6
BAB II LANDASAN TEORI
A.
Konsep Pendapatan dan Beban Menurut Akuntansi 1.
Pendapatan Menurut Akuntansi Suatu perusahaan didirikan untuk memperoleh pendapatan yang
sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang relatif kecil. Istilah pendapatan dan beban menurut Hendriksen diterjemahkan oleh Marianus Sinaga dalam Akuntansi keuangan (2001 : 181) adalah sebagai berikut : Sebuah konsep arus, dimana pendapatan adalah arus masuk atau perluasan aktiva suatu perusahaan atau pembayaran hutang atau kombinasi keduanya selama satu periode yang berasal dari pengiriman atau produksi barang, pemberi jasa atau aktivitas lainnya yang merupakan operasi pokok suatu perusahaan. Sedangkan beban adalah arus keluar atau pemakaian aktiva atau pemunculan hutang atau kombinasi keduanya selama suatu periode yang berasal dari pengiriman atau produksi barang, pemberi jasa atau aktivitas lainnya yang merupakan operasi pokok suatu perusahaan.
Dalam kepustakaan akuntansi ditemukan dua pendekatan terhadap konsep pendapatan. Satu diantaranya berfokus pada arus masuk aktiva sebagai hasil kegiatan operasi perusahaan dan yang lainnya berfokus pada penciptaan barang dan jasa oleh perusahaan serta penyalurannya kepada konsumen atau produsen lainnya. Konsep dasar pendapatan adalah bahwa pendapatan yang merupakan proses arus, yaitu penciptaan barang dan jasa oleh perusahaan selama jarak
7
waktu tertentu. Beberapa definisi serupa juga menyatakan secara tersirat bahwa produk itu harus meninggalkan perusahaan (konsep arus keluar). Standar Akuntansi Keuangan No. 23 mendefinisikan pendapatan sebagai arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Tujuannya adalah untuk mengatur perlakukan akuntansi dibidang pendapatan yang timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi tertentu. Menurut Standar Akuntansi Keuangan, pendapatan timbul dari transaksi dan peristiwa ekonomi sebagai berikut : a. Penjualan barang, b. Penjualan jasa, c. Penggunaan aktiva perusahaan oleh pihak-pihak lain yang menghasilkan bunga, royalti dan deviden.
Pendapatan dari penjualan barang harus diakui bila seluruh kondisi berikut dipenuhi : a. Perusahaan telah memindahkan resiko secara signifikan dan telah memindahkan manfaat kepemilikan barang kepada pembeli. b. Perusahaan tidak lagi mengelola atau melakukan pengendalian efektif atas barang yang dijual, c. Jumlah pendapatan tersebut dapat diukur dengan andal,
8
d. Besar kemungkinan manfaat ekonomi yang dihubungkan dengan transaksi akan mengalir kepada perusahaan tersebut, e. Biaya yang terjadi atau yang akan terjadi sehubungan dengan transaksi penjulan dapat diukur dengan modal.
2.
Beban Menurut Akuntansi Menurut akuntansi, pendapatan berkaitan dengan beban karena beban
merupakan pengorbanan yang harus dilakukan untuk memperoleh pendapatan. Berdasarkan Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, definisi beban adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk kas keluar atau berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanaman modal tetapi mencakupi baik kerugian maupun beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa. Beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa meliputi, misalnya : beban pokok penjualan, gaji dan penyusutan. Dalam Standar Akuntansi Keuangan, pengertian beban dirumuskan sebagai biaya yang secara langsung telah dimanfaatkan didalam usaha menghasilkan pendapatan dalam suatu periode atau yang sudah tidak memberikan manfaat ekonomis dimasa berikutnya.
9
B.
Konsep Pendapatan dan Beban Menurut Perpajakan 1.
Pendapatan Menurut Perpajakan Definisi penghasilan menurut perpajakan adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk didalamnya : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang, pensiun dan atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan dalam Undang-undang ini, b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan penghargaan, c. Laba usaha, d. Keuntungan karena penjualan atau karena penghasilan harta, e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, f. Bunga termasuk premium, diskon, dan imbalan karena jaminan pengembalian hutang, g. Deviden dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi, h. Royalti, i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
10
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala, k. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah, l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing, m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, n. Premi asuransi, o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Dilihat dari tambahan sumber ekonomis kepada Wajib Pajak, penghasilan dapat dikelompokan menjadi sebagai berikut : a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara dan sebagainya, b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan, c. Penghasilan dari modal, yang berupa harga bergerak ataupun harta yang tidak bergerak seperti bunga, deviden, royalti, sewa, keuntungan penjulan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha dan sebagainya, d. Penghasilan lain-lain seperti pembebasan hutang, hadiah dan lain-lain sebagainya.
11
Dengan demikian, pengertian pendapatan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan mempunyai cakupan lebih luas dibandingkan dengan pengertian pendapatan menurut PSAK. Setiap tambahan kemampuan ekonomis baik yang diterima atau diperoleh dari usaha atau di luar usaha, tetap dianggap sebagai penghasilan oleh
Undang-undang
Perpajakan
sehingga
akan
dikenakan
Pajak
Penghasilan.
2.
Beban Menurut Perpajakan Menurut Undang-undang Perpajakan, beban adalah pengorbanan yang
dilakukan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Dengan kata lain adalah komponen pengurang yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yang penghasilannya merupakan objek pajak.
C.
Pajak Penghasilan Badan Pengertian Badan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah di ubah terakhir dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 didefinisikan sebagai Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha
12
Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya termaksud kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
1.
Subjek Pajak Badan Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia
ataupun di luar Indonesia. Salah satu subjek pajak PPh Badan menurut Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, dapat dibedakan menjadi : a. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. WP Badan dalam negeri kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia (Pasal 2 ayat 3 dan Pasal 2 Undang-undang PPh).
b. Wajib Pajak Badan Luar Negeri Badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
13
Kewajiban pajak subjektif Badan Luar Negeri dimulai pada saat badan tersebut menjalankan usaha melalui BUT atau pada saat menerima dan memperoleh penghasilan. Sedangkan berakhir sebagai subjek pajak pada saat badan tersebut tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia (Pasal 2 ayat 4 huruf b dan Pasal 24 ayat 4 Undang-undang PPh).
2.
Objek Pajak Badan Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 menyatakan bahwa objek pajak adalah tambahan kekayaan neto yang berasal dari kekayaan yang belum dikenak an pajak. a. Objek Pajak Badan Berdasarkan Sunbernya 1. Objek Pajak Badan Dalam Negeri Semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan dengan prinsip WWI (Wird Wide Income), yang diterimanya baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
2. Objek Pajak Badan Luar Negeri (BUT maupun WP LN bukan BUT)
14
b. Objek Pajak Badan Berdasarkan Mengalirnya Penghasilan 1. Penghasilan dari luar usaha/kegiatan pokok/penghasilan teratur Wajib Pajak Badan yaitu berupa : a. Laba usaha, b. Premi asuransi (yang diterima perusahaan asuransi), c. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, d. Hadiah dari pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan. 2. Penghasilan dari luar usaha atau luar kegiatan pokok atau penghasilan tidak teratur.
Selain Objek Pajak, terdapat juga mengenai pengenaan PPh secara final yang mengandung arti bahwa atas penghasilan yang diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak tertentu pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang dikenakan, baik yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang dikenakan PPh final ini tidak akan di hitung lagi PPhnya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan penghasilan lainnya. Berikut ini merupakan
15
penghasilan-penghasilan yang dikenakan PPh Final berdasarkan Undangundang PPh Pasal 4 ayat 2 : a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara dan bunga simpanan yang akan dibayarkan oleh kopersi kepada anggota koperasi orang pribadi, b. Penghasilan berupa hadiah undian, c. Penghasilan dari transaksi dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura, d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan usaha jasa konstruksi, usaha real estate dan persewaan tanah dan atau bangunan, e. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Di dalam Pasal 4 ayat 3 pun terdapat jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek Badan yaitu: a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
16
b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihakpihak yang bersangkutan. c. Warisan. d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal. e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah. f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan dan 2. Bagi perseroan terbatas, BUMN/ BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
17
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi. k. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh reksa dana selama lima tahun pertama sejak tanggal pendirian atau tanggal kontrak. l. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : a. merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor
usaha
yang
ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dan b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia
18
3.
Tarif Pajak Badan a. Pajak Penghasilan Pasal 28A (Lebih Bayar) Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak (Pajak yang dilunasi dalam tahun berjalan), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya.
b. Pajak Penghasilan Pasal 29 (Kurang Bayar) Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain dan yang telah disetor sendiri. PPh Pasal 29 harus disetor menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lambat sebelum SPT Tahunan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak. Kode jenis setoran PPh Pasal 29 untuk wajib pajak badan adalah 411126-200.
c. Pajak Penghasilan Pasal 25 Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar
Pajak
Penghasilan
yang
terutang
menurut
Surat
19
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan :
1. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, 2. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Angsuran Pajak PPh Pasal 25 dibayarkan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikut, dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikut.
Tarif Pajak PPh Pasal 25/29 untuk Wajib Pajak Badan untuk Tahun Pajak 2011 adalah sebagai berikut :
a. Berdasarkan pasal 17 Undang-undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan : Wajib Pajak Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 25% (dua puluh delapan persen) dikalikan Penghasilan Kena Pajak.
b. Berdasarkan pasal 31 E Undang-undang No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan :
20
Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah).
c. Untuk keperluan penerapan tarif pajak jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
Penerapan Tarif PPh Badan Tahun 2011 dalam perhitungan PPh Terutang : a. Untuk peredaran usaha bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000, tarif PPh Badan dikenakan sebesar 25% x 50% x Penghasilan Kena Pajak. b. Untuk peredaran usaha diatas Rp 4.800.000.000,- Sampai dengan Rp 50.000.000.000,- tarif PPh Badan dikenakan sebesar: 1. Bagian
peredaran
usaha
bruto
sampai
dengan
Rp
4.800.000.000,25% x 50% x Penghasilan Kena Pajak (bagian Peredaran Usaha Bruto Rp 4.800.000.000,-
21
2. Bagian peredaran usaha bruto diatas Rp 4.800.000.000,- Sampai dengan Rp 50.000.000.000,25% x Penghasilan Kena Pajak (bagian peredaran usaha bruto diatas Rp 4.800.000.000,- Sampai dengan Rp 50.000.000.000,-) c. Untuk peredaran usaha bruto diatas Rp 50.000.000.000,- tarif PPh Badan dikenakan sebesar : 25% x Penghasilan Kena Pajak
Dasar Hukum : a. Pasal 17 dan 31 E UU no.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) b. Surat Edaran Dirjend Pajak No.66/PJ./2010 tentang Penegasan atas pelaksanaan UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
D.
Kredit Pajak Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang.
22
1.
PPh Pasal 22 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, Instasi atau lembaga pemerintah dan lembagalembaga lainnya berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang di bidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain. Menurut Undang-undang penerapan PPh Pasal 22 tergantung badan pemungut PPh Pasal 22, antara lain: a. Bendaharawan Pemerintah Direktorat Jenderal Anggaran melakukan pembayaran atas pembelian barang dan jasa yang dananya dari belanja negara dan belanja daerah. Penyerahan barang yang meliputi jumlah di atas Rp 500.000 (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah) dikenakan PPh Pasal 22 dengan tarif efektif PPh sebesar 1,5%
dari
pembelian. b. Bulog (Badan Urusan Logistik). c. Pertamina. d. Direktorat Jendral dan Bea Cukai dan Bank Devisa Setiap Wajib Pajak yang melakukan Impor, akan dikenakan PPh Pasal 22 kecuali Wajib Pajak tersebut mengajukan SKB (Surat Keterangan Bersama) PPh Pasal 22 ke KPP dan mendapatkan persetujuan PPh Pasal 22 dikarenakan atas pembelian barang oleh importir dengan ketentuan berikut :
23
Tabel 2.1 Tarif Pembelian Barang Oleh Importir Angka Pengenal Impor (API)
2,5% x Nilai Impor
Tanpa Angka Pengenal Impor (Non API)
7,5% x Nilai Impor
Hasil Lelang Impor yang Tidak Dikuasai
7,5% x Nilai Lelang
Sumber : Perpajakan Indonesia Seri PPh Badan, Maret 2008.
e. Industri-industri tertentu : Tabel 2.2 Tarif Pembelian Barang atas Industri Tertentu No.
Uraian
Dasar Hukum
Dasar Pengenaan Pajak
1.
Industri Semen
Kep-70/PJ./1995
0,25%
dari
DPP
dari
DPP
dari
DPP
PPN 2.
Industri Baja
Kep-01/PJ/1996
0,30% PPN
3.
Industri Otomotif
Kep-32/PJ/1995
0,45% PPN
4.
Industri Putih
Rokok Kep-66/PJ/1995 dan Kep/24/1997
0,12% dari Harga Bandrol
24
5.
6.
Industri
Rokok Kep-67/PJ/1995
0,12% dari Harga
Kretek
dan Kep/24/1997
Bandrol
Industri Kertas
Kep-69/PJ/1995
0,1% dari DPP PPN
Sumber : Perpajakan Indonesia Seri PPh Badan, Maret 2008.
2.
PPh Pasal 23 Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan BUT yang berasal dari modal, penyertaan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21 yang dibayarkan terutang oleh badan atau subjek pajak dalam negeri lainnya. Untuk mempermudah PPh Pasal 23, maka kita dapat mengklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu: a. Dikenakan Tarif 15% dari Penghasilan Bruto 1. Deviden, 2. Bunga atau Imbalan Lainnya, 3. Royalti, 4. Hadiah, 5. Bunga Simpanan Koperasi. b. Dikenakan Tarif 15% dari Penghasilan Neto 1. Sewa dan Penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta (Selain Persewaan Tanah dan Bangunan), 2. Penghasilan atas Jasa.
25
3.
PPh Pasal 24 Ketentuan pasal 24 Undang-undang PPh No.36 tahun 2008 mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan terutang atas seluruh penghasilan WP dalam negeri. Besarnya kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan : a. Hanya atas pajak langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dari Luar Negeri. b. Setinggi-tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tetapi tidak melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap PKP (Penghasilan Kena Pajak) dikalikan dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak, atau setinggi-tingginya sama dengan pajak terutang atas penghasilan kena pajak dalam hal penghasilan kena pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.
E.
Rekonsiliasi Fiskal Rekonsiliasi fiskal adalah usaha mencocokan perbedaan pendapat dalam laporan keuangan komersial (yang disusun berdasarkan SAK) dengan perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan fiskal (yang disusun berdasarkan Undang-undang PPh No.36 tahun 2008).
26
Kertas kerja rekonsiliasi dapat disusun setelah dilakukan analisa terhadap keseluruhan transaksi usaha yang terjadi sesuai dengan catatan akuntansi menurut Standar Akuntansi Keuangan atau mulai mencatat sejak awal tahun buku dimulainya suatu periode akuntansi dengan adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan beban tersebut dalam catatan tersendiri. Dari analisa tersebut dapat diketahui transaksi mana yang telah sesuai dan mana yang berbeda dengan ketentuan perpajakan. Dengan adanya penyusunan kertas kerja rekonsiliasi fiskal ini, maka Wajib Pajak dapat mengetahui semua perubahan yang terjadi pada setiap pos dalam laporan keuangan komersial dan dapat menyusun laporan keuangan fiskal sebagai dasar pengisian SPT PPh Badan sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan.
1.
Jenis-Jenis Koreksi Fiskal Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu: a. Beda Tetap (Permanent Different) Beda
Tetap
merupakan
perbedaan
pengakuan
baik
penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya permanen artinya
27
koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba kena pajak pada tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi beda tetap terjadi karena menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang PPh yang bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya: 1. Biaya
untuk
mendapatkan,
menagih
dan
memelihara
penghasilan : Yang bukan objek pajak Yang pengenaan pajaknya bersifat final Yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan 2. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, 3. Pajak Penghasilan, 4. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan, 5. Biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan (Pasal 9 ayat 1 UU PPh).
Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif artinya penghasilan yang diakuai oleh akuntansi komersial
28
namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, akan menyebabkan laba kena pajak akan berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih kecil. Koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang diakuai oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang akan lebih besar.
b. Beda Waktu (Time Different) Beda
waktu
merupakan
perbedaan
pengakuan
baik
penghasilan maupun biaya antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena pajak tahun-tahun pajak berikutnya.
Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :
1. Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang
PPh metode penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun,
29
2. Perbedaan
metode penilaian persediaan, dimana menurut
Undang-undang PPh metode penilaian persediaan
yang
diperbolehkan hanya metode rata-rata dan FIFO 3. Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-
undang Penyisihan piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu dan sebagainya.
Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah, sedangkan
koreksi
negatif
tahun-tahun
berikutnya
akan
menyebabkan laba kena pajak akan berkurang. Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.
2.
Perbedaan Perlakuan Akuntansi dan Perpajakan Dalam penyusunannya, laporan keuangan komersial memiliki perbedaan yang cukup berarti jika dibandingkan dengan laporan keuangan fiskal. Perbedaan ini disebabkan karena terdapat perbedaan pelakuan pajak yang tidak sama dengan perlakuan akuntansi terhadap beban dan pendapatan yang diterima perusahaan dalam satu periode akuntansi.
30
Laba komersial dihitung sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan No. 46 (SAK), sedangkan Laba Kena Pajak dihitung sesuai dengan ketentuan Undang-undang Perpajakan. Akibat adanya perbedaan tertentu dalam pengakuan pendapatan dan beban antara Undang-undang Perpajakan dengan Standar Akuntansi Keuangan, maka Laba Kena Pajak berbeda dengan Laba Komersial. Perbedaan antara Laba Komersial dan Laba Kena Pajak menyebabkan harus dilakukannya koreksi fiskal.
3.
Pajak Tangguhan Pengakuan aktiva atau kewajiban pada laporan keuangan, secara tersirat, berarti bahwa perusahaan pelapor akan dapat memulihkan nilai tercatat aktiva tersebut atau akan melunasi nilai tercatat kewajiban tersebut. Apabila besar kemungkinan bahwa pemulihan aktiva atau pelunasan kewajiban tersebut akan mengakibatkan pembayaran pajak pada periode mendatang yang bersumber dari perbedaan waktu atau perbedaan temporer temporer tersebut lebih besar atau lebih kecil dibandingkan pembayaran pajak sebagai akibat pemulihan aktiva atau pelunasan kewajiban yang tidak memiliki konsekuensi pajak, maka Pernyataan ini mengharuskan perusahaan untuk mengakui kewajiban pajak tangguhan atau aktiva pajak tangguhan, dengan beberapa pengecualian.
31
Jumlah pajak kini, yang belum dibayar harus diakui sebagai kewajiban. Apabila jumlah pajak yang telah dibayar untuk periode berjalan dan periode-periode sebelumnya melebihi jumlah pajak yang terutang untuk periode-periode tersebut, maka selisihnya, diakui sebagai aktiva. Berdasarkan PSAK No. 46, perbedaan waktu atau perbedaan temporer dapat berupa : a. Perbedaan temporer kena pajak (taxable temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah kena pajak (taxable amounts) dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled); atau b. Perbedaan temporer yang boleh dikurangkan (deductible temporary differences) adalah perbedaan temporer yang menimbulkan suatu jumlah yang boleh dikurangkan (deductible amounts) dalam penghitungan laba fiskal periode mendatang pada saat nilai tercatat aktiva dipulihkan (recovered) atau nilai tercatat kewajiban tersebut dilunasi (settled).
Pernyataan ini mengharuskan perusahaan memperlakukan konsekuensi pajak dari suatu transaksi dan kejadian lain sama dengan cara perusahaan memperlakukan transaksi dan kejadian tersebut. Oleh karena itu, untuk transaksi dan kejadian lain yang diakui pada laporan
32
laba rugi, konsekuensi atau pengaruh pajak dari transaksi dan kejadian tersebut harus diakui pula pada laporan laba rugi. Sedangkan untuk transaksi dan kejadian lain yang langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas, konsekuensi atau pengaruh pajak dari transaksi dan kejadian tersebut harus langsung dibebankan atau dikreditkan ke ekuitas. Secara teknis, pengakuan aktiva dan kewajiban pajak tangguhan dilakukan dengan dikenakan tarif pajak yang berlaku (dalam praktek biasanya digunakan 30%).