BAB II LANDASAN TEORI
II.1 Motif Konsumen dalam mengambil keputusan suatu pembelian Barang Dalam pengambilan keputusan setiap individu mempunyai pertimbangan yang berbeda-beda, sehingga mempengaruhi seseorang mengambil sikap. Sering sekali mendengar penilaian seseorang dari sikap yang dilakukan oleh orang lain. Sikap yang diambil setiap individu berbeda-beda, sikap diambil berdasarkan pengalamanpengalaman yang dialami sebelumnya, informasi yang seseorang dipercaya dll. Contoh yang bisa ambil adalah sikap kita pada saat melihat anak jalanan pada saat mengemis dilampu merah. Motif seseorang dalam mengambil sikap untuk memberi/tidak uang receh berbeda-beda, ada yang memberikan karena belas kasihan, tidak memberikan karena mengajarkan kepada anak tersebut untuk meminta-minta dll yang semuanya mereka dapat dari pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-beda dan memberikan penilaian yang berbeda-beda pada setiap individu yang melihatnya. Sebagian besar peneliti setuju bahwa sikap terdiri dari 3 komponen yaitu : pengaruh (affect), perilaku (behavior) dan kesadaran (cognition). Pengaruh berhubungan dengan cara konsumen merasakan dari suatu sifat objek, Perilaku melibatkan motif individu untuk melakukan sesuatu berhubungan dengan sifat objek dan Kesadaran berhubungan dengan kepercayaan suatu konsumen akan sifat objek. Ketiga komponen ini
6
ini terkenal dengan sebutan ABC model of attitude. (Solomon : Consumer Behavior, hal 237). Dalam model empasis ini, berhubungan timbal balik dengan pengetahuan, perasaan dan perlakukan. Sikap konsumen terhadap suatu produk tidak bisa diputuskan indentifikasi dasar tentang produk itu, tetapi secara lebih spesifik. Yang terpenting dari 3 komponen dari sikap ini akan berubah-ubah berdasarkan tingkat motivasi berhubungan dengan sifat objek tersebut, baik sering atau jarang objek itu digunakan. Untuk menjelaskan akibat dari ketiga komponen ini, para peneliti sikap ini mengembangkan konsep ini dengan sebutan Hierarchy of effect. Konsep ini dikembangkan berdasarkan dengan diagram dibawah ini.
Gambar 2.1 Hierarchies of Effect (Solomon : Consumer Behavior, hal 238)
7
Hirarki Pembelajaran Dasar (The Standard Learning Hierarchy ) diasumsikan bahwa konsumen mempunyai petimbangan besar dalam menentukan pembelian suatu produk.
Konsumen
tersebut
termotivasi
mencari
tahu
banyak
informasi,
mempetimbangkan secara hati-hati dan membuat keputusan sulit. Contohnya pada saat seseorang akan membeli produk yang tidak dibeli ulang dalam jangka waktu lama. Hirarki Dengan Sedikit Pertimbangan (The Low Involvement Hierarchy) dimana tidak ada suatu referensi kuat dari suatu merk dengan merk lainnya, sehingga dengan sedikit informasi dari produk ini sehingga konsumen baru menilai baik /buruk dari produk tersebut setelah membelinya sehingga memberi pembelajaran kepada konsumen tersebut untuk lebih berhati-hati dalam membeli barang sejenisnya pada pembelian berikutnya. Contohnya pada saat seseorang akan membeli produk yang tidak dibeli ulang dalam jangka waktu singkat seperti makanan /minuman. Hirarki berdasarkan Pengalaman (The Experiential Hierarchy) dimana konsumen berlaku berdasarkan dengan reaksi emosional. Nilai-nilai yang memberikan pengaruh akan hirarki ini adalah hal-hal yang tidak bisa dinilai dari sifat produk itu, seperti desain kemasan dan dengan reaski konsumer terhadap tambahan stimuli, seperti advertising, merk dan seting alami berdasarkan pengalaman yang teringat. Hirarki ini didukung oleh teori dari Seorang Psikolog, Daniel Katz (Solomon : Consumer Behavior, hal 235). Dia mengidentifikasi fungsi sikap menjadi 4 bagian, salah satunya Fungsi bernilai dari perasaan (Value-Expressive Function). Dalam teori ini Sikap menampilkan suatu fungsi yang bernilai perasaan itu menggambarkan Jati diri atau penilaian diri dari seorang konsumen. Seseorang menilai suatu produk tidak hanya dari fungsi dan kegunaannya, tetapi mempunyai lebih yang menggambarkan suatu individu
8
dalam menggunakan produk tersebut. Contohnya, Ketika Blitzmegaplex hadir di Indonesia dan menawarkan tata ruang lingkungan diStudio dan ruang tunggu yang berbeda dengan bioskop-bioskop yang sudah ada, memberikan suatu experience baru kepada konsumennya sehingga memdapatkan kesan yang positif. Dari contoh kasus ini berdasarkan teori The Progression of Economic Value, bahwa apa yang ditawarkan oleh Blitzmegaplex ini adalah bukan hanya sekedar berdasarkan feature (karakteristik, sifat atau ciri-ciri) dan benefit (manfaat atau kegunaan) namun juga nilai lainnya,yang memberikan diferensiasi pada produk tersebut, maka dengan demikian mereka bisa menjual dengan harga premium berdasarkan nilai lainnya, bukan masuk dalam persaingan harga pasar produk lainnya. (Pine II & Gilmore,The Experience Economy Hal 22).
Gambar 2.2 Progression of Economic Value (Pine II & Gilmore,The Experience Economy Hal 22)
9
Dari Diagram The Progression of Economic Value diatas, maka produk-produck yang hanya menawarkan feature (karakteristik, sifat atau ciri- ciri) dan benefit (manfaat atau kegunaan) hanya menawarkan sampai tahap Make Goods saja sehingga produkproduk tersebut bersaingan dengan harga yang ditawarkan. Untuk tahap Deliver Service, adalah nilai lebih dalam bentuk pelayanan dalam produk tersebut. Pada umumnnya, Perusahaan – perusahaan elektronik menggunakan pendekatan ini dengan menawarkan sistem garansi pada setiap produknya. Tahap Stage Experience adalah tahap cukup kompleks dan masih bisa dikembangkan. Dasar dari pengembangan tahap ini adalah Experience Economy, dimana Perusahaan yang sudah memahami konsep ini menyadari bahwa tahap ini mencegah komoditas yang dengan cepat menurunkan diferensiasi, relevansi dan harga dari begitu banyak produk dan jasa. Sehingga Produk dan jasa itu harus memiliki suatu nilai lebih dari suatu experience yang diberikan kepada konsumennya. Contoh diatas perbedaan konsep yang ditawarkan oleh Blitzmegaplex ini berbeda dan lebih fresh dibandingkan dengan bioskop-bioskop yang sudah ada sehingga memberikan experience yang baru.
II.2 Konsep dasar dari sebuah Experience Economic Dahulu saat kita memasarkan suatu produk atau jasa, terkadang kita cukup mengandalkan feature (karakteristik, sifat atau ciri-ciri) dan benefit (manfaat atau kegunaan) agar produk atau jasa kita bisa laku dan tetap dibeli konsumen kita. Namun pada saat ini feature dan benefit saja terkadang tidak cukup agar kita tetap bertahan dalam persaingan dipasar, karena ternyata Pesaing kita dapat meniru bahkan menyamai produk
10
yang kita jual ke pasar muncullah faktor-faktor lain seperti pelayanan atau service agar feature dan benefit produk bisa mendapatkan nilai lebih dimata konsumen. Terkadang itu masih belum cukup, mengingat semakin hari tingkat kompetisi semakin rumit dan kompleks. Untuk itu di butuhkannya faktor lain untuk mempertahankan dan meningkatkan market share dan profitabilitas salah satu caranya dengan menyangkut customer’s memory. Pada saat seorang consumer membeli sebuah experience, dia akan membayar untuk menghabiskan waktu untuk suatu pengalaman yang memorable yang ditawarkan yang melibatkan dia ke dalam suatu yang bersifat personal. (Pine II, & Gilmore,The Experience Economy Hal 2). Dikarenakan begitu banyak contoh-contoh dari langkah-langkah pendekatan experience ini datang dari dunia hiburan, namun perlu diingat bahwa dalam langkahalngkah pendekatan sebuah experience kepada konsumen, tidak hanya dalam menghibur namun cara menyatukan dengan para consumer tersebut.berdasarkan konsep dari Pine II, Joseph & James H. Gilmore dalam bukunya The Experience Economy, dijelaskan bahwa dalam bidang experience ini terbagi menjadi 4 faktor sebagai berikut : -
Entertaiment (hiburan) : dalam entertaiment yang dijabarkan kebanyakan orang sebagai suatu event/kegiatan yang tanpa ada kontak reaksi timbal balik (passive) yang menggunakan panca indera (sense) contoh : membaca buku, mendengarkan musik.
-
Educational (mendidik) : sepertinya halnya entertaiment, yang menyerap suatu event/kegiatan, namun dalam hal ini consumer terlibat langsung dalam kegiatan
11
tersebut sehingga ada kesempatan proses timbal balik dan kendali. Contoh : mengikuti seminar/talkshow. -
Esthetic (estetika): Konsumen terlibat lebih dalam dalam proses experience ini sehingga menjiwai tanpa bisa melakukan kendali kontak reaksi timbal balik (passive). Contoh : pergi ke cafe atau museum.
-
Escapist (khayalan): Konsumen terlibat lebih dalam dalam proses experience ini sehingga menjiwai dan dalam hal ini consumer terlibat langsung dalam kegiatan tersebut sehingga ada kesempatan proses timbal balik dan melakukan kontak kendali. Contoh : bermain paintball. Berikut adalah diagram yang menggambarkan 4 faktor dalam bidang Experience
yang telah dijabarkan diatas :
Gambar 2.3 The Experience Realms (Pine II, & Gilmore,The Experience Economy Hal 21)
12
Maka dari sini maka muncul istilah Experiential Marketing, yaitu suatu pendekatan pemasaran yang mengupayakan agar para konsumen memiliki suatu pengalaman yang tak terlupakan ketika akan, sedang atau telah membeli suatu produk atau jasa. Caranya adalah dengan menyentuh sisi emosional konsumen lebih dalam lagi, bukan lagi sekadar sisi rasionalnya.
III.3 Konsep Experiential Marketing Konsep Experiential Marketing mencakup dari 3 aspek dasar yaitu : III.3.1 Strategy Experience Modules (SEMs) III.3.2 Experience Providers (ExPro) III.3.3 Customer Experience Management (CEM) III.3.1 Strategy Experience Modules Strategy Experience Modules (SEMs) terdiri dari 5 elemen yaitu : Sense, Feel, Think, Act dan Relate. Setiap modul merepresentasikan tipe pengalaman yang berbedabeda, dimana mempunyai prinsip management yang berbeda. Dalam penerapan model SEM ini, tidak semua modul dapat diserap sekaligus maupun secara berurutan, namun dalam penerapannya, sebaiknya di serap secara bertahap dengan berurutan sehingga experience yang diserap lebih memoriable. Urutan modul SEM di mulai oleh Sense. Sense adalah bagaimana agar produk atau jasa kita bisa dirasakan panca indra kita (mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit). Ini adalah unsur yang paling sederhana yang bisa diterapkan. Semakin banyak indra yang bisa merasakannya, maka semakin besar kemungkinan produk kita menjadi memorable. Mengapa? Karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda dalam menyampaikan informasi ke otak lewat panca indra.
