BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Penilaian Kinerja Sistem penilaian kinerja merupakan sistem yang digunakan oleh manajemen perusahaan untuk melakukan evaluasi atas seluruh sumber daya perusahaan apakah sumber daya perusahaan tersebut telah berjalan sesuai dengan standar-standar yang ditetapkan oleh suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya. Dengan adanya penilaian kinerja, diharapkan sasaran-sasaran yang belum berjalan dengan baik dapat dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, sehingga sasaran tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya demi kemajuan perusahaan. Penilaian kinerja juga berguna untuk menilai dan mengevaluasi produktivitas kerja dari seluruh sumber daya perusahaan, apakah mengalami peningkatan atau penurunan. Penilaian kinerja juga menyangkut pengukuran terhadap fakta-fakta yang menghasilkan data kemudian dianalisa untuk menghasilkan informasi yang bermanfaat untuk pengambilan keputusan seperti dijelaskan oleh Vincent Gaspersz (2003:68): “Dalam manajemen modern, pengukuran terhadap fakta-fakta akan menghasilkan data, yang kemudian apabila data itu dianalisis secara tepat akan memberikan informasi yang akurat, yang selanjutnya informasi itu akan berguna bagi peningkatan pengetahuan para manajer dalam mengambil keputusan atau tindakan manajemen untuk meningkatkan kinerja organisasi”
2.1.1 Pengertian Sistem Penilaian Kinerja Penilaian kinerja sangat diperlukan sekali terutama untuk mengevaluasi efektivitas operasional perusahaan. Menurut Mulyadi (1993:419): “Penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi, dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Karena organisasi pada dasarnya dijalankan oleh manusia, maka penilaian kinerja sesungguhnya merupakan penilaian atas perilaku manusia dalam melaksanakan peran yang mereka mainkan dalam organisasi”. Sedangkan menurut Atkinson, Banker, Kaplan dan Young (2001:43) penilaian kinerja merupakan sebuah pengukuran terhadap aktivitas yang ada di dalam rantai nilai perusahaan seperti disebutkan di bawah ini: “Performance measurement, a major management accounting and control activity, evaluates the performance of a single activity and the entire value chain”.
2.1.2 Tujuan Pokok dan Manfaat Penilaian Kinerja Tujuan pokok penilaian kinerja menurut Mulyadi (1993:420) adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Standar perilaku dapat berupa kebijakan manajemen atau rencana formal yang dituangkan dalam anggaran. Di samping itu menurut Mulyadi (1993:420), penilaian kinerja juga dimanfaatkan oleh manajemen untuk: 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum. 2. Mengidentifikasi
kebutuhan
pelatihan
dan
pengembangan
menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi pelatihan karyawan.
karyawan
serta
3. Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka. 4. Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa penilaian kinerja bertujuan untuk menilai produktivitas karyawan apakah telah sesuai dengan standar perusahaan dan kemudian melakukan motivasi-motivasi yang diperlukan untuk memicu produktivitas karyawan. Sedangkan manfaat dari pengukuran kinerja itu adalah untuk mengetahui halhal apa yang diperlukan dan ditambahkan guna memotivasi karyawan sehingga dapat menghasilkan organisasi yang efektif di dalam suatu perusahaan.
2.1.3 Tahap Penilaian Kinerja Lebih
jauh
Mulyadi
(1993:424)
menjelaskan
bahwa
penilaian
kinerja
dilaksanakan dalam dua tahap utama : tahap persiapan dan tahap penilaian. Tahap persiapan terdiri dari tiga tahap rinci: 1. Penentuan daerah pertanggung jawaban dan manajer yang bertanggung jawab. 2. Penentuan kriteria yang dipakai untuk mengukur kinerja. 3. Pengukuran kinerja sesungguhnya. Tahap Penilaian terdiri dari tiga tahap rinci : 1. Perbandingan kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. 2. Penentuan penyebab timbulnya penyimpangan kinerja yang sesungguhnya dari yang ditetapkan dalam standar.
3. Penegakan perilaku yang diinginkan dan tindakan yang digunakan untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan. Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa tahap persiapan adalah suatu tahap untuk menentukan kriteria penilaian terhadap kinerja termasuk disini adalah batasan-batasan yang harus disepakati dalam menilai sebuah kinerja. Sedangkan tahap penilaian adalah tahap dimana penilaian kinerja dilakukan termasuk di dalamnya evaluasi terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan tindakan-tindakan yang harus diambil.
2.1.4 Ukuran Penilaian Kinerja Mengenai ukuran penilaian kinerja, Mulyadi (1993:435) menjelaskan bahwa terdapat tiga ukuran yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja secara kuantitatif yaitu : 1. Ukuran kriteria tunggal (single criterium), yaitu ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajer. 2. Ukuran kriteria beragam (multiple criteria), yaitu ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai kinerja manajer. 3. Unit kinerja gabungan (composite criteria), yaitu kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran, memperhitungkan bobot masing-masing ukuran dan menghitung rataratanya sebagai ukuran menyeluruh kinerja manajer. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat bermacam-macam kriteria yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap kinerja manajer yang
bertujuan untuk melakukan kontrol dan evaluasi terhadap kinerja manajer, dan mengevaluasi apakah perlu dipertahankan atau lebih ditingkatkan.
2.2 Penilaian Kinerja Berdasarkan Sistem Tradisional Penilaian kinerja berdasarkan sistem tradisional adalah suatu penilaian kinerja yang hanya melihat dari sisi keuangan saja tanpa melihat dari sisi non keuangan. Sony Yuwono dkk (2003:25) menjelaskan sebagai berikut: “Kinerja keuangan mengindikasikan apakah strategi perusahaan memperbaiki laba perusahaan”. Penilaian berdasarkan sistem tradisional ini hanya menitikberatkan kepada aktiva fisik atau berwujud dan tidak memprioritaskan pada aktiva tak berwujud seperti produk dan jasa yang dihasilkan perusahaan, pekerja dari suatu perusahaan termasuk produktivitas dan motivasinya, proses internal perusahaan maupun loyalitas ataupun kepuasan pelanggan. Kaplan dan Norton (2000:6) menjelaskan bahwa penilaian atas aktiva tak berwujud dan kapabilitas perusahaan akan membantu karena bagi perusahaan di abad informasi, untuk mencapai keberhasilan aktiva ini lebih penting dibandingkan aktiva tradisional. Jika aktiva tak berwujud dan kapabilitas perusahaan dapat dinilai dalam model akuntansi keuangan, perusahaan yang meningkatkan aktiva dan kapabilitas ini dapat mengkomunikasikan peningkatan ini kepada para pekerja, pemegang saham, kreditor dan masyarakat. Lebih lanjut Kaplan dan Norton (2000:6) menambahkan bahwa jika perusahaan menghabiskan persediaan aktiva tak berwujud dan kapabilitasnya, efek yang negatif dapat segera terlihat dalam laporan keuangan perusahaan. Pengukuran kinerja tradisional mungkin masih bisa digunakan pada perusahaan yang skalanya lebih kecil dimana aktivitas operasional masih dapat terkontrol namun tidak untuk perusahaan
yang semakin berkembang dan semakin besar. Sony Yuwono dkk (2003:23) menjelaskan bahwa ketika perusahaan mulai membesar dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan (stakeholders) ikut bertambah, timbul permasalahan dengan pengukuran kinerja, antara lain: 1. Peningkatan
skala
perusahaan
berupa integrasi
fungsi-fungsi
dan
semakin
kompleksnya struktur organisasi memperbesar jumlah transaksi internal yang membuat mekanisme harga semakin komplek. 2. Pembesaran perusahaan berakibat pula pada semakin panjangnya siklus operasi perusahaan. 3. Pengukuran kinerja bahkan semakin sulit dilakukan pada perusahaan padat modal berskala besar yang menghasilkan lebih dari satu jenis produk, terutama kesulitan dalam pengalokasian biaya overhead. 4. Bertambahnya stakeholders semakin mempersulit proses deliberasi untuk menyepakati besarnya nilai akuntansi dalam neraca dan laporan laba rugi yang bukan berasal dari arms’ length transactions, seperti, exit value, replacement cost, dan sebagainya.
