BAB II LANDASAN TEORI A. Jual Beli 1. Pengertian Jual Beli Jual beli merupakan salah satu aktivitas bisnis yang sudah berlangsung cukup lama dimasyarakat. Namun demikian, tidak ada catatan yang pasti kapan awal mulanya aktivitas bisnis secara formal. Ketentuan yang jelas ada dalam masyarakat adalah jual beli telah mengalami perkembangan dari pola tradisional hingga modern sampai saat ini. 1 Secara terminologi fiqih jual beli disebut dengan al-bai’ yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.Menurut hanafiah pengertian jual beli secara definitif yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun rukun jual beli, yaitu : pelaku transaksi (penjual dan pembeli), objek transaksi (harga dan barang), akad.2 Jual beli telah disahkan oleh al-qur’an, sunnah dan ijma’. Adapun dalil al-qur’an adalah Qs. Al-baqarah ayat 275 yang berbunyi: 1
Siti Mujiatun, Jual Beli dalam Prespektif Islam:Salam Dan Istishna’, (Sumatra: Jurnal Fakultas Ekonomi Universitas Muhamadiyah, 2013), Vol 13 No.2 september , Diakses pada Tanggal 26 Agustus 2015, Pukul 15.00 WIB. 2 Mardani , Fiqih Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm.101.
28
29
َّ َوأَ َح َّل َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح َّز َم الزِّ با Yang artinya : “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. Berdasarkan ayat ini menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih. Dan juga firman Allah Qs. An-Nisa’ ayat 29 yang berbunyi :
ًيَا أَيُّهَا الَّ ِذييَ آ َهٌُىا الَ تَأْ ُكلُىا أَ ْه َىالَ ُك ْن َب ْيٌَ ُك ْن بِ ْالبَا ِط ِل إِالَّ أَ ْى تَ ُكىىَ ِت َجا َرة َّللا َكاىَ بِ ُك ْن َر ِحي ًوا َ َّ اض ِه ٌْ ُك ْن َوالَ تَ ْقتُلُىا أًَفُ َس ُك ْن إِ َّى ٍ ع َْي تَ َز Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sekalian memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. a) Rukun Jual Beli3 Rukun jual beli ada 3 yaitu: 1) Pelaku transaksi yaitu penjual dan pembeli 2) Objek transaksi yaitu barang dan harga 3) Akad (transaksi) yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukan mereka sedang melkaukan transaksi, baik tindakan itu berbentuk kata-kata maupun perbuatan.
3
Ibid., hlm.102.
30
b) Syarat Sahnya Jual Beli Suatu jual belitidak sah bila tidak terpenuhi akad tujuh syarat, yaitu: 1) Saling rela antara kedua belah pihak 2) Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah baligh, berakal, dan mengerti 3) Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak 4) Objek transaksi adalah barang yang biasa diserahterimakan 5) Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad. Maka tidak sah menjual barang yang tidak jelas 6) Harga harus jelas saat transaksi c) Hukum Jual Beli Ada 5 hukum yang dalam akad jual beli : 1) Wajib, ketika dalam keadaan mendesak 2) Mandub, pada waktu harga mahal 3) Menjadi makruh, seperti menjual mushaf 4) Menjadi haram, ketika menjual anggur kepada orang yang biasa membuat arak 5) Selain yang diatas hukumnya boleh.4
4
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Muamalat Sistem Transaksi Dalam Fiqih Islam, (Jakarta:AMZAH,2010), hlm.89-90.
31
2. Akad Dalam Jual Beli Akad adalah perikatan dan perjanjian. Akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan ukum tertentu.5 Akad berasal dari bahasa arab al-‘aqd bentuk jamaknya al-‘uqud yang mempunyai arti mengikat, sambungan dan janji. Pada dasarnya akad dititikberatkan pada kesepakatan antara dua belah pihak yang ditandai dengan ijab qabul. Ijab qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridhaan dalam berakad yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikata yang tidak berdasarkan syara’. Kerena dalam islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian bisa disebut akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariah islam.6 Adabeberapa akad yang dapat digunakan dalam jual beli diantaranya akad salam, istishna’, murabahah, bai’ al-wafa, bai’ bidhmanil ajil, bai’ inah, bai’ al-dayn.berikut penjelasannya : a) Salam Dalam pengertian yang sederhana, bai’ as-salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan
5
Pusat Pengkajian Hukum Islam dan Masyarakat Madani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, (Jakarta:KENANA, 2008), hlm.15. 6 Qomarul Huda, Fiqih Muamalah, (Yogyakarta:Teras,2011), hlm.25-28.