13
Dalam NLP (Neuro Linguistic Programming), dikenal ada orang yang bertipe visual (lebih peduli pada apa yang dilihat), auditory (lebih peduli pada apa yang didengar), dan kinestetik (lebih peduli pada apa yang mereka sentuh atau rasakan). Dengan melibatkan semakin banyak indra, semakin banyak orang yang bisa kita jangkau (untuk masuk ke memori mereka). Feel adalah bagaimana menciptakan perasaan enak (feeling good) bagi para konsumen, yaitu dengan melibatkan mood dan emosi secara lebih intens lagi. Beberapa acara reality show di televisi seperti Indonesian Idol, AFI, atau MamaMia adalah beberapa contoh produk yang sukses memanfaatkan emosi para penonton, agar mereka terus mengingat dan menontonnya kembali. Sebagian dari Pemirsanya mungkin juga pernah mengirim SMS dukungan ke salah satu kontestan. Padahal, barangkali mereka tidak mengenal kontestan itu, hanya karena emosi mereka bangkit dan menggerakkan mereka. Think adalah upaya yang perlu diciptakan agar konsumen mau berpikir positif kepada produk atau jasa, setelah konsumen merasa lebih baik. Ini dapat menciptakan customer satisfaction yang lebih berjangka panjang. Dengan demikian, diharapkan akan timbul word of mouth (promosi dari mulut ke mulut) baik bagi produk tersebut. Act adalah upaya yang diarahkan bagi terciptanya pengalaman melalui perilaku tertentu dari konsumen, baik berupa tindakan individual maupun komunitas tertentu. Relate yaitu bagaimana sensasi, feeling, thinking & action seseorang tadi, di perbesar lagi ke arah konteks sosial dan budaya. Jadi relate menghubungkan konsumen secara individual dengan masyarakat atau budaya tertentu. Ini merupakan daya tarik yang paling dalam bagi konsumen.
14
III.3.2 Experience Providers (ExPro’s) Experience Providers
(ExPro’s) adalah
sarana
yang diperlukan
untuk
memberikan suatu experience kepada konsumen melalui kelima modul dari Strategy Experience Modules (SEMs) (Schmitt, The Experiential Marketing Hal 72 -93). ExPro’s terdiri dari: •
Komunikasi (Communication) : Elemen ini mencakup advertising, baik dari dalam dan luar perusahaan dari berbagai media sebagai proses branding apa pesan yang ingin ditangkap oleh target audience-nya.
•
Visual/Verbal Identity : Seperti elemen ExPro’s lainnya, Visual/Verbal Identity digunakan untuk memicu 5 elemen dari Strategy Experience Modules (SEMs). Elemen ini menjadi identitas perusahaan. Pada umumnya Elemen ini melambangkan nama dan logo.
•
Product Presence : Elemen ini terdiri dari desain produk, kemasan produk, Display produk dan karakter merk yang biasanya digunakan dari bagian kemasan dan bahan dari nilai jual.
•
Co-Branding : Elemen ini terdiri dari kerjasama kegiatan-kegiatan marketing salah satu contohnya penempatan produk dalam suatu film. Jam Omega, BMW dan telepon seluler Ericsson yang digunakan pada film Agent 007 James Bond adalah contohnya.
•
Spatial Environment : Elemen ini adalah menggambarkan Lingkungan mempunyai dampak atas suatu elemen Strategy Experience Modules (SEMs). Bisa diambil contoh pada saat seseorang pergi ke tempat seperti Disneyland, Planet Hollywoods yang menawarkan suatu dekorasi yang mempunyai ciri khas.
15
•
Website & Electonic media : Kemajuan teknologi memberikan dampak pada Strategy Experience Modules (SEMs), salah satu munculnya budaya transaksi jual beli melalui internet.
•
People : Elemen ini bisa menjadi bagian terpenting pada Strategy Experience Modules (SEMs), karena elemen ini adalah representatif dari suatu perusahaan dan merk. Bank-bank sangat menjaga kinerja pegawai dalam mepresentasikan kepada konsumen dan calon konsumennya.
Gambar 2.4 Strategy Experience Modules (SEMs) (Schmitt,The Experiential Marketing Hal 73)
16
III.3.3 Customer Experience Management Setelah konsumen mendapatkan experience dari suatu produk yang telah digunakan, diperlukan suatu proses untuk menjaga agar experience yang didapat pada produk tersebut tetap terjaga. Pada tahap ini disebut Customer Experience Management. Tahapan Customer Experience Management terdiri dari : 1. Menganalisa terhadap jenis-jenis experience yang terdapat pada benak konsumen. 2. Membangun The Experience Platform yang berupa pemilihan experiential positioning dan penetapan value promise untuk konsumennya. 3. Menciptakan Brand Experience sebagai implementasi platform. 4. Pengembangan platform yang dilakukan terhadap customer interface yang bersifat dinamis dan interaktif. 5. Pembenahan dan perbaikan internal secara terus menerus. Customer Experience Management ini berkaitan erat dengan pengelolaan suatu brand/merk sebagai simbol akan keloyalan seseorang atas experience yang dialaminya. Suatu Merk begitu kuat karena itu merepresentasikan dari pengunanya. Maka muncullah istilah Branded Customer Experience. Ada 2 cara untuk menciptakan Brand Customer Experience yaitu Experiencing the Brand (mencoba suatu merk) dan Branding the experience (memberi isitlah pada suatu pengalaman). Experiencing the Brand (mencoba suatu merk) pada dasarnya adalah kesadaran konsumen atas Branded Customer Experience. Ini dimulai dari merk dan apa yang mewakili dan kemudian dengan sengaja menciptakan experience yang diterima ke konsumen. Experiencing the Brand (mencoba suatu merk) dimulai dari merk dan nilai
17
kegunaan yang mengubahnya menjadi suatu janji untuk konsumen yang dituju dan menyampaikan janji ini dengan cara dimana membuat merk ini dikenal. Berikut adalah tahapan dari Experiencing the Brand (mencoba suatu merk) :
Gambar 2.5 tahapan Experiencing the Brand (Wheeler dan Smith, Managing the Customer Experience , hal 12)
1. Brand Essence (Intisari merk) : tahap ini adalah tahap perkenal dari merk dengan cara melakukan komunikasi dari merk tersebut. 2. Brand Promise : Sebuah nilai dari produk tersebut yang ditawarkan dan sampaikan ke konsumen. 3. Branded Customer Experience : Menyampaikan Brand Promise sehingga bisa berintraksi dengan konsumen dengan individu, produk dan proses. Branding the experience (memberi istilah pada suatu pengalaman) berkaitan dengan mengedepankan penciptaan experience baru untuk konsumen yang dituju dan kemudian karena itu dilakukan branding. Branding the experience memiliki tahap sebagai berikut :
18
Gambar 2.6 Branding the experience (Wheeler dan Smith, Managing the Customer Experience , hal 15)
1. Branded Customer Experience : Menyampaikan Brand Promise sehingga bisa berintraksi dengan konsumen dengan individu, produk dan proses sehingga membedakan dengan merk lainnya. 2. Brand Value : Nilai yang diharapkan dan sandarakan dari konsumen. 3. Brand Image : Pandangan terhadap merk tersebut dipasar. Branded Customer Experience adalah pengarah kuat untuk membangun konsumen yang loyal. Menurut Michael Bates, Marketing Director dari William Morrison, (Wheeler dan Smith, Managing Customer Experience hal 16) Branded Customer Experience terdefinisikan menjadi : -
Consistent : Menyampaikan experience itu melewati batas ruang dan waktu
-
Intentional : Menyampaikan experience untuk mendukung merk
-
Diferentiated : Dari perbandingan dengan merk yang lainnya
-
Valuable : Penawaran proporsi konsumen terhadap kebutuhan konsumen yang dituju. Cara terbaik untuk melakukan Branded Customer Experience yaitu membuat
suatu yang berlawanan untuk keluar tahap Random Experience (Pangalaman secara
19
acak). Beberapa merk besar membuat perubahan pada customer service. Mereka melakukan investasi dalam pelatihan pelayanan, standarisasi dan proses secara berulang kali untuk mempertajam experience konsumen dan membuat mudah terprediksi dan konsisten dengan merk tersebut. Pada tahap ini disebut dengan Predictable Experience. Contohnya adalah McDonald, dimana mempunyai standard yang sama dan konsisten yang ketika konsumennya datang, sudah ada dibenaknya apa akan dipesan seperti Panas (Paket nasi), Big Mac dll. Namun ini semua belum cukup dikarenakan akan mudahnya di gantikan dengan produk yang ada sejenisnya sehingga perlu adanya diferensiasi sehingga produk ini mempunyai nilai atas kebutuhan konsumen yang dituju yang menjadi Brand Experience. Dengan terciptanya Brand Experience ini apabila konsumen sudah merakannya maka akan loyalitas pada konsumen tersebut.
Gambar 2.7 Tahapan Brand Customer Experience (Managing the Customer Experience: Wheeler, Joe dan Shaun Smith, hal 17)
20
Setelah pada tahap loyal akan suatu merk, sering kali terjadi pemujaan atas merk tersebut yang disebut Cult Branding. Pemujaan ini menimbulkan berbagai macam fungsional salahsatu terciptanya sebuah komunitas. Salah satunya yang bisa dijadikan contoh adalah merk Harley Davidson. Ketika motor-motor buatan Jepang masuk ke dalam pasar Amerika Serikat, mengguncang Harley Davidson. CEO Vaughn Beals menciptakan Harley Owner Group yaitu suatu komunitas penggunanya sebagai konsepnya pemasaran gerilya (Guerilla marketing). Konsep ini berjalan dalam Komunitas tersebut dari promosi dipenjual dan mulut ke mulut dan dengan baik (Ragas, Matthew W dan Bolivar J. Bueno,The Power of Cult Branding hal 80).
Ketika
Komunitas konsumen berjalan dengan baik maka membuat Merk tersebut menjadi hidup. Dalam kasus ini Harley Owner Group selain menyelamatkan perusahaan, juga kesempatan besar kepada efisiensi biaya dibuat dari hubungan konsumen dan peningkatan penjualan.
II.4 Konsep Cinematic Experience Seperti yang telah dibahas diBab I sebelumnya bahwa Perkembangan Bioskop itu sendiri menghadapi banyak tantangan dari dalam berbagai segi aspek, dari semakin banyaknya muncul berbagai macam jenis hiburan yang baru. Untuk itu kita perlu mengidentifikasi mengapa seseorang menonton di bioskop? Walaupun dengan kemajuan teknologi yang bisa “memindahkan bioskop” ke rumah. Namun ada sesuatu yang tidak bisa didapatkan yaitu social experience. Social experience itu sendiri adalah pengalaman yang dirasakan dari suatu aktivitas yang dilakukan bersama-sama didalam suatu komunitas /kelompok. Pergi menonton bioskop
21
bukan satu-satunya yang menjadi bagian dari social experience, melainkan pengarah sosiologikal saja. Berdasarkan penelitian di Jerman oleh European Institute of Cinema di Karlsruhe ada suatu komunitas yang ingin menonton bukan karena apa film yang akan ditayangkan, akan tetapi berdasarkan spontanitas/acara yang memungkinkan pada saat itu (www.kinerma.uwaterloo.ca) . Jadi perlu digali lagi cara mereka mendapat motivasi untuk menonton di bioskop. Dalam hidup disuatu komunitas, seseorang akan melakukan apa saja bisa tetap eksis dalam komunitasnya tersebut, maka apabila seseorang ke bioskop untuk menonton Starwars, itu karena semua temen-teman yang dikomunitasnya ingin menonton film itu. Ketakutan akan tidak sejalan dan tersisih menjadi salah satu motivasi menonton film ini di bioskop. Ketakutan ini adalah sifat dari social experience. Selain itu, kegiatan menonton bioskop sudah menjadi budaya pada saat ada waktu luang sejak lama. Itu yang menjadi motivasi utama dalam menonton bioskop setelah itu baru motivasi menonton di bioskop berdasarkan film yang tayang di bioskop tersebut. Namun dikarenakan begitu banyak cara-cara lain dalam mengisi waktu luang. Untuk mengatasi krisis kebiasaan menonton film, perlu digali lebih dalam lagi. Berdasarkan Kompromi Psikologikal dasar, ketika seseorang sudah memiliki suatu film, maka dia akan sudah tidak mempunyai experience pada film itu karena merasa telah memiliki. Itu yang sering terjadi pada saat kita membeli/menyewa film. Ketika seseorang membeli film untuk menonton dirumah, film tersebut tidak menjadi barang yang istimewa karena film tersebut bisa ditonton kapan saja, banyak gangguan secara tidak langsung pada saat menonton sehingga penontonnya konsentrasi lebih dan sulit menjiwai dari film tersebut.
22
Ketika menonton Bioskop, yang dijual dari bioskop bukan hanya film semata, tetapi emosi dari konsumennya. Penonton tidak menonton film dengan sendirian, dimana dikuimpulkan dalam 1 studio dengan suara dan layar yang cukup megah sehingga bisa konsentrasi penuh dalam menonton film tersebut. Selain itu hal-hal seperti menunggu diruang tunggu, bermain video games dan membeli popcorn sebelum menonton menjadi salah satu faktor mendukungnya. Ini bisa memberikan persepsi emotional yang berbeda sehingga menimbulkan Cinematic Experience. Hal inilah yang perlu dikembangkan kembali untuk menarik konsumen.
II.5 Penerapan SEM pada Cinematic Experience Dengan banyaknya tantangan yang di hadapi oleh biokop diIndonesia, maka bioskop harus menjaga suasana tercipta yang bisa memberikan experience pada konsumennya. Pada saat memasuki lingkungan bioskop banyak hal-hal membuat suasana dan persepsi yang berbeda-beda. Dalam konsep Experiential Marketing, hal-hal ini disebut Experience Providers (ExPro’s) yang berfungsi membuat experience konsumen melalui modul SEMs. ExPro’s yang terdapat pada lingkungan bioskop antara lain : -
Jadwal bioskop yang terpampang dikoran dan berbagai jenis promosi sebagai media komunikasi
-
Lambang dan Nama sebagai visual indentity
-
Poster dan sinopsis film sebagai Product Presence
-
Esklusifitas sebuah film yang hanya tayang di bioskop tertentu (contohnya Restless, Chocolate dll) dan nonton bareng yang diadakan sebuah produk Fast Moving Customer Goods sebagai contoh product placement (Co-Branding)
23
-
Yang mencakup Environment adalah fasilitas-fasilitas diruang tunggu bioskop dan Jenis auditorium/studio dalam bioskop
-
Bisa
mengetahui
jadwal
tayang
film
melalui
internet
dan
sms
(Website&Electronic Media) -