2.2.1 Kekurangan Penilaian Kinerja dengan Sistem Tradisional Apabila perusahaan selama ini mengukur kinerja perusahaannya hanya melalui tolok ukur keuangan maka akan memiliki banyak kelemahan-kelemahan sebagaimana dijelaskan oleh Sony Yuwono dkk (2003:28) sebagai berikut: 1. Pemakaian kinerja keuangan sebagai satu-satunya penentu kinerja perusahaan bisa mendorong manajer untuk mengambil tindakan jangka pendek dengan mengorbankan kepentingan jangka panjang.
2. Diabaikannya aspek pengukuran non-financial dan intangible asset pada umumnya, baik dari sumber internal maupun eksternal akan memberikan suatu pandangan yang keliru bagi manajer mengenai perusahaan di masa sekarang terlebih lagi di masa datang. 3. Kinerja keuangan hanya bertumpu pada kinerja masa lalu dan kurang mampu sepenuhnya untuk menuntun perusahaan ke arah tujuan perusahaan di masa mendatang
2.3 Penilaian Kinerja dengan Sistem Balanced Scorecard Sebagaimana telah diketahui ternyata sistem tradisional mengalami banyak kelemahan-kelemahan yaitu hanya mengukur kinerja perusahaan dari segi keuangan yaitu pada aspek fisik (tangible). Dimana penilaian kinerja melalui sistem keuangan ini hanya berdampak pada tercapainya tujuan jangka pendek yaitu untuk meningkatkan laba, tanpa melihat apa yang harus dilakukan atau dirumuskan untuk masa yang akan datang. Pengukuran kinerja tradisional tidak melakukan pengukuran pada sisi non-keuangan, sehingga kurang dapat diandalkan sebagai sarana komprehensif untuk pengambilan keputusan bagi manajemen. Kaplan dan Norton (2000:7) menjelaskan bahwa berbagai ukuran finansial tersebut tidak memadai untuk menuntun dan mengevaluasi perjalanan yang harus dilalui perusahaan abad informasi dalam menciptakan nilai masa depan melalui investasi yang ditanamkan pada pelanggan, pemasok, pekerja, proses, teknologi, dan inovasi. Karena banyaknya kekurangan-kekurangan atas penilaian dengan menggunakan perspektif dari sisi keuangan saja, hal ini mendorong Robert S. Kaplan dan David P. Norton untuk mengembangkan dan merancang suatu sistem penilaian kinerja
yang lebih komprehensif. Sistem penilaian kinerja
yang dimaksud adalah balanced
scorecard. Lebih lanjut Kaplan dan Norton (2000:2) menjelaskan bahwa balanced scorecard menerjemahkan misi dan strategi perusahaan ke dalam seperangkat ukuran yang menyeluruh yang memberi kerangka kerja bagi pengukuran dan sistem manajemen strategis. Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja dan sistem manajemen strategis berawal dari diturunkannya misi dan strategi perusahaan ke dalam seperangkat ukuran yang akan dijadikan sebagai pedoman bagi pengukuran kinerja dan sistem manajemen strategis tersebut. balanced scorecard tidak hanya mengukur kinerja perusahaan dari perspektif keuangan (perspektif finansial) saja namun juga mengukur kinerja dari sisi non keuangan yaitu perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Sehingga melalui balanced scorecard maka perusahaan tidak hanya sekedar memfokuskan demi tercapainya tujuan jangka pendek tetapi juga sebagai sistem manajemen bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam jangka panjang.
2.3.1 Pengertian Balanced Scorecard Pengertian balanced scorecard, menurut Kaplan dan Norton (1996:8), adalah sebagai berikut “The balanced scorecard complements financial measures of past performance with measures of the drivers of future performance. The objectives and measures of the scorecard are derived from organization’s vision and strategy. The objectives and measures view organizational performance from four perspectives : financial, costumer, internal business process, and learning and growth”.
Sedangkan menurut Anthony A. Atkinson, et. al (2001:408), pengertian balanced scorecard adalah sebagai berikut : “ A systematic performance measurement system that translates an organization’s strategy into clear objectives, measures, targets, and initiatives organized by four perspectives “.
Mengenai empat perspektif tersebut Atkinson, Banker, Kaplan dan Young (2001:408) menjelaskan: “The measures derived under the scorecard represent a balance between four measurement perspectives: (1) external financial measures for stakeholders and customers such as return on capital employed, (2) customers measures such as retention and satisfaction, (3) internal business process perspective measures such as cycle time, and (4) measures for learning and growth such as the number of new patents and the development of employee skills”. Horgren, Sundem dan Stratton (2002:359) mengatakan bahwa balanced scorecard adalah sebuah pengukuran kinerja sekaligus sebuah sistem pelaporan untuk mencapai keseimbangan antara pengukuran finansial dan pengukuran operasional yang menghubungkan kinerja dengan rewards atau balas jasa, dan memberikan pengakuan secara eksplisit kepada keberagaman tujuan-tujuan organisasi seperti yang dijelaskannya sebagai berikut: “Balanced scorecard a performance measurement and reporting system that strikes a balanve between financial and operating measures, links performance to rewards, and gives explicit recognition to the diversity of organizational goals”.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa balanced scorecard
selain tetap
melakukan pengukuran terhadap sisi keuangan masa lalu juga dilengkapi dengan ukuran pendorong untuk kinerja masa yang akan datang. Disamping itu tujuan dan ukuran scorecard merupakan penurunan dari visi dan strategi perusahaan, dimana tujuan dan
ukuran scorecard melihat kinerja perusahaan dari sudut empat perspektif yaitu: finansial, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Kaplan dan Norton (2000:7) menjelaskan bahwa empat perspektif tersebut memberi kerangka kerja bagi balanced scorecard. (Lihat Gambar 2.1).
Finansial Untuk berhasil secara finansial, apa yang harus kita perlihatkan kepada para pemegang saham kita
Pelanggan Untuk mewujudkan visi kita, apa yang harus kita perlihatkan kepada pelanggan kita
Proses Bisnis Internal
VISI Dan STRATEGI
Pembelajaran dan Pertumbuhan Untuk mewujudkan visi kita, bagaimana kita memelihara kemampuan kita untuk berubah dan meningkatkan diri
Untuk menyenangkan para pemegang saham dan pelanggan kita proses bisnis apa yang harus kita kuasai dengan baik
Gambar 2.1 Balanced scorecard memberi kerangka kerja untuk penerjemahan strategi ke dalam kerangka operasional Diadaptasi dari : Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:8)
Adapun mengenai empat perspektif dalam balanced scorecard, Amin Widjaja Tunggal (2002:4-5) menjelaskannya sebagai berikut: 1. Perspektif Finansial Mengukur kemampulabaan dan nilai pasar (market value) di antara perusahaanperusahaan lain, sebagai indikator seberapa baik perusahaan memuaskan pemilik dan pemegang saham.
2. Perspektif Pelanggan Mengukur mutu, pelayanan, dan rendahnya biaya dibandingkan dengan perusahaan lainnya, sebagai indikator seberapa baik perusahaan memuaskan pelanggannya. 3. Perspektif Proses Bisnis Internal Mengukur efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam memproduksi barang dan jasa. 4. Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Mengukur kemampuan perusahaan untuk mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya manusia sehingga tujuan strategik perusahaan dapat tercapai untuk waktu sekarang dan masa yang akan datang.
2.3.2 Balanced Scorecard sebagai Sebuah Sistem Manajemen Balanced scorecard adalah sebuah sistem manajemen strategis yang berfungsi untuk menerjemahkan misi dan strategi perusahaan atau unit bisnis menjadi tujuan dan ukuran. Dimana tujuan dan ukuran tersebut kemudian diturunkan dari level atas ke bawah (top-down) yang kemudian dijalankan melalui misi dan strategi di dalam unit bisnis. Kaplan dan Norton (2000:9) menjelaskan bahwa perusahaan yang inovatif menggunakan scorecard sebagai sebuah sistem manajemen strategis, untuk mengelola strategi jangka panjang. Lebih jauh Kaplan dan Norton (2000:9) menerangkan bahwa perusahaan menggunakan fokus pengukuran scorecard untuk menghasilkan berbagai proses manajemen penting yaitu sebagai berikut: 1. Memperjelas dan menerjemahkan visi dan strategi • Mengklarifikasi visi bersama yang hendak dicapai oleh seluruh organisasi. Penggunaan ukuran sebagai suatu bahasa membantu menerjemahkan berbagai konsep yang rumit dan sering kali samar-samar ke dalam suatu bentuk yang lebih pasti yang dapat memperoleh konsensus dari para eksekutif senior. 2. Mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis • Memobilisasi semua individu untuk bertindak menuju tercapainya tujuan perusahaan. • Sistem ini memungkinkan setiap pekerja dalam berbagai bagian perusahaan untuk memahami bagaimana berbagai potongan yang ada saling terkait untuk dapat menyatu, bagaimana peran mereka mempengaruhi yang lain dan pada akhirnya seluruh organisasi. 3. Merencanakan, menetapkan sasaran, dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis
• Mendefinisikan tujuan kinerja spesifik dan kuantitatif bagi organisasi pada seperangkat hasil dan faktor pendorong (driver) kinerja yang seimbang. • Perbandingan antara tujuan kinerja yang diharapkan dengan tingkat yang ada saat ini menciptakan kesenjangan (gap) kinerja yang dapat dirancang untuk dihilangkan oleh inisiatif strategis • Balanced scorecard akan memberikan pengaruh yang cukup besar apabila digunakan sebagai sistem untuk mengubah perusahaan. Perubahan-perubahan tersebut terjadi apabila perusahaan berhasil mencapai sasaran-sasaran berbagai ukuran scorecard yang telah ditetapkan manajemen puncak. Perencanaan dan proses manajemen penetapan sasaran memungkinkan perusahaan untuk mengukur hasil jangka panjang yang ingin dicapai, mengidentifikasi mekanisme dan mengusahakan sumber daya untuk mencapai hasil tersebut, dan menetapkan tonggak-tonggak jangka pendek bagi ukuran finansial dan nonfinansial 4. Meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategis Proses pembelajaran strategis disini mendorong terjadinya penetapan visi dan strategi baru di mana tujuan dalam berbagai perspektif ditinjau ulang, diperbaharui dan diganti agar sesuai dengan pandangan terkini mengenai hasil strategis dan mendorong kinerja yang dibutuhkan untuk periode mendatang. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa balanced scorecard diturunkan dari visi dan strategi perusahaan yang kemudian dari visi dan strategi perusahaan tersebut berbagai faktor yang bertujuan untuk keberhasilan perusahaan ditentukan. Setelah berbagai faktor yang bertujuan untuk keberhasilan perusahaan ditentukan maka diperlukan sebuah ukuran-ukuran kinerja yang bertujuan sebagai alat bantu untuk
menetapkan target dan mengukur kinerja pada tujuan-tujuan strategis yang telah ditetapkan (Lihat gambar 2.2).
Memperjelas dan Menerjemahkan Visi dan Strategi • Memperjelas visi • Menghasilkan konsensus
Mengkomunikasikan dan Menghubungkan • Mengkomunikasikan dan mendidik • Menetapkan tujuan • Mengaitkan imbalan dengan ukuran kinerja-tonggak
Balanced Scorecard
Merencanakan dan menetapkan Sasaran • Menetapkan sasaran • Memadukan inisiatif strategis • Mengalokasikan sumberdaya • Menetapkan tonggak tonggak penting
Umpan Balik dan Pembelajaran Strategis • Mengartikulasikan visi bersama • Memberikan umpan balik strategis • Memfasilitasi tinjauan ulang dan pembelajaran strategi
Gambar 2.2 Balanced scorecard sebagai suatu kerangka kerja tindakan strategis Sumber : Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:11) Di samping itu dengan balanced scorecard maka arah dan perumusan strategi menjadi lebih terfokus dan harus didukung oleh seluruh sumber daya perusahaan. Kaplan dan Norton (2001:7) menjelaskan sebagai berikut: ”The difference was a new senior management team using the Balanced Scorcard to focus all organizational resources on a new strategy. The scorecard allowed these successful organizations to build a new kind of management system-one designed to manage strategy”.
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa balanced scorecard digunakan oleh tim manajemen senior sebagai kerangka kerja untuk mendorong segala sumber daya yang ada di perusahaan untuk merumuskan sebuah strategi perusahaan yang baru yang lebih terfokus. Dimana Norton dan Kaplan (2001:7) menjelaskan bahwa sistem manajemen yang baru tersebut memiliki tiga dimensi yang nyata yaitu sebagai berikut: 1. Strategy Menjadikan strategi sebagai agenda sentral suatu organisasi, dideskripsikan, dijabarkan dan dikomunikasikan berjenjang melalui balanced scorecard. 2. Focus Balanced scorecard sebagai alat navigasi untuk menyerasikan dan menyelaraskan sumber daya dan aktivitas pada strategi. 3. Organization Memobilisasi sumber daya manusia agar bertindak dengan cara yang berbeda secara fundamental. Balanced scorecard memberikan logika dan arsitektur untuk menyerasikan dan menyelaraskan keterkaitan organisasi lintas unit-unit bisnis, lintas unit-unit pelayanan bersama, dan lintas individu. Balanced scorecard juga membuat seluruh sumberdaya perusahaan tersebut dapat lebih terfokus untuk mewujudkan strategi perusahaan yang telah ditetapkan, sebab dengan adanya balanced scorecard maka seluruh sumberdaya perusahaan mulai dari pimpinan, unit bisnis, sumberdaya manusia, bagian keuangan dan teknologi informasi dapat saling bekerja sama dan lebih memusatkan perhatian kepada pelaksanaan strategi jangka panjang, dimana Kaplan dan Norton (2001:8) menjelaskan sebagai berikut (Lihat gambar 2.3):
“The balanced scorecard enabled the early-adopting companies to focus and align their executive teams, business units, human resources, information technology, and financial resources to their organization’s strategy”.
Executive Team Information Technology
Business Units BALANCE
Human Resources
STRATEGY
Budgets and Capital Investments
SCORECARD
Gambar 2.3 Aligning and Focusing Resources on Strategy Sumber : Robert S. Kaplan David P Norton, The strategy Focused Organization How Balanced Scorecard Companies Thrive in The New Business Environment, Harvard Business School Press (2001:8)
Vincent Gaspersz (2003:9) menjelaskan bahwa berbeda dengan sistem manajemen tradisional yang berfokus pada anggaran (budgets) sehingga pelaksanaan strategi perusahaan sangat tergantung pada anggaran yang tersedia (Lihat gambar 2.4), sistem manajemen strategis balanced scorecard berfokus pada proses-proses manajemen strategis, sehingga perusahaan melalui balanced scorecard diterjemahkan menjadi tindakan-tindakan yang lebih terarah. (Lihat gambar 2.5)
Strategi Perusahaan
Anggaran Perusahaan (Budgets)
Insentif Bagi
Perencanaan dan Pembuatan Keputusan
Peninjauan-ulang Hasil-hasil Penyesuaian
Gambar 2.4 Sistem Manajemen Tradisional Sumber : Vincent Gaspersz, Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi, Balanced Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah, PT Gramedia Pustaka Utama Januari 2003 (10)
Strategi Perusahaan
Balanced Scorecard Perusahaan
Menyelaraskan Organisasi terhadap strategi
Menerjemahkan strategi ke dalam bentuk-bentuk operasional
Memobilisasi perubahan, dimulai dari manajemen puncak
Membuat strategi sebagai suatu proses peningkatan terus-menerus
Membuat strategi sebagai pekerjaan dan tanggung jawab setiap orang dalam organisasi
Gambar 2.5 Sistem Manajemen Strategis Balanced Scorecard Sumber : Vincent Gaspersz, Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi, Balanced Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah, PT Gramedia Pustaka Utama Januari 2003 (10)
Lebih lanjut Vincent Gaspersz (2003:11) menjelaskan perbedaan pelaporan pengendalian dan pelaporan strategis dalam tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1 Perbedaan antara Pelaporan Pengendalian dan Pelaporan Strategis Pelaporan Pengendalian (Manajemen Tradisional ! Pengendalian melalui anggaran
Pelaporan Strategis (Manajemen Balanced Scorecard) ! Umpan-balik dan pembelajaran
! Berfokus
! Berfokus pada tim fungsional
pada
fungsi-fungsi
dalam organisasi
silang (cross-functional teams)
! Mengabaikan pengukuran kinerja atau
pengukuran
kinerja
dilakukan secara terpisah ! Informasi (hanya
fungsional
untuk
! Pengukuran kinerja terintegrasi yang
dilakukan
berdasarkan
hubungan sebab-akibat tunggal
keperluan
fungsi dalam organisasi)
satu
! Informasi fungsional silang dan disebarluaskan ke seluruh fungsi dalam organisasi
Sumber : Vincent Gaspersz, Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi, Balanced Scorecard dengan Six Sigma untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah, PT Gramedia Pustaka Utama Januari 2003 (11)
Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pelaporan pada sistem manajemen tradisional lebih menitik beratkan sebagai control reporting, sedangkan pelaporan pada sistem manajemen strategis melalui balanced scorecard lebih ditujukan sebagai strategic reporting.
2.3.3 Perbedaan Balanced Scorecard Dengan Perspektif Tradisional Perbedaan antara balanced scorecard dengan sistem pengukuran kinerja tradisional dapat dijelaskan di dalam tabel 2.2 di bawah ini yaitu:
Tabel 2.2 Perbedaan Sistem Penilaian Kinerja antara Balanced Scorecard dengan Perspektif Tradisional Sistem Penilaian Kinerja Balanced Scorecard ! Mengukur kinerja perusahaan
Sistem Penilaian Kinerja Perspektif Tradisional ! Mengukur kinerja perusahaan
melalui empat perspektif yaitu
hanya
keuangan,
keuangan saja
bisnis
pelanggan,
internal
dan
proses proses
pembelajaran dan pertumbuhan. ! Menghubungkan strategi jangka panjang dengan strategi jangka
! Hanya
melalui
perspektif
memperhatikan
strategi
jangka pendek perusahaan. ! Hanya memfokuskan pengukuran pada tangible assets.
pendek perusahaan. ! Mengukur
semua
aspek
baik
tangible assets maupun intangible assets.
2.3.4 Hubungan Sebab-Akibat Dalam Keempat Perspektif Balanced Scorecard Hubungan sebab akibat disini adalah hubungan sebab akibat diantara keempat perspektif balanced scorecard, dimana keempat perspektif tersebut dihubungkan dalam sebuah rantai yang saling terkait dan berjenjang demi terwujudnya suatu tujuan yang telah ditetapkan. Mengenai hubungan sebab akibat ini Kaplan dan Norton (2000:27) menjelaskan sebagai berikut: “Strategi adalah seperangkat hipotesis mengenai hubungan sebab-akibat. Sistem pengukuran harus membuat hubungan (hipotesa) yang ada di antara berbagai tujuan perusahaan (dan ukuran) dalam berbagai perspektif eksplisit, sehingga dapat dikelola dan divalidasi. Rantai sebab-akibat harus meliputi keempat perspektif balanced scorecard”. Mengenai hubungan sebab-akibat diantara keempat perspektif tersebut, maka Kaplan dan Norton memberikan contohnya pada pencapaian ROCE (return-on-capital-employed) di
dalam perspektif finansial. Untuk mencapai ROCE, maka faktor pendorong ukuran ini bisa berupa penjualan yang ditujukan kepada pelanggan. Tingginya penjualan tentu juga dipengaruhi oleh pelanggan yang loyal atas barang yang dijual, sehingga dari sinilah dibutuhkan sebuah loyalitas pelanggan. Sebab dengan adanya loyalitas pelanggan diharapkan dapat memberi pengaruh yang kuat terhadap ROCE. Loyalitas pelanggan diharapkan muncul apabila perusahaan menyerahkan barang kepada pelanggan secara tepat waktu, dengan tingginya loyalitas pelanggan pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kinerja finansial. Adapun loyalitas pelanggan dan pengantaran barang yang tepat waktu masuk ke dalam perspektif pelanggan. Kemudian untuk menghasilkan pengiriman barang yang tepat waktu maka dibutuhkan waktu siklus yang pendek dalam berbagai proses operasi dan proses internal yang bermutu tinggi, faktor-faktor ini dimasukan kedalam perspektif bisnis internal. Sedangkan untuk meningkatkan mutu dan mengurangi siklus proses internal perusahaan maka dibutuhkan pekerja operasional yang terlatih. Pekerja operasional yang terlatih tersebut dapat ditingkatkan keahliannya dengan diadakan pelatihan-pelatihan oleh perusahaan. Secara garis besarnya hubungan sebab akibat dari keempat perspektif ini dapat dijabarkan dalam gambar 2.6
Finansial
ROCE
Pelanggan
Loyalitas Pelanggan
Penyerahan Tepat Waktu
Proses Internal/Bisnis
Pembelajaran dan Pertumbuhan
Proses Waktu Siklus
Proses Mutu
Keahlian Pekerja
Gambar 2.6 Hubungan Sebab Akibat Dalam Balanced Scorecard Sumber : Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:28) Atas hubungan sebab-akibat dan contoh diatas, Norton dan Kaplan (2000:28) berpendapat: “Balanced scorecard harus mengidentifikasi dan menyatakan dengan eksplisit tahapan hipotesis mengenai hubungan sebab akibat antara berbagai ukuran hasil dan faktor pendorongnya. Setiap ukuran yang dipilih untuk disertakan dalam balanced scorecard harus merupakan unsur dalam sebuah rantai hubungan sebab-akibat yang mengkomunikasikan arti strategi unit bisnis kepada seluruh perusahaan”.
Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa keempat perspektif dalam balanced scorecard saling terkait satu sama lain dalam sebuah hubungan sebab-akibat, pencapaian dalam setiap perspektif pasti harus didahului dari pencapaian perspektif sebelumnya. Tanpa adanya keterkaitan satu sama lain diantara perspektif-perspektif
dalam balanced scorecard, mustahil tujuan jangka pendek maupun jangka panjang akan mudah tercapai.
2.3.5 Komponen Balanced Scorecard 2.3.5.1 Keuangan Penilaian kinerja keuangan menunjukan apakah perencanaan, implementasi dan pelaksanaan dari strategi yang telah ditentukan selama ini memberikan perbaikan yang mendasar. Perbaikan-perbaikan ini dapat terlihat dari sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, baik berbentuk gross operating income, return on
investement, atau economic value added. Menurut Kaplan dan Norton
(2000:53), tujuan keuangan menggambarkan tujuan jangka panjang perusahaan: pengembalian modal investasi yang tinggi dari setiap unit bisnis. Menurut Kaplan dan Norton (2000:42), dalam melakukan penilaian atau pengukuran kinerja keuangan maka harus mempertimbangkan adanya tahapan dari tiga siklus kehidupan bisnis, yaitu: bertumbuh (growth), bertahan (sustain) dan menuai (harvest) yang dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Bertumbuh (growth) Pada tahap ini perusahaan menghasilkan produk dan jasa yang memiliki potensi pertumbuhan,
dimana
untuk
memanfaatkan
potensi
ini,
perusahaan
harus
mengikutsertakan sumber daya yang cukup banyak untuk mengembangkan sekaligus meningkatkan berbagai macam produk dan jasa yang baru, membangun dan memperluas fasilitas produksi, membangun kemampuan operasi dengan menanamkan investasi dalam sistem, infrastruktur dan jaringan distribusi yang akan mendukung
terciptanya hubungan global. Kemudian yang terakhir adalah memelihara serta mengembangkan hubungan yang erat dengan pelanggan. Perusahaan dalam tahap ini mungkin beroperasi dengan arus kas yang negatif dan pengembalian modal investasi yang rendah, dimana investasi yang dibuat untuk masa depan mungkin mengkonsumsi uang kas yang lebih banyak dari yang dapat dihasilkan saat ini oleh produk, jasa dan pelanggan perusahaan yang masih terbatas. Tujuan finansial di dalam tahap pertumbuhan akan menekankan pada pertumbuhan penjualan-di pasar baru, kepada pelanggan baru dan dihasilkan dari produk dan jasa baru-mempertahankan tingkat pengeluaran yang memadai untuk pengembangan produk dan proses, sistem, kapabilitas pekerja, dan penetapan saluran pemasaran, penjualan dan distribusi baru. 2. Bertahan (sustain) Dalam tahap bertahan atau sustain, maka unit bisnis masih memiliki daya tarik bagi penanaman investasi dan investasi ulang, tetapi diharapkan mampu menghasilkan pengembalian modal yang cukup tinggi. Unit bisnis seperti ini diharapkan mampu mempertahankan pangsa pasar yang dimiliki dan secara bertahap tumbuh tahun demi tahun. Proyek investasi akan lebih diarahkan untuk mengatasi berbagai kemacetan, perluasan kapasitas, dan peningkatan aktivitas perbaikan yang berkelanjutan, dibanding investasi yang memberikan pengembalian modal dan pertumbuhan jangka panjang seperti yang dilakukan pada tahap pertumbuhan. Tujuan finansial pada tahap bertahan akan bertumpu pada ukuran finansial tradisional, seperti ROCE, laba operasi, dan marjin kotor. Proyek investasi dalam kategori ini akan dievaluasi dengan memakai discounted cash flows, analisa penganggaran modal (capital budgeting) standar. Sebagian perusahaan akan memakai berbagai ukuran finansial baru seperti nilai
tambah ekonomis dan pemegang saham. Semua ukuran ini menyatakan tujuan finansial klasik-menghasilkan tingkat pengembalian modal investasi yang tinggi. 3. Menuai (harvest) Di dalam tahap ini maka perusahaan tidak membutuhkan investasi yang besar-cukup untuk pemeliharaan peralatan dan kapabilitas, bukan perluasan atau pembangunan berbagai kapabilitas baru. Setiap proyek investasi harus memiliki periode pengembalian investasi yang definitif dan singkat. Tujuan utamanya adalah memaksimalkan arus kas kembali ke korporasi. Tujuan finansial keseluruhan untuk bisnis pada tahap menuai adalah arus kas operasi (sebelum depresiasi) dan penghematan berbagai kebutuhan modal kerja atau boleh dikatakan setiap investasi harus memberikan pengembalian kas yang segera dan pasti.
2.3.5.2 Pelanggan Pelanggan merupakan sasaran yang sangat penting sekali bagi perusahaan sebab pelanggan merupakan pintu bagi pendapatan perusahaan. Kepuasan pelanggan dan apa yang diinginkan oleh pelanggan merupakan faktor yang sangat penting sekali dalam hal mempertahankan pelanggan suatu perusahaan dan mungkin menambah pelanggan baru. Konsumen sekarang memiliki begitu banyak pilihan, dimana perusahaan berlomba menawarkan produk dan jasa yang lebih baik yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Kinerja yang buruk dari suatu perusahaan maka akan membuat pindahnya pelanggan ke pesaing dan menyebabkan penurunan jumlah pelanggan atas suatu perusahaan. Menurut Kaplan dan Norton (2000:23) perspektif pelanggan biasanya terdiri atas beberapa ukuran utama atau ukuran generik keberhasilan perusahaan dari strategi yang dirumuskan dan
dilaksanakan dengan baik. Ukuran utama tersebut terdiri dari strategi yang dirumuskan dan dilaksanakan dengan baik. Ukuran utama tersebut terdiri atas kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan baru, profitabilitas pelanggan, dan pangsa pasar di segmen sasaran. Lebih jauh Kaplan dan Norton (2000:24) menjelaskan bahwa perspektif pelanggan memungkinkan para manajer unit bisnis untuk mengartikulasikan strategi yang berorientasi kepada pelanggan dan pasar yang akan memberikan keuntungan finansial masa depan yang lebih besar. Menurut Kaplan dan Norton (2000:59) dalam perspektif pelanggan terdapat dua kelompok pengukuran yang digunakan sebagai tolok ukur, yaitu: 1. Kelompok pengukuran pelanggan utama (Lihat gambar 2.7) yang terdiri dari: • Pangsa Pasar Menggambarkan proporsi bisnis yang dijual oleh sebuah unit bisnis di pasar tertentu (dalam bentuk jumlah pelanggan, uang yang dibelanjakan, atau volume satuan yang terjual).
• Retensi Pelanggan Mengukur tingkat di mana perusahaan dapat mempertahankan hubungannya dengan pelanggan. • Akuisisi Pelanggan Mengukur dalam bentuk relatif atau absolut, keberhasilan unit bisnis menarik atau memenangkan pelanggan baru atau bisnis baru. • Kepuasan Pelanggan
Menilai tingkat kepuasan atas kriteria kinerja tertentu di dalam proposisi nilai. • Profitabilitas Pelanggan Mengukur keuntungan bersih yang diperoleh dari pelanggan atau segmen tertentu setelah menghitung berbagai pengeluaran yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tersebut. 2. Di Luar Kelompok Utama: Mengukur Proporsi Nilai Pelanggan (Lihat gambar 2.8) yang terdiri dari: • Atribut Produk/Jasa Di dalam atribut produk/jasa meliputi fungsi dari produk dan jasa, harga dan kualitasnya dalam hal ini preferensi konsumen bisa berbeda-beda ada yang mengutamakan fungsi dari produk, penyampaian tepat waktu dan harga murah. Sedangkan di pihak lain ada konsumen yang mau membayar pada tingkat harga yang tinggi untuk ciri atau atribut dari produk atau jasa yang dibelinya. Perusahaan harus mengidentifikasi apa yang diingini oleh konsumen atas produk/jasa yang ditawarkan. • Hubungan Pelanggan Dalam hubungan dengan pelanggan, mencakup penyampaian produk/jasa kepada pelanggan yang meliputi dimensi waktu tanggap dan penyerahan, serta bagaimana perasaan
pelanggan
setelah
membeli
produk/jasa
dari
perusahaan
yang
bersangkutan. Dimensi hubungan pelanggan juga mencakup komitmen jangka panjang, seperti ketika perusahaan pemasok menerapkan sistem informasi electronic data interchange untuk memfasilitasi berbagai aktivitas yang
berhubungan dengan penjualan/pembelian: rancangan produk bersama, jadwal produk terpadu, dan pemesanan, serta penagihan dan pembayaran secara elektronis. Hubungan yang baik
dapat berarti kualifikasi sebagai pemasok yang disukai
sehingga barang yang dipesan dapat dikirim langsung ke pabrik, tanpa harus melalui bagian penerimaan, pemeriksaan, pengangkutan dan pergudangan. Kesimpulan dari hubungan pelanggan disini adalah pelanggan menganggap bahwa penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kepuasan pelanggan. • Citra dan Reputasi Pada
citra
dan
reputasi,
maka
perusahaan
disini
berusaha
untuk
mengkomunikasikan berbagai ciri tertentu produknya sekaligus berusaha menciptakan reputasi mutu dan integritas melalui iklan. Sebagian perusahaan, melalui pengiklanan dan mutu produk serta jasa yang diberikan, mampu menghasilkan loyalitas pelanggan jauh melampaui berbagai aspek produk dan jasa yang diberikan. Perusahaan yang berusaha mengeksploitasi citra dan atribut reputasi menentukan sendiri pelanggan idealnya dan berusaha mempengaruhi perilaku pembelian pelanggan melalui citra yang diasosiasikan dengan pembelian produk perusahaan.
PANGSA PASAR
AKUISISI PELANGGAN
PROFITABILITAS PELANGGAN
RETENSI PELANGGAN
KEPUASAN PELANGGAN
Gambar 2.7 Perspektif Pelanggan-Ukuran Utama Sumber : Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:60)
Model Generik Nilai
=
Fungsionalitas
Atribut Produk/Jasa
Mutu
+
Harga
Citra
+
Hubungan
Waktu
Gam bar 2.8 Proporsi Nilai Pelanggan Sumber : Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:65)
2.3.5.3 Proses Bisnis Internal Pada proses bisnis internal, maka pengukuran difokuskan kepada berbagai proses internal yang akan berdampak besar kepada kepuasan pelanggan dan pencapaian tujuan finansial. Kaplan dan Norton (2000:24) berpendapat bahwa di dalam perspektif proses bisnis internal, para eksekutif mengidentifikasi berbagai proses internal penting yang harus dikuasai dengan baik oleh perusahaan. Dimana proses ini memungkinkan unit bisnis untuk: • Memberikan proporsi nilai yang akan menarik perhatian dan mempertahankan pelanggan dalam segmen pasar sasaran. • Memenuhi harapan keuntungan finansial yang tinggi para pemegang saham. Ukuran proses bisnis internal berfokus kepada berbagai proses internal yang akan berdampak besar kepada kepuasan pelanggan dan pencapaian tujuan finansial perusahaan. Sedangkan menurut Sony Yuwono dkk (2003:36), scorecard dalam perspektif proses bisnis internal memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi
pelanggan. Menurut Kaplan dan Norton (2000:24) ada dua perbedaan ukuran kinerja yang mendasar antara pendekatan tradisional dengan pendekatan balanced scorecard yang diungkapkan dalam perspektif proses bisnis internal. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut: • Pendekatan tradisonal berusaha memantau dan meningkatkan proses bisnis yang ada saat ini. Pendekatan ini mungkin melampaui ukuran kinerja finansial dalam hal pemanfaatan alat ukur yang berdasar kepada mutu dan waktu. • Pendekatan dengan balanced scorecard pada umumnya akan mengidentifikasi berbagai proses baru yang harus dikuasai dengan baik oleh sebuah perusahaan agar dapat memenuhi berbagai tujuan pelanggan dan finansial. Kaplan dan Norton (2000:83-84) membagi perspektif proses bisnis internal ke dalam model rantai nilai generik (Lihat gambar 2.9), yaitu: • Inovasi • Operasi • Layanan Purna Jual
Proses Inovasi
Kebutuhan Pelanggan Diidentifikasi
Kenali Pasar
Proses Layanan Purna Jual
Proses Operasi
Ciptakan Produk/ Jasa
Bangun Produk/ Jasa
Luncurkan Produk/ Jasa
Layani Pelanggan
Kebutuhan Pelanggan Terpuaskan
Gambar 2.9 Perspektif Proses Bisnis Internal-Model Rantai Nilai Generik Sumber : Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:85)
Adapun Kaplan dan Norton (2000:84-92) menjelaskannya sebagai berikut: 1. Proses Inovasi Di dalam proses ini terdiri dari dua komponen (Lihat gambar 2.10): • Pertama, para manajer melaksanakan penelitian pasar untuk mengenali ukuran pasar, bentuk preferensi pelanggan, dan tingkat harga produk dan jasa sasaran. Ketika perusahaan melaksanakan proses internal untuk memenuhi kebutuhan pelanggan tertentu, memiliki informasi yang akurat dan dapat diandalkan tentang ukuran pasar dan preferensi pelanggan menjadi tugas penting yang harus dilaksanakan dengan baik. Selain melakukan survey terhadap pelanggan, proses inovasi juga mencakup membayangkan peluang dan pasar baru bagi produk dan jasa yang dapat dipasok perusahaan. • Informasi mengenai pasar dan pelanggan memberi masukan untuk proses perancangan dan pengembangan produk/jasa. Dari penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perusahaan menciptakan produk ataupun jasa terlebih dahulu harus mengadakan penelitian ataupun riset tentang apa yang menjadi keinginan maupun kebutuhan konsumen atas produk dan jasa tersebut. Berdasarkan informasi, riset atau penelitian itulah baru perusahaan menciptakan produk ataupun jasa yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen.
Proses Inovasi
Kebutuhan Pelanggan Diidentifikasi
Kenali Pasar
Proses Layanan Purna Jual
Proses Operasi
Ciptakan Produk/ Jasa
Bangun Produk/ Jasa
Luncurkan Produk/ Jasa
Layani Pelanggan
Kebutuhan Pelanggan Terpuaskan
Gambar 2.10 Perspektif Proses Bisnis Internal-Proses Inovasi Sumber : Robert S. Kaplan danDavid P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:85)
2. Proses Operasi Merupakan gelombang pendek penciptaan nilai di dalam perusahaan. Dimulai dengan diterimanya pesanan pelanggan dan diakhiri dengan penyampaian produk atau jasa kepada pelanggan. Proses ini menitikberatkan kepada penyampaian produk dan jasa kepada pelanggan yang ada secara efisien. Pada proses ini aktivitas mulai dijalankan pada saat order pelanggan diterima yang kemudian diteruskan sampai produk tersebut dikirim dan sampai ke pelanggan (Lihat gambar 2.11). Menurut Kaplan dan Norton (1996:96), aktivitas dalam proses operasi terbagi ke dalam dua bagian yaitu: • Proses Pembuatan Produk. Secara umum pengukuran dalam proses produksi ini dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: ! Waktu. Pengukuran waktu sangat penting sekali disini sebab pengukuran waktu berguna sekali untuk melihat ketepatan waktu pada saat produksi lalu penyampaian barang kepada pelanggan yang berguna bagi kepuasan
pelanggan. Waktu digunakan untuk mengukur efisiensi atas produksi barang apakah aktivitas tersebut sudah sesuai standar/efisien atau belum. ! Kualitas. Pengukuran kualitas dalam proses produksi ini secara umum dibagi menjadi dua, yang pertama melalui tolok ukur keuangan melalui pengendalian dengan menggunakan konsep biaya kualitas (biaya penilaian, biaya pencegahan, biaya kegagalan eksternal dan biaya kegagalan internal). Kedua adalah melalui tolok ukur non keuangan, perusahaan harus memilih yang sesuai dengan strategi yang dijalankan perusahaan tersebut. ! Biaya. Pengukuran biaya disini adalah pengukuran yang dilakukan untuk melihat apakah biaya dalam proses operasi sudah efektif. Tingkat efisiensi dan efektivitas perusahaan dalam mengeluarkan biaya pada proses operasi dapat dilihat apabila perusahaan membagi proses operasi yang memiliki nilai tambah dan proses operasi yang tidak memiliki nilai tambah, dimana proses operasi yang tidak memiliki nilai tambah dihilangkan, dan proses operasi yang memiliki nilai tambah diefisienkan, sehingga biaya yang dikeluarkan dapat lebih tepat dan efisien • Proses Penyampaian Produk Kepada Pelanggan Proses penyampaian produk biasanya digolongkan dalam aktivitas pemasaran. Dalam konsep value chain, aktivitas pemasaran meliputi aktivitas logistik keluar dan aktivitas penjualan. Ada tiga aktivitas utama dalam proses penyampaian produk kepada pelanggan yaitu sebagai berikut :
! Outbound Logistic Segala aktivitas yang berhubungan dengan pengumpulan, penyimpanan, dan pendistribusian atas barang atau jasa kepada pembeli. ! Penjualan dan Pemasaran Segala aktivitas yang dilakukan untuk membujuk kepada pelanggan sehingga pelanggan kemudian membeli dan menggunakan barang atau jasa tersebut. ! Pelayanan Purna Jual Merupakan segala aktivitas yang berhubungan dengan garansi barang, perbaikan, penggantian produk dan pembayaran pelanggan.
Proses Inovasi
Kebutuhan Pelanggan Diidentifikasi
Kenali Pasar
Proses Layanan Purna Jual
Proses Operasi
Ciptakan Produk/ Jasa
Bangun Produk/ Jasa
Luncurkan Produk/ Jasa
Layani Pelanggan
Kebutuhan Pelanggan Terpuaskan
Gambar 2.11 Perspektif Proses Bisnis Internal-Proses Operasi Sumber : Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:91) • Proses Pelayanan Purna Jual Proses ini merupakan jasa pelayanan kepada pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan (Lihat gambar 2.12). Layanan purna jual ini
mencakup garansi dan berbagai aktivitas perbaikan, penggantian produk yang rusak dan yang dikembalikan, serta proses pembayaran pelanggan. Dengan menggunakan kualitas, biaya dan waktu maka perusahaan dapat menilai dirinya apakah pelayanan purna jual selama ini yang telah diberikan kepada pelanggan telah memenuhi harapan pelanggan. Khusus mengenai waktu, maka penilaian dapat dilihat dari saat keluhan pelanggan diterima sampai keluhan tersebut diselesaikan.
Proses Inovasi
Kebutuhan Pelanggan Diidentifikasi
Kenali Pasar
Proses Layanan Purna Jual
Proses Operasi
Ciptakan Produk/ Jasa
Bangun Produk/ Jasa
Luncurkan Produk/ Jasa
Layani Pelanggan
Kebutuhan Pelanggan Terpuaskan
Gambar 2.12 Perspektif Proses Bisnis Internal-Layanan Purna Jual Sumber : Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:92)
2.3.5.4 Pembelajaran dan Pertumbuhan Menurut Sony Yuwono dkk (2003:39), proses pembelajaran dan pertumbuhan bersumber dari faktor sumber daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi. Termasuk dalam perspektif ini adalah pelatihan pegawai dan budaya perusahaan yang berhubungan dengan perbaikan individu dan organisasi. Dalam berbagai kasus, perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan merupakan fondasi keberhasilan bagi knowledge worker organization dengan tetap memperhatikan faktor sistem dan organisasi. Sedangkan tujuan di dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan menurut Kaplan dan Norton (2000:109) adalah menyediakan infrastruktur yang memungkinkan tujuan ambisius dalam tiga perspektif lainnya dapat dicapai. Tujuan dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan faktor pendorong dihasilkannya kinerja yang istimewa dalam tiga perspektif scorecard yang pertama. Menurut Kaplan dan Norton (2000:110) ada tiga kategori utama dalam perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yang dijadikan sebagai tolok ukur yaitu: • Kapabilitas Pekerja • Kapabilitas Sistem Informasi • Motivasi, Pemberdayaan dan Keselarasan. Dimana penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Kapabilitas Pekerja Di dalam kapabilitas pekerja disini ditekankan bagaimana peran pegawai di dalam suatu organisasi menyumbangkan segala kemampuannya demi organisasi. Sony Yuwono dkk (2003:42) menegaskan bahwa perencanaan dan upaya implementasi reskilling pegawai yang menjamin kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kaplan dan Norton (2000:111) berpendapat ada tiga pengukuran yang digunakan perusahaan sebagai pedoman dalam penetapan tujuan pekerja (Lihat gambar 2.13), yaitu: • Kepuasan Pekerja
Tujuan kepuasan pekerja menyatakan bahwa moral pekerja dan kepuasan kerja secara keseluruhan saat ini dipandang sangat penting oleh sebagian besar perusahaan. Pekerja yang puas merupakan pra-kondisi bagi meningkatnya produktivitas, daya tanggap, mutu dan layanan pelanggan. Perusahaan yang ingin mencapai tingkat kepuasan pelanggan yang tinggi perlu memiliki pelanggan yang dilayani oleh pekerja yang terpuaskan oleh perusahaan. • Retensi Pekerja Tujuan retensi pekerja adalah untuk mempertahankan selama mungkin para pekerja yang diminati perusahaan. Para pekerja yang bekerja dalam jangka yang lama dan loyal membawa nilai perusahaan, pengetahuan tentang berbagai proses organisasional, dan diharapkan sensitivitasnya terhadap kebutuhan para pelanggan. Retensi pekerja pada umumnya diukur dengan persentase keluarnya pekerja yang memegang jabatan kunci. • Produktivitas Pekerja Produktivitas pekerja adalah suatu ukuran hasil, dampak keseluruhan usaha peningkatan moral dan keahlian pekerja, inovasi, proses internal, dan kepuasan pelanggan. Tujuannya adalah membandingkan keluaran yang dihasilkan oleh para pekerja dengan jumlah pekerja yang dikerahkan untuk menghasilkan keluaran tersebut. Ada banyak cara untuk mengukur produktivitas pekerja. Ukuran produktivitas yang paling sederhana adalah pendapatan per pekerja. Dengan semakin efektifnya pekerja dalam menjual lebih banyak produk dan jasa dengan nilai tambah yang meningkat, pendapatan per pekerja seharusnya juga meningkat. Pendapatan per pekerja adalah sebuah indikator diagnostik yang berguna selama
struktur internal bisnis tidak berubah terlalu radikal, suatu hal yang akan terjadi jika perusahaan mensubstitusi tenaga kerja internal dengan modal atau pemasok dari luar. Jika pendapatan per pekerja digunakan untuk memotivasi produktivitas yang lebih tinggi dari para pekerja, ukuran ini harus diseimbangkan dengan ukuran keberhasilan ekonomis yang lain sehingga sasaran untuk ukuran tersebut tidak dicapai melalui cara-cara yang disfungsional.
Ukuran Inti
HASIL Retensi Pekerja
Produktivitas Pekerja Kepuasan Pekerja
Faktor Yang Mempengaruhi
Kompetensi Staff
Infrastruktur Teknologi
Iklim Untuk Bertindak
Gambar 2.13 Kerangka Kerja Ukuran Pembelajaran dan Pertumbuhan Sumber : Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, Menerapkan Strategi Menjadi Aksi, Penerbit Erlangga (2000:112)
2. Kapabilitas Sistem Informasi Mengenai kapabilitas sistem informasi, Kaplan dan Norton (2000:116) berpendapat bahwa motivasi dan keahlian pekerja mungkin diperlukan untuk mencapai sasaran yang luas dalam tujuan pelanggan dan proses bisnis internal. Tetapi dengan itu saja tidak cukup. Jika ingin agar para pekerja bekerja efektif dalam lingkungan kompetitif dunia bisnis dewasa ini, perlu didapat banyak informasi-mengenai pelanggan, proses
internal, dan konsekuensi finansial keputusan perusahaan. Sony Yuwono dkk (2003:42) mengatakan bahwa dengan kemampuan sistem informasi yang memadai, kebutuhan seluruh tingkat manajemen dan pegawai atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
3. Motivasi, Pemberdayaan, dan Keselarasan Mengenai motivasi, pemberdayaan dan keselarasan, Kaplan dan Norton (2000:116) mengatakan, motivasi dan keahlian pekerja mungkin diperlukan untuk mencapai sasaran yang luas dalam tujuan pelanggan dan proses bisnis internal. Tetapi dengan itu saja tidak cukup. Jika ingin agar para pekerja bekerja efektif dalam lingkungan kompetitif dunia bisnis dewasa ini, perlu didapat banyak informasi-mengenai pelanggan, proses internal, dan konsekuensi finansial keputusan perusahaan. Sony Yuwono dkk (2003:43) mengatakan bahwa paradigma manajemen terbaru menjelaskan bahwa proses pembelajaran sangat penting bagi pegawai untuk melakukan trial and error sehingga turbulensi lingkungan sama-sama dicoba-kenali tidak saja oleh jenjang manajemen strategis tetapi juga oleh segenap pegawai di dalam organisasi sesuai kompetensinya masing-masing. Sudah barang tentu upaya itu perlu dukungan motivasi yang besar dan pemberdayaan pegawai berupa delegasi wewenang yang memadai untuk mengambil keputusan.
2.4 Pengertian Industri Ritel 2.4.1 Industri Ritel Ritel adalah segala aktivitas yang meliputi penjualan barang dan jasa kepada konsumen yang digunakan untuk pribadi, keluarga dan rumah tangga. Menurut Berman dan Evans (2001:3) : Retailing consists of the business activities involved in selling goods and services to consumers for their personal, family, or household use. It includes every sale of goods and services to the final consumer-ranging from automobiles to apparel to meals at restaurants to movie theater tickets
2.4.2 Fungsi Industri Ritel Fungsi terpenting dari industri ritel adalah melakukan kontak antara produsen pembuat barang (manufactures), pedagang besar (wholesalers) dan konsumen (final consumers) dimana mereka mengumpulkan produk dari berbagai macam jenis supplier dan menawarkannya kepada customers, kemudian ritel melakukan transaksi dan menawarkan customer service kepada customers. Berman dan Evans (2001:7) menjelaskan sebagai berikut: Retailing is the last stage in a channel of distribution, which comprises all of the businesses and people involved in the physical movement and transfer of ownership of good and services from producer to consumer. Kemudian mengenai hubungannya dengan transaksi dan customer services, Berman dan Evans (2001:7) menjelaskannya sebagai berikut: Retailers also complete transactions with customers. This means striving to fill orders promptly and accurately and often involves processing customer credit via the retailers’ or another charge plan. In addition, retailers may provide customer services such as gift wraping, delivery, and installation. Tujuan dijualnya barang dan jasa melalui ritel dan tidak melalui unit usaha yang dimiliki oleh produsen (wholesalers) adalah agar produsen dapat mencapai lebih banyak
customers, penghematan biaya, meningkatkan cash flow dan penjualan serta lebih fokus kepada pembuatan produk, seperti yang dijelaskan oleh Berman dan Evans (2001:9): Goods and services are sold via retail firms not owned by manufactures (wholesalers). This lets the manufacture (wholesaler) reach more customers, reduce costs, improve cash flow, increase sales more rapidly, and focus on its area of expertise. 2.4.3 Konsep Ritel Konsep ritel adalah sebuah konsep yang diadopsi dari konsep marketing yang menekankan kepada hubungan jangka panjang antara ritel dan customernya dimana usaha-usaha untuk mempertahankan hubungan tersebut adalah melalui penetapan tujuan dan strategi untuk mencapainya. Menurut Berman dan Evans (2001:17) konsep ritel meliputi 4 elemen yaitu: 1. Customer orientation Ritel menentukan atribut dan kebutuhan dari customernya dan usaha untuk memuaskan kebutuhan tersebut. 2. Coordinated effort Ritel mengintegrasikan semua rencana dan aktivitas untuk maksimalisasi efisiensi. 3. Value-driven Ritel menawarkan produk kepada konsumen apakah melalui cara diskon atau tidak, maksudnya adalah menawarkan harga yang mendekati level produk dan customer service. 4. Goal orientation Ritel menetapkan tujuan dan menggunakan strategi untuk mencapainya.
2.4.4 Institusi Ritel Menurut Berman dan Evans (2001:115), maka institusi ritel dibagi menjadi tiga klasifikasi metode yaitu:
1. Ownership Yaitu institusi ritel berdasarkan kepemilikannya yang terdiri dari independent, chain, franchise, leased department, vertical marketing system dan consumer cooperative. 2. Store-based retail strategy mix Yaitu institusi ritel berdasarkan produk yang ditawarkannya, terdiri dari: • Food-oriented retailers Convenience store, conventional supermarket, food-based superstore, combination store dan warehouse. • General Merchandise retailers Specialty store, variety store, traditional department store, full-line discount store, off-price chain, factory outlet, membership club dan flea market. 3. Nonstore-based retail strategy mix and nontraditional retailing Yaitu institusi ritel berdasarkan format penjualannya kepada konsumen seperti, direct marketing, direct selling, vending machine, world wide web dan other emerging retail formats.