perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Anemia a. Definisi Anemia Anemia adalah kondisi penurunan kemampuan sel darah merah untuk menyediakan oksigen adekuat ke jaringan. Anemia bisa berupa penurunan jumlah sel darah merah, penurunan jumlah substansia di dalam sel darah merah, atau penurunan volume sel darah merah (UNICEF, 2002). Anemia juga dapat didefinisikan sebagai kondisi dimana terjadi penurunan konsentrasi hemoglobin di dalam darah. Hemoglobin dibutuhkan untuk transpor oksigen ke jaringan dan organ di dalam tubuh (Kariyeva et al.,2001). b. Definisi Anemia pada Ibu Hamil Anemia pada ibu hamil adalah kondisi di mana sel darah merah menurun sehingga kapasitas daya angkut oksigen untuk kebutuhan organ-organ vital pada ibu dan janin menjadi berkurang. Menururt World Health Organisation (WHO) anemia pada ibu hamil adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin atau Hb kurang dari 11 gr/dl. Anemia pada ibu hamil di Indonesia sangat bervariasi, yaitu: tidak anemia: Hb ≥ 11 gr/dl, anemia ringan: Hb 9-10,9 gr/dl, anemia sedang:
commit to user 6
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hb 7-8,9 gr/dl, dan anemia berat: Hb < 7 gr/dl (Depkes, 2009; Kusumah, 2009 ). c. Faktor Penyebab Anemia pada Ibu Hamil 1) Faktor Dasar a) Sosial Ekonomi Perilaku seseorang di bidang kesehatan dipengaruhi oleh latar belakang sosial ekonomi. Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder, keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih tercukupi bila dibandingkan dengan keluarga dengan status ekonomi rendah. Termasuk dalam hal ini pemenuhan kebutuhan zat gizi selama kehamilan berlangsung (Istiarti, 2000). b) Pengetahuan Kebutuhan ibu hamil akan zat besi (Fe) meningkat 0,8 mg sehari pada trimester I dan meningkat tajam selama trimester III yaitu 6,3 mg sehari. Jumlah sebanyak itu tidak mungkin tercukupi hanya melalui makanan apalagi didukung dengan pengetahuan ibu hamil yang kurang terhadap peningkatan kebutuhan zat besi (Fe) selama hamil sehingga menyebabkan mudah terjadinya anemia pada ibu hamil (Arisman, 2008). Ibu hamil dengan pengetahuan tentang zat besi (Fe) yang rendah akan berperilaku kurang patuh dalam mengonsumsi tablet zat besi (Fe) serta dalam pemilihan makanan sumber zat besi (Fe) juga rendah. Sebaliknya ibu hamil yang memiliki pengetahuan tentang zat besi (Fe) yang baik commit to user
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
cenderung lebih banyak menggunakan pertimbangan rasional dan semakin patuh dalam mengonsumsi tablet zat besi (Fe) (Arisman, 2008). c) Pendidikan Pendidikan adalah proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan penyempurnaan hidup. Seorang ibu khususnya ibu hamil yang berpendidikan tinggi dapat menyeimbangkan pola konsumsinya. Apabila pola konsumsinya sesuai maka asupan zat gizi yang diperoleh akan tercukupi, sehingga kemungkinan besar bisa terhindar dari masalah anemia (Amiruddin dan Wahyuddin, 2004). 2) Faktor Tidak Langsung a) Kunjungan Antenatal Care (ANC) Pemeriksaan ANC selama kehamilan sedikitnya dilakukan empat kali yaitu dua kali untuk trimester I, satu kali untuk trimester II, dan dua kali untuk trimester III. Ibu hamil yang tidak pernah memeriksakan kehamilannya, diantaranya ibu hamil tidak pernah mendapatkan tablet Fe untuk pencegahan anemia (Arisman, 2008). b) Paritas dan Jarak Kelahiran Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan oleh seorang ibu baik lahir hidup maupun lahir mati. Berdasarkan hasil analisis didapatkan bahwa terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian anemia pada ibu hamil, ibu hamil dengan paritas tinggi commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau lebih dari tiga anak mempunyai risiko 1,454 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang paritas rendah (Djamilus dan Herlina, 2006). Jarak kelahiran yang terlalu dekat atau kurang dari dua tahun juga dapat menyebabkan terjadinya anemia. Hal ini dikarenakan kondisi ibu masih belum pulih dengan pemenuhan kebutuhan zat gizi yang belum optimal dan sudah harus memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang dikandungnya (Wiknjosastro, 2007; Mochtar, 2004). c) Umur Umur berhubungan erat dengan tingkat anemia, ibu dengan umur yang lebih tua lebih mudah untuk terkena anemia sedang dan anemia berat dibandingkan dengan ibu yang usianya lebih muda. Anemia
sedang dan berat terjadi pada ibu usia 35-49 tahun
jumlahnya tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil yang berusia 15-19 tahun (Kariyeva et al.,2001). Umur seorang ibu berkaitan dengan alat – alat reproduksi wanita. Umur reproduksi yang sehat dan aman adalah umur 20 – 35 tahun. Ibu yang hamil pada usia terlalu muda (<20 tahun) tidak atau belum siap untuk memperhatikan lingkungan yang diperlukan untuk
pertumbuhan
janin
dan
kurang
perhatian
terhadap
pemenuhan zat gizi selama kehamilannya. Di samping itu akan terjadi kompetisi makanan antara janin dan ibunya sendiri yang masih dalam pertumbuhan dan adanya pertumbuhan hormonal commit to user
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang terjadi selama kehamilan. Sedangkan ibu hamil di atas 35 tahun lebih cenderung mengalami anemia karena pengaruh turunnya cadangan zat besi dalam tubuh akibat masa fertilisasi (Amiruddin dan Wahyuddin, 2004). d) Dukungan Suami Kehamilan merupakan masa yang cukup berat bagi seorang ibu. Oleh karena itu, ibu hamil membutuhan dukungan dari berbagai pihak terutama suami agar dapat menjalani proses kehamilan sampai persalinan dengan aman dan nyaman. Dukungan yang diberikan untuk ibu hamil adalah dukungan sosial antara lain: kesiapan finansial, dukungan informasi, dukungan psikologis, serta mengingatkan istri dalam meminum obat, terutama tablet Fe untuk mencegah terjadinya anemia (Musbikin, 2008). 3) Faktor Langsung a) Pola Konsumsi Tablet Besi (Fe) Ibu hamil yang kurang patuh mengonsumsi tablet Fe mempunyai risiko 2,4 kali lebih besar untuk mengalami anemia dibanding yang patuh mengonsumsi tablet Fe (Djamilus dan Herlina, 2006). Perkiraan besaran zat besi yang perlu ditimbun selama hamil ialah 1040 mg. Dari jumlah ini, 200 mg Fe tertahan oleh tubuh ketika melahirkan dan 840 mg sisanya hilang. Jumlah sebanyak ini tidak mungkin tercukupi hanya dengan melalui diet.