Penjual tiket, penjaga pintu studio serta karyawan lainnya (People) Pengalaman terhadap Experience Providers (ExPro’s) berbeda-beda dirasakan
oleh setiap individu sehingga memberikan kesan yang bervariasi, yaitu experience yang baik dan buruk. Hasil experience yang timbul ini merupakan reaksi terhadap Experience Providers (ExPro’s) tersebut berupa experience hybrid, yaitu kombinasi dari modul SEMs, contohnya : a. Positive Experience : Blitzmegaplex mempunyai Studio dengan layar terbesar di Indonesia dan Audio yang begitu kuat sehingga penonton mendapatkan kenyamanan pada panca indera mata (sense) dan memberikan kenyamanan (feel) sehingga timbul berpikir untuk menonton disitu kembali (think). Contoh ini merupakan kombinasi feel, think dan sense. b. Negative Experience : Konsumen merasa kedinginan ketika menonton diStudio yang sepi (sense) dan tidak dapat menikmati film secara utuh (feel). Contoh ini merupakan kombinasi sense dan feel
II.6 Sekilas Mengenai Blitzmegaplex Blitzmegaplex lahir di Bandung, dibuka mulai tanggal 26 Oktober 2006, berlokasi di Parijs van Java, Bandung dengan memiliki 9 Studio dan berisi 2.254 kursi. Blitzmegaplex mempopulerkan istilah beyond movies dan one stop dikarenakan beberapa
24
hal. Fasilitas merokoknya yang dibuat nyaman, mempunyai cafe dengan variasi menu, aneka jajanan dari popcorn rasa caramel, hotdog hingga Blitzbites (Aneka gorenggorengan). Hiburan diBlitz tidak hanya film karena digelar juga live music yang sempat menghadirkan Christian Bautista. Setelah berjaya diBandung selama 6 bulan,Blitzmegaplex buka di Jakarta, tepatnya di Grand Indonesia lantai 8 pada tanggal 21 maret 2007 dengan jumlah 11 studio dan berisi 3.000 kursi. Dengan kapasitas itu, Blitzmegaplex tercatat sebagai bioskop terbesar di Indonesia. Kelebihan lain dari Blitzmegaplex adalah film yang ditayangkan bisa mencapai 20 judul, hal ini karena ada pembagian jam tayang bagi film-film tertentu. Harga tiket masuk bervariasi dari Rp 25.000,- sampai dengan Rp. 80.000,- (untuk kelas premium dibalkon). Dan dalam sejarah perbioskopan, Blitzmegaplex telah mebuat rekor dengan Menayangan suatu film sebanyak 18 kali per hari (Pirates of The Carribian : At the World End sejak 22 Mei 2007). Film- film yang ditayangkan bukan hanya film-film Hollywood dan film Indonesia saja, namun juga Film-film dari Hongkong, Korea, Thailand dan Eropa. Midnight Show pun tidak hanya di adakan pada malam minggu saja, tetapi juga pada malam sabtu. Penataan ruang juga menjadi salah satu kelebihan yang mencolok, misalnya lobby yang luas, lapang dan terang benderang hinggga memberikan rasa nyaman dan betah bersantai lama. Tidak heran jika pada 15 July 2007, Blitzmegaplex tercatat dalam MURI dengan rekor 3 kategory yaitu : area terbesar, jumlah kursi dan jumlah layar.
25
Blitzmegaplex memperkenalkan pula Blitz Card, kartu prabayar yang dapat di isi ulang sesuai nilai uang yang disetor. Kartu ini selain dapat di gunakan untuk memesan tiket, juga dapat digunakan untuk membeli cemilan dan makanan di BlitzCafe. Berbeda dengan di Bandung yang menjadi tempat nongkrong anak muda, maka Blitzmegaplex di Jakarta tampaknya menjadi tempat menonton kalangan eksekutif muda dan memang perintis serta pendiri Blitzmegaplex adalah kalangan eksekutif muda yang berasal dari Jakarta. (100 tahun Bioskop di Indonesia(1900-2000): HM Johan Tjasmadi hal 244)
Gambar 2.8 Foto-foto Blitzmegaplex (www.blitzmegaplex.com)
26