20
BAB II LANDASAN TEORI
A. Komisi dalam Hukum Islam (al-ji’alah) 1. Pengertian dan Dasar Hukum al-ji’alah Islam sebagai agama terakhir yang telah dijamin kebenarannya oleh Allah SWT, berisi tentang segala aturan hukum dan moral dengan tujuan membimbing dan mengarahkan umat-Nya menuju terbentuknya komunitas manusia yang mampu melaksanakan peranannya sebagai khalifatullah dimuka planet bumi. Khalifatullah bukanlah suatu tugas ringan yang bisa dengan sendirinya terlaksana tanpa adanya kreasi dan inovasi yang dinamis untuk menggali semua potensi yang telah disediakan oleh Allah. Guna menggali untuk memanfaatkan potensi alam secara maksimal inilah manusia kemudian perlu mengadakan interaksi dengan sesamanya yang tidak mustahil terjadi kesenjangan dan perbenturan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku tolong-menolong dengan sesamanya. 1 Agama Islam telah mengatur prilaku para pengikutnya dalam segala hal, salah satunya yaitu tentang hubungan dengan sesama manusia, segala hal tentang masalah tersebut telah dijelaskan dalam ilmu fiqh muamalah. Kata muamalah secara bahasa sama dan semakna dengan al-mufa‟alah (saling brbuat). Kata ini menggambarkan suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa
1
Mardani, Fiqih Ekonomi Syariah: Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 314.
21
orang dalam memenuhi kebutuhan masing-masing. 2 Secara singkat, fiqh mu‟amalah secara terminologi didefinisikan sebagai hukum-hukum yang berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan-persoalan keduniaan. 3 Kajian fiqh mu‟amalah adalah aspek Hukum Islam yang ruang lingkupnya luas. Pada dasarnya aspek Hukum Islam yang bukan ibadah seperti, sholat, puasa, zakat dan haji di golongkan muamalah. Karena itu masalah pidana dan perdata juga digolongkan hukum muamalah. Namun perkembangan selanjutnya Hukum Islam dibidang muamalah dapat dibagi menjadi dua garis besar secara umum yakni munakahat dan jinayat. Sementara itu muamalah dalam arti yang lebih sempit atau dalam arti yang khusus hanya membahas tentang hukum ekonomi dan bisnis Islam. 4 Pengertian muamalah secara khusus dibahas berbagai macam transaksi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari terutama dari aspek hukumnya. Transaksi-transaksi tersebut dibahas dan dipelajari dari sudut pandang fiqh muamalah. Sehingga semua transaksi yang dibahas dalam fiqh muamalah dapat ditentukan hukumnya. Apakah suatu transaksi itu halal ataupun haram. 5 Fiqh muamalah dibahas banyak tantang transaksi, yang salah satu babnya membahas tentang transaksi secara umum atau biasa disebut akad. Dalam akad terdapat banyak sekali rukun dan syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan
2
Nasrun Haroen, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007). h. vii (Pendahuluan). 3
Ibid.
4
Qomarul Huda, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: TERAS, 2011), Cetakan 1, h. 1.
5
Ibid., h. 3.
22
agar akad yang dilakukan itu sah, dan menghasilkan produk hukum yang halal. Dalam menggapai produk hukum yang halal, maka syarat dan rukun seperti yang disebutkan di atas harus dipahami serta selalu terpenuhi dalam setiap melakukan kegiatan transaksi. Inti terdalam dari tujuan agama Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Karena itu para rasul terdahulu mengajak umat (berdakwah) untuk mengamalkan muamalah, karena memandangnya sebagai ajaran agama yang mesti dilaksanakan, tidak ada pilihan bagi seorang mu‟min untuk tidak mengamalkannya. Dalam konteks ini Allah berfirmannya yang berbunyi:
ٌََالَ َٔانًِْضَاٛصْٕاانًِْ ْك ُ ال َتُْ ُم َ َٔ ُُِْۗشٛغ َ ٍَّػبُذُ َٔااهللَ يَانَكُىْ يٍِْ اِن ْ َ َمْٕوِ اٚ َبًا لَالْٛ ٍََ أخَا ُْىْ شُ َؼَٚٔإِنَٗ يَ ْذ )۸۶ :ْطٍ (ْٕدٛح ِ ُْٕوٍ يَٚ َْكُىْ ػَزَابْٛ اَخَافُ ػََهَِْٙ ٍشَِٔاٛخ َ ِْ اسَكُىْ بَِِٙا Artinya: dan kepada (penduduk) Mad-yan (kami utus) saudara mereka, Syuaib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada Tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan, sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akam azab hari yang membinasakan (kiamat). (Qs. Hud: 84).6 Dalam hubungan sesama manusia, tentang salah satu akad, yaitu akad Ji‟alah. akad Ji‟alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan maka ia berhak mendapat upah atau komisi. Secara harfiah Ji‟alah
6
178.