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Karena itu, suplementasi zat besi perlu sekali diberlakukan, bahkan pada wanita yang bergizi baik (Arisman, 2008). Kepatuhan mengonsumsi tablet Fe diukur dari ketepatan jumlah tablet yang dikonsumsi, ketepatan cara mengonsumsi tablet Fe, dan frekuensi konsumsi perhari. Penanggulangan masalah anemia gizi besi saat ini terfokus pada pemberian tablet tambah darah (Fe) pada ibu hamil. Ibu hamil mendapat tablet tambah darah 90 tablet selama kehamilannya (Kemenkes RI, 2011). Konsumsi tablet besi sangat dipengaruhi oleh kesadaran dan kepatuhan ibu hamil. Tingkat kepatuhan yang kurang sangat dipengaruhi oleh rendahnya kesadaran ibu hamil dalam mengonsumsi tablet besi. Kepatuhan ibu hamil mengonsumsi tablet besi tidak hanya dipengaruhi oleh kesadaran saja, namun ada beberapa faktor lain yaitu bentuk tablet, warna, rasa dan efek samping seperti mual dan konstipasi (Simanjuntak, 2009). b) Penyakit kronis dan Infeksi Seseorang dapat terkena anemia karena meningkatnya kebutuhan tubuh akibat kondisi fisiologis (hamil, kehilangan darah karena kecelakaan, pascabedah atau menstruasi) dan adanya penyakit kronis atau infeksi. Penyakit yang dapat bermanifestasi menjadi anemia antara lain penyakit ginjal (Gagal Ginjal Kronik), penyakit keganasan (leukemia), dan penyakit hati (Bakta, 2013). Ibu yang sedang hamil juga sangat peka terhadap infeksi dan commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
penyakit
menular.
Beberapa
di
antaranya
adalah
Infeksi
tuberculosis (TBC), infeksi malaria, Human Immunodeficiency Virus (HIV), amoebiasis, giardiasis, dan infeksi kecacingan (cacing tambang, cacing gelang, dan cacing cambuk). Infeksi tersebut meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak berbahaya bagi janin. Di antaranya dapat mengakibatkan abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat bawaan. Pada kondisi terinfeksi penyakit, ibu hamil akan kekurangan banyak cairan tubuh serta zat gizi lainnya (Bahar, 2006; Weigel et.al, 2001; Wilson and Price, 2012). c) Pola Asupan Gizi Penyebab terbesar anemia gizi adalah berkurangnya asupan zat gizi yang berhubungan dengan pola makan yang tidak baik akibat ketidaktahuan dan ketidakmampuan. Pola makan yang salah pada ibu hamil membawa dampak terhadap terjadinya gangguan gizi antara lain anemia (Adi, 2012). Sebagian besar penduduk Negara berkembang masih kurang dalam konsumsi bahan makanan yang berasal dari protein hewani (Arisman, 2008). Pada umumnya, besi di dalam daging, ayam, dan ikan mempunyai ketersediaan biologik tinggi. Bentuk besi di dalam makanan berpengaruh terhadap penyerapannya. Besi hem yang merupakan bagian dari hemoglobin dan mioglobin yang terdapat di dalam daging hewan dapat diserap dua kali lipat dari besicommit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nonheme. Kurang lebih 40% dari besi di dalam daging, ayam, dan ikan terdapat sebagai besi hem dan selebihnya sebagai nonheme. Besi nonheme juga terdapat di dalam telur, serealia, kacangkacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah-buahan (Almatsier, 2004). Penyerapan zat besi dipengaruhi faktor makanan yang memacu penyerapan zat besi nonheme seperti vitamin C, protein hewani, serta makanan dengan pH rendah. Namun ada juga makanan yang menyerap zat besi nonheme seperti fitat dan polifenol (Arisman, 2008). 2. Macam-Macam Anemia pada Ibu Hamil a. Anemia Defisiensi Besi 1) Definisi Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah, artinya konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Simpanan zat besi yang sangat rendah lambat laun tidak akan cukup untuk membentuk sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang sehingga kadar hemoglobin terus menurun di bawah batas normal (Masrizal, 2007). Anemia defisiensi zat besi adalah anemia dalam kehamilan yang paling sering terjadi dalam kehamilan akibat kekurangan zat besi. Kekurangan ini disebabkan karena
commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kurang masuknya unsur zat besi dalam makanan dan gangguan reabsorbsi (Wiknjosastro, 2007; Mochtar, 2004 ). 2) Patofisiologi Penyebab anemia defisiensi besi antara lain kehilangan darah untuk waktu yang lama, biasanya pada saluran gastrointestinal dan saluran kencing. Infeksi parasit usus juga menjadi penyebab umum anemia. Malabsorbsi dan peningkatan permintaan akan zat besi pada kehamilan juga merupakan penyebab anemia (WHO, 2011). Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri atas tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron depletion), kemudian tahap laten (iron deficient erythropoesis), dan tahap anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia) (Muhammad, 2005; Syahrial, 2011) 1) Tahap Iron Depletion Tahap ini ditandai dengan berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan fungsi protein besi lainnya masih normal.Pada keadaan ini terjadi peningkatan absorpsi besi nonheme. Feritin serum menurun sedangkan
pemeriksaan lain untuk
mengetahui adanya
kekurangan besi masih normal. 2) Tahap Iron Deficient Erythropoietin Pada tahap ini didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoiesis. Dari hasil pemeriksaan commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun dan saturasi transferin menurun sedangkan Total Iron Binding Capacity (TIBC) meningkat dan Free Erythrocyte Porphyrin (FEP) meningkat. 3) Tahap Iron Deficiency Anemia Keadaan ini terjadi apabila besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut. 3) Diagnosis dan Gejala Klinis Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan anamnesis. Hasil anamnesis didapatkan keluhan cepat lelah, sering pusing, mata berkunang-kunang, dan keluhan mual muntah pada hamil muda. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan metode Sahli, dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan yaitu trimester I dan III (Proverawati, 2009). Secara laboratorik untuk menegakan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan kriteria diagnosis anemia defisiensi besi sebagai berikut: Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi atau MCV < 80 fl dan MCHC < 31% dengan salah satu dari a,b,c, commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau d. a. Dua dari tiga parameter: Besi serum < 50 mg/dl , TIBC >350 g/dl , atau saturasi transferin <15%, b. Feritrin serum <20 mikrogram/dl, c. Pengenceran sumsung tulang dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi negatif, d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x200 mg/hari atau preparat besi yang setara selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2g/dl (Bakta, 2013). b. Anemia Megaloblastik 1) Definisi Anemia megaloblastik adalah anemia makrositik yang menandai adanya gangguan sintesis pada DNA karena perubahan morfologi dan fungsi di eritrosit, leukosit, platelet, dan sel prekursor eritrosit (Bakta, 2014; Mahan, 2008). Anemia megaloblastik disebabkan oleh defisiensi vitamin B12 atau asam folat yang keduanya esensial dalam proses sintesis nucleoprotein, anemia ini disebut juga anemia pernicious (Mahan, 2008). 2) Patofisiologi Anemia megaloblastik paling banyak disebabkan oleh defisiensi folat dan vitamin B12 sehingga terjadi penurunan sintesis DNA yang menyebabkan adanya sel megaloblas yang menjadi
karakteristik
anemia
megaloblastik.
Hal
ini
menyebabkan kesenjangan pematangan sitoplasma, dimana commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
maturasi sitoplasma normal tetapi inti besar dengan susunan kromosom yang longgar (Bakta, 2013). Sel darah merah bersifat makrositer dengan MCV meningkat dengan rentang dari 105-160 fl. Selain itu, penyebab anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12 yaitu pencernaan yang inadekuat berupa kurangnya asupan vitamin B12. Penyerapan vitamin B12 yang inadekuat juga dapat disebabakan karena gastric disorder, small intestinal disorder, adanya persaingan penyerapan vitamin B12 dengan parasit atau bakteria, adanya pancreatic disease serta adanya infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang dapat terjadi malabsorpsi (Mahan, 2008) 3) Diagnosis dan Gejala Klinis Anemia defisiensi B12 dan asam folat memberikan gambaran yang sama. Anemia timbul perlahan dan progresif sehingga tingkat anemia biasanya sudah berat (<7 atau 8 g/dl) saat dideteksi. Kadang-kadang disertai ikterus ringan dan khas terdapat glositis dengan lidah berwarna merah seperti daging (buffy tongue). Berbeda dengan defisiensi folat, defisiensi vitamin B12 dijumpai gejala neuropati subacute combined degeneration. Gejala pada neuritis perifer yaitu mati rasa, rasa terbakar pada jari; pada kerusakan columna posterior terdapat gangguan posisi, vibrasi, dan tes Romberg positif; dan commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kerusakan pada columna lateralis terdapat spastisitas dengan deep reflex hiperaktif dan gangguan serebrasi. Dengan blood smear, identifikasi anemia makrositosis (MCV >100 fl), lalu dilanjutkan dengan membedakan anemia megaloblastik atau nonmegaloblastik. Hipersegmentasi neutrofil (neutrofil dengan 6 atau lebih lobus) dan macro-ovalocyte merupakan tanda yang spesifik
menunjukkan
leukopenia
ringan,
anemia
poikilositosis
megaloblastik. berat,
Terdapat
kadang-kadang
dijumpai trombositopenia ringan. Pada pemeriksaan sumsum tulang dapat dijumpai hyperplasia eritroid dengan sel megaloblast, giant metamylocyte, sel megakariosit yang besar, dan cadangan besi sumsum tulang meningkat. Setelah anemia megaloblastik ditegakkan, kadar serum folat dan vitamin B12 diperiksa untuk membedakan kedua penyebab tersebut. Pada defisiensi folat terdapat kadar serum B12 <100 ng/l, dan serum asam folat < 3ng/l. Pemeriksaan lain seperti homocystein, methylmalonic acid, atau formioglutamic acid (FIGLU) yang meningkat pada urin dapat memastikan diagnosis defisiensi B12 dan asam folat terutama ketika dalam pemeriksaan awal terdapat gambaran klinis dan hematologik yang tidak jelas (terkadang serum kobalamin atau folat normal disertai dengan gejala atau menurun tanpa disertai gejala) (Bakta,2013).
commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Anemia Aplastik / Hipoplastik 1) Definisi Anemia Aplastik adalah anemia yang disebabkan karena sumsum tulang belakang kurang mampu membuat sel-sel darah baru. Pada anemia aplastik sumsum tulang berada dalam kondisi aplastic yang berarti bahwa sumsung tulang itu kosong (aplastik) atau mengandung sel darah yang sangat sedikit (hipoplastik) (Muchlisin, 2012). 2) Patofisiologi Anemia
aplastik
merupakan
suatu
gangguan
yang
mengancam jiwa pada sel induk di sumsum tulang, yang sel-sel darahnya diproduksi dalam jumlah yang tidak mencukupi. Anemia aplastik dapat kongenital, idiopatik (penyebabnya tidak diketahui), atau sekunder akibat penyebab-penyebab industri atau virus (Hoffbrand, Pettit, 1993 dalam Wilson and Price, 2012). Individu dengan anemia aplastik mengalami pansitopenia (kekurangan semua jenis sel-sel darah). Secara morfologis,
sel
darah
merah
terlihat
normositik
dan
normokromik, jumlah retikulosit rendah atau tidak ada, dan biopsi sumsum tulang menunjukkan keadaan yang disebut pungsi kering dengan hipoplasia nyata dan penggantian dengan jaringan lemak. Pada sumsum tulang tidak dijumpai sel-sel abnormal. Anemia aplastik idiopatik diyakini dimediasi secara commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
imunologis dengan T limfosit pasien menekan sel-sel induk hematopoietik (Wilson and Price, 2012). Penyebab-penyebab sekunder anemia aplastik (sementara atau permanen) meliputi: lupus eritematosus sistemik yang berbasis autoimun, agen antineoplastik atau sitotoksik, terapi radiasi, antibiotik tertentu, berbagai obat seperti antikonvulsan, obat-obat tiroid, senyawa emas, dan fenilbutazon, zat-zat kimia seperti benzen, pelarut organik, dan insektisida (agen yang diyakini merusak tulang secara langsung), dan penyakitpenyakit virus seperti mononucleosis infeksiosa dan Human Immunodeficiency Virus (HIV); anemia aplastik setelah hepatitis virus terutama berat dan cenderung fatal (Wilson and Price, 2012). 3) Diagnosis dan Gejala Klinis Kompleks gejala anemia aplastik disebabkan oleh derajat pansitopenia. Tanda-tanda dan gejala-gejala meliputi anemia, disertai kelelahan, kelemahan, dan napas pendek saat latihan fisik. Tanda-tanda dan gejala-gejala lain diakibatkan oleh defisiensi trombosit dan sel-sel darah putih. Defisiensi trombosit
dapat
menyebabkan
ekimosis
dan
petekie
(perdarahan di dalam kulit), epistaksis (perdarahan hidung), perdarahan saluran cerna, perdarahan saluran kemih dan kelamin, dan perdarahan sistem saraf pusat. Defisiensi sel commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
darah putih meningkatkan kerentanan dan keparahan infeksi, termasuk infeksi bakteri, virus, dan jamur. Aplasia berat disertai penurunan (kurang dari 1 %) atau tidak adanya retikulosit, jurnlah granulosit kurang dari 500 I mm3, dan jumlah trombosit kurang dari 20.000 menyebabkan kematian akibat infeksi dan/atau perdarahan dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Sepsis merupakan penyebab tersering kematian (Young, 2000 dalam Wilson and Price, 2012). Namun, pasien dengan penyakit yang lebih ringan dapat hidup bertahun-tahun (Wilson and Price, 2012). d. Anemia Hemolitik 1) Definisi Anemia hemolitik adalah anemia yang disebabkan oleh proses hemolisis. Hemolisis dapat terjadi dalam pembuluh darah
(intavaskular)
atau
di
luar
pembuluh
darah
(ekstravaskular) yang membawa konsekuensi patologik yang berbeda. Apabila derajat hemolisis tidak terlalu berat maka sumsum tulang masih mampu melakukan kompensasi sehingga tidak timbul anemia. Keadaan ini disebut sebagai keadaan hemolisis terkompensasi (compensated hemolytic state). Akan tetapi, jika kemampuan kompensasi sumsum tulang dilampaui maka akan terjadi anemia yang dikenal sebagai anemia hemolitik (Bakta, 2013). commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Patofisiologi Pada derajat hemolisis berat dapat terjadi anemia hemolitik. Penurunan Hb dapat berlahan, tetapi sering kali sangat cepat (lebih dari 2gr/dl dalam seminggu). Hemolisis berdasarkan tempatnya dibagi menjadi dua yaitu: hemolisis ekstravaskuler dan hemolisis intravaskular. Hemolisis ekstravaskuler lebih sering dijumpai dibandingkan dengan intravaskuler. Hemolisis ektravaskuler
terjadi
pada
sel
makrofag
dari
System
Retikuloendothelial (SRE) terutama pada lien, hepar, dan sumsum tulang karena ini mengandung enzim heme oxygenase. Pada hemolisis intravaskuler, pemecahan eritrosit intravaskuler menyebabkan lepasnya hemoglobin bebas ke dalam plasma. Hemoglobin bebas ini akan diikat oleh haptoglobin sehingga kadar haptoglobin plasma akan menurun (Greer et al., 2004 dalam Bakta, 2012). 3) Diagnosis dan Gejala Klinis Anemia hemolitik ditandai dengan destruksi eritrosit, dan atau tanda-tanda peningkatan eritropoiesis. Tetapi tidak ada tes tunggal yang reliabel untuk memastikan diagnosis karena harus dilakukan kombinasi beberapa macam tes serta dengan menyisihkan penyebab-penyebab lain yang memberikan tandatanda yang sama. Peningkatan eritropoiesis dijumpai juga pada perdarahan akut dan akibat respon terapi pada anemia commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
defisiensi yang sedang diobati. Tanda-tanda destruksi eritrosit juga
dijumpai
pada
eritropoiesis
inefektif,
gangguan
katabolisme bilirubin, dan perdarahan ke dalam rongga tubuh. Jika keadaan ini dapat disisihkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan. Pada anemia hemolitik kronik tanda-tanda peningkatan eritropoiesis lebih menonjol sedangkan pada anemia hemolitik akut tidak begitu menonjol. Pada anemia hemolitik akut dijumpai gejala acute febril illness, tanda-tanda intravaskuler hemolisis, atau penurunan hemoglobin tiba-tiba lebih dari 1 gr/dl dalam waktu 1 minggu. Penurunan hemoglobin tiba-tiba ini dijumpai juga pada perdarahan akut dan hemodilusi. Jika kedua hal ini dapat disingkirkan, diagnosis anemia hemolitik dapat ditegakkan (Bakta, 2013). 3. Komplikasi Anemia pada Ibu Hamil Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam kehamilan, persalinan, maupun nifas, dan masa selanjutnya. Anemia bisa menjadi ancaman yang cukup serius karena dapat mengakibatkan: keguguran (abortus), kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah, persalinan yang lama akibat kelelahan otot rahim selama berkontraksi (inersia uteri), perdarahan pascamelahirkan karena tidak adanya kontraksi otot rahim (atonia uteri), syok, infeksi baik saat bersalin maupun pascabersalin serta anemia yang berat dapat menyebabkan dekompensasi kordis. Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan kematian ibu pada persalinan (Kariyeva et al., 2001; Mansjoer dkk., 2008; Saifudin, 2006; Wiknjosastro, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor risiko anemia ibu hamil <11 gr/dl mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian partus lama. Ibu yang mengalami kejadian anemia memiliki risiko mengalami partus lama 1,681 kali lebih besar dibandingkan dengan ibu yang tidak. Ibu hamil yang anemia bisa mengalami gangguan his atau gangguan mengejan yang mengakibatkan partus lama anemia (Indriyani dan Amirudin, 2006). 4. Infeksi Parasit Usus a. Definisi Infeksi parasit usus adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit yang ditemukan di saluran gastrointestinal manusia dan dapat ditegakkan diagnosisnya dengan pemeriksaan tinja secara mikroskopis. Parasit-parasit yang dapat ditemukan dalam saluran gastrointestinal dan dapat menyebabkan anemia antara lain cacing dan protozoa. Cacing yang dapat menyebabkan anemia tersebut adalah golongan Soil Transmitted Helminthes (cacing yang ditularkan melalui tanah) yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale, dan Necator americanus, sedangkan protozoa yang dapat menyebabkan anemia antara lain Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia (Weigel et.al, 2001).
commit to user
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Jenis Parasit Usus Penyebab Anemia 1) Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) a) Epidemiologi Infeksi Ascaris lumbricoides adalah salah satu infeksi cacing usus yang paling umum. Hal ini
berhubungan dengan
kebersihan pribadi dan sanitasi yang buruk dan biasa ditemukan di tempat-tempat di mana kotoran manusia digunakan sebagai pupuk (CDC, 2013). Cacing ini tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan sub tropis (Soedarto, 2011; CDC, 2013). Prevalensi Ascaris lebih tinggi dari 70 % ditemukan antara lain di beberapa desa di Sumatera (78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%), dan Jawa Barat (90%) (Margono, 2008). b) Anatomi dan Morfologi Ascaris lumbricoides berukuran besar, berwarna putih kecoklatan, atau kuning pucat. Cacing jantan mempunyai ukuran 10-31 cm, ekor melingkar, dan mempunyai 2 spikula dengan diameter 2-4 mm serta ujung posterior yang runcing dengan ekor melengkung ke arah ventral. Sedangkan cacing betina mempunyai ukuran 22-35 cm terkadang sampai 39 cm dengan diameter 3-6 mm, ekor lurus pada 1/3 bagian anterior, dan memiliki mulut terdiri atas tiga buah bibir yang terletak sebuah di bagian dorsal
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan dua buah lainnya terletak subventral (Soedarto, 2011; Natadisastra dan Agoes, 2012). Ascaris lumbricoides memiliki 4 macam telur yang dapat dijumpai di feses, yaitu telur yang dibuahi, telur yang tidak dibuahi, dan telur yang sudah dibuahi tetapi kehilangan lapisan albuminnya (decorticated), dan telur infektif (telur yang mengandung larva).Telur yang dibuahi berbentuk lonjong dengan ukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron dengan kulit telur tak berwarna. Telur yang tidak dibuahi berbentuk lebih lonjong dan lebih panjang dibandingkan ukuran telur yang dibuahi dengan ukuran sekitar 80 x 55 mikron. Telur ini tidak mempunyai rongga di kutubnya (Soedarto, 2011).
Gambar 2.1. Telur Cacing Ascaris lumbricoides tidak terbuahi (CDC, 2013)
commitCacing to user Ascaris lumbricoides Gambar 2.2. Telur terbuahi (CDC, 2013).
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.3. Cacing Ascaris lumbricoides (Ghaffar, 2010). c) Daur Hidup Manusia merupakan hospes definitif cacing ini. Cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari. Di tanah, dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini bila tertelan manusia akan menetas menjadi larva di usus halus, kemudian menembus dinding usus menuju pembuluh darah atau saluran limfa dan di alirkan ke jantung lalu mengikuti aliran darah ke paru-paru. Setelah itu melalui dinding alveolus masuk ke rongga alveolus, lalu naik ke trakea melalui bronkiolus, dan bronkus. Dari trakea larva menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan batuk, kemudian tertelan masuk ke dalam esofagus lalu menuju ke usus halus, tumbuh menjadi cacing dewasa. Proses tersebut memerlukan waktu
commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kurang lebih 2 bulan sejak tertelan sampai menjadi cacing dewasa (Gandahusada, 2006).
Gambar 2.4. Siklus Hidup Ascaris lumbricoides. 1) Cacing Dewasa, 2) Telur Infertil dan Telur Fertil, 5) Larva yang Telah Menetas, 7) Larva Matur (CDC, 2013). d) Patofisiologi Cacing ini hidup dalam saluran pencernaan dan penyerapan makanan dengan menghisap darah penderita. Penghisapan darah ini akan mengakibatkan pengurangan sejumlah zat besi darah yang akan menyebabkan anemia (Suhardjo, 1995 dalam Ibrahim, 2012). Cacing Ascaris lumbricoides hidup di dalam rongga usus manusia. Cacing ini mengambil makanan dari dalam usus manusia. Apabila hal ini berlangsung cukup lama, maka seseorang dapat terserang anemia karena asupan makanan yang
commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seharusnya dapat dipakai untuk mencegah anemia dimakan oleh cacing yang hidup di dalam usus manusia (Ibrahim, 2012). e) Gejala Klinis dan Diagnosis Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan, berupa gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare, dan konstipasi. Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive) dan masuknya larva ke paru-paru sehingga menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut Sindroma Loeffler (Effendy, 2006). Diagnosis
askariasis
dapat
dilakukan
dengan
cara
pemeriksaan laboratorium. Diagnosis ini ditegakan apabila ditemukan telur cacing dalam tinja, larva dalam sputum, cacing dewasa keluar dari mulut, anus atau hidung (Hadidjaja, 2011). 2) Cacing
tambang
(Necator
americanus
dan
Ancylostoma
duodenale) a) Epidemiologi Infeksi cacing tambang (ankilostomiasis) di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suhu optimum 32ºC-38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah (Gandahusada, 2006). b) Anatomi dan Morfologi Cacing tambang dewasa memiliki bentuk silindris berwarna keabuan dengan ukuran panjang cacing betina antara 9 sampai 13 mm, sedangkan cacing jantan berukuran 5 sampai 11 mm. Pada ujung posterior cacing jantan terdapat bursa kopulatriks Ancylostoma
yang merupakan suatu duodenale
dan
alat bantu
Necator
kopulasi.
americanus
dapat
dibedakan morfologinya berdasarkan bentuk tubuh, rongga mulut (buccal capsule) dan bursa kopulatriksnya (Soedarto, 2011). Pada pemeriksaan tinja di bawah mikroskop sinar bentuk telur berbagai spesies cacing tambang mirip satu dengan yang lainnya, sehingga sukar dibedakan (Soedarto, 2011). Telur berbentuk oval tidak berwarna, berukuran 40 x 60 mm. Bentuk Necator americanus tidak dapat dibedakan dari Ancylostoma duodenale (Natadisastra dan Agoes, 2012). Cacing tambang mempunyai dua stadium larva yaitu larva rhabditiform yang tidak infektif dan larva filariform yang infektif. Larva rhabditiform bentuk tubuhnya agak gemuk dengan panjang sekitar 250 mikron, sedangkan larva filariform
commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbentuk langsing panjang tubuhnya sekitar 600 mikron (Soedarto, 2011).
Gambar 2.5. Telur Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (CDC, 2015).
a b Gambar 2.6. Cacing Betina (a) dan Jantan (b) Ancylostoma duodenale (Ghaffar, 2010).
a
b
Gambar 2.7. Cacing Betina (a) dan Jantan (b) Necator americanus (Ghaffar, 2010). commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Daur Hidup Daur hidup cacing tambang dimulai dari telur cacing yang keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung berlanjut ke paru-paru. Di paru-paru larva menembus pembuluh darah masuk ke bronkus lalu ke trakea dan laring, kemudian larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri Kesehatan, 2006).
Gambar 2.8. Siklus Hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale.1) Telur, 2) Larva Rhabditiform, 3) Larva Filariform 4) Larva Filariform Menembus Kulit, 5) Cacing Dewasa (CDC, 2013). commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Patofisiologi Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas isapan. Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami anemia (Menteri Kesehatan, 2006). Pada stadium dewasa, cacing dewasa melekat dan melukai mukosa usus, menimbulkan perasaan tidak enak di perut, mual, muntah, dan diare. Seekor cacing dewasa menghisap darah 0,2-0,3 ml per hari sehingga dapat menimbulkan anemia yang progresif, hipokrom, mikrositer, tipe defisiensi besi (Natadisastra dan Agoes, 2012). Necator americanus dapat menyebabkan hilangnya darah penderita sampai 0,1 cc per hari, sedangkan
seekor
cacing
Ancylostoma
duodenale
dapat
menimbulkan kehilangan darah sampai 0,34 cc per hari (Soedarto, 2011). Biasanya gejala klinik timbul tampak adanya anemia. Pada infeksi berat, Hb turun sampai 2 g/dl penderita merasa sesak napas sewaktu melakukan kegiatan, lemah, lesu, pucat, sukar konsentrasi, dan pusing kepala. Infeksi Ancylostoma duodenale lebih berat dari Necator americanus (Natadisastra dan Agoes, 2012).
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
e) Gejala Klinis dan Diagnosis Lesu, tidak bergairah, konsentrasi kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi
kerja menurun,
dan anemia
merupakan manifestasi klinis yang sering terjadi. Di samping itu juga terdapat eosinofilia (Menteri Kesehatan, 2006) Penegakan diagnosis dilakukan dengan cara pemeriksaan laboratorium yaitu ditemukannya telur cacing tambang di dalam tinja ataupun larva cacing tambang di dalam biakan atau pada tinja (Natadisastra dan Agoes, 2012). Diagnosis banding untuk infeksi cacing tambang adalah penyakit penyebab lain seperti anemia, beri-beri, dermatitis, asma bronkiale, tuberkulosis, dan penyakit gangguan perut lainnya (Nasronudin, 2011). 3) Trichuris trichiura a) Epidemiologi Penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Trichuris trichiura bersumber dari kontaminasi tanah oleh tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum 30o C. Di berbagai daerah pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi. Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 % (Gandahusada, 2006).
commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Anatomi dan Morfologi Trichuris trichiura memiliki bentuk tubuh sangat khas mirip cambuk dengan tiga per lima panjang tubuh bagian anterior berbentuk langsing seperti tali cambuk, sedangkan dua per lima bagian tubuh posterior lebih tebal mirip pegangan cambuk (Soedarto, 2011). Cacing jantan memiliki panjang 30 – 45 mm, bagian posterior melengkung ke depan sehingga membentuk satu lingkaran penuh. Pada bagian posterior ini terdapat suatu spikulum yang menonjol keluar melalui selaput retraksi. Cacing betina panjangnya 30 – 50 mm, ujung posterior tubuhnya membulat tumpul (Natadisastra dan Agoes, 2012). Telur berukuran 50 x 25 mikron, memiliki bentuk sepeti tempayan, pada kedua tutupnya terdapat operculum yaitu semacam penutup yang jernih dan menonjol. Dindingnya terdiri dari dua lapis, bagian dalam jernih sedangkan bagian luar berwarna kecoklat-coklatan. Dalam sehari, satu ekor cacing betina dapat menghasilkan 3.000 – 4.000 telur (Natadisastra dan Agoes, 2012).
commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Gambar 2.9. Telur Trichuris trichiura (CDC, 2013 ).
a b Gambar 2.10. Cacing Betina (a) dan Jantan (b) Trichuris trichiura (Ghaffar, 2010). c) Daur Hidup Trichuris trichiura hidup di kolon asendens dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Cara infeksi langsung terjadi bila telur yang matang tertelan oleh manusia (hospes) kemudian larva akan keluar dari dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan dimulai saat tertelan
commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hingga menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Gandahusada, 2006)
. Gambar 2.11. Siklus Hidup Trichuris trichiura. 1) Telur Belum Matang, 2) Telur Stadium Dua Sel, 3) Telur dengan advanced cleavage, 4) Telur Matang Tertelan, 5) Larva di Usus Halus, 6) Cacing Dewasa di Usus Besar (CDC, 2013). d) Patofisiologi Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dan dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan.
commit to user
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Di samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006). e) Gejala Klinis dan Diagnosis Infeksi Trichuris trichiura yang ringan biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Sedangkan infeksi berat dan menahun terutama pada anak menimbulkan gejala seperti diare, disentri, anemia, berat badan menurun,
dan
kadang-kadang
terjadi
prolapsus
rektum.
Diagnosis dibuat dengan menemukan telur di dalam tinja atau menemukan cacing dewasa pada anus (Gandahusada, 2006). 4) Entamoeba Histolitica a) Epidemiologi Amoebiasis terdapat di seluruh dunia (kosmopolit) terutama di daerah tropis dan daerah beriklim sedang. Pada berbagai survei menunjukkan frekuensi diantara 0,2-50 % dan berhubungan langsung dengan sanitasi lingkungan sehingga penyakit ini akan banyak dijumpai pada daerah tropis dan subtropis yang sanitasinya jelek dan banyak dijumpai juga di rumah-rumah sosial, penjara, rumah sakit jiwa, dan lain-lain. Di Indonesia, amoebiasis kolon banyak dijumpai dalam keadaan endemi. Prevalensi Entamoeba histolytica di berbagai daerah di Indonesia berkisar antara 10–18 % (Rasmaliah, 2003).
commit to user
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b) Anatomi dan Morfologi Entamoeba histolytica memiliki 3 stadium yaitu: bentuk histolitika, bentuk minuta, dan bentuk kista. Bentuk histolitika dan bentuk minuta adalah bentuk trofozoit berukuran 20 – 40 mikron, mempunyai inti entamoeba yang terdapat di endoplasma. Bentuk histolitika ini patogen dan dapat hidup di jaringan usus besar, hati, paru, otak, kulit, dan vagina. Bentuk ini berkembang biak secara belah pasang di jaringan dan dapat merusak jaringan tersebut sesuai dengan nama spesiesnya Entamoeba histolytica (histo = jaringan, lysis = hancur). Bentuk minuta adalah bentuk pokok esensial, tanpa bentuk minuta daur hidup tidak dapat berlangsung, besarnya 10–20 mikron. Bentuk kista dibentuk di rongga usus besar, besarnya 10– 20 mikron, berbentuk bulat lonjong, mempunyai dinding kista dan ada inti entamoeba. Dalam tinja bentuk ini biasanya berinti 1 atau 2. Entamoeba histolytica biasanya hidup sebagai bentuk minuta di rongga usus besar manusia, berkembang biak secara belah pasang, kemudian dapat membentuk dinding dan berubah menjadi bentuk kista. Kista dikeluarkan bersama tinja. Dengan adanya dinding kista, bentuk kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar tubuh manusia (Rasmaliah, 2003).
commit to user
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a
b
Gambar 2.12. Kista (a) dan trofozoit (b) Entamoeba histolytica (CDC, 2013). c) Daur Hidup Dalam daur hidupnya, Entamoeba histolytica mempunyai dua stadium, yaitu: trofozoit dan kista. Bila kista matang tertelan, kista tersebut tiba di lambung masih dalam keadaan utuh karena dinding kista tahan terhadap asam lambung. Di rongga terminal usus halus, dinding kista dicernakan, terjadi ekskistasi dan keluarlah stadium trofozoit yang masuk ke rongga usus besar. Dari kista yang mengandung 4 buah inti, akan terbentuk 8 buah trofozoit.
Bila
ditemukan
sel
darah
merah
disebut
erythrophagocytosis yang merupakan tanda patognomonik infeksi Entamoeba Histolytica. Stadium torofozoit dapat bersifat patogen dan menginvasi jaringan usus besar. Dengan aliran darah, menyebar ke jaringan hati, paru, otak, kulit, dan vagina. Hal tersebut disebabkan sifatnya yang dapat merusak jaringan. Stadium kista dibentuk dari stadium trofozoit yang berada di rongga usus besar. Di commit to user dalam rongga usus besar, stadium trofozoit dapat berubah
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjadi stadium precyst, kemudian membelah menjadi berinti dua, dan akhirnya berinti empat yang dikeluarkan bersama tinja. Dalam tinja biasanya stadium ini berinti satu atau empat, kadangkadang berinti dua. Pada kista matang, benda kromatid dan vakuol glikogen biasanya tidak ada lagi. Stadium kista tidak patogen, tetapi merupakan stadium yang infektif. Dengan adanya dinding kista, stadium kista dapat bertahan terhadap pengaruh buruk di luar badan manusia. Infeksi terjadi dengan menelan kista matang (Sutanto dan Adjung, 2012).
Gambar 2.13. Siklus Hidup Entamoeba histolytica. 1) Kista dan Trofozoit, 2) Kista Matur Terletan, 3) Eksitasi, 4) Trofozoit, 5) Kista (CDC, 2013).
commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Patofisiologi Masa inkubasi bervariasi, dari beberapa hari sampai beberapa bulan atau tahun, tetapi secara umum berkisar antara 1 sampai 4 minggu. Diare karena amoebiasis didahului dengan kontak antara stadium trofozoit Entamoeba histolytica dengan sel epitel kolon melalui antigen Gal/Gal Nac-lectin yang terdapat pada permukaan stadium trofozoit. Sel epitel usus yang berikatan dengan stadium trofozoit Entamoeba histolytica akan menjadi immobile dalam waktu beberapa menit, kemudian granula dan struktur sitoplasma menghilang diikuti dengan hancurnya inti sel. Proses ini diakibatkan oleh amoebapores, yang terdapat pada sitoplasma trofozoit Entamoeba histolytica. Amoebapores dapat membuat pori-pori pada kedua lapisan lemak. Selanjutnya invasi amoeba ke dalam jaringan ekstrasel terjadi melalui sistem proteinase yang dikeluarkan stadium trofozoit parasit yang terdiri atas amebapain dan histolisin akan melisiskan matriks protein ekstrasel, sehingga mempermudah invasi trofozoit ke jaringan submukosa. Stadium trofozoit memasuki submukosa dengan menembus lapisan muskularis mukosa, bersarang di submukosa dan membuat kerusakan yang lebih luas daripada di mukosa usus. Akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus ameba. Lesi biasanya merupakan ulkus kecil yang letaknya tersebar di mukosa usus. Proses yang terjadi terutama nekrosis dengan lisis commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sel jaringan. Bila terdapat infeksi sekunder, terjadilah proses peradangan. Proses ini dapat meluas di submukosa dan melebar ke lateral sepanjang sumbu anus, maka kerusakan dapat menjadi luas sekali sehingga ulkus-ulkus saling berhubungan dan terbentuk sinus-sinus di bawah mukosa. Dengan peristaltik usus, stadium trofozoit dikeluarkan bersama isi ulkus ke rongga usus kemudian menyerang lagi mukosa usus yang sehat atau dikeluarkan bersama tinja. Tinja itu disebut tinja disentri yaitu tinja yang bercampur darah dan lendir yang apabila berlangsung lama akan bermanifestasi menjadi anemia (Sutanto dan Adjung, 2012). e) Gejala Klinis dan Diagnosis Gejala-gejala klinis dari amoebiasis tergantung lokalisasi dan beratnya infeksi. Penyakit disentri yang ditimbulkannya hanya dijumpai pada sebagian kecil penderita tanpa gejala. Penderita amoebiasis intestinalis sering dijumpai tanpa gejala atau adanya perasaan tidak enak diperut yang samar-samar, dengan adanya konstipasi, dan lemah. Infeksi menahun dengan gejala subklinis dan terkadang dengan eksaserbasi kadangkadang menimbulkan terjadinya kolon yang "irritable" sakit perut berupa kolik yang tidak teratur. Dengan adanya sindrom disentri berupa diare yang berdarah dengan mukus atau lendir yang disertai dengan perasaan sakit perut dan tenesmusani yang commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
juga sering disertai dengan adanya demam. Amoebiasis yang menahun dengan serangan disentri berulang terdapat nyeri tekan setempat pada abdomen dan terkadang disertai pembesaran hati. Penyakit menahun
yang melemahkan ini mengakibatkan
menurunnya berat badan. Diagnosis pasti penderita amoebiasis adalah menemukan parasit di dalam tinja atau jaringan. Diagnosis laboratorium dapat dibuat dengan pemeriksaan mikroskopis atau menemukan parasit dalam biakan tinja sering dijumpai Entamoeba histolytica bersama-sama dengan kristal Charcot-Leyden. Diagnosis tidak selalu mudah, sehingga diperlukan pemeriksaan berulang khususnya pada kasus menahun (Rasmaliah, 2003). 5) Giardia Lamblia a) Epidemiologi Giardia lamblia ditemukan kosmopolit dengan prevalensi 2 – 25% atau lebih, tergantung dari golongan umur yang diperiksa dan sanitasi lingkungan. Giardia lamblia lebih sering ditemukan pada anak-anak daripada orang dewasa, terutama pada umur 6 – 10 tahun dari keluarga besar, di rumah yatim piatu, dan di sekolah dasar (Sutanto dan Gandahusada, 2012). b) Anatomi dan Morfologi Giardia intestinalis mempunyai 2 stadium yaitu stadium trofozoit dan stadim kista. Stadium trofozoit memiliki ukuran 12 commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
– 15 mikron, berbentuk simetris bilateral seperti buah jambu monyet
yang bagian
anteriornya
membulat
dan
bagian
posteriornya meruncing. Trofozoit ini mempunyai 4 pasang flagel yang berasal dari 4 pasang blefaroplas. Stadium kista berbentuk oval berukuran 8 – 12 mikron, mempunyai dinding yang tipis dan kuat. Sitoplasmanya berbutir halus dan letaknya jelas terpisah dari dinding kista. Kista berukuran lebih kecil daripada trofozoit yaitu panjang 8 – 18 μm dan lebar 7 – 10 μm. Letak kariosom lebih eksentrik bila dibandingkan dengan trofozoit (Sutanto dan Gandahusada, 2012).
a
b
Gambar 2.14. Kista (a) dan Trofozoit (b) Giardia lamblia (CDC, 2013). c) Daur Hidup Giardia lamblia hidup di rongga usus kecil, yaitu duodenum dan bagian proksimal jejunum dan kadang-kadang di saluran dan kandung empedu. Bila kista matang tertelan oleh hospes, maka akan terjadi ekskistasi di duodenum. Dengan commit to user
46 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pergerakan flagel yang cepat trofozoit yang berada di antara villi usus bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Bila berada pada villi, trofozoit dengan batil isap akan melekatkan diri pada epitel usus. Trofozoit kemudian berkembangbiak dengan cara belah pasang longitudinal. Bila jumlahnya banyak sekali maka trofozoit yang melekat pada mukosa dapat menutupi permukaan mukosa usus halus. Trofozoit yang tidak melekat pada mukosa usus akan mengikuti pergerakan peristaltik menuju ke usus bagian distal yaitu usus besar. Ekskistasi terjadi dalam perjalanan ke kolon, bila tinja mulai menjadi padat, sehingga stadium kista dapat ditemukan dalam tinja yang padat (Sutanto dan Gandahusada, 2012).
Gambar 2.15. Siklus hidup Giardia lamblia.1) Kista, 2) Kontaminasi Air, Makanan, atau Tangan oleh Kista Infektif, 3) Trofozoit, 4) Trofozoit Membelah, 5) Kista Baru (CDC, 2013). commit to user
47 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d) Patofisiologi Melekatnya Giardia lamblia pada sel epitel usus halus tidak selalu menimbulkan gejala atau asimtomatik dan sebagian besar menjadi pembawa (carier). Parasit Giardia lamblia ini menambatkan dirinya ke epitel usus halus hospes melalui cakram berperekat di perutnya. Protozoa tidak merusak sel hospes, tetapi memakan/menyerap nutrisi dari lumen (dinding dalam) usus kecil dan hidup secara anaerob (tidak memerlukan oksigen). Karena penyerapan nutrisi oleh protozoa ini, maka terjadi penghambatan absorpsi lemak dan unsur nutrisi lain oleh tubuh hospes (villous atrophia). Giardiasis biasanya tidak tersebar melalui darah dan tidak menyebar ke bagian sistem pencernaan lainnya namun tetap berada di usus kecil. Tetapi dalam kondisi tertentu trofozoit dapat menginvasi jaringan seperti kandung empedu dan saluran kemih. Jika empedu terserang protozoa dapat menyebabkan jaundice (penyakit kuning/ikterus) dan sakit perut/kolik. Penyakit ini tidak berakibat fatal tetapi sangat mengganggu (Sutanto dan Gandahusada, 2012). e) Diagnosis dan Gejala Klinis Gejala klinis yang disebabkan giardiasis sangat bervariasi dan dapat berbeda di antara penderitanya. Hal ini tergantung berbagai faktor seperti jumlah kista yang tertelan, lama infeksi, faktor hospes, dan parasitnya sendiri. Gejala akut dimulai dengan rasa commit to user
48 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak enak di perut yang diikuti dengan mual dan tidak napsu makan. Dapat disertai dengan demam ringan. Kemudian dapat diikuti dengan diare cair yang berbau busuk, perut terasa kembung karena ada gas di dalamnya, dan dapat juga terjadi kram perut. Pada tinja biasanya jarang ditemukan lendir dan darah. Gejala akut biasanya berlangsung 3 – 4 hari dan dapat sembuh spontan. Sebaliknya juga dapat menjadi fase subakut atau kronik berupa diare yang hilang timbul selama 2 tahun atau lebih. Pada penderita kronis penderita merasa lemah, sakit kepala, dan sakit otot yang dapat disertai penurunan berat badan dan malabsorbsi. Penyerapan bilirubin oleh Giardia lamblia menghambat aktivitas lipase pankreatik. Kelainan fungsi usus kecil ini disebut sindrom malabsorbsi yang menimbulkan gejala kembung, abdomen membesar, dan tegang, mual, anoreksia, feses banyak dan berbau busuk, serta penurunan berat badan (Sutanto dan Gandahusada, 2012). Diagnosis giardiasis tidak semuanya dapat ditetapkan berdasarkan pemeriksaan tinja. Dianjurkan pemeriksaan tinja selama tiga hari berturut-turut atau setiap 2 hari sekali dalam kurun waktu 10 hari. Karena stadium kista dan trofozoit Giardia lamblia bukan penyebab penyakit. Untuk menemukan trofozoit yang masih bergerak diperlukan tinja segar. Pada pemeriksaan dapat ditemukan trofozoit dalam tinja encer dan cairan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
duodenum serta kista dalam tinja padat. Dalam sediaan basah dengan larutan iodine atau dalam sediaan yang dipulas dengan trikom morfologi Giardia lamblia dapat debedakan dengan protozoa lain. Teknik konsentrasi dapat meningkatkan penemuan kista. Pemeriksaan tinja merupakan pemeriksaan pendahuluan sebelum pemeriksaan lain dilakukan (Sutanto dan Gandahusada, 2012). 5. Hubungan Anemia Ibu Hamil dengan Infeksi Parasit Usus Jenis cacing Ascaris lumbricoides menghisap sari makanan yang ada di usus manusia, sehingga mengganggu penyerapan zat gizi seperti zat besi dan asam folat yang berperan dalam pembentukan darah. Apabila hal ini berlangsung cukup lama, maka seseorang dapat terserang anemia karena asupan zat gizi diserap oleh cacing yang hidup di dalam usus manusia (Ibrahim, 2012). Pada infeksi berat, dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion) dan apabila cacing menggumpal dalam usus dapat terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive) (Menteri Kesehatan, 2006). Cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) hidup dalam rongga usus halus dan menghisap darah, serta dapat menyebabkan pendarahan pada luka pada bekas isapan cacing tersebut. Hal ini dapat menyebabkan kehilangan darah dalam waktu yang lama dari dalam tubuh, sehingga dapat terjadi anemia (Menteri Kesehatan, 2006). Necator americanus dapat menyebabkan hilangnya darah penderita sampai commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
0,1 cc per hari, sedangkan Ancylostoma duodenale dapat menimbulkan kehilangan darah sampai 0,34 cc per hari (Soedarto, 2011). Dari kehilangan darah tersebut dapat menimbulkan anemia yang progresif, hipokrom, mikrositer, tipe defisiensi besi (Larocque, 2005; Natadisastra dan Agoes, 2012; Hopkins, 2013). Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dan dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, cacing ini kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus, sehingga dapat menimbulkan pendarahan yang menyebabkan anemia (Menteri Kesehatan, 2006). Infeksi kronis dan sangat berat dapat menunjukan gejala anemia yang berat, kadar hemoglobin dapat mencapai 3 gr/dl karena setiap seekor cacing tiap hari dapat menghisap darah ± 0,005 cc (Soedarto, 2011). Entamoeba histolytica dapat menyebakan diare berdarah. Jika tidak tertangani dengan baik dapat bermanifestasi menjadi anemia. Diare ini didahului dengan kontak antara stadium trofozoit Entamoeba histolytica dengan sel epitel kolon, melalui antigen Gal/Gal Nac-lectin yang terdapat pada permukaan stadium trofozoit. Sel epitel usus yang berikatan dengan stadium trofozoit Entamoeba histolytica akan menjadi immobile dalam waktu beberapa menit, kemudian granula dan struktur sitoplasma menghilang diikuti dengan hancurya inti sel. Proses ini diakibatkan oleh commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
amoebapores, yang terdapat pada sitoplasma trofozoit Entamoeba histolytica. Amoebapores
dan dapat membuat pori-pori pada kedua
lapisan lemak. Selanjutnya invasi amoeba ke dalam jaringan ekstra sel terjadi melalui sistem proteinase yang dikeluarkan stadium trofozoit parasit yang terdiri atas amebapain dan histolisin akan melisiskan matriks protein ekstra sel, sehingga mempermudah invasi trofozoit ke jaringan submukosa. Stadium trofozoit memasuki submukosa dengan menembus lapisan muskularis mukosa, bersarang di submukosa dan mmebuat kerusakan yang lebih luas daripada di mukosa usus. Akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus ameba. Lesi biasanya merupakan ulkus kecil yang letaknya tersebar di mukosa usus. Bentuk rongga ulkus seperti botol dengan lubang yang sempit dan dasar yang lebar, dengan tepi yang tidak teratur agak meninggi dan menggaung. Proses yang terjadi terutama nekrosis dengan lisis sel jaringan (Sutanto dan Adjung, 2012). Pada infeksi yang disebabkan oleh Giardia lamblia dapat menyebabkan diare disertai steatore karena gangguan absorbsi karoten, folat, dan vitamin B12. Parasit Giardia lamblia ini menambatkan dirinya ke epithelium usus halus hospes melalui cakram berperekat di perutnya dan bereproduksi melalui pembelahan biner. Protozoa tidak merusak sel hospes, tetapi memakan/menyerap nutrisi dari lumen (dinding dalam) usus kecil dan hidup secara anaerob (tidak memerlukan oksigen). Penyerapan nutrisi oleh protozoa ini dapat menghambat absorpsi lemak dan unsur
commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nutrisi lain oleh tubuh hospes (villous atrophia) sehingga menyebabkan anemia (Sutanto dan Gandahusada, 2012). B. Kerangka pemikiran
Infeksi Parasit Usus
Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Trichuris trichiura
Perdarahan Mukosa Usus , Absorbsi Darah oleh Cacing
Ascaris lumbrocoides
Malabsorbsi , Absorbsi Nutrisi oleh Cacing
Giardia lamblia
Malabsorpsi Nutrisi
Entamoeba histolytica
Perdarahan Usus/Ulkus Ameba
Penyakit Kronis dan Infeksi
Faktor Langsung
Konsumsi Tablet Fe, Asupan Gizi Sosial Ekonomi, Pengetahuan, Pendidikan Kunjungan Antenatal Care (ANC), Dukungan Suami, Paritas, Jarak Kehamilan, Umur
Faktor Dasar
Anemia
Faktor Tidak Langsung
diteliti
commit to user
tidak diteliti
53 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Hipotesis Berdasarkan dari tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan antara infeksi parasit usus dengan anemia ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas 1 Jaten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
commit to user