BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Pengertian Audit Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf A.A. (2003)
sebagai berikut, “audit adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu satuan usaha yang dilaksanakan oleh seorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Auditing seharusnya dilakukan oleh seorang yang kompeten dan independent.” (h.1). Menurut Susilo (2002) mendefinisikan, “Audit adalah kegiatan mengumpulkan informasi factual dan signifikan melalui interaksi (pemeriksaan, pengukuran dan penilaian serta penarikan kesimpulan) secara sistematis, objektif dan terdokumentasi yang berorientasi pada asas manfaat “ (h.52). Wikipedia Indonesia (2009) mendefinisikan “Audit atau pemeriksaan dalam arti luas bermakna evaluasi terhadap suatu organisasi, sistem, proses, atau produk. Audit dilaksanakan oleh pihak yang kompeten, objektif, dan tidak memihak, yang disebut auditor. Tujuannya adalah untuk melakukan verifikasi bahwa subjek dari audit telah diselesaikan atau berjalan sesuai dengan standar, regulasi, dan praktik yang telah disetujui dan diterima.” Audit secara umum dapat dibagi menjadi beberapa jenis: 1. Audit Keuangan 2. Audit Operasional
7
3. Audit Ketaatan 4. Audit Investigatif Audit adalah suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut : 1. Proses pengumpulan dan evaluasi bahan bukti 2. Informasi yang dapat diukur. Informasi yang dievaluasi adalah informasi yang dapat diukur. Hal-hal yang bersifat kualitatif harus dikelompokkan dalam kelompok yang terukur, sehingga dapat dinilai menurut ukuran yang jelas, seumpamanya Baik Sekali, Baik, Cukup, Kurang baik, dan Tidak Baik dengan ukuran yang jelas kriterianya. 3. Entitas ekonomi. Untuk menegaskan bahwa yang diaudit itu adalah kesatuan, baik berupa Perusahaan, Divisi, atau yang lain. 4. Dilakukan oleh seseorang (atau sejumlah orang) yang kompeten dan independen yang disebut sebagai Auditor. 5. Menentukan kesesuaian informasi dengan kriteria penyimpangan yang ditemukan. Penentuan itu harus berdasarkan ukuran yang jelas. Artinya, dengan kriteria apa hal tersebut dikatakan menyimpang. 6. Melaporkan hasilnya. Laporan berisi informasi tentang kesesuaian antara informasi yang diuji dengan kriterianya, atau ketidaksesuaian informasi yang diuji dengan kriterianya serta menunjukkan fakta atas ketidaksesuaian tersebut. Tujuan audit yang independen adalah menginvestasikan dan menentukan , apakah laporan keuangan yang diaudit tersebut telah disusun sesuai dengan cara–cara pelaporan keuangan yang semestinya oleh pihak yang diaudit. Pada umumnya opini akuntan memberikan pendapat tentang tingkat kesesuaian laporan keuangan dengan kriteria yang telah ditetapkan, misalnya penyajian yang wajar 8
sesuai dengan prinsip akuntasi yang berlaku umum (generally accepted accounting principles) atau benar dan wajar. Hal mana didasari oleh tujuan dari pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan untuk menyatakan pendapat apakah posisi keuangan dan hasil usaha serta perubahan posisi keuangan perusahaan telah disajikan secara wajar sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan diterapkan secara konsisten Dalam surat penugasan (engagement letter) dan surat penegasan klien (clients representation letter) dicantumkan dengan jelas bahwa tanggung jawab dalam menentukan kebijaksanaan akuntansi yang sehat, menjalankan struktur pengendalian intern (internal control) yang baik dan mencantumkan angka–angka yang dapat dipertanggungjawabkan dalam laporan keuangan terletak pada pihak manajemen perusahaan dan bukan pihak auditor. Tanggung jawab auditor terbatas pada melaksanakan pemeriksaan audit dan melaporkan hasilnya sesuai dengan Standar Profesional akuntan Publik. Auditor melakukan kegiatan awal pemeriksaan (initial audit) dan mengumpulkan atau memperbaharui informasi mengenai perusahaan untuk tujuan mempertimbangkan materialitas dan menilai resiko melekat (inherent risk) dan resiko pngendalian (control risk). Penilaian ini mempunyai kaitan dengan tujuan audit untuk saldo perkiraan individual (individual account balances) dan golongan transaksi tertentu (classes of transaction) yang tercermin dalam laporan keuangan, dan memungkinkan auditor utnuk menyakinkan pengujian substansif yang minimum untuk mencapai tingkat resiko audit secara keseluruhan (overall audit risk) yang rendah.
9
Pada
tahap
ini
auditor
memiliki
informasi
yang
diperlukan
untuk
mengembangkan stategi audit. Dalam pengembangan strategi audit diperlukan penentuan rencana pengujian audit (audit testing plan) termasuk keputusan apakah perlu memperluas evaluasi resiko pengendalian yang berhubungan dengan tujuan tertentu untuk saldo – saldo yang diperoleh dari system (system–derived accounts) sebagai basis yang lebih lanjut untuk membatasi pengujian substantif tersebut. Pertimbangan auditor tentang materialitas dan penilaiannya atas resiko melekat dan resiko pengendalian diperbaiki atau direvisi sepanjang pelaksanaan audit berdasarkan informasi selanjutnya, dan rencana pengujian audit berubah sesuai keperluan. Evaluasi resiko dan pengujian substantif menyediakan bukti pendukung bagi pendapat akuntan atas laporan keuangan. Dengan demikian sebagian besar pekerjaan auditor dalam rangka memberikan pendapat independent atas laporan keuangan terdiri dari usaha memperoleh dan mengevaluasi
bukti
pendukung
untuk
membenarkan
pernyataan
manajemen
(management assertions). Yang dimaksudkan dengan pernyataan manajemen adalah penyampaian yang tersirat atau yang dinyatakan dengan jelas oleh manajemen yang berhubungan langsung dengan standar akuntansi yang berlaku umum. Pernyataan ini merupakan bagian dari penggunaan kriteria manajemen untuk mencatat dan mengungkapkan informasi akuntansi dalam laporan keuangan. Dalam proses memperoleh dan mengevaluasi bukti-bukti, auditor mengarahkan perhatiannya ke tujuan audit tertentu yang relevan untuk menyesuaikan pernyataan yang dikeluarkan manajemen yang bersangkutan. Dan telah diidentifikasikan 7 (tujuh) tujuan audit yang diterapkan pada golongan transaksi dan
10
saldo perkiraan, dimana semua tujuan yang ada tersebut dicapai oleh setiap perkiraan laporan keuangan yang material, yaitu: a. Eksistensi Memastikan adanya persediaan dengan mengamati pengambilan persediaan secara fisik b. Penilaian (Valuation) Memastikan penentuan nilai yang benar tentang angka piutang, dengan memeriksa daftar piutang menurut urutannya dan menentukan kecukupan penyisihan untuk piutang ragu – ragu klien pada akhir tahun c. Kecermatan Menentukan kecermatan pembukuan ke dalam buku besar, caranya dengan menelusuri pemindahbukuan dari ayat–ayat jurnal ke buku besar. a. Pisah – Batas Menentukan ketepatan pisah batas penjualan pada akhir tahun. Contoh : memeriksa pesanan untuk semua pengiriman yang keluar dari gudang atau dokumen perusahaan yang diaudit seminggu sebelum tutup tahun sampai seminggu sesudah tutup tahun kemudian telusuri pemberitahuan pengiriman ini sampai ke faktur penjualan dan pastikan penjualan ini dicatat di buku dalam periode akuntansi yang semestinya. b. Klasifikasi Menentukan bahwa semua penambahan terhadap perkiraan akiva tetap sepanjang tahun bersangkutan siklarifikasikan dengan tetap. Contoh : memeriksa faktur – faktur pendukung penambahan perkiraan aktiva tetap sepanjang tahun, catat aktiva yang tampaknya tidak memenuhi syarat dikapitalisasi
11
c. Pengungkapan Menentukan kecukupan pengungkapan kebijakan aktiva yang penting dengan meninjau ungkapan catatan kaki tentang kebijakan akuntansi signifikan yang direncanakan oleh perusahaan itu
II.2
Audit Operasional
II.2.1 Pengertian Audit Operasional Menurut Susilo (2002) mendefinisikan “Audit operasional adalah audit internal yang secara lebih khusus dan mendalam menyoroti aspek pengendalian pada kegiatan operasional dengan car mengkaji, mengevaluasi kegiatan operasional dalam organisasi sebagai upaya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas serta kesesuaian terhadap kebijakan setiap operasi yang dilakukan.” (h.53) Menurut Agoes (2004) menyatakan, “Management audit disebut juga operasional audit, fungsional audit, sistem audit adalah suatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh manajemen, untuk