BAB II LANDASAN TEORI
A.
HARGA DIRI
1.
Definisi Harga Diri Coopersmith (1967, h.4) menyatakan bahwa “self esteem refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it express an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to capable, significant, successful, and worthy.”
Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju atau tidak setuju, dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting, dan berharga. Harga diri seseorang menentukan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam lingkungannya. Peran harga diri dalam menentukan perilaku ini dapat dilihat melalui proses berpikirnya, emosi, nilai, cita-cita, serta tujuan yang hendak dicapai seseorang. Bila seseorang mempunyai harga diri yang tinggi, maka perilakunya akan positif, sedangkan bila harga dirinya rendah, akan tercermin pada perilakunya yang negatif pula. Selanjutnya Frey & Carlock (1984) menyatakan bahwa harga diri adalah penilaian tinggi atau rendah terhadap diri sendiri yang menunjukkan sejauh mana individu itu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, penting, dan berharga yang berpengaruh dalam perilaku seseorang.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya Stuart & Sundeen (dalam Salbiah, 2003) bahwa harga diri merupakan penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh prilaku memenuhi tujuan yang ditetapkan individu. Frekuensi pencapaian tujuan akan menghasilkan harga diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering gagal, maka harga diri cenderung rendah. Hal ini senada dengan pernyataan Baron, Byrne, & Branscombe (2006) bahwa harga diri merupakan penilaian terhadap diri sendiri. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa harga diri merupakan penilaian tinggi atau rendah terhadap diri sendiri yang dibuat oleh individu
mengenai
nilai-nilai
yang
berhubungan
dengan
dirinya
yang
menunjukkan sejauh mana individu merasa mampu, penting, dan berharga. 2.
Sumber-sumber Harga Diri Terdapat empat sumber harga diri dan juga sebagai kriteria untuk menilai
keberhasilan seseorang (Coopersmith, 1967), yaitu: a. Significance Merupakan penerimaan, perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Wujud penghargaan dari orang lain ini ialah melalui penerimaan dan popularitas sementara lawannya adalah penolakan dan keterasingan. Penerimaan terwujud melalui sikap yang hangat, responsif, ketertarikan, rasa suka yang diberikan oleh orang lain terhadap diri individu apa adanya. Individu merasa dirinya dianggap penting oleh orang lain.
Universitas Sumatera Utara
b. Power Power adalah kemampuan untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain. Power diperoleh melalui pengakuan dan penghargaan yang diberikan orang lain terhadap pendapat dan hak seseorang. Seseorang yang memiliki power cenderung lebih mandiri dan mampu untuk mengendalikan diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang memiliki power juga mampu mengungkapkan pendapat dan mampu bertahan dalam menghadapi tekanan untuk konformitas. c. Competence Merupakan keberhasilan dalam memenuhi tuntutan untuk berprestasi. Apabila seseorang mampu menguasai lingkungannya maka ada kepuasan tersendiri yang dirasakan oleh orang tersebut. Individu akan terdorong untuk lebih aktif dan kompetitif dalam lingkungannya. d. Virtue Yaitu kepatuhan pada standar etika, moral, dan prinsip agama. Seseorang yang memenuhi standar etika dan moral tertentu cenderung menampilkan sikap diri yang positif karena telah berhasil memenuhi standar-standar tertentu. Sikap positif ini biasanya disertai dengan kebijakan, kejujuran dan spiritual.
3.
Aspek-aspek Harga Diri Menurut Coopersmith (1967) ada 3 (tiga) aspek yang terkandung dalam
harga diri, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Perasaan berharga Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika individu tersebut merasa dirinya berharga dan dapat menghargai orang lain. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakantindakannya terhadap dunia di luar dirinya. Selain itu individu tersebut juga dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik pula. b. Perasaan mampu Perasaan mampu merupakan perasaan yang dimiliki oleh individu pada saat dia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkannya. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilai-nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Individu ini menyukai tugas baru yang menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuatu berjalan di luar rencana. Mereka tidak menganggap dirinya sempurna tetapi sadar akan keterbatasan diri dan berusaha agar ada perubahan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu akan menilai dirinya secara positif. c. Perasaan diterima Perasaan diterima merupakan perasaan yang dimiliki individu ketika ia dapat diterima sebagai dirinya sendiri oleh suatu kelompok. Ketika seseorang berada pada suatu kelompok dan diperlakukan sebagai bagian dari kelompok tersebut, maka ia akan merasa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok itu. Individu akan memiliki nilai positif tentang dirinya ketika ia menjadi
Universitas Sumatera Utara
bagian dari suatu kelompok yang menerimanya. Sebaliknya, individu akan memiliki penilaian negatif tentang dirinya ketika ia mengalami perasaan tidak diterima oleh seseorang atau pun oleh suatu kelompok. Perasaan diterima atau diperlakukan sebagai bagian dari kelompok akan menyebabkan individu tersebut lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan.
