BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Kompetensi Guru Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do and think…”.
Pendapat
tersebut
mengisyaratkan
bahwa
perubahan
dan
pembaharuan sistem pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. atau dengan kata lain bergantung pada penguasaan kompetensi guru. Jika diamati lebih jauh tentang realita kompetensi guru saat ini agaknya masih beragam. Sudarwan Danim (2002) mengungkapkan bahwa salah satu ciri krisis pendidikan di Indonesia adalah guru belum mampu menunjukkan kinerja (work performance) yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh derajat penguasaan kompetensi yang memadai, oleh karena itu perlu adanya upaya yang komprehensif guna meningkatkan kompetensi guru. Sementara yang dimaksud dengan kompetensi menurut Louise Moqvist (2003) mengemukakan bahwa “competency has been defined in the light of actual circumstances relating to the individual and work”. Sementara itu, dari Trainning
Agency
sebagaimana
disampaikan
Len
Holmes
(1992)
yang
menyebutkan bahwa : ” A competence is a description of something which a person who works in a given occupational area should be able to do. It is a description of an action, behaviour or outcome which a person should be able to demonstrate.” Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi pada dasarnya merupakan gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat dilakukan (be able to do) seseorang dalam suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau ditunjukkan. Agar dapat melakukan (be able to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja seseorang
harus memiliki kemampuan (ability) dalam bentuk pengetahuan (knowledge), sikap
(attitude)
dan
keterampilan
(skill)
yang
sesuai
dengan
bidang
pekerjaannya. Mengacu pada pengertian kompetensi di atas, maka dalam hal ini kompetensi guru dapat dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang seyogyanya
dapat
dilakukan
seseorang
guru
dalam
melaksanakan
pekerjaannya, baik berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil yang dapat ditunjukkan. Lebih jauh, Joni sebagaimana dikutip oleh Suyanto dan Hisyam (2000) mengemukakan tiga jenis kompetensi guru, yaitu (1) Kompetensi profesional;
memiliki
pengetahuan
yang
luas
dari
bidang
studi
yang
diajarkannya, memilih dan menggunakan berbagai metode mengajar di dalam proses
belajar
mengajar
yang
diselenggarakannya,
(2)
Kompetensi
kemasyarakatan; mampu berkomunikasi, baik dengan siswa, sesama guru, maupun masyarakat luas, (3) Kompetensi personal; yaitu memiliki kepribadian yang mantap dan patut diteladani. Sementara
itu,
dalam
perspektif
kebijakan
pendidikan
nasional,
pemerintah telah merumuskan empat jenis kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional
Pendidikan,
yaitu,
(1)
Kompetensi
pedagogik
yaitu
merupakan kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (b) pemahaman terhadap peserta
didik;
(c)pengembangan
kurikulum/
silabus;
(d)
perancangan
pembelajaran; (e) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (f) evaluasi
hasil
belajar;
mengaktualisasikan
dan
berbagai
(g)
pengembangan
potensi
yang
peserta
dimilikinya,
(2)
didik
untuk
Kompetensi
kepribadian yaitu merupakan kemampuan kepribadian yang: (a) mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; (h) mengevaluasi kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan, (3) Kompetensi sosial yaitu merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk : (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan teknologi
komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar, (4) Kompetensi
profesional
merupakan
kemampuan
penguasaan
materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur, dan metoda keilmuan/teknologi/seni yang menaungi/koheren dengan materi ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional. Secara esensial, ketiga pendapat di atas tidak menunjukkan adanya perbedaan
yang
prinsipil.
Letak
perbedaannya
hanya
pada
cara
pengelompokkannya. Isi rincian kompetensi pedagodik yang disampaikan oleh Depdiknas, menurut Joni sudah teramu dalam kompetensi profesional. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut guru untuk
senantiasa
melakukan
berbagai
peningkatan
dan
penyesuaian
penguasaan kompetensinya. Guru harus harus lebih dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran siswa. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai
informasi
dan
pengetahuan
yang
sedang
berkembang
dan
berinteraksi dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah siswanya. Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional. Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari siswa, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu, guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung
terhadap
efektivitas
pembelajaran
yang
dilaksanakannya,
sehingga dengan dukungan hasil penelitian guru tidak terjebak pada praktek pembelajaran
yang
menurut
asumsi
mereka
sudah
efektif,
namum
kenyataannya justru mematikan kreativitas para siswanya. Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir memungkinkan guru untuk melakukan pembelajaran yang bervariasi dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui optimalisasi peran kepala sekolah. Anwar dan Amir (2000) mengemukakan bahwa “kepala sekolah sebagai pengelola memiliki tugas mengembangkan kinerja personel, terutama meningkatkan kompetensi profesional guru.” Perlu digarisbawahi bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional di sini, tidak hanya berkaitan dengan penguasaan materi semata, tetapi mencakup seluruh jenis dan isi kandungan kompetensi sebagaimana telah dipaparkan di atas. 2.2. Profesionalisme Guru Guru profesional memiliki kemampuan mengorganisasikan lingkungan belajar yang produktif. Kata “ profesi “ secara terminologi diartikan suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dengan titik tekan pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental yang dimaksud disini
adalah ada persyaratan pengetahuan teoritis
sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis. Dalam Undang-Undang No 14tahun 2005, kata profesional diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dean menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Profesionalisasi
merupakan
proses
peningkatan
kualifikasi
atau
kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari penampilan atau perbuatan yang diinginkan profesinya itu.
Profesionalisasi mengandung makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status
dan
peningkatan
kemampuan
praktis.Peningkatan
status
dan
peningkatan kemampuan praktis ini harus sejalan dengan tuntutan tugas yang diemban sebagai guru. Sebagai tenaga profesional, guru di tuntut memvalidasi ilmunya, baik melalui
belajar
pengembangan
sendiri yang
maupun
dilembagakan
melalui oleh
program
pemerintah
pembinaan atau
dan
masyarakat.
Pembinaan merupakan upaya peningkatan profesionalisme guru yang dapat dilakukan melalui kegiatan seminar, pelatihan, dan pendidikan. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) disahkan pada Desember 2005, sertifikasi menjadi istilah yang sangat populer dan menjadi topik pembicaraan yang hangat pada setiap pertemuan, baik di kalangan akademisi, guru maupun masyarakat. Dengan diberlakukan UUGD minimal memiliki tiga fungsi. Pertama sebagai landasan yuridis bagi guru dari perbuatan semena-mena dari siswa, orang tua dan masyarakat. Kedua untuk meningkatkan
profesionalisme
guru.
Ketiga
untuk
meningkatkan
kesejahteraan guru. Baik yang berstatus sebagai pegawai negeri (PNS) ataupun non PNS. Guru sebagai agen pembelajaran di Indonesia diwajibkan memenuhi tiga persyaratan seperti dijelaskan oleh Muchlas Samani (2006:7), yaitu kualifikasi pendidikan
minimum,
kompetensi,
dan
sertifikasi
pendidik.
Ketiga
persyaratan untuk menjadi guru sesuai dengan Pasal 1 butir (12) Undangundang Guru dan Dosen yang menyebutkan bahwa sertifikat pendidik merupakan bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Sementara itu, pada Pasal 11 ayat (1) juga disebutkan bahwa sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Untuk itu, guru dapat memperoleh sertifikat pendidik jika telah memenuhi dua syarat, yaitu kualifikasi pendidikan minimum yang ditentukan
(diploma-D4/sarjana
S1)
dan
terbukti
telah
menguasai
kompetensi tertentu. Untuk itu, sebenarnya syarat untuk menjadi guru bila dicermati lebih dalam hanya ada dua, yaitu kualifikasi akademik minimum
(ijazah D4/S1) dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat di atas, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru. Guru memiliki peran yang strategis dalam bidang pendidikan, bahkan sumberdaya pendidikan lain yang memadai seringkali kurang berarti apabila tidak disertai dengan kualitas guru yang memadai. Begitu juga yang terjadi sebaliknya, apabila guru berkualitas kurang ditunjang oleh sumberdaya pendukung yang lain yang memadai, juga dapat menyebabkan kurang optimal kinerjanya. Dengan kata lain, guru merupakan ujung tombak dalam upaya peningkatan kualitas layanan dan hasil pendidikan. Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru (Beeby, 1969). Untuk itu, peningkatan kualitas pendidikan harus
dilakukan
melalui
upaya
peningkatan
kualitas
guru.
Namun,
kenyataan menunjukkan bahwa kualitas guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah. Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal tersebut akan semakin besar persentasenya bila dilihat dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru yang dituntut oleh PP No. 19/2005 tentang SNP. Di samping itu, pada Pasal 28 PP tersebut, juga mempersyaratkan seorang guru harus memenuhi kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan anak usia dini, dasar, dan
menengah.
Kompetensi
sebagai
agen
pembelajaran
ini
meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Isi Pasal 1 butir (11) UUGD menyebutkan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen. Tentu saja dengan logika bahwa yang bersangkutan terbukti telah menguasai kedua hal yang
dipersyaratkan
di
atas
(kualifikasi
pendidikan
minimum
dan
penguasaan kompetensi guru). Untuk kualifikasi pendidikan minimum, buktinya dapat diperoleh melalui ijazah (D4/S1). Namun sertifikat pendidik
sebagai bukti penguasaan kompetensi minimal sebagai guru harus dilakukan melalui suatu evaluasi yang cermat dan komprehensif dari aspek-aspek pembentuk sosok guru yang kompeten dan profesional. Tuntutan evaluasi yang cermat dan komprehensif ini berlandaskan pada isi Pasal 11 ayat (3) UUGD yang menyebutkan bahwa sertifikasi pendidik dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel. Jadi sertifikasi guru dari sisi proses akan berbentuk uji kompetensi yang cermat dan komprehensif. Jika seorang guru/calon guru dinyatakan lulus dalam uji kompetensi ini, maka dia berhak memperoleh sertifikat pendidik. Sertifikasi guru bertujuan untuk menentukan tingkat kelayakan seorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Adapun manfaat uji sertifikasi sebagai berikut. Pertama, melindungi profesi guru dari praktik layanan pendidikan yang tidak kompeten sehingga dapat merusak citra profesi guru itu sendiri. Keduai,
melindungi
masyarakat
dari
praktik
pendidikan
yang
tidak
berkualitas dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas pendidikan dan penyiapan sumberdaya manusia di negeri ini. Ketiga, menjadi wahana penjamin mutu bagi LPTK yang bertugas mempersiapkan calon guru dan juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan. Keempat, menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Wacana yang berkembang dalam penyusunan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) Guru, uji kompetensi tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu: (1) ujian tertulis dan (2) ujian kinerja. Untuk melengkapi kedua jenis tersebut, peserta sertifikasi juga akan diminta untuk menyusun self appraisal dan portofolio. Dengan demikian, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan
kehidupan
yang
memerlukan
keahlian,
kemahiran
atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Untuk meyakinkan bahwa guru sebagai pekerjaan profesional maka syarat pokok pekerjaan profesional menurut Sanjaya (2005): (1) pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang
sesuai,
sehingga
kinerjanya
didasarkan
kepada
keilmuan
yang
dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; (2) suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas; (3) tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat
keahliannya
dengan
demikian
semakin
tinggi
pula
tingkat
penghargaan yang diterimanya; (4) suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan. Melalui sertifikasi diharapkan dapat dipilah mana guru yang profesional mana yang tidak sehingga yang berhak menerima tunjangan profesi adalah guru
profesional
yang
bercirikan
berilmu
pengetahuan,
berwibawa dan menguasai bidang yang ditekuninya. 2.3. Strategi Pengembangan Profesionalisme Guru
berlaku
adil,
Menurut Mamus (2002:31) strategi didefinisikan sebagai suatu proses penentuan rencana para pemimpin puncak yang berfokus pada tujuan jangka panjang organisasi di sertai penyusunan suatu cara atau upaya bagaimana agar tujuan tersebut dapat di capai. Selanjutnya Quinn (1999:10) mengartikan strategi adalah suatu bentuk atau rencana yang mengintegrasikan tujuantujuan utama, kebijakan-kebijakan dan rangkaian tindakan dalam suatu organisasi menjadi suatu kesatuan yang utuh. Strategi yang diformulasikan dengan baik akan membantu penyusunan dan pengalokasian sumber daya yang dimiliki perusahaan menjadi suatu bentuk yang unik dan dapat bertahan. Dari kedua pendapat di atas maka strategi dapat diartikan sebagai suatu rencana yang disusun oleh manajemen puncak untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Strategi dapat diartikan sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi untuk sampai pada tujuan. Strategi pengembangan profesionalisme guru adalah suatu cara atau upaya yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi dalam mengembangkan profesionalitas guru. Profesi keguruan mempunyai tugas utama melayani masyarakat dalam dunia pendidikan. Profesionalisasi dalam bidang keguruan mengandung arti peningkatan segala daya dan usaha dalam rangka pencapaian secara optimal layanan yang akan diberikan kepada masyarakat. Untuk meningkatkan mutu pendidikan saat ini, maka profesionalisasi guru merupakan suatu keharusan. Pengembangan memelihara,
profesionalisme
dan
masalah-masalah
guru
meningkatkan pendidikan
dimaksudkan
kompetensi
dan
guru
pembelajaran
untuk
merangsang,
dalam
memecahkan
yang
berdampak
pada
peningkatan mutu hasil belajar siswa. Strategi pengembangan profesionalisme guru secara berkelanjutan sebagaimana pendapat Maister (1997) dapat dilakukan dengan berbagai strategi, antara lain sebagai berikut: Pertama, berpartisipasi di dalam pelatihan berbasis kompetensi. Bentuk pelatihan yang fokusnya adalah keterampilan tertentu yang dibutuhkan oleh guru untuk melaksanakan tugasnya secara efektif. Pelatihan ini
cocok dilaksanakan pada salah satu bentuk pelatihan pre-service atau in-service. Model pelatihan ini berbeda dengan pendekatan pelatihan yang
konvensional,
karena
penekanannya
leibh
kepada
evaluasi
performan nyata suatu kompetensi tertentu dari peserta latihan. Kedua, berpartisipasi di dalam kursus dan program pelatihan tradisional (termasuk di dalamnya pendidikan lanjut). Workshop in-service, seminar, perkuliahan tingkat sarjana/pasca sarjana, konferensi adalah bentukbentuk pilihan pelatiahn yang sudah lama ada dan diakui cukup bernilai. Walaupun disadari bahwa berbagai bentuk kursus/pelatihan tradisional ini seringkali tidak dapat memenuhi kebutuhan praktis dari pekerjaan guru. Oleh karena itu, suatu kombinasi antara materi akademis dengan pengalaman lapangan akan sangat efektif untuk pengembangan kursus/pelatihan trandisional ini. Sementara itu, sebagai bagian dari pelatihan tradisional, guru juga dapat mengambangkan profesionalismenya melalui pendidikan lanjut di universitas/LPTK. Ketiga, membaca dan menulis jurnal atau makalah ilmiah lainnya. Sebagaimana diketahui bahwa jurnal atau bentuk makalah ilmiah lainnya secara berkesinambungan diproduksi oleh individual pengarang, lembaga pendidikan maupun lembaga-lembaga lain. Jurnal atau bentuk karya ilmiah lainnya tersebut tersebar dan dapat ditemui diberbagai pusat
sumber
belajar
(perpustakaan,
internet,
dan
sebagainya).
Walaupun artikel dalam jurnal cenderung singkat, tetapi ia mengarahkan pembacanya kepada konsep-konsep baru dan pandangan untuk menuju kepada perencanaan dan penelitian baru. Ia juga memiliki kolom berita yang
berkaitan
dengan
pertemuan,
pameran,
seminar,
program
pendidikan, dan sebagainya yang mungkin menarik bagi guru. Oleh karenanya, dengan membaca dan memahami banyak jurnal atau makalah ilmiah lainnya dalam bidang pendidikan yang terkait dengan profesi guru, maka guru dengan sendirinya dapat mengembangkan profesionalisme dirinya. Selanjutnya dengan meningkatnya pengetahuan seiring
dengan
bertambahnya
pengalaman,
guru
mungkin
dapat
membangun konsep baru, keterampilan khusus dan alat/media belajar untuk dapat kontribusikan kepada orang satu profesi atau profesi lain yang memerlukan. Kontribusi tersebut dimungkinkan dalam bentuk penulisan artikel/makalah karya ilmiah yang sangat bermanfaat bagi pengembangan profesional guru bersangkutan maupun orang lain. Keempat, berpartisipasi di dalam kegiatan konferensi atau pertemuan ilmiah. Konferensi atau pertemuan ilmiah memberikan makna penting untuk menjaga kemutakhiran (up to date) hal-hal yang berkaitan dengan profesi guru. Tujuan utama kebanyakan konferensi atau pertemuan ilmiah adalah menyajikan berbagai informasi dan inovasi terbaru di dalam suatu bidang tertentu. Partisipasi guru minimal pada kegiatan konferensi atau pertemuan ilmiah setiap tahun akan memberikan kontribusi yang berharga dalam membangun profesionalisme guru dalam melaksanakan tanggungjwabnya penyampaian makalah utama, kegiatan diskusi kelompok kecil, pameran ilmiah, informasi pertemuan untuk bertukar pikiran atau ide-ide baru, dan sebagainya saling berintegrasi untuk memberikan kesempatan kepada guru untuk memimpin atau menjadi presenter dan bertukar ide-ide dengan lainnya, sehingga guru akan menjadi lebih aktif di dalam komunitas ilmiahnya. Selain itu, menghadiri
konferensi
atau
pertemuan
ilmiah
juga
memberikan
kesempatan kepada guru untuk membangun jaringan kerjasama dengan orang lain yang seprofesi atau tidak untuk saling bertukar permasalahan dan mencapai keberhasilan. Sasaran/program
pengembangan
tenaga
pendidik
(guru).
Sasaran
(tujuan jangka pendek atau tujuan situasional) dari pengembangan tenaga pendidik ini adalah terwujudnya peningkatan kompetensi dan profesi tenaga pendidik (guru)
sesuai dengan Standart Nasional Pendidikan sehingga
program-program yang dapat dikembangkan antara lain (1) peningkatan kompetensi guru bidang pengembangan KTSP, (2) peningkatan kompetensi guru bidang manajemen pembelajaran, (3) peningkatan kompetensi guru bidang pengembangan strategi pembelajaran (CTL, Mastery Learning, PAKEM),
(4) Peningkatan kompetensi guru bidang pengembangan media pembelajaran, (5) peningkatan kompetensi guru dalam ICT (Computer, Internet, dan Perangkat
ICT
lainnya),
(6)
peningkatan
kompetensi
dalam
PTK,
(7)
peningkatan kompetensi dalam bidang bahasa Inggris, dan sebagainya. Strategi yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sasaran-saran tersebut antara lain: (1) melaksanakan workshop/pelatihan secara internal di sekolah, (2) mengirimkan guru dalam MGMP, (3) melaksanakan kerjasama dalam LPMP, (4) melaksanakan in house training, (5) melaksanakan kerja sama dengan lembaga/instansi lain, khususnya dalam peningkatan guru bidang ICT, (6) melaksanakan magang dan kunjungan ke sekolah lain, (7) melaksanakan kerjasama dengan LPTI, perguruan tinggi, dan sebagainya. Di dalam bukunya berjudul “The Management of Training: A Handbook for
Training
and
Development
Personel”,
Otto
dan
Glaser
(1970),
mengemukakan model pengembangan strategi latihan. Model ini terdiri dari lima langkah. Pertama, menganalisis masalah latihan. Kedua,
merumuskan
dan mengembangkan tujuan-tujuan latihan. Ketiga, memiliki bahan latihan, bahan belajar, metode dan teknik latihan. Keempat, menyusun kurikulum dan unit, mata latihan, dan topik latihan. Kelima, menilai, hasil latihan. Menurut Mathis (2002) , pelatihan adalah suatu proses dimana orangorang mencapai kemampuan tertentu untuk membantu mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu, proses ini terikat dengan berbagai tujuan organisasi, pelatihan dapat dipandang secara sempit maupun luas. Secara terbatas, pelatihan menyediakan para pegawai dengan pengetahuan yang spesifik
dan
dapat
diketahui
serta
keterampilan
yang
digunakan
dalam pekerjaan mereka saat ini. Terkadang ada batasan yang ditarik antara pelatihan dengan pengembangan
yang bersifat lebih luas dalam cakupan
serta memfokuskan pada individu untuk mencapai kemampuan baru yang berguna baik bagi pekerjaannya saat ini maupun di masa mendatang. Pelatihan
didefinisikan
oleh
Ivancevich
sebagai
“usaha
untuk
meningkatkan kinerja pegawai dalam pekerjaannya sekarang atau dalam
pekerjaan lain yang akan dijabatnya segera”. Selanjutnya, sehubungan dengan definisinya tersebut, Ivancevich (2008) mengemukakan sejumlah butir penting yang diuraikan di bawah ini: Pelatihan (training) adalah “sebuah proses sistematis untuk mengubah perilaku kerja seorang/sekelompok pegawai dalam usaha meningkatkan kinerja organisasi”. Pelatihan terkait dengan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk pekerjaan yang sekarang dilakukan. Pelatihan berorientasi ke masa sekarang dan membantu pegawai untuk menguasai keterampilan dan kemampuan (kompetensi) yang spesifik untuk berhasil dalam pekerjaannya. Dalam penelitian ini model pengembangan strategi yang digunakan adalah model yang dikemukakan oleh Otto dan Glaser, yang terdiri dari lima langkah. Pertama, menganalisis masalah latihan. Kedua, merumuskan dan mengembangkan tujuan-tujuan latihan. Ketiga, memiliki bahan latihan, bahan belajar, metode dan teknik latihan. Keempat, menyusun kurikulum dan unit, mata latihan, dan topik latihan. Kelima, menilai hasil latihan. Langkahlangkah dalam model ini akan dikembangkan sebagai desain produk dalam meningkatkan pemahaman konten materi pembelajaran bagi guru-guru di SMA Negeri 1 Sarmi. 2.4 Penelitian yang Relevan Dalam penelitiannya yang berjudul “ Peningkatan Hasil Belajar Menulis Teks Recountsiswa Kelas VIII B SMPN 1 Pecangaan dengan Strategi Workshop Writing melalui Media Facebook ”, Bambang Dwi Joko, 2013,
menunjukkan bahwa terjadi
peningkatan yang cukup signifikan pada hasil belajar siswa SMP tersebut. Sementara dalam penelitiannya yang berjudul “ Pelatihan Menggambar Kreatif bertema Konservasi”
Utomo , 2013, menunjukkan bahwa ada peningkatan
yang efektif dalam membentuk guru yang profesional melalui workshop atau pelatihan. Dalam penelitian lainnya yang berjudul “Penerapan Model Writing Workshop Untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Bahasa Inggris Siswa Kelas Xii Ips
Sman 11 Bandung”
Isye Mulyani, 2013, menyebutkan bahwa melalui
Writing Workshop dapat meningkatkan kemampuan menulis, mengaktifkan siswa, membuat proses pembelajaran yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamnis dan dialogis. Dari ketiga penelitian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa melalui workshop, dapat meningkatkan hasil yang ingin dicapai namun dalam penelitian yang lain melalui workshop belum dapat mencapai hasil yang optimal. Dengan demikian menarik untuk dikaji lebih lanjut apakah melalui workshop dapat meningkatkan penguasaan konten materi pembelajaran bagi guru-guru di SMA Negeri 1 Sarmi.