32
pembayaran dilakukan di muka.7 Adapun rukun dan syarat bai’ assalam. Pelaksaan bai’ as-salam harus memenuhi rukun sebagai berikut : penjual, pembeli, modal atau uang, barang dan shighat atau ucapan. Disamping rukun harus terpenuhi juga mengharuskan tercukupinya segenap syarat-syarat dalam salam diantaranya sebagai berikut : 1) Pembayaran dilakukan terlebih dahulu 2) Barangnya menjadi utang bagi penjual 3) Barangnya dapat diberikan sesuai waktu yang dijanjikan 4) Barang harus jelas ukuran, takaran ataupun bilanganya 5) Disebutkan sifat-sifat dan macam barangnya dengan jelas 6) Disebutkan tempat menerimanya b) Murabahah8 Murabahah adalah jual beli barang dimana penjual mengatakan harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Adapun syarat murabahah yaitu : 1) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah 2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan 3) Kontrak harus bebas riba 4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian 7
Syafii Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta:Gema Insani Press,2001), hlm.108. 8 Ibid., hlm.109.
33
5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. c) Bai’ al-wafa Secara terminologi kompilasi hukum ekonomi syariah, bai al-wafa’ ata jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba. Ulama hanafiyah mengemukakan bahwa yang menjadi rukun dalam bai’ al-wafa’ sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan pihak yang berakad , barang yang dibeli dan harga barang tidak termasuk rukun tetapi termasuk pada syarat-syarat jual beli al-wafa’ serta penambahan penegasan bahwa barang yang telah dijual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu harus jelas misalnya satu tahun, dua tahun atau lebih.9 d) Bai’ bidhmanil ajil Bai’ bidhmanil ajil yaitu menjual
sesuatu dengan
disegerakan penyerahan barang-barangyang dijual kepada pembeli dan ditangguhkan pembayarannya. Dari segi bentuknya , jual beli ini berbeda dengan bai’ as-salam yang mana pembayaran
9
Ibid., hlm.178-182.
34
dilakukan
secara
tunai,
sedangkan
pengataran
barang
ditangguhkan.10 e) Bai’ inah Secara terminologi jual beli ‘inah adalah menjual suatu benda dengan harga lebih dibayarkan belakangan dalam tempo tertentu, untuk dijual lagi oleh orang yang berutang dengan harga saat itu yang lebih murah untuk menutup utangnya. f) Bai’ al-dayn Bai’ al-dayn merupakan jual beli dengan cara diskonto atas piutang atau tagihan yang berasal dari transaksi jual beli barang dan atau jasa.Dalam pelaksanaanya, prinsip ini dilakukan antara lain untuk pembelian : wesel dagang, wesel ekspor dan tagihan dalam rangka anjak piutang.11 B. Istishna’ 1.
Pengertian Istishna’ Dalam kamus bahasa arab Istishna’ berarti minta membuat (sesuatu).12 Istishna’ adalah akad yang mengandung tuntutan agar shani’ membuatkan sesuatu pesanan dengan ciri-ciri khusus dan harga tertentu.
10
13
Lafal istishna’ berasal dari akar kata shana’a ( )صٌع
Hulwati, Ekonomi Islam Teori Dan Praktiknya Dalam Perdagangan Obligasi Syariah Dipasar Modal Indonesia Dan Malasyia, (Jakarta:Ciputat Press Bekerjasama Fakultas Syariah IAIN Imam Bonjol Padang,2009), hlm.89. 11 Martono, Bank Dan Lembaga Keuangan Lain, (Yogyakarta:EKONISIA, 2010), hlm.103. 12 Syarifuddin Anwar, Kamus Al-Misbah:Arab-Indonesia, (Surabaya:Bina Iman), hlm.258. 13 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi hukum islam, (Jakarta:Ichtiar baru van hoeve, 1996), cet.ke-1, hlm.778.
35
ditambah alif, sin, dan ta’ menjadi istisna’a ( )ا ستصٌعyang sinonimnya, طلب أى يصٌعه لهartinya : “meminta untuk dibuatkan sesuatu”. Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, Istishna’ adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual. Transaksi bai’ al-istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayaran yang bisa dilakukan di muka, melalui cicilan atau ditangguhkan. Transaksi istishna’ ini hukumnya jawaz. jawaz berasal dari kata Jaza yang artinya boleh, diperkenakan. kata jawaz sendiri artinya kebolehan, keizinan.14
14
Isriani Hardini dan Muh.H.Giharto, Kamus Perbankan Syariah, (Bandung:Marja, 2007), hlm.46.
36
Secara umum, aplikasi bai’ al istishna’ dapat digambarkan dalam skema berikut ini. GAMBAR 2.115
Skema Bai’ Al-Istishna’
Nasabah Konsumen (Pembeli)
Produsen (Pembuat Barang) 1. Pesan
2. Beli
3. Jual
Penjual (BMT/LKS)
Keterangan : 1) Nasabah memesan barang kepada penjual (BMT/LKS) 2) Penjual (BMT/LKS) memesan kepada produsen untuk mengadakan barang pesanan nasabah ketika BMT tidak dapat membuat barang pesanan sendiri 3) Setelah barang pesanan sudah siap maka BMT menjual kepada nasabah
15
Dwi Suwiknyo, Analisis Laporan Keuangan Perbankan Syariah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2010), hlm.29.
37
2.
Dasar Hukum Istishna’ Jual beli istishna’ diperbolehkan dengan alasan kebaikan kehidupan manusia dan telah menjadi kebiasaan dalam beberapa masa tanpa
ada
ulama
yang
mengingkarinya.16Sebagian
fuqaha
kontemporer berpendapat bahwa bai’ al-istishna’ adalah sah atas dasar qiyas dan aturan umum syariah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual akan mampu mengadakan barang tersebut pada penyerahan. Maka dari itu akan mungkin terjadi perselsihan atas jenis dan kualitas barang untuk itu diminimalisir dengan adanya spesfikasi, ukuran, serta bahan barang tersebut.17 a) Landasan Alqur’an Al Baqarah Ayat 282
يا أييا الرين ءامنٌا إذا تداينتم بدين إلي أجل مسمي فاكتبٌه Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskanya. b) Landasan Hadits ض َسا َز َ َ)زًاه ابن ماجو ًالدازقطني ًغيسىما عن أبي سعيد الخدزي(ال ِ َض َس َز ًَال Artinya: "Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain" (HR, Ibnu Majah, Al-Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa'id al-Khudri).
16
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2010), hlm.138. 17 Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta:Gema Insani Press,2001), hlm 114
38
Dari Suhaib r.a bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual.”(HR Ibnu Majah) Banyak dari masyarakat dalam banyak kesempatan membutuhkan kepada suatu barang yang spesial, dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.
3.
Syarat Dan Rukun Istishna’ Syarat istishna’ adalah sebagai berikut : a) Bai’ istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang dipesan . b) Bai’ istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan c) Dalam bai’ istishna’ identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai permintaan pemesanan
39
d) Pembayaran dilakukan pada waktu dan tempat yang disepakati e) Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak boleh tawar menawar kembali terhadap isi akad yang sudah disepakati f) Jika objek barang tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pemesanan dapat menggunakan hak khiyar untuk melanjutkan akad atau membatalkan pemesanan g) Harga dinyatakan dengan jelas, pasti, dan tidak boleh berubah. Adapun rukun istishna’ sebagai berikut : a)
Produsen/ pembuat (shanni’)
b) Pemesan/pembeli (mustashni’) c)
Barang yang dipesan (mashnu’)
d) Harga (tsaman) e)
Ijab qabul (shighat)18
4. Istishna’ Paralel Dalam sebuah kontrak jual beli istishna’, apabila pihak penjual tidak dapat menyediakan barang tersebut pembeli bisa mengizinkan penjual menggunakan subkontraktor untuk memenuhi perjanjian kontrak pertama dengan membuat kontrak kedua dalam memenuhi kewajibannya. Kontrak baru ini dikenal sebagai istishna’ paralel.
18
Herry Sutanto Dan Khaerul Umam, Manajemen Pemasaran Bank Syariah, (Bandung:Pustaka Setia, 2013), hlm.197.
40
Ada beberapa konsekuensi dalam menggunakan kontrak istishna’ paralel. diantaranya sebagai berikut: 1) Sebagai penjual pada kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kewajibannya. Istishna’ paralel untuk sementara dianggap tidak ada. Untuk itu sebagai shani’ pada kontrak pertama, BMT tetap bertanggungjawab atas setiap kesalahan, kelalaian, atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak paralel. 2) Penerima subkontrak pada istishna’ paralel bertanggungjawab pada BMT sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ istishna’ kedua merupakan kontrak paralel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian, kedua kontrak tersebut tidak mempunyai kaitan hukum sama sekali. 3) BMT sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas kesalahan pelaksanaan subkontraktor. kewajiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna’ paralel, juga menjadi dasar bahwa BMT boleh memungut keuntungan kalau ada. C. Fatwa Dewan Syariah Nasional 1. Pengertian Fatwa Dan Dewan Syariah Nasional Fatwa secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu alfatwa, dengan bentuk jamak fatawa, yang berarti petuah, nasihat,
41
jawaban pertanyaan hukum. Pendapat dalam bidang hukum atau legal opinion. Fatwa secara literatur berasal dari kata al fataa yang berarti pemuda, baru, penjelasan, penerangan. Fatwa bersifat responsive. Ia merupakan jawaban hukum yang dikeluarkan setelah adanya suatu pertanyaan atau permintaan fatwa. Pada umumnya fatwa dkeluarkan sebagai jawaban atas pertanyaan yang merupakan peristiwa atau kasus yang telah terjadi atau nyata.19 Dewan Syariah Nasional atau DSN adalah dewan yang dibentuk oleh majelis ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha BMT yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Dewan Syariah Nasional (DSN) dibentuk oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam rangka efesiensi koordinasi ulama guna menanggapi isu-isu yang berhububungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Di samping itu, DSN diharapkan berfungsi sebagai pendorong terwujudnya penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, DSN berperan serta secara proaktif dalam menanggapi
dan
mengantisipasi
perkembangan
ekonomi
dan
keuangan syariah.20
19
Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI), hlm.63-65. 20 Abdul Ghofur Anshori, Tanya Jawab Perbankan Syariah, (Yogyakarta:Uii Press, 2008), hlm.19-25.
42
2. Tugas Dan Wewenang Dewan Syariah Nasional Tugas DSN berdasarkan surat keputusan DSN nomor 01 tahun 2000 tentang pedoman dasar dewan syariah nasional yaitu sebagai berikut: 1) Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan keuangan pada khususnya 2) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis keuangan syariah 3) Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah. 4) Mengawasi penerapan fatwa yang dikeluarkan Wewenang DSN berdasarkan surat keputusan nomor 01 tahun 2000 tentang pedoman dasar dewan syariah nasional, yaitu sebagai berikut: 1) mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS masing-masing lembaga keuangan syariah (LKS) menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait. 2) mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti departemen keuangan dan bank indonesia. 3) memberikan rekomendasi dan atau membuat rekomendasi namanama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu LKS. 4) memberikan peringatan kepada LKS untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.
43
5) mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tndakan apabila peringatan tidak diindahkan. 21 Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga
keuangan
syariah
jika
lembaga
yang
bersangkutan
menyimpang dari garis panduan yang telah ditetapkan. Jika dewan syariah nasional telah menerima laporan dari dewan pengawas syariah pada lembaga yang bersangkutan mengenai hal tersebut. Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran yang diberikan maka Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas yang berwenang, seperti bank indonesia dan departemen keuangan untu memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah. 3. Mekanisme Kerja Dewan Syariah Nasional Fatwa-fatwa DSN-MUI merupakan respon yang berupa titiktemu antara nilai-nilai muamalah Islami dengan pranata bisnis; ketentuan-ketentuan fatwa merupakan hasil ijtihad mufti secara kolektif yang didukung oleh pakar ilmu lain yang relevan guna menjelaskan dan memastikan agar para mufti menerima dan memahami/mengerti informasi mengenai obyek yang akan ditetapkan hukumnya dari segi syariah secara akurat dan benar. Oleh karena itu, proses penyusunan fatwa dilakukan dengan proses pengkajian secara
21
Ibid., hlm.146-147.
44
berulang-ulang dan didiskusikan secara konstruktif dengan meminta informasi dari pihak regulator, pelaku usaha/pebisnis, pihak asosiasi, dan pihak-pihak terkait lainnya.Mekanisme kerja yang berkaitan dengan DPS adalah: 1) DPS melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah yang berada di bawah pengawasannya; 2) DPS
berkewajiban
mengajukan
usul-usul
pengembangan
Lembaga Keuangan Syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN; 3) DPS melaporkan perkembangan produk dan operasional Lembaga Keuangan Syariah yang diawasinya kepada DSN sekurangkurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran; dan 4) DPS merumuskan permasalahan-permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN.
4. FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL No:06/DSNMUI/IV/2000 Berikut fatwa DSN yang mengatur tentang produk jual beli stishna’. FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL No:06/DSN-MUI/IV/2000 TENTANG JUAL BELI AKAD ISTISHNA’ Menimbang, Mengingatkan, Memperhatikan MEMUTUSKAN:
45
Menetapkan : fatwa tentang jual beli istishna’ Pertama : ketentuan tentang pembayaran 1) Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang , barang atau manfaat. 2) Pembayaran dilakukan sesuai kesepakatan 3) Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. Kedua: ketentuan tentang barang 1) Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang 2) Harus daapat dijelaskan spesifikasinya 3) Penyerahanya dilakukan kemudian 4) Waktu dan tempatpeyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan 5) Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya 6) Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan 7) Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad. Ketiga:ketentuan lain 1) Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat. 2) Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
46
3) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrasi syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.22
22
2014)
Dewan Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, (Jakarta:Erlangga,