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h.
23
bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang ditujukan untuk seseorang untuk kemudian dijalankan atau dikerjakan. 7 a. Pengertian Ji’alah Akad ji‟alah, ju‟l atau ju‟liyah secara bahasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang disiapkan untuk diberikan kepada seseorang yang berhasil melakukan perbuatan tertentu, atau juga diartikan sebagai sesuatu yang diberikan kepada sesorang karena telah melakukan pekerjaan tertentu. Dan menurut para ahli hukum, akad ji‟alah dapat dinamakan janji memberikan hadiah (bonus, komisi atau upah tertentu), maka ji‟alah adalah akad atau komitmen dengan kehendak satu pihak. Sedangkan menurut syara‟, akad ji‟alah adalah komitmen memberikan imbalan yang jelas atau suatu pekerjaan tertentu atau tidak tertentu yang sulit diketahui. 8 Adapun definisinya dari Ji‟alah adalah komisi yang diberikan kepada seseorang karena sesuatu yang ia lakukan. Seperti seseorang berkata, “barangsiapa melakukan hal ini, maka ia mendapatkan uang sekian”. Orang tersebut memberikan harta (uang atau yang lainnya) dengan jumlah tertentu, kepada orang yang melakukan suatu pekerjaan tertentu, seperti membangun pasar dan lainnya. 9 Secara terminologi fiqih ji‟alah berarti suatu iltizaam (tanggung jawab) dalam bentuk janji memberikan imbalan atau upah tertentu secara suka rela 7
Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h.44.
8
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, (Jakarta: Gema Insani, 2011),
9
Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 515.
h. 432.
24
terhadap orang yang berhasil melakukan perbuatan atau memberikan jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan. 10 Ji‟alah secara etimologis yaitu memberikan upah atau (ja‟l) kepada orang yang telah melakukan pekerjaan untuknya, misalnya orang mengembalikan hewan yang tersesat (dhalalah), mengembalikan budak yang kabur, membangun tembok, mejahit pakaian, dan setiap pekerjaan yang mendapatkan upah sedangkan menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ji‟alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.
11
Akad ji‟alah identik dengan sayembara, yakni menawarkan sebuah pekerjaan yang belum pasti dapat diselesaikan. Jika seseorang mampu menyelesaikan, maka ia berhak mendapatkan upah atau hadiah. Secara harfiah, ji‟alah bermakna sesuatu yang dibebankan kepada orang lain untuk dikerjakan, atau perintah yang dimandatkan kepada seseorang untuk dijalankan. Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah menjelaskan ji‟alah adalah jenis akad atas manfaat sesuatu yang diduga kuat akan diperolehnya. 12 Secara syara‟ sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid sabiq yang dikutip oleh Abdul Rahman Ghazaly dalam bukunya Fiqih Muamalah, ji‟alah adalah:
10
Muhammad Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003),h. 265. 11
Madani, Fiqih Ekonomi Syariah (Fiqih Muamalah), (Jakarta: Gema Insani, 2012), h.
12
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid III (Bandung: Alma‟arif, 1986), h. 171.
314.
25
َُّصْٕن ُ ح ُ ٍَُُظٚ ِػَمْذُػَهَٗ َيُْفَؼَت Artinya: “sebuah akad untuk mendapatkan materi (upah) yang diduga kuat dapat diperoleh”13 Ulama Malikiyah mendefinisikan akad ji‟alah sebagai akad sewa atas manfaat yang diduga dapat tercapai. Hal ini seperti perkataan seseorang, “Barang siapa yang bisa mengembalikan binatang tunggangan saya yang kabur atau lari, atau barang milik saya yang hilang, atau yang bisa mengurus kebun saya ini, atau menggali sumur untuk saya hingga saya menemukan air, atau menjahit baju atau kemeja untuk saya, maka dia akan mendapatkan sekian. 14 Contoh akad ji‟alah adalah hadiah yang khusus diperuntukan bagi orangorang berprestasi, atau para pemenang dalam sebuah perlombaan yang diperbolehkan atau bagian harta rampasan perang tertentu diberikan oleh panglima perang kepada orang yang mampu menembus benteng musuh, atau dapat menjatuhkan pesawat-pesawat. Termasuk didalam akad ji‟alah juga, komitmen membayar sejumlah uang pada dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tertentu, atau pada guru yang bisa membimbing anaknya menghapal Al-Qur‟an. Para fuqaha biasa memberikan contoh untuk akad ini dengan kasus orang yang dapat mengembalikan binatang tunggangan yang tersesat atau hilang dan budak yang lari atau kabur. 15
13
Abdul Rahman Ghazali, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2010), h. 141. 14
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 432.
15
Ibid., h. 433.
26
Dapat pula dikatakan bahwa ji‟alah menurut rumusan-rumusan yang terdapat dalam kitab-kitab ulama masa lalu lebih tertuju kepada bentuk usaha melakukan suatu aktivitas atas tawaran dari seseorang untuk melakukan suatu kegiatan tertentu yang orangnya akan diberi imbalan bila ia berhasil dengan tugas yang diberikan kepadanya. Bila rumusan itu diikuti, jelas pengertian ji‟alah sangat berlainan dengan pertandingan, kompetisi, dan berbagai perlombaan zaman sekarang yang lebih memprioritaskan kegiatannya untuk menilai ketangkasan. Namun, bila kita berangkat dari unsur substansial, yakni diberinya imbalan atas sesuatu prestasi tertentu melalui perpacuan kemampuan, maka berbagai bentuk perlombaan pun bisa digolongkan sebagai ji‟alah.16 Pengertian upah menurut kamus lengkap Bahasa Indonesia adalah uang atau alat pembayaran lain yang dibayarkan sebagai pembalasan jasa atau sebagai pembayaran tenaga yang sudah dilakukan untuk mengerjakan sesuatu.17 Sedangkan upah menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang, sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja atau buruh yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu jasa dan atau pekerjaan yang telah atau sedang dilakukan. 18
16
Helmi Karim, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 47.
17
Desi Anwar, Kamus lengkap Bahasa Indonesia, ( Surabaya: Amelia, 2002 ), h. 578
18
Tim Fokus Media, Undang-Undang Ketenagakerjaan Edisi Terbaru,(Bandung: Fokus Media, 2013), h.1
27
Afzalur Rahman juga mengatakan bahwa upah adalah harga yang dibayarkan pekerja atas jasanya dalam produksi kekayaan. Seperti faktor produksi lainnya, tenaga kerja diberi imbalan atas jasanya. Dengan kata lain upah adalah harga dari tenaga yang dibayar atas jasanya dalam produksi. Menurut pernyataan Benham : “Upah dapat didefinisikan dengan sejumlah uang yang dibayar oleh orang yang memberi pekerjaan kepada seorang pekerja atas jasanya sesuai perjanjian”. 19 Para ahli fiqih sepakat bahwa akad Ji‟alah merupakan hal yang boleh (Jaiz), termasuk mazhab Maliki, Syafi‟i, Hambali, Serta Syi‟ah. Walaupun para imam mazhab berbeda pendapat penggunaan akad ji‟alah untuk melakukan mu‟amalah, mazhab Hanafi dan Zhahiri melarang menggunakan akad ini untuk mu‟amalah dengan alasan adanya unsur gharar, karena dalam akad ji‟alah boelh saja tidak dijelaskan secara jelas batas waktu, bentuk atau cara melakukanya. 20 Mazhab Maliki mendefinisikan ji‟alah: “Suatu upah yang dijanjikan sebagai imbalan atas suatu jasa yang belum pasti dapat dilaksanakan oleh seseorang”. Mazhab Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat ja‟il (pemilik pekerjaan) dibolehkan menambahkan atau mengurangi upah yang harus diberikan kepada amil (pekerja). Karena ju‟alah merupakan akad ja‟iz gair lazim (diperbolehkan dan tidak mengikat). Namun, Syafi‟iyyah membolehkan penambahan atau pengurangan tersebut sebelum selesainya pekerjaan ataupun sesudahnya, seperti
19
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam 2, (Jakarta: Dana Bhakti Wahab, 1995), h. 361
20
Sri Nurhayati, Akuntansi Syari‟ah di Indonesia, (Jakarta: Salemba, 2011), h. 270.
28
perkataan seseorang “Barangsiapa yang dapat menemukan Fulan yang hilang maka aku akan memberikan upah padanya 10 dirham”, kemudian dia berkata “ padanya 5 dirham atau lebih”. Dan Hanabilah membatasi pada sebelum dilakukannya pekerjaan tersebut.21 Pendapat para ulama‟ dalam mendefinisikan akad Ji‟alah yaitu Definisi pertama (mazhab Maliki) menekankan segi ketidakpastian, berhasilnya perbuatan yang diharapkan. Sedangkan definisi kedua (Mazhab Syafi‟i) menekankan segi ketidakpastian orang yang melaksanakan pekerjaan yang diharapkan. 22 Meskipun Ji‟alah berbentuk upah atau hadiah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Qudamah (ulama Mazhab Hambali), ia dapat dibedakan dengan ijarah (transaksi upah) dari lima segi: 1. Pada Ji‟alah upah atau hadiah yang dijanjikan, hanyalah diterima orang yang menyatakan sanggup mewujudkan apa yang menjadi obyek pekerjaan tersebut, jika pekerjaan itu telah mewujudkan hasil dengan sempurna. Sedangkan pada ijarah, orang yang melaksanakan pekerjaan tersebut berhak menerima upah sesuai dengan ukuran atau kadar prestasi yang diberikannya, meskipun pekerjaan itu belum selesai dikerjakan, atau upahnya dapat ditentukan sebelumnya, apakah harian atau mingguan, tengah bulanan atau bulanan sebagaimana yang berlaku dalam suatu masyarakat.
21
Abu Bakar Jbiz Al-Jazari, Minhajul Mialim, Alih bahasa Fadhli Bahri, Ensiklopedia Muslim Minhajul Muslim, ( Jakarta: Darul Falah, 2000), h. 438-439. 22
Ibid., h. 438.
29
2. Pada Ji‟alah terdapat unsur gharar, yaitu penipuan (spekulasi) atau untung-untungan karena di dalamnya terdapat ketidaktegasan dari segi batas waktu penyelesaian pekerjaan atau cara kerjanya disebutkan secara tegas dalam akad (perjanjian) atau harus dikerjakan sesuai dengan obyek perjanjian itu. Dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa dalam Ji‟alah yang dipentingkan adalah keberhasilan pekerjaan, bukan batas waktu atau cara mengerjakannya. 3. Pada Ji‟alah tidak dibenarkan memberikan upah atau hadiah sebelum pekerjaan dilaksanakan dan mewujudkannya. Sedangkan dalam ijarah, dibenarkan memberikan upah terlebih dahulu, baik keseluruhan maupun sebagian, sesuai dengan kesepakatan besama asal saja yang memberi upah itu percaya. 4. Tindakan hukum yang dilakukan dalam Ji‟alah bersifat suka rela sehingga apa yang dijanjikan boleh saja dibatalkan, selama pekerjaan belum dimulai, tanpa menimbulkan akibat hukum. Apalagi tawaran yang dilakukan bersifat umum seperti mengiklankan di surat kabar. Sedangkan dalam akad ijarah, terjadi transaksi yang bersifat mengikat semua pihak yang melakukan perjanjian kerja. Jika pekerjaan itu dibatalkan, maka tindakan itu akan menimbulkan akibat hukum bagi pihak bersangkutan. Biasanya sanksinya disebutkan dalam perjanjian (akad). 5. Dari segi ruang lingkupnya Mazhab Maliki menetapkan kaidah, bahwa semua yang dibenarkan menjadi obyek akad dalam transaksi Ji‟alah, boleh juga menjadi obyek dalam transaksi ijarah. Namun tidak semua yang
30
dibenarkan menjadi obyek dalam transaksi ijarah, dibenarkan pula menjadi obