BAB II LANDASAN TEORI
A. Postpurchase Dissonance A. 1. Pengertian Postpurchase Dissonance Cornwell (2007) menjelaskan bahwa konsep postpurchase dissonance adalahkonsep cognitive dissonance yang dikembangkan oleh Leon Festinger pada tahun 1957. Festinger (Loundon dan Bitta, 1993; Sweeney, Hausknecht, dan Soutar, 2000) mendefinisikan cognitive dissonance sebagai berikut: “Cognitive dissonance is as a psychological state which results when a person perceives that two cognitions (thoughts), both of which he believes to be true, do not fit together” Kehadiran disonansi akan menimbulkan tekanan untuk mengurangi atau menghilangkannya. Setelah diperkenalkannya konsepcognitive dissonance, banyak ahli telah mengaplikasikannya dalam berbagai jenis penelitian dan yang paling mencolok terdapat pada penelitian di perilaku konsumen (Chou, 2012). Dimana cognitive dissonance yang terjadi setelah suatu pembelian, hal inilah yang dinamakan dengan postpurchase dissonance (Schiffman dan Kanuk, 2004). Postpurchase dissonance merupakan suatu tahap dari postpurchase consumer behavior yang dapat dialami oleh setiap konsumen setelah melakukan prosespembelian suatu produk. Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) mendefinisikan postpurchase dissonance sebagai suatu keraguan atau kecemasan
Universitas Sumatera Utara
yang dialamioleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan yang sulit dan relatif permanen.Keraguan atau kecemasan ini terjadi karena konsumen tersebut beradadalam suatu keadaan yang mengharuskannya membuat komitmen yang relatif permanen terhadap sebuah pilihan alternatif dari pilihan alternatif lainnya yangtidak jadi dipilih oleh konsumen tersebut. Oleh karena itu kebanyakan pembuatankeputusan terbatas (limited decision making) tidak akan menghasilkan
postpurchase
dissonance
karena
konsumen
tidak
mempertimbangkan tampilan tampilanyang menarik yang ada dalam merk atau produk yang tidak dipilihdimana hal tersebut juga tidak ada dalam produk atau merk yang dipilih. Loudon & Bitta (1993) berpendapatbahwa postpurchase dissonance terjadi sebagai
hasil
dari
perbedaan
antarakeputusan
konsumen
dan
evaluasi
sebelumnya.Hawkins, Mothersbaugh dan Best (2007) menyatakan bahwa postpurchase dissonance adalah salah satu bentuk keraguan yang terjadi pada tahap pasca pembelian (postpurchase) suatu produk oleh konsumen. Tahap ini sangat kritis bagi para konsumen, dimana pada tahap ini konsumen akan mencaripenguatan (reinforcement) atas keputusan membeli yang telah mereka lakukan.
Universitas Sumatera Utara
Skema 2. Alur Postpurchase Dissonance dalam pembelian
Pada skema di atas, Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) membuat suatu diagram yang menggambarkan bagaimana perilaku konsumen yang terjadi dimulai dari saat pembelian barang, dimana beberapa pembelian diikuti dengan fenomena yang disebut postpurchase dissonance. Hal ini terjadi ketika kosumen meragukan kebijakan pembelian (wisdom of purchase) yang telah dilakukan. Pembelian lainnya diikuti dengan nonuse. Konsumen mengembalikan atau menyimpan barang tersebut tanpa menggunakannya. Kebanyakan pembelian akan berakhir pada penggunaan barang, meskipun juga terjadi postpurchase dissonance pada saat tersebut. Ketidakpuasan mungkin menimbullkan complaint
Universitas Sumatera Utara
behaviors sedangkan kepuasan (satisfaction) dapat memberikan peningkatan dan pengulangan pembelian kembali dari konsumen. Berdasarkan skema tersebut, dapat disimpulkan bahwa hadirnya postpurchase dissonance dapat mempengaruhi motivasi konsumen untuk kembali membeli produk atau malah menolak sama sekali produk tersebut di masa mendatang. Dari uraian penjeleasan mengenai postpurchase dissonance dapat disimpulkan bahwa postpurchase dissonance adalah keraguan yang dialami oleh seorang konsumen setelah melakukan suatu keputusan pembelian yang sulit dan relatif permanen terhadap suatu produk. A. 2. Indikator pengukuran Postpurchase Dissonance Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) menjelaskan 3 (tiga) dimensi yang digunakan untuk mengukur Postpurchase Dissonance, yaitu: 1. Emotional (Kondisi Emosi) Ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi dari keputusan membeli. Keadaan yang tidak nyaman secara psikologis yang dialami oleh seseorang setelah membeli suatu produk yang dirasakan penting bagi dirinya mengindikasikan bahwa ia sedang mengalami postpurchase dissonance. 2. Wisdom of Purchase (Kebijaksanaan dalam Pembelian) Kesadaran individu setelah melakukan pembelian apakah mereka telah membeli produk yang tepat atau mereka mungkin tidak membutuhkan produk tersebut. Setelah proses pembelian dilakukan, individu dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan seputar keputusan membeli yang telah dilakukan
Universitas Sumatera Utara
apakah keputusan pembelian yang dilakukan memang benar. Jika dia merasa bahwa produk yang telah dibeli adalah tepat dan berguna, maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance. 3. Concern Over Deal (Kesadaran Setelah Pembelian Dilakukan) Kesadaran individu setelah proses pembelian telah dilakukan, apakah mereka telah dipengaruhi oleh agen penjual (sales staff) atau atas dasar pertimbangan sendiri. Pada saat hendak melakukan pembelian, individu yang melakukan keputusan membeli atas dasar pertimbangan sendiri (individu merasa bebas dalam memutuskan pembelian terhadap suatu produk) akan dihadapkan pada informasi- informasi dari luar diri individu. Kondisi ini dapat membuat individu mengalami postpurchase dissonance. Ditambahkan pula oleh Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) bahwa pada pengukuran terhadap tarafpostpurchase dissonance konsumen maka ada sejumlah karakteristik sampel yang harus dipenuhi: 1. Konsumen menganggap keputusan untuk membeli produk tersebut adalah penting bagi dirinya. 2. Ketika membeli produk tersebut konsumen membelinya atas dasar kemauan sendiri tanpa adanya tekanan atau paksaan dari orang lain. 3. Produk tersebut tidak dapat dikembalikan lagi apabila telah dibeli.
Universitas Sumatera Utara
A. 3. Faktor-faktor Postpurchase Dissonance Hawkins. Mothersbaugh, & Best, (2007) menjelaskan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi postpurchase dissonance, yaitu: 1. The degree of commitment or irrevocability of the decision (Derajat Komitmen dan Keputusan yang Tidak Dapat Diubah) Semakin mudah mengubah keputusan, semakin rendah kemungkinan seorang mengalami kebingungan (dissonance). Hal ini dapat terjadi pada saat membeli suatu produk yang memiliki banyak alternatif lainnya dimana masing-masing alternatif memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang relatif sama. Dengan demikian keputusan untuk mengubah pembelian terhadap suatu produk seperti di atas tidak akan mengarah kepada postpurchase dissonance. Keputusan yang telah dibuat tidak mungkin lagi untuk diubah oleh konsumen tersebut.
2. The importance of the decision to the consumer (Tingkat Kepentingan Keputusan oleh Konsumen) Semakin penting keputusan tersebut bagi konsumen, semakin besar kemungkinannya mengalami keraguan (dissonance). Keputusan seperti ini akan membuat seorang konsumen memikirkan secara matang produk yang hendak dibeli sebelum melakukan pembelian. Oleh karena itu keputusan yang salah dalam membeli suatu produk akan mengarah kepada keraguan pasca pembelian (postpurchase dissonance) yang akan dialami oleh konsumen tersebut.
Universitas Sumatera Utara
3. The difficulty of choosing among alternatives (Kesulitan Mengambil Keputusan Diantara Sejumlah Alternatif) Semakin sulit memilih alternatif, semakin tinggi kemungkinan seorang konsumen mengalami dissonance. Hal ini dikarenakan alternatif yang ada tidak menawarkan kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak ada pada produk yang hendak dipilih. Atau dengan kata lain alternatif yang ada tidak dapat menutupi kekurangan yang ada pada produk yang hendak dibeli.
4. The individual’s tendency to experience anxiety (Kecenderungan Individu Merasa Cemas) Beberapa individu memiliki tingkatan atau kecenderungan yang berbeda dalam mengalami rasa cemas. Kecemasan ini dapat disebabkan oleh salah satu trait kepribadian yang dimiliki oleh seorang konsumen yang merupakan bawaan dari lahir (nature) ataupun dikarenakan pengaruh lingkungan (nurture). Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat kecemasan yang dimiliki oleh seorang individu maka semakin tinggi kemungkinannya mengalami postpurchase dissonance.
Universitas Sumatera Utara
B. Harga B. 1. Konsep dan Pengertian Harga Harga (price) menurut Hawkins. Mothersbaugh, & Best, (2007) adalah jumlah uang yang harus dikeluarkan (dibayarkan) oleh konsumen, untuk memperoleh produk barang atau jasa. Tjiptono (2000) menambahkan bahwa harga merupakan satu-satunya unsur bauran pemasaran yang bersifat fleksibel dan memberikan pemasukan
atau
lainnya(produk,
pendapatan
bagi
perusahaan,
distribusi,
dan
promosi)
sedangkan menyebabkan
ketiga
unsur
timbulnya
biaya(pengeluaran). Tjiptono (2000) menyimpulkan bahwa harga memiliki dua peranan utama dalam proses pengambilan keputusan para pembeli yaitu: 1. Peranan alokasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam membantu para pembeli untuk memutuskan cara memperoleh manfaat atau utilitas tertinggi yang diharapkan berdasarkan daya belinya. Dengan demikian, adanya harga dapat membantu para pembeli untuk memutuskan cara mengalokasikan daya belinya pada berbagai jenis barang dan jasa. Pembeli membandingkan harga dari berbagai alternative yang tersedia, kemudian memutuskan alokasi dana yang dikehendaki. 2. Peranan informasi dari harga, yaitu fungsi harga dalam „mendidik‟ konsumen menggenai faktor-faktor produk, seperti kualitas. Hal ini terutama bermanfaat dalam situasi di mana pembeli mengalami kesuilitan untuk menilai faktor
Universitas Sumatera Utara
produk secara objektif. Persepsi yang sering berlaku adalah bahwa harga yang mahal mencerminkan kualitas yang tinggi. B. 2. Faktor dalam menetapkan Harga Menurut Kotler dan Armstrong (dalam Tjiptono, 2000) terdapat dua faktor dalam menetapkan harga yaitu: 1. Faktor Internal Perusahaan a. Tujuan Pemasaran Perusahaan Faktor utama yang menentukan dalam penetapan harga adalah tujuan pemasaran perusahaan. Tujuan tersebut bisa berupa maksimisasi laba, mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, meraih pangsa pasar yang besar, menciptakan kepemimpinan dalam hal kualitas, mengatasi persaingan, melaksanakan tanggung jawab sosial, dan lain-lain. b. Strategi Bauran Pemasaran Harga hanyalah salah satu komponen dari bauran pemasaran. Oleh karena itu, harga perlu dikoordinasikan dan saling mendukung dengan bauran pemasaran lainnya, yaitu produk, distribusi, dan promosi. c. Biaya Biaya merupakan faktor yang menentukan harga minimal yang harus ditetapkan agar perusahaan tidak mengalami kerugian. Oleh karena itu, setiap perusahaan pasti menaruh perhatian besar pada aspek struktur biaya (tetap dan variable), serta jenis-jenis biaya lainnya, seperti out-of-pocket cost, incremental cost, opportunity cost, controllable cost, dan replacement cost.
Universitas Sumatera Utara
2. Faktor Lingkungan Eksternal a. Sifat Pasar dan Permintaan Setiap perusahaan perlu memahami sifat pasar dan permintaan yang dihadapinya, apakah termasuk pasar persaingan sempurna, persaingan monopolistic, oligopoly, atau monopoli. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah elastisitas permintaan. b. Persaingan Terdapat lima kekuatan pokok yang berpengaruh dalam persaingan suatu industry, yaitu persaingan dalam industri yang bersangkutan, produk substitusi, pemasok, pelanggan, dan ancaman pendatang baru. Informasiinformasi yang dibutuhkan untuk menganalisis karakteristik persaingan yang dihadapi antara lain meliputi: 1) Jumlah perusahaan dalam industri Bila hanya ada satu perusahaan dalam industri, maka secara teoretis perusahaan yang bersangkutan bebas menetapkan harganya seberapa pun. Akan tetapi sebaliknya, bila industri terdiri atas banyak perusahaan, maka persaingan harga terjadi. Bila produk yang dihasilkan tidak terdiferensiasi, maka hanya pemimpin industri yang leluasa menentukan perubahan harga. 2) Ukuran relatif setiap anggota dalam industri Bila perusahaan memiliki pangsa pasar yang besar, maka perusahaan yang bersangkutan dapat memegang inisiatif perubahan harga. Bila pangsa pasarnya kecil, maka hanya menjadi pengikut.
Universitas Sumatera Utara
3) Diferensiasi produk Bila perusahaan berpeluang melakukan diferensiasi dalam industrinya, maka perusahaan tersebut dapat mengendalikan aspek penetapan harganya, bahkan sekalipun perusahaan itu kecil dan banyak pesaing dalam industri. 4) Kemudahan untuk memasuki industri yang bersangkutan Bila suatu industri mudah untuk dimasuki, maka perusahaan yang ada sulit mempengaruhi atau mengendalikan harga. Sedangkan bila ada hambatan masuk ke pasar, maka perusahaan yang sudah ada dalam industri tersebut dapat mengendalikan harga. Hambatan masuk ke pasar dapat berupa: a) Persyaratan teknologi b) Investasi modal yang besar c) Ketidaktersediaan bahan baku pokok/utama d) Skala ekonomis yang sudah dicapai perusahaan-perusahaan yang telah ada dan sulit diraih oleh para pendatang baru e) Kendali atas sumber daya alam oleh perusahaan-perusahaan yang sudah ada f) Keahlian dalam pemasaran c. Unsur-unsur Lingkungan Eksternal Lainnya Selain faktor-faktor diatas, perusahaan juga perlu mempertimbangkan faktor kondisi ekonomi (inflasi, resesi, tingkat bunga), kebijakan dan peraturan pemerintah, dan aspek sosial (kepedulian terhadap lingkungan).
Universitas Sumatera Utara
B.3. Persepsi Harga Dari perspektif konsumen, harga adalah apa yang diberikan atau dikorbankan untuk mendapatkan suatu produk (Zeithaml, 1988). Menurut Monroe (1990), harga pada konsumen merupakan salah satu salah satu isyarat yang digunakan konsumen dalam proses persepsi, dimana harga akan mempengaruhi penilaian konsumen tentang suatu produk. Dan pada akhirnya konsumen akan mengevaluasi berbagai alternatif di kriteria yang berbeda pula dan membuat keputusan akhir. Persepsi harga didefinisikan sebagai sesuatu yang diberikan atau dikorbankan untuk mendapatkan jasa atau produk (Zeithaml, 1988). Dalam memandang suatu harga konsumen mempunyai beberapa pandangan berbeda. Harga yang ditetapkan di atas harga pesaing dipandang mencerminkan kualitas yang lebih baik atau mungkin juga dipandang sebagai harga yang terlalu mahal. Sementara harga yang ditetapkan di bawah harga produk pesaing akan dipandang sebagai produk yang murah atau dipandang sebagai produk yang berkualitas rendah (Leliana dan Suryandari, 2004). Harga kerap kali menjadi fokus dalam penelitian konsumen karena kecenderungan berhubungan dengan diagnosis dan dapat digunakan untuk menyimpulkan tentang atribut lainnya seperti kualitas dan nilai (Hoyer& MacInnis, 2010). Schiffman & Kanuk (1994) menyatakan bahwa konsumen melihat harga sebagai indikator kualitas produk. Hoyer & MacInnis (2010) menambahkan bahwa konsumen membuat kesimpulan atas sebuah produk/jasa
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan harganya. Sebagai contoh, ada informasi yang menyatakan bahwa harga dan kualitas berhubungan, sehingga seorang konsumen menyimpulkan bahwa produk dengan harga tinggi mempunyai kualitas yang tinggi pula. Konsumen kerap membuat kesimpulan seperti ini ketika mereka percaya bahwa merek berbeda dalam hal kualitas, dan memilih produk dengan kualitas rendah itu beresiko dan ketika tidak mempunyai informasi tentang kualitas sebuah merk merupakan hal yang beresiko. Hal ini sejalan dengan Hawkins, Mothersbaugh, & Best (2007) yang menambahkan adanya konsep price-perceived quality pada konsumen saat membuat kesimpulan. Price-perceived quality ini berangkat dari peribahasa terkenal “kamu mendapatkan sesuai dengan apa yang kamu bayar.” Konsumen kerap menyimpulkan bahwa barang dengan harga tinggi mempunyai kualitas yang lebih tinggi dibanding barang dengan harga yang rendah. Jacoby dan Olson (1977) membedakan antara harga objektif/objective price dengan harga yang dikodekan oleh konsumen/perceived price. Dickson dan Sawyer (1957) menambahkan konsumen jarang mengingat harga sebenarnya dari suatu produk (objective price). Sebagai gantinya mereka membuat kode harga dalam cara-cara yang mempunyai arti bagi mereka.
Universitas Sumatera Utara
B.4 . Konsep yang berhubungan dengan persepsi Harga Lichtenstein, Ridgway & Netemeyer (1993) menjelaskan lima konstruk yang konsisten dengan persepsi harga dalam peranan negative dan dua konstruk konsisten dengan persepsi harga dalam peran positif telah diidentifikasi, yaitu: a. Negative Role of Price 1. Value Consciousness Persepsi mengenai harga menjadi petunjuk untuk beberapa konsumen dapat dikarakteristikkan sebagai kesadaran atas perbandingan kualitas yang diterima terhadap harga yang sudah dibayar dalam transaksi pembelian. Beberapa peneliti telah mendefenisikan konsep nilai ini, sejalan dengan persepsi yang telah disebutkan. Akibatnya, value consciousness disini mencerminkan kesadaran akan harga yang telah dibayar dengan kualitas yang diterima. 2. Price Consciousness Persepsi mengenai harga menjadi petunjuk untuk beberapa konsumen dapat dikarakteristikkan sebagai pencerminan dari price consciousness itu sendiri. Walaupun istilah price consciousness telah dipakai oleh peneliti yang berbeda untuk menjelaskan beberapa konsep mengenai harga, defenisinya merujuk pada tingkatan dimana konsumen fokus terhadap pembelian di harga yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
3. Coupon proneness Persepsi terhadap harga juga mempunyai peranan negatif yang dihubungkan dengan bagaimana petunjuk harga dipresentasikan. Sejalan dengan pandangan ini, beberapa peneliti mengatakan bahwa penurunan harga dalam bentuk kupon dapat meningkatkan respon konsumen dibandingkan respon terhadap harga nonkupon yang lebih rendah. Penemuan ini mengakibatkan peningkatan penjualan dari harga yang ditawarkan melalui kupon. Coupon proneness diartikan sebagai peningkatan kecenderungan untuk bereaksi terhadap tawaran pembelian karena bentuk kupon mempengarhui evaluasi pembelian secara positif. 4. Sale proneness Alasan yang mirip dengan coupon proneness mengusulkan terhadap beberapa konsumen, peningkatan kepekaan kepada harga dalam peran negartif dihubungkan dengan harga dalam bentuk potongan harga. Karena lebih banyak evaluasi harga yang positif pada harga pembelian dalam bentuk potongan harga, persepsi konsumen terhadap harga mempunyai peranan negative dalam mencerminkan sale proneness. Akibatnya, sale proneness diartikan sebagai peningkatan kecenderungan untuk merespon terhadap penawaran pembelian karenabentuk potongan harga, dimana harga yang diberikan mempengaruhi evaluasi pembelian secara positif.
Universitas Sumatera Utara
5. Price mavenism Persepsi terhadap harga dalam peranannya yang negative dapat berhubungan dengan keinginan untuk diinformasikan mengenai harga pasaran dengan tujuan untuk memberikan informasi kepada orang lain. Pernyataan ini didukung oleh Feick dan Price(1987, p.85), bahwa siapapun yang menunjukkan konsumen dijelaskan
sebagai
market
mavens,
karena
keinginan
mereka
untuk
diinformasikan tentang pasar sehingga mereka dapat meneruskan informasi kepada orang lain. Price mavenism diartikan sebagai tingkatan dimana seorang individu adalah sumber informasi mengenai harga dari banyak produk dan tempat untuk berbelanja di tempat yang harganya paling rendah, memulai diskusi dengan konsumen dan berekasi terhadap permintaan konsumen untuk informasi harga pasaran. b. Positive Role of Price 1. Price-quality schema Untuk beberapa konsumen, petunjuk harga dapat dipersepsikan dalam peranan positif karena disimpulkan bahwa tingkatan harga berhubungan dengan tingkatan kualitas produk secara positif. Untuk konsumen yang mempunyai pandangan seperti ini, mereka melihat harga yang lebih tinggi lebih disukai karena persepi dari peningkatan kualitas. Dalam kenyataanya, jenis konsumen seperti ini lebih
Universitas Sumatera Utara
cenderung membayar dalam harga yang lebih tinggi, perilaku mereka dikatakan sebagai price-seeking. Banyak bukti yang menyatakan harga sebagai indikator dari kualitas produk bervariasi dari situasi dan produk yang sedang dievaluasi, penemuan dari beberapa penelitian juaga mendukung bahwa konsumen cenderung menggunakan harga sebagai indikator umum tentang kualitas produk. Sehingga, price-quality schema adalah kepercayaan umum terhadap berbagai kategori produk bahwa tingkatan petunjuk harga berhubungan secara positif terhadap dtingkatan kualitas produk. 2. Prestige sensitivity Hampir sama dengan persepsi dari petunjuk harga berdasarkan sinyal terhadap pembeli mengenai kualitas produk adalah persepsi terhadap harga berdasarkan kesimpulan tentang bagaimana sinyal tersebut terhadap orang lain mengenai pembeli. Sehingga prestige sensitivity diartikan sebagai persepsi harga berdasarkan perasaan unggul dan status dimana harga yang tinggi merupakan sinyal kepada orang lain terhadap pembeli. C. Perilaku Konsumen Pria Bakshi (2009) mengatakan konsumen pria dalam melihat suatu produk lebih berfokus pada fungsi utama dari pada suatu produk dibanding fungsi sekundernya. Hal ini sangat berbeda dengan perempuan yang dikatakan kegiatan
Universitas Sumatera Utara
berbelanja merupakan kebutuhan sosial. Dalam tahap pencarian informasi, pria cenderung ke tanda-tanda atau petunjuk yang mencolok dan kurang komprehensif dibandingkan perempuan. Kecenderungan pria adalah berfokus pada sumber informasi dan topik tertentu. Block dan Morwitz (1999) mengatakan kemungkinan produk yang sudah dibeli sudah direncanakan sebelumnya lebih rendah terjadi pada pria dibanding wanita. Kecenderungan ini terjadi karena konsumen pria membuat keputusan pembelian berdasarkan kebutuhan saat itu dan sejauh mana barang atau jasa akan memenuhi kebutuhan yang dirasakan. Dalam pengambilan keputusan, pria didominasi oleh fakta dan data dibanding wanita dimana wanita lebih cenderung bereaksi lebih kuat terhada interaksi personal dengan agen penjual. Bakshi (2009) juga menambahkan adanya kecenderungan pria untuk lebih bersifat analitis dan logis pada tahap setelah pembelian, karena pria yang pada umumnya mempunyai fokus pada kualitas nilai dan suatu produk tidak jarang tetap mengevaluasi keputusan pembelian. Hal ini dikarenakan mereka ingin merasakan percaya diri dengan pilihan mereka dan meyakinkan bahwa produk tersebut akan memenuhi kebutuhan mereka. Situmorang (2011), menjelaskan terdapat lima jenis tipe konsumen pria, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Metroseksual Meski banyak yang bilang tipe ini sudah mati, pria kota kaya berumur 20 sampai 50 tahun ini jelas berbelanja, bahkan lebih dari sekedar membeli. Mereka tak hanya mencari barang yang diperlukan, tapi mengisi konsumerismenya dengan makna, kualitas, dan keindahan yang lebih dalam. Misalnya, mereka memandang sandal selop sebagai karya seni, perawawatan tubuh/salon bukan hal yang tabu/memalukan, dsb., penampilan menjadi ciri khas mereka. Berkat metroseksual, pemasaran untuk pria tak akan sama lagi. b. Maturiteen Remaja pria ini lebih pintar, bertanggung jawab, matang, dan pragmatis dibanding remaja pria pada generasi sebelumnya. Pengamat budaya berpendapat kepercayaan diri mereka tumbuh berkat orang tua generasi baby boomer yang memperlakukan anak-anak layaknya teman. Lantaran akrab dengan teknologi, mereka sangat terampil dengan riset online dan kerap bersikap seperti konsultan belanja di rumah. Mereka tak pernah lepas dari internet. Aktivitas para remaja ini pun membuat mereka punya pandangan radikal. Perusahaan yang punya merk seperti Adidas, Sony dan Unilever terbukti sukses menuruti kemauan remaja-remaja ini.
Universitas Sumatera Utara
c. Pria Modern Tidak masuk retro ataupun metro, mereka ada di tengah. Para pria ini adalah konsumen matang usia 20-an dan 30-an tahun, pembeli yang lebih besar dari pada generasi sebelumnya tapi juga gemar olah raga. Mereka merasa nyaman dengan perempuan tapi tidak menganggap belanja dengan wanita itu menyenangkan. Anggap saja begini: pelembab dan gel rambut masih bisa diterima tapi manicure rasanya agak berlebihan. d. Sang Ayah Adakah tipe pria lain yang terabaikan selain mereka? Begitu pria menikah dan punya anak, mereka berhenti belanja. Sekalinya belanja, mereka palingpaling menjadi seperti ayah yang meminta saran anaknya untuk tampil keren. Tapi pra pria ini cenderung berada dalam tahun-tahun pendapatan. Plus, mereka sering terlihat sedang mendorong kereta bayi dan membeli popok, seperti halnya para ibu. e. Retroseksual Jika metroseksual mendukung etos wanita, retroseksual justtru menentang. Para tradisionalis ini telah menjjalani kekacauan kultur dan konsumerisme yang sama dengan pria modern dan metroseksual, tapi retro menolak feminisme dan dengan senang hati menikmati perilaku para tradisonal. Ia merindukan bagaimana segala sesuatu dilakukan pada masa lalu.
Universitas Sumatera Utara
D. Dinamika Postpurchase Dissonance pada konsumen pria dengan faktor hargasebagaipemicu. Proses pembelian produk merupakan proses yang mempunyai beberapa tahapan sampai akhirnya seseorang mengambil keputusan pembelian. Hoyers dan MacInnis (2010) menyatakan bahwa faktor harga merupakan salah satu faktor yang berpengaruh kritis terhadap pengenalan, penggunaan, dan pengambilan keputusan pembelian. Setelah melakukan pembelian, konsumen pada umumnya tetap mengevaluasi keputusan mereka. Hal ini dikarenakan mereka ingin merasa nyaman atas pilihan mereka dan meyakinkan bahwa produk tersebut dapat memenuhi kebutuhan. Kenyamanan yang dicapai konsumen adalah ketika konsumen merasa bahwa apa yang dikeluarkan untuk mendapat sesuatu sama dengan kualitas yang diperoleh dari barang tersebut. Bentuk evaluasi ini membutuhkan pemikiran analitis, yang khususnya dimiliki oleh konsumen pria. Hal ini didukung oleh Bakhsi (2009),dimana konsumen pria cenderung bersifat analitis terhadap keputusan pembelian yang telah diambilnya. Sehingga konsumen pria membandingkan apakah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan kualitas produk yang dia dapatkan. Dimana hal ini kemudian disebut sebagai analisis harga. Harga oleh Jacoby dan Olson (1977) dibedakan antaraobjective price dan perceived price. Objective price merupakan harga aktual (objektif) dan perceived price merupakan harga yang disandikan oleh konsumen. Harga aktual (objektif)
Universitas Sumatera Utara
