursif dan ruang di yang peradilan pidana dan agenda keadilan sosial telah bersatu untuk membantu pemuda dan lanjut menilai bagaimana memperhatikan perdagangan seks minor dalam negeri memiliki secara bersamaan penahanan untuk perlindungan multiprofessional. C. Landasan Teori Berdasarkan kerangka konsep tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa terdapat banyak faktor yang mengakibatkan seseorang terjun ke dunia prostitusi. Menurut Parsons (1986: 26) menyatakan bahwa kecenderungan memandang dunia sosial dalam dalam kerangka hubungan sebab akibat yang dapat diamati di antara gejala-gejala fisik, sehingga tidak memperhitungkan fungsi simbolis jiwa manusia. Tekanan pada hubungan sebab akibat yang
32
dapat diamati akan menuju pada reduksionisme tanpa batas seperti kelompokkelompok dijabarkan ke dalam hubungan sebab akibat anggota-anggotanya secara individual dan individu-individu dijabarkan ke dalam hubungan sebab akibat proses fisiologis sampai pada hal yang sekecil-kecilnya. Dalam teori voluntaristiknya Parsons (1986: 27) menyatakan bahwa teori tersebut merupakan titik awal sesuai dengan strateginya untuk mengkonstruksikan teori fungsional dari operasi sosial. Teori voluntaristik mencakup unsur-unsur dasar antara lain: 1. Pelaku yang merupakan pribadi individu 2. Pelaku mencari tujuan-tujuan yang akan dicapai 3. Pelaku mempunyai cara-cara untuk mencapai tujuan 4. Pelaku dihadapkan pada pelbagai kondisi situasional 5. Pelaku dikuasai oleh nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan gagasan-gagasan lain yang mempengaruhi penetapan tujuan dan pemilihan cara untuk mencapainya 6. Aksi mencakup pengambilan keputusan secara subjektif oleh pelaku untuk memilih cara tujuan yang dibatasi oleh berbagai gagasan dan kondisi situasional. Pengembangan dari teori yang telah dikembangkan tersebut, Parsons membagi ke dalam empat imperatif fungsional untuk semua sistem “tindakan”, skema AGIL. Suatu fungsi adalah suatu kompleks kegiatankegiatan yang diarahkan kepada suatu kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan sistem itu. Skema AGIL menurut Parsons adalah adaptation (A) (Adaptasi), goal attainment (G) (Pencapaian Tujuan), integration(I) (integrasi), dan latency (L) (Latensi), atau pemeliharaan pola. Secara bersama-sama keempat imperatif fungsional itu dikenal sebagai skema AGIL. Penjabaran lebih detail tentang AGIL sebagai berikut: 1. Adaptasi: suatu sistem harus mengatasi kebutuhan mendesak yang bersifat situasional eksternal. Sistem itu harus beradaptasi dengan lingkungannya
dan
mengadaptasi
kebutuhannya.
33
lingkungan
dengan
kebutuhan-
2. Pencapaian tujuan: suatu sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3. Integrasi: suatu sistem harus mengatur antarhubungan bagian-bagian dari komponennya. Ia juga harus mengelola hubungan di antara tiga imperatif fungsional lainnya. 4. Latensi
(pemeliharaan
pola):
suatu
sistem
harus
menyediakan,
memelihara dan memperbaharui baik motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan menopang motivasi. Berdasarkan persoalan yang telah diangkat dalam penelitian sosial tentang Pekerja Seks Komersial (PSK) ini, untuk menyelesaikan persoalan tersebut dapat menggunakan teori AGIL yang telah dikembangkan oleh Parsons. Menurut teori tersebut persoalan sosial ini diselesaikan dengan empat tahap yaitu: 1. Adaptasi yang berarti bahwa sistem dan pola penyelesaian prostitusi harus melihat dan mengadaptasi lingkungannya. Lingkungan yang lebih luas dapat dilihat faktor yang melatarbelakangi seseorang terjun ke dunia prostitusi. Sementara adaptasi lingkungan adalah pola perbaikan yang disesuaikan dengan keadaan lingkungan tersebut. 2. Pencapaian tujuan mengandung arti bahwa tujuan-tujuan yang hendak dicapai dalam memperbaiki keadaan seseorang dilakukan melalui tahapan program-program dan peningkatan keahliannya. Tujuan akhir pencapaian pelaksanaan program adalah agar seorang PSK dapat kembali ke masyarakat dan masyarakat dapat menerima dengan baik. 3. Integrasi seluruh komponen yang berkaitan dengan suatu persoalan yaitu keterkaitan antar hubungan yang satu dengan yang lainnya. Persoalan sosial yang muncul seperti keberadaan seseorang terjun menjadi PSK pasti berkaitan dengan unsur lain. Karena senantiasa berhubungan dengan unsur lain, maka dalam proses penyelesaianya juga berhubungan dengan komponen lain seperti keluarga dan lingkungan masyarakat. 4. Latensi atau pemeliharaan program dalam hal ini seluruh komponen yang telibat di dalamnya ikut serta dalam pengawasan, pengontrolan dan
34
memberikan motivasi kepada pelaku-pelaku yang telah kembali ke masyarakat.