mengetahui apakah kegiatan operasi tersebut sudah dilakukan secara efektif, efisien, dan ekonomis.” (h.175). “Audit Operasional adalah pengkajian atas setiap bagian organisasi terhadap prosedur operasi standar dan metoda yang diterapkan suatu organisasi dengan tujuan untuk mengevaluasi efisiensi, efektivitas, dan keekonomisan (3E).” (wikipedia) Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa audit operasional merupakan suatu audit yang sistematis untuk menilai tingkat efektif, efisien, ekonomis pengelolaan atau operasi suatu organisasi dengan tujuan untuk membantu manajemen dalam pelaksanaan tugas yang lebih baik dengan memberikan rekomendasi 12
perbaikannya. Audit operasional ditekankan pada evaluasi terhadap penggunaan sumber daya dan dana apakah sudah dilakukan secara efektif dan efisien dan ekonomis. Definisi efektif, efisien, dan ekonomis menurut Agoes (2004) adalah sebagai berikut: 1. Efektif berarti jika suatu tujuan, sasaran, program dapat tercapai dalam batas waktu yang ditargetkan tanpa memperdulikan biaya yang dikeluarkan; atau hasil (output) suatu kegiatan operasi telah mencapai tujuan, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun target waktu. 2. Efisien berarti jika dengan biaya (input) yang sama bisa mencapai hasil (output) yang lebih besar; atau tindakan yang dapat meminimalisir kerugian atau pemborosan sumber daya. 3. Ekonomis berarti jika hasil (output) bisa diperoleh dengan biaya (input) yang lebih kecil / murah, dengan mutu output yang sama ; atau penggunaan secara hati-hati dan bijak agar diperoleh hasil yang terbaik. Menurut Bayangkara, I. B. K. (2008), “Pengertian efektif, efisien, dan ekonomis adalah sebagai berikut : 1. Efektif (effective) Yaitu tingkat keberhasilan suatu perusahaan untuk mencapai tujuannya. Apakah pelaksanaan suatu program atau aktivitas telah mencapai tujuannya. Efektivitas merupakan ukuran dari output. 2. Efisien (effecient) Berhubungan dengan bagaimana perusahaan melakukan operasinya, sehingga dicapai optimalisasi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Efisiensi berhubungan dengan metode kerja (operasi).
13
3. Ekonomis (economist) Berhubungan dengan bagaimana perusahaan dalam mendapatkan sumber daya yang akan digunakan dalam setiap aktivitas.” (h. 12) Pelaksanaan audit operasional harus mengikuti tahap-tahap tertentu dalam setiap penugasan walaupun sasaran berbagai audit berlainan. Penemuan harus didukung oleh fakta dan data tertulis. Menurut Bayangkara (2008), Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam audit manajemen. Secara garis besar dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu: 1.
Audit Pendahuluan
2.
Review dan Pengujian Pengendalian Manajemen
3.
Audit Terinci
4.
Pelaporan
5.
Tindak Lanjut
Tahap-tahap tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Audit Pendahuluan Audit pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan informasi latar belakang terhadap objek yang diaudit. Di samping itu, pada tahap ini juga dilakukan penelaahan terhadap berbagai peraturan, ketentuan dan kebijakan berkaitan dengan aktivitas yang diaudit, serta menganalisis berbagai informasi yang telah diperoleh untuk mengidentifikasi hal-hal yang potensial mengandung kelemahan pada perusahaan yang diaudit.
2.
Review dan Pengujian Pengendalian Manajemen Pada tahap ini auditor melakukan review dan pengujian terhadap pengendalian manajemen objek audit, dengan tujuan untuk menilai 14
efektivitas pengendalian manajemen dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan. 3.
Audit Terinci Pada tahap ini auditor melakukan pengumpulan bukti yang cukup dan kompeten untuk mendukung tujuan audit yang telah ditentukan. Pada tahap ini juga dilakukan pengembangan temuan untuk mencari keterkaitan antara satu temuan dengan temuan yang lain dalam menguji permasalahan yang berkaitan dengan tujuan audit.
4.
Pelaporan Tahapan ini bertujuan untuk mengkomunikasikan hasil audit termasuk rekomendasi
yang
diberikan
kepada
berbagai
pihak
yang
berkepentingan. Hal ini penting untuk meyakinkan pihak manajemen (objek audit) tentang keabsahan hasil audit dan mendorong pihak-pihak yang berwenang untuk melakukan perbaikan terhadap berbagai kelemahan yang ditemukan. 5.
Tindak Lanjut Sebagai tahap akhir dari audit manajemen, tindak lanjut bertujuan untuk mendorong pihak-ihak yang berwenang untuk melaksanakan tindak lanjut (perbaikan) sesuai dengan rekomendasi yang diberikan
II.2.2 Karakteristik Audit Operasional Menurut Tunggal (2001) bahwa karakteristik audit operasional antara lain adalah sebagai berikut:
15
1. Audit operasional adalah prosedur yang bersifat investigatif. 2. Mencakup semua aspek perusahaan, unit atau fungsi. 3. Yang diaudit adalah seluruh perusahaan, atau salah satu unitnya, suatu fungsi, atau salah satu sub-klasifikasinya. 4. Penelitian dipusatkan pada prestasi. 5. Pengukuran terhadap keefektifan didasrkan pada bukti / data dan standar 6. Tujuan utama audit operasional adalah memberikan informasi kepada pimpinan tentang efektif tidaknya perusahaan, suatu unit, atau suatu fungsi. Diagonis tentang permasalahan dan sebab-sebabnya, dan rekomendasi tentang langkah-langkah korektifnya. Tunggal, A. W. (2001, h. 12), menyatakan tujuan audit operasional adalah sebagai berikut : 1. Objek dari audit operasional adalah mengungkapkan kekurangan dan ketidakberesan dalam setiap unsur yang diuji oleh auditor operasional dan untuk menunjukkan perbaikan apa yang dimungkinkan untuk memperoleh hasil yang terbaik dari operasi yang bersangkutan. 2. Untuk membantu manajemen mencapai administrasi operasi yang paling efisien 3. Untuk mengusulkan kepada manajemen cara-cara dan alat-alat untuk mencapai tujuan apabila manajemen organisasi sendiri kurang memiliki pengetahuan tentang pengelolaan yang efisien. 4. Audit operasional bertujuan untuk mencapai efisien di pengelolaan. 5. Untuk membantu manajemen, auditor operasional berhubungan dengan setiap fase dari aktivitas usaha yang dapat merupakan pelayanan kepada manajemen.
16
6. Untuk membantu manajemen pada setiap tingkat dalam pelaksanaan yang efektif dan efisien dari tujuan dan tanggung jawab mereka.
II.3
Sistem Pengendalian Intern
II.3.1 Pengertian Sistem Pengendalian Intern Standar Profesional Akuntan Publik (2001) menyatakan, ”Pengendalian intern adalah suatu proses yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen dan personel lain entitas yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai tentang pencapaian tiga golongan berikut ini: (a) keandalan pelaporan keuangan, (b) efektifitas dan efisiensi operasi dan (c) kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.” (h.319) Kebutuhan terhadap pengendalian intern sangat dirasakan pada perusahaan yang ruang lingkup ekonominya sudah meluas ke segala arah. Pengendalian intern merupakan suatu istilah yang semakin banyak digunakan dalam berbagai kepentingan. Dalam perkembangannya, pengendalian intern mempunyai beberapa pengertian, antara lain : Sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi, metode dan ukuran – ukuran yang dikoordinasikan untuk menjaga kekayaan organisasi, mengecek ketelitian dan keandalan
data
akuntansi,
mendorong
efisiensi
dan
mendorong
dipatuhinya
kebijaksanaan manajemen Menurut Sugiarto (2002), “Sistem yang dapat digunakan oleh manajemen untuk merencanakan dan mengendalikan operasi perusahaan. Lebih rinci lagi, kebijakan dan prosedur yang digunakan secara langsung dimaksudkan untuk mencapai sasaran dan menjamin atau menyediakan laporan keuangan yang tepat serta menjamin ditaatinya atau dipatuhinya hukum dan peraturan, hal ini disebut Pengendalian Intern, atau dengan kata lain bahwa pengendalian intern terdiri atas kebijakan dan prosedur yang digunakan 17
dalam operasi perusahaan untuk menyediakan informasi keuangan yang handal serta menjamin dipatuhinya hukum dan peraturan yang berlaku.” Menurut Agoes, S. (2004) ”Pengendalian intern mencakup 5 (lima) komponen yang saling berkaitan. Komponen ini berasal dari cara manajemen menjalankan usaha dan terintegrasi dengan proses manajemen. Komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut: 1. Lingkungan Pengendalian (Control Environment) Lingkungan pengendalian menetapkan corak suatu organisasi, mempengaruhi kesadaran pengendalian dari orang-orangnya. Lingkungan pengendalian merupakan fondasi dari semua komponen pengendalian internal lainnya, yang menyediakan disiplin dan struktur. Lingkungan pengendalian mencakup hal-hal berikut ini: a. Integritas dan nilai etika b. Komitmen terhadap kompetensi c. Partisipasi dewan komisaris dan komite audit d. Struktur organisasi e. Pemberian wewenang dan tanggung jawab f. Kebijakan dan praktik sumber daya manusia Lingkungan pengendalian mencerminkan sikap, kesadaran, dan tindakan secara menyeluruh dari dewan komisaris, manajemen, pemilik, dan pihak lain tentang pentingnya pengendalian dan penekanan yang diletakkan atas pengendalian tesebut dalan satuan usaha. 2.
Penaksiran Risiko (Risk Assessment)
18
Merupakan pengidentifikasian dan analisis entitas mengenai risiko yang relevan dengan penyusunan laporan keuangan yang wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. Resiko dapat timbul atau berubah akibat keadaan berikut ini: a. Perubahan dalam lingkungan operasi b. Personil baru c. Sistem informasi yang baru atau yang diperbaiki d. Teknologi informasi e. Lini produk, produk atau aktivitas baru f. Restrukturisasi korporasi g. Operasi luar negeri h. Standar akuntansi baru 3.
Aktivitas Pengendalian (Control Activities) Merupakan kebijakan dan prosedur yang membantu meyakinkan bahwa tindakan yang diperlukan untuk menanggulangi risiko dalam pencapaian tujuan entitas telah dilaksanakan. Aktivitas pengendalian mempunyai berbagai tujuan dan diterapkan di berbagai tingkat organisasi dan fungsi. Umumnya aktivitas pengendalian yang mungkin relevan dengan aduit dapat digolongkan sebagai kebijakan dan prosedur yang berkaitan dengan hal-hal berikut: a. Review terhadap kinerja b. Pengolahan informasi c. Pengendalian fisik d. Pemisahan tugas 19
4.
Informasi dan Komunikasi (Information and Communication) Merupakan pengidentifikasian, penangkapan dan pertukaran informasi dalam suatu bentuk dan kerangka waktu yang membuat orangf mampu melaksanakan tanggung jawabnya. Kualitas informasi yang dihasilkan dari sistem tersebut berdampak terhadap kemampuan manajemen untuk membuat keputusan semestinya dalam mengendalikan aktivitas entitas dan menyiapkan laporan keuangan yang andal. Informasi mencakup penyediaan suatu pemahaman tentang peran dan tanggung jawab individual berkaitan dengan pengendalian intern terhadap pelaporan keuangan.
5.
Pemantauan (Monitoring) Merupakan suatu proses yang menilai kualitas kinerja pengendalian internal sepanjang
waktu.
Pemantauan
ini
mencakup
penentuan
desain
dan
pengoperasiaan pengendalian tepat waktu dan mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan. Proses ini dilaksanakan melalui kegiatan yang berlangsung secara terus-menerus, evaluasi secara terpisah, atau dengan berbagai kombinasi dari keduanya. Aktivitas pemantauan dapat mencakup penggunaan informasi dari komunikasi dengan pihak luar seperti keluhan pelanggan dan komentar dari badan pengatur yang dapat memberikan petunjuk tentang masalah atau bidang yang memerlukan perbaikan. Kombinasi dari komponen-komponen tersebut membentuk sebuah sistem pengendalian yang terintegrasi. Untuk menyimpulkan bahwa pengendalian internal sudah berjalan efektif dalam berbagai kategori tujuan perusahaan, laporan keuangan
atau kepatuhan, maka kelima kompnen tersebut harus
tersedia dan difungsikan. 20
II.3.2 Tujuan Pengendalian Intern Tujuan pengendalian intern menurut Sugiarto (2002) adalah menjamin manajemen perusahaan agar: 1. Tujuan perusahaan yang ditetapkan akan dapat dicapai. 2. Laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan dapat dipercaya. 3. Kegiatan perusahaan sejalan dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Pengendalian intern dapat mencegah kerugian atau pemborosan pengolahan sumber daya perusahaan. Pengendalian intern dapat menyediakan informasi tentang bagaimana menilai kinerja perusahaan dan manajemen perusahaan serta menyediakan informasi yang akan digunakan sebagai pedoman dalam perencanaan.
II.3.3 Sistem Pengendalian Intern Penjualan Kredit Pengertian penjualan menurut Mulyadi (2001) “Penjualan adalah perjanjian antara penjual dan pembeli untuk menyerahkan suatu barang atau jasa yang disertai imbalan”. Kegiatan penjualan terdiri dari transaksi penjualan barang dan jasa, baik secara kredit maupun tunai. Dalam transaksi penjualan kredit jika order dari pelanggan telah terpenuhi dengan pengiriman barang atau penyerahan jasa untuk jangka waktu tertentu perusahaan memiliki piutang dari pelanggannya. Dalam transaksi tunai, barang atau jasa baru diserahkan oleh perusahaan kepada pembeli jika perusahaan telah menerima kas dari pembeli. Fungsi penjualan merupakan salah satu aspek yang memegang peranan penting bagi kelangsungan suatu perusahaan, karena maju mundurnya perusahan sangat ditentukan oleh keberhasilan dari operasi penjualan yang dilakukan oleh perusahaan itu sendiri. (h. 202). 21
Penjualan Tunai menurut Tuanakotta (2000), ”Penjualan tunai adalah perpindahan hak atas barang atau jasa yang disertakan kepada pelanggan dengan sistem tunai dan tidak berpengaruh terhadap piutang perusahaan.” (h.210) Penjualan kredit menurut Mulyadi (2001), ”Penjualan kredit dilaksanakan oleh perusahaan dengan cara mengirimkan barang sesuai dengan order yang diterima dari pembeli dan untuk jangka waktu tertentu perusahaan mempunyai tagihan kepada pembeli tersebut. Untuk menghindari tidak tertagihnya piutang, setiap penjualan kredit yang pertama kepada seorang pembeli selalu didahului dengan analisis terhadap dapat atau tidaknya pembeli tersebut diberi kredit”.(h.210) Dalam melakukan pembelian kredit biasanya pelanggan diberikan limit kredit. Limit kredit adalah suatu batasan terhadap waktu dan besarnya kredit yang diberikan dalam transaksi penjualan kredit. Biasanya besar limit kredit yang diberikaan perusahaan kepada masing-masing pelanggan berbeda-beda. Penentuan besarnya jumlah limit kedit tersebut didasarkan pada pertimbangan perusahaan atas kemampuan pelanggan dalam melunasi tagihan dan kebijakan atau prosedur pengendalian intern perusahaan terhadap piutangnya. Penjualan tunai dilaksanakan perusahaan dengan cara mewajibkan pembeli melakukan pembayaran harga barang terlebih dahulu sebelum barang diserahkan oleh perusahaan kepada pembeli. Penjualan kredit memungkinkan perusahaan untuk menambah volume penjualan dengan memberi kesempatan kepada para pembeli membelanjakan sekarang penghasilan mereka di masa yang akan datang. Penjualan kredit dilakukan dengan cara perusahaan memberikan barang atau jasa sesuai dengan permintaan pembeli dan pada jangka waktu tertentu perusahaan mempunyai tagihan kepada pembeli tersebut. 22
Menurut Mulyadi (2001) fungsi yang terkait dalam sistem penjualan kredit adalah: 1. Fungsi Penjualan 2. Fungsi Kredit 3. Fungsi Gudang 4. Fungsi Pengiriman 5. Fungsi Penagihan 6. Fungsi Akuntansi
II.3.4 Sistem Pengendalian Intern Penerimaan Kas Sumber penerimaan kas suatu perusahaan biasanya sebagian besar berasal dari pelunasan piutang dari debitur, karena sebagian produk dari perusahaan tersebut dijual melalui penjualan kredit. Dalam perusahaan tersebut penerimaan kas dari penjualan tunai biasanya merupakan sumber penerimaan kas yang relatif kecil. Berdasarkan sistem pengendalian intern yang baik, system penerimaan kas dari piutang harus menjamin diterimanya kas dari debitur oleh perusahaan, bukan oleh karyawan yang tidak berhak menerimanya. Menurut Mulyadi (2001), fungsi yang terkait dalam sistem penerimaan kas dari piutang adalah: 1. Fungsi Sekretariat 2. Fungsi Penagihan 3. Fungsi Kas 4. Fungsi Akuntansi 5. Fungsi Pemeriksaan Intern
23
II.4
Piutang
II.4.1 Pengertian Piutang Pengertian piutang usaha menurut Horngren, Harrison, dan Bamber (2002) sebagai berikut: ” A promise to receive cash from customers to whom the business has sold goods or for whom the business has performed services” (p. 12). Istilah piutang disini adalah klaim perusahaan uang, barang, atau jasa terhadap pihak – pihak lain tetapi untuk tujuan akuntansi, piutang merupakan suatu hak yang diharapkan dapat diterima pada masa yang akan datang, biasanya dalam bentuk penerimaan kas. Piutang dagang ini timbul dari transaksi penjualan barang atau jasa yang dilakukan secara kredit sehingga ada tenggang waktu sejak penyerahan barang atau jasa sampai saat ini diterimanya uang. Pencatatan piutang dagang ini dilakukan dengan bukti-bukti perusahaan, misalnya faktur penjualan, bukti pengiriman barang kepada langganan, perjanjian kredit penjualan. Dalam penjualan kredit, pihak penjual menerima uang muka atau down payment dan sisa pembayarannya diangsur selama waktu yang ditentukan, beserta bunga yang disepakati bersama. Menurut Agoes, S. (2004), “ Contoh dari perkiraan-perkiraan yang biasa digolongkan sebagai piutang antara lain: -
Piutang dagang
-
Wesel tagih
-
Piutang pegawai
-
Piutang bunga 24
-
Uang muka
-
Refundable deposit (uang jaminan)
-
Piutang lain-lain
-
Allowance for bad debts” (h. 183)
II.4.2 Tujuan Piutang Dengan adanya penjualan kredit, berarti perusahaan telah meningkatkan dananya. Hal ini dilakukan perusahaan karena investasi dalam piutang bertujuan: a. Untuk meningkatkan penjualan Perusahaan yang menjual barangnya dengan kredit akan mampu menjual lebih banyak barang dibandingkan dengan perusahaan yang menuntut pembayaran dengan tunai. Biaya yang harus dipikul perusahaan karena sebagian dari dananya terikat dalam piutang akan diimbangi dengan jumlah penjualan yang tinggi. b. Untuk meningkatkan laba Dengan tingkat penjualan yang lebih tinggi dapat diharapkan akan memberikan laba yang lebih besar bagi perusahaan, hal ini terjadi kontribusi marginal atau laba kotor barang – barang lebih besar daripada biaya – biaya kebijaksanaan kredit perusahaan. c. Untuk memenuhi persaingan Bilamana perusahaan sejenis lainnya menjual barang – barangnya dengan kredit , perusahaanpun seharusnya menempuh kebijaksanaan yang serupa untuk dapat bersaing dengan mereka, kalau tidak para langganan akan melakukan pembelianpembelian pada perusahaan-perusahaan yang menentukan syarat-syarat pembayaran yang lebih ringan.
25
Menurut Agoes. S (2004) menjelaskan “Tujuan audit atas piutang adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apakah terdapat pengendalian intern yang baik atas piutang. 2. Untuk memeriksa keabsahan dan ke otentikan dari pada piutang. 3. Untuk memeriksa kemungkinan tertagihnya piutang dan cukup tidaknya perkiraan piutang tak tertagih. 4. Untuk mengetahuai apakah ada kewajiban bersyarat yang timbul karena pendiskontoan wesel tagih 5. Untuk memeriksa apakah penyajian piutang dineraca sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.” (h. 183)
II.4.3 Risiko Piutang Dengan adanya tujuan daripada piutang itu sendiri, maka sekarang kita dapat mengetahui akan pentingnya piutang dalam perusahaan. Namun demikian, terkadang piutang adalah merupakan sebuah masalah juga bagi perusahaan yang mengaturnya. Masalah itu adalah : 1. Risiko tidak dibayarnya seluruh piutang 2. Risiko tidak dibayarnya sebagian dari piutang 3. Resiko keterlambatan di dalam melunasi piutangnya 4. Resiko tertanamnya modal di dalam piutang
26