produk yang ditemukan konsumen akan lebih tinggi, lebih rendah, atau sama dengan harga referensi yang dibuat oleh konsumen, sedangkan harga referensi (reference price) merupakan suatu standar internal yang dibandingkan dengan harga produk yang ditemukan (Lindsey-Mullikin, 2003). Berdasarkan konsep tentang harga referensi (price reference) dapat diketahui bahwa konsumen mengevaluasi harga secara komparatif (Monroe, 2003). Harga referensi dibentuk berdasarkan memori terhadap pengalaman-pengalaman pembelian sebelumnya, persepsi terhadap stimulus yang ada (kontekstual), gabungan dari pengalaman yang berhubungan (temporal), dan informasi dari orang lain (Van Raaij, 1991). Zeithaml (1988) mengatakan konsumen terkadang tidak mengingat objective price dari suatu produk melainkan mereka mengingatnya sebagai harga yang “mahal” atau “murah”.Harga yang dianalisa oleh konsumen pria merupakan perceived price dan menghasilkan berbagai persepsi mengenai harga (price perception). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Lichtenstein, Ridgway & Netemeyer (1993), dimana penelitian tersebut menghasilkan lima konstruk yang konsisten dengan persepsi harga. Bakhsi (2009) menambahkan, adanya kecenderungan pria berfokus pada kualitas produk membuat adanya satu persepsi antara harga dengan kualitas yaitu price-perceived quality. Hal ini didukung oleh studi sebelumnya yang dilakukan oleh Olson dan Jacoby (dalam Chang & Wildt,1994) juga mengindikasikan bahwa persepsi kualitas produk dipengaruhi juga oleh faktor harga dan atributatribut dalam suatu produk. Sawyer dan Dickson (1984) dan Zeithmal (1988)
Universitas Sumatera Utara
menemukan bahwa faktor harga tidak berhubungan dengan persepsi terhadap nilai (value perception) melainkan secara jelas terbukti bahwa adanya hubungan kuat antara faktor harga dan persepsi kualitas (price-perceived quality). Menurut assimilation-contrast theory ketika responden dihadapkan dengan sebuah harga yang baru, harga baru akan dapat diterima respondenatau malah ditolak. Ketika konsumen dihadapkan dengan sebuah harga diluar kisaran level kesesuaian yang ia miliki atau level of acceptance terhadap harganya maka konsumen tersebut akan mengalami cognitive dissonance. Festinger (1957) mencetuskan teori cognitive dissonance, menyediakan suatu kerangka berpikir yang berguna untuk mengevaluasi keadaan-keadaan, dimana konsumen menemukan bahwa harga yang sudah dibayarkan ternyata berbeda dengan reference price, sehingga membentuk dissonance. Disonansi yang terbentuk akibat keputusan pembelian disebut sebagai postpurchase dissonance.Postpurchase Dissonance merupakan salah satu bentuk cognitive dissonance, dimana seseorang mengalami ketidaknyamanan psikologis berupa kecemasan atau keraguan pasca pembelian karena ketidaksesuaian antara ekspektasi dengan kenyataan produk (Schiffman dan Kanuk, 2000). Faktor harga yang menjadi salah satu indikator kualitas produk, dimana hal ini merupakan fokus pada konsumen pria sehingga membuat suatu bentuk analisis terhadap faktor tersebut. Dimana di saat reference price tidak sesuai dengan perceived price makan konsumen pria akan mengalami postpurchase dissonance.
Universitas Sumatera Utara
Kerangka Teoritis Faktor Harga
Pembelian
Analisa Harga Konsumen Pria: -
-
-
Fokus pada kualitas dan efisiensi produk Cenderung untuk kebutuhan pada saat itu Kecenderun gan sebagai makhluk ekonomis
Postpurchase Dissonance
Price perception (Lichtenstein, Ridgway, & Netemeyer, 1993)
Dimensi PPD (Sweeney, Hausknecht, & Soutar, 2000):
Dinamika Postpurchase dissonance pada konsumen pria dengan faktor harga sebagai pemicu. Universitas Sumatera Utara