Keluarga
dan
memberikan
perlindungan
memberikan
peluang
lingkungan dalam
pekerjaan
sekitar
secara
bentuk-bentuk
tanpa
memandang
nyata
sistematis seperti
latarbelakang
seseorang tersebut.
D. Kerangka Pemikiran Konsep diri yang terbangun dalam diri PSK adalah karena disebabkan banyak faktor seperti yang telah dijelaskan dalam landasan teori di atas. Pandangan masyarakat secara umum dengan keberadaan PSK adalah bahwa PSK dipandang rendah dan merupakan sampah bagi masyarakat. PSK dipandang sebagai sumber bencana baik penularan penyakit, perpecahan keluarga karena suami-suami yang suka melacur, dan setiap wilayah yang ditempati PSK dianggap wilayah kotor maksiat. Penelitian yang dilakukan oleh Roem (2014) menyatakan bahwa istilah pelacur lebih tepat digunakan daripada istilah lain seperti PSK maupun WTS. Hal ini disebabkan karena (1) arti pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap dan lebih spesifik, maksudnya istilah pelacur lebih halus pengucapannya bila dibandingkan dengan wanita tuna susuila, dimana jika wanita dikatakan pelacur dia sudah pasti melakukan pekerjaan dalam urusan seks sementara WTS belum tentu bisa disebut sebagai pelacur jika pekerjaan hanya sebatas disalon atau dibalai pijat yang beleum tentu melakukan pekerjaan kelamin, (2) istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan bermakna ganda, artinya bila wanita dilebel atau diberi istilah sebagai pekerja seks tidak menunjukkan arti secara spesifik, seksualitas dalam hal apa saja (3) istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa melacur merupakan pekerjaan, maksudnya pekerjaan pelacuran adalah pasti yang menyangkut tentang hubungan seksualitas antara laki-laki dan perempuan, serta materi sebagai pemuas hasil pekerjaan melacur tersebut. Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Pelacuran sering disebut sebagai
35
sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Razia adalah bentuk upaya penegakan hukum dan peraturan pemerintah untuk menertibkan masyarakat. Demikian juga berkaitan dengan razia yang dilakukan kepada PSK bertujuan untuk mengembalikan PSK kepada masyarakat umum dan bekerja sesuai dengan skill dan kemampuan yang dimilikinya. Hasil penelitian yang selama ini dilakukan, razia tidak efektif untuk menertibkan PSK dan justru mengalami peningkatan jumlah PSK. Balai rehabilitasi adalah merupakan suatu tempat dimana PSK yang telah dirazia diberikan pendidikan skill dan kecakapan hidup agar PSK dapat dikembalikan kepada masyarakat dan hidup secara normal dengan bekal kemampuan yang telah didapatkan selama menempati balai rehabilitasi. Program-program yang dilaksanakan di balai rehabilitasi tersebut disesuaikan dengan latarbelakang PSK karena berdasarkan penelitian secara umum PSK berlatarbelakang pendidikan yang cukup memadai. Dengan demikian rehabilitasi bertujuan agar PSK berhenti dengan pekerjaannya yang dianggap hina oleh masyarakat dan kembali ke masyarakat dengan konsep diri yang baru. Hasil penelitian sementara mengindikasikan bahwa tidak seluruhnya PSK yang telah terjaring razia kemudian masuk ke balai rehabilitasi mau kembali ke masyarakat dan hidup normal. Masih ditemukan ada PSK justru kembali kepada pekerjaannya semula setelah keluar dari balai rehabilitasi. Kerangka pemikiran di bawah ini menjelaskan bahwa profesi pekerja sebagai pelacur dilatarbelakangi oleh lima faktor. Akibat yang ditimbulkan oleh seseorang yang terjun ke dunia prostitusi adalah ditolak keberadaannya di masyarakat, dijauhi, dan dianggap sebagai mata rantai penyebaran penyakit seperti HIV dan penyakit menular lainnya. Mengacu pada persoalan tersebut, maka pemerintah mengadakan program rehabilitasi bagi para PSK yang telah terjaring dalam razia-razia. Program rehabilitasi bertujuan untuk menemukan
36
kembali konsep diri seorang pelacur dan mereka dapat kembali ke masyarakat dengan konsep diri yang baru. William H. Fitts (dalam Agustiani, 2009) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Ia menjelaskan konsep diri secara fenomenologis, dan mengatakan bahwa ketika individu memper-sepsikan dirinya, bereaksi tentang dirinya, memberikan arti dan penilaian serta membentuk abstraksi terhadap dirinya, berarti ia menunjukkan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di 10 luar dirinya. Diri secara keseluruhan (total self) seperti yang dialami individu tersebut disebut juga diri fenomenal. Diri fenomenal ini adalah diri yang diamati, dialami, dan dinilai oleh individu sendiri, yaitu diri yang ia sadari. Keseluruhan kesadaran atau persepsi ini merupakan gambaran tentang diri atau konsep diri. Menurut Hurlock (1999) konsep diri merupakan inti dari pola kepribadian.
Banyak
kondisi
dalam
kehidupan
remaja
yang
turut
membentukpola kepribadian melalui pengaruhnya pada konsep diri seperti perubahan fisik dan psikologis pada masa remaja. Callhaoun dan Acocella (dalam Ghufron dan Risnawati 2011) mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran mental diri seseorang. Namun demikian berdasarkan hasil penelitian sementara menunjukkan bahwa tidak seluruhnya PSK yang telah masuk ke balai rehabilitasi tersebut sesuai dengan yang diharapkan karena masih didapati setelah keluar dari balai rehabilitasi, mereka kembali ke dunia pelacuran namun dengan modus serta cara lain. Alasan yang sering muncul adalah skill serta pendidikan yang didapatkan selama di balai rehabilitasi tidak serta merta dapat menyelesaikan persoalan ekonomi yang menghimpitnya. Alasan lain adalah kurangnya rasa percaya diri dalam diri PSK tersebut setelah terjun kembali ke masyarakat dan secara keseluruhan masyarakat tidak sepenuhnya dapat menerima kembali
37
keberadaannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini sebagai berikut: Wanita yang berprofesi sebagai Pelacur
Alasan yang melatarbelakangi: 1. Rendahnya moral 2. Kesulitan ekonomi 3. Korban penipuan temannya 4. Pengalaman terjadinya kekeran sesksual dimasa lalunya 5. Untuk memperoleh status berbeda dari yang lainnya
Penilaian dan perlakuan negatif dari masyarakat
Akibat : 1. Ditolak keberadaannya dimasyarakat 2. Dijauhi dan dikucilkan 3. Dianggap sebagai biang penyakit dan mengotori nama baik lingkungan
Teori AGIL Balai Rehabilitasi Terbentuknya konsep diri
Out put Positif Out put negatif 1. Kembali ke masyarakat dengan 1. Tidak mau kembali ke perubahan konsep diri yang masyarakat karena sulit baru menghilangkan stigma negatif 2. Mendapatkan skill untuk yang telah melekat dalam melanjutkan kehidupanya dirinya 3. Mendapatkan kehidupan yang 2. Skill yang didapatkan selama lebih baik sebelum dan sesudah menjalani rehabilitasi tidak direhabilitasi serta merta hasilnya dapat mencukupi kebutuhannya 3. Memutuskan untuk kembali menjadi PSK karena lebih Bagan 2.1 mudah mendapatkan uang tanpa Skema Kerangka Berfikir harus mempunyai skill. 38