B.
SUKU BANGSA BATAK TOBA
1.
Suku bangsa Batak Toba Menurut Koenjaraningrat (dalam Irmawati 2002) suku bangsa adalah suatu
golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ”kesatuan kebudayaan”, sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa. Berangkat dari pengertian di atas maka Irmawati (2002) mengemukakan bahwa suku bangsa Batak Toba merupakan suatu kesatuan yang memiliki kebudayaan dan bahasa tersendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Gultom (dalam Irmawati 2002) menjelaskan bahwa suku bangsa Batak Toba tinggal di daerah pedalaman Sumatera Utara yang merupakan dataran tinggi dengan banyak jurang. Daerah yang didiami oleh orang Batak Toba (Kabupaten Tapanuli Utara) meliputi pulau Samosir dan daerah sekitar Danau Toba, secara geografis merupakan pusat Tanah Batak, dengan mayoritas penduduknya beragama Kristen. Dalam penelitian ini suku bangsa Batak Toba yang dimaksud adalah suku Batak Toba yang tinggal di daerah Samosir. Samosir merupakan salah satu dari
Universitas Sumatera Utara
tiga kabupaten yang didiami oleh suku asli bangsa Batak Toba (Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Toba dalam Irmawati, 2007). Pangururan merupakan ibukota Kabupaten Samosir. Daerah Samosir masih memiliki budaya Batak Toba yang kental. Hal ini dapat dilihat dari pola pemikiran dan sikap bertingkah laku masyarakatnya yang masih memegang tiga (3) prinsip penting Dalihan Na Tolu yaitu somba marhula-hula, elek marboru, dan manat mardogan tubu. 2.
Prinsip Keturunan Batak Toba Prinsip keturunan Batak Toba adalah patrinial, maksudnya bahwa garis
turunan etnis adalah dari anak laki-laki (Gultom, 1992). Anak laki-laki memegang peranan penting dalam kelanjutan generasi. Artinya apabila seseorang tidak mempunyai anak laki-laki hal itu dapat dianggap napunu karena tidak dapat melanjutkan silsilah ayahnya dan tidak akan pernah lagi diingat atau diperhitungkan dalam silsilah. Napunu artinya bahwa generasi seseorang sudah punah, tidak berkelanjutan lagi pada silsilah Batak Toba apabila seseorang itu tidak mempunyai anak laki-laki. Sebagai pertanda dari prinsip keturunan Batak Toba adalah marga. Marga adalah asal-mula nenek moyang yang terus dipakai di belakang nama. Rentetan vertikal turunan marga itu sejak nenek moyang sampai saat sekarang menumbuhkan silsilah Siraja Batak. Marga dalam sebuah keluarga Batak Toba akan diteruskan oleh anak lakilaki (siboan goar). Hal inilah yang menyebabkan keluarga Batak sangat mendambakan kelahiran seorang anak laki-laki (Irianto, dalam Irmawati, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Jika anak lelaki yang sudah menikah mendapatkan anak laki-laki sebagai anak sulungnya, maka biasanya kelahiran anak itu akan dirayakan (dipestakan) oleh seluruh keluarga, terutama keluarga dari pihak laki-laki. Anak laki-laki yang baru lahir ini akan membawa nama keluarganya, dan mereka menganggap bahwa dengan lahirnya anak lelaki maka mereka mendapatkan nama baik dari masyarakat. Pardosi (1989) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Batak Toba menginginkan anak laki-laki, antara lain: a) Anak laki-laki dianggap penerus keturunan (marga ayah) Karena itu anak laki-laki dianggap sebagai kemudi keluarga yang diharapkan membawa dan mengangkat nama baik keluarga. Jika seorang ayah telah mempunyai anak laki-laki, dia sudah dapat dikatakan martunas (bertunas) yang berarti sudah ada penggantinya bila dia nanti meninggal. Anaknya inilah yang dapat melanjutkan cita-cita sang ayah selama masih hidup di dunia, maka sang ayah hanyalah badannya yang meninggal tetapi namanya tetap hidup seperti umpama Batak Toba yang mengatakan: “Martunas, pago tu tano do natorasna, jongjong di langit peak di tano” Artinya: si ayah hanya badannya yang meninggal karena dia telah diganti anaknya. Namanya telah dijunjung setinggi langit dan selalu ada di atas dunia. b) Anak laki-laki dapat menggantikan kedudukan dalam acara adat dan tanggung jawab adat. Hal yang demikian ini dapat dilihat dalam suatu pesta, kedudukan seorang ayah dapat digantikan anaknya, jika sang ayah tidak dapat hadir. Si anaklah yang bertanggung jawab dan melaksanakan tugas sang ayah.
Universitas Sumatera Utara
Demikian juga dalam hal tanggung jawab, jika sang ayah dalam satu keluarga telah meninggal, maka anak laki-laki ang paling tualah yang bertanggung jawab atas keluarga itu. Seperti ungkapan yang menyatakan : Siangkangan do na matean ama. Artinya: anak laki-laki paling tualah yang kematian ayah. c) Anak laki-laki pembawa nama dalam silsilah kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba. Nama kekerabatan seorang ayah pada masyarakat Batak Toba hanya dapat dijadikan dari keturunannya laki-laki. Seorang ayah tidak dapat menjadikan nama kekerabatannya dari anaknya perempuan karena anak dari anaknya perempuan itu tidak lagi semarga dengan sang ayah. Misalnya: A (adalah seorang marga)
E (adalah seorang ayah)
B (anak laki-laki A)
F (anak perempuan E)
C (anak B)
G (anak F)
maka si A dapat menjadikan anak B sebagai nama kekerabatan, sedangkan si E tidak dapat memakai anak F sebagai nama kekerabatannya. 3.
Dalihan Na Tolu Gultom (1992) menyatakan bahwa Dalihan Na Tolu artinya tiga tiang
tungku Dalihan artinya tungku yang dibuat dari batu, na artinya yang, tolu artinya tiga. Dalihan Na Tolu dibuat dari batu yang ditata sedemikian rupa sehingga bentuknya menjadi bulat panjang, ujungnya yang satu tumpul dan ujung yang lain agak persegi empat sebagai kaki dalihan, kakinya 10 cm, panjangnya 30 cm,
Universitas Sumatera Utara
dan diameternya 12 cm. Besar dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam dengan simetris di dapur di tempat yang telah disediakan. Dalihan ini bukan sekedar berfungsi sebagai tungku untuk prasarana memasak, tetapi menyangkut seluruh kehidupan yang bersumber dari dapur. Pada saat masyarakat Batak Toba melihat tiang tungku yang tiga atau Dalihan Na Tolu sebagai tungku, mereka melihat bahwa: apabila makanan yang dimasak (baik untuk dimakan perseorangan atau bersama) di atas tungku itu baik, maka baik atau sempurnalah dalihan tersebut. Melihat contoh yang sederhana dari Dalihan Na Tolu ini nenek moyang suku Batak melihat kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai keluarga tidak ada ubahnya seperti keadaan Dalihan Na Tolu. Bahwa segala sesuatu yang perlu demi kepentingan manusia dan keluarga, serta yang menjadi sumber sikap perilaku seseorang dalam kehidupan sosial budaya haruslah bersumber dari tiga unsur kekerabatan. Ibaratnya tiga tiang tungku yang berdiri sendiri tetapi saling berkait dalam bentuk kerja sama atau sama-sama dimanfaatkan. Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada arti, tetapi harus bekerja sama satu sama lain baru bermanfaat. Bagi masyarakat suku bangsa Batak Toba, Dalihan Na Tolu adalah ide vital, suatu kompleks gagasan yang merupakan pandangan hidup dan sumber perilaku masyarakat Batak Toba dan menumbuhkan kompleks aktivitas masyarakat dalam wujud karya budaya baik budaya spiritual maupun budaya material. Dalihan Na Tolu juga merupakan sumber hukum dan adat bagi masyarakat Batak Toba yang berhubungan dengan sistem perkawinan, kematian, tempat tinggal, warisan dan lain sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Unsur-unsur yang terdapat dalam Dalihan Na Tolu terdiri dari hula-hula, boru, dan dongan tubu (dongan sabutuha) (Lubis, 1997). a. Hula-hula Kedudukan pemberi gadis (hula-hula) dianggap sebagai pemberi kehidupan dan penyalur berkat, karena itu harus dihormati. Hula-hula disebut juga parrajoan, artinya dirajakan, mereka sangat dihormati borunya. Rasa hormat terhadap hula-hula tercermin dalam falsafah Dalihan Na Tolu bahwa somba marhula-hula, yang artinya: seseorang yang mempunyai hula-hula harus hormat dan patuh kepada hula-hulanya walaupun kedudukannya lebih tinggi tetapi harus tetap selalu menghormati hula-hulanya. Hula-hula dianggap sebagai Tuhan yang terlihat (Tuhan natarida), tempat boru meminta berkat (pasu-pasu) seperti banyak anak, tambah rejeki dan tambah umur. Tidak jarang tampak boru pergi mengunjungi hula-hula yang tujuannya untuk menerima berkat dari Tuhan melalui doa dari pihak hula-hula. Keadaan itu seolah-oleh memberi gambaran bahwa berkat atau pasu-pasu itu akan tercapai apabila hula-hula mendoakan borunya. Fungsi hula-hula dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, yaitu dalam: 1) Musyawarah dan mufakat untuk membuat rencana, maka fungsi hula-hula sebagai tempat meminta nasehat dan bantuan moral agar terlaksananya suatu upacara adat; 2) Upacara yang sedang berlangsung, fungsi hula-hula meminta sumbangan moral dan mereka yang bertugas memimpin upacara, memberkati dan berdoa agar acara adat tersebut tidak mendapat hambatan.
Universitas Sumatera Utara
3) Mendamaikan perselisihan seperti pembagian harta warisan, fungsi hulahula sangat menentukan dalam mendamaikan tanpa memihak, sehingga perselisihan itu dapat diselesaikan. b. Boru Penerima gadis (boru) berada pada posisi yang lebih rendah dari hula-hula, dalam posisi ini kelompok hula-hula harus mengasihi dan bersikap membujuk boru yang tercermin dari filsafat elek marboru. Pada upacara adat, pihak boru bertindak sebagai parhobas (orang yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran jalannya pesta). Fungsi boru adalah memberi sumbangan tenaga dan materi pada setiap upacara adat, boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan hula-hulanya apabila terjadinya perselisihan antara hula-hula. c. Dongan tubu (dongan sabutuha) Kerabat semarga (dongan sabutuha) adalah marga yang erat sekali hubungannya satu dengan yang lain, walaupun kedudukan dalam marga oleh penarikan garis keturunan ayah. Dari kata dongan, yang artinya teman sudah dapat diartikan bahwa kedudukan mereka adalah sama. Sabutuha berarti satu perut atau satu ayah dan satu ibu. Itu berarti harus seia sekata, ringan sama dijinjing dan berat sama dipikul sebagai keluarga kandung (seibu sebapak). Fungsi dongan sabutuha adalah sama dengan suhut (orang yang melaksanakan pesta) di dalam menjalankan suatu acara tertentu. Hubungan antara kerabat semarga harus hati-hati dan dijaga sedemikian rupa supaya tetap langgeng dan serasi yang didasari oleh falsafat manat mardongan tubu (hati-hati terhadap
Universitas Sumatera Utara
teman semarga), yang maksudnya ialah harus hati-hati dalam bertindak melaksanakan sesuatu dan juga dalam berbicara. Artinya dalam merencanakan upacara adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri tetapi harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha. 4.
Konsep 3H (Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon) Keturunan, kekayaan, dan kehormatan (hagabeon, hamoraon, hasangapon)
adalah tujuan hidup masyarakat Batak Toba (Lubis, 1997). Konsep 3H ini merupakan wujud dari kebudayaan sebagai ide dan gagasan yang terus terwarisi dan mendarah daging bagi masyarakat. a. Hagabeon Hagabeon serupa artinya dengan bahagia dan sejahtera. Hagabeon adalah kebahagiaan dalam keturunan, artinya: keturunan memberi harapan hidup, karena keturunan itu ialah suatu kebahagiaan yang tak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat. Harapan keluarga adalah kelahiran anak laki-laki, yang sesuai dengan peran garis keturunan laki-laki pada sistem kemasyarakatan Batak Toba, karena anak laki-laki adalah raja atau panglima yang tidak ada taranya. Keluarga yang tidak mempunyai anak laki-laki menganggap hidupnya ini hampa, namanya akan punah dari silsilah Siraja Batak dan tidak akan pernah disebut orang lagi (napunu). Seperti ungkapan kesedihan: molo matipul holemi solu maup tudia nama ho solu, molo mate amantai boru tulombang dia nama ho boru, boru naso mariboto. (Artinya: jika kayuhmu itu patah wahai sampan, hanyut kemanakah kau gerangan wahai sampan, jika ayahmu itu meninggal
Universitas Sumatera Utara
wahai putri kejurang manakah kau gerangan akan terdampar wahai putri, putri yang tidak mempunyai saudara laki-laki). Begitu pentingnya hagabeon bagi orang suku Batak Toba sehingga memperbolehkan suami menikah lagi (poligami) apabila tak memiliki anak laki-laki. Berpoligami sebenarnya sangat tidak diinginkan masyarakat suku Batak Toba namun niat untuk berpoligami timbul karena adanya harapan bahwa pada perkawinan kedua akan dilahirkan anak laki-laki (Gultom, 1992). b. Hamoraon Kekayaan (hamoraon) adalah segala sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Kekayaan selalu identik dengan harta kekayaan dan anak. Tanpa anak akan merasa tidak kaya, walaupun banyak harta, seperti diungkapkan bahwa : Anakkonhido hamoraon diahu (anakku adalah harta yang paling berharga bagi saya). c. Hasangapon Kehormatan (hasangapon) adalah suatu kedudukan sesorang yang dimiliki di dalam lingkungan masyarakat. Simanjuntak (dalam Irmawati, 2007) menyatakan bahwa untuk mencapai hasangapon seseorang harus terlebih dahulu berketurunan (gabe) dan memiliki kekayaan (mora). Orang kaya tetapi tidak mempunyai keturunan kurang dihormati dan tidak mempunyai kewenangan dalam upacara-upacara adat, karena hanya orang kaya dan berketurunan yang dipandang mampu dan layak memberi restu kepada orang lain. Orang yang banyak keturunan tapi miskin juga dikategorikan sebagai tidak terhormat karena seseorang dihormati apabila memiliki keturunan juga
Universitas Sumatera Utara
kekayaan. Senada dengan hal itu, Sibarani (2007) menambahkan bahwa hasangapon merupakan status tertinggi dalam kehidupan orang Batak Toba karena di dalam hasangapon sudah terdapat hamoraon dan hagabeon. Pada masyarakat Batak Toba, ketiga konsep ini merupakan kepemilikan adat dalam kehidupan masyarakat yang harus menjadi milik para individu. Perilaku para individu harus mencerminkan ketiga konsep hidup tersebut.
C.
HARGA DIRI PADA “BAPAK” BATAK TOBA YANG NAPUNU Coopersmith (1967, h.4) menyatakan: “self esteem refer to the evaluation which the individual makes and customarily maintains with regard to himself: it express an attitude of approval or disapproval, and indicates the extent to which the individual believes himself to capable, significant, successful, and worthy.”
Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu mengenai hal-hal yang berkaitan dengan dirinya yang diekspresikan melalui suatu bentuk penilaian setuju atau tidak setuju, dan menunjukkan tingkat dimana individu meyakini dirinya sebagai individu yang mampu, diterima, dan berharga. Harga diri merupakan hal yang subjektif dan ada dalam setiap individu, termasuk individu dari suku bangsa Batak Toba yang memegang nilai-nilai budaya Batak Toba yaitu 3H (hagabeon, hamoraon, dan hasangapon). 3H ini merupakan tujuan hidup yang menjadi misi budaya penting bagi orang Batak (Harahap & Siahaan, dalam Irmawati, 2007). Nilai hagabeon merupakan nilai yang paling penting karena dalam nilai hagabeon terungkap makna bahwa orang Batak Toba sangat mendambakan anak, terlebih lagi kehadiran anak laki-laki
Universitas Sumatera Utara
karena anak laki-laki adalah penerus marga (Gultom, 1992). Dalam masyarakat Batak, jika seseorang tidak memiliki anak laki-laki maka akan dianggap sebagai napunu yang artinya generasinya sudah punah dan tidak berkelanjutan lagi. Coopersmith (1967) menyatakan ada empat sumber harga diri yaitu significance, power, competence, virtue. Keempat sumber ini bagi seorang ”bapak” Batak Toba yang napunu akan berkaitan dengan nilai-nilai 3H masyarakat Batak sehingga akhirnya membentuk harga dirinya. Masing-masing sumber ini akan berbeda pada setiap individu tergantung sumber mana yang menjadi sumber paling penting bagi dirinya sehingga sumber itu apabila tercapai akan menyebabkan harga dirinya menjadi cenderung tinggi.
Universitas Sumatera Utara
D.
PARADIGMA PENELITIAN
Nilai-nilai suku Batak Toba 3H (hagabeon, hamoraon, hasangapon)
Sumber-sumber Harga Diri (Coopersmith, 1967): Significance Power Competence Virtue
Harga diri
Harga diri ”bapak” Batak Toba yang napunu
Keterangan: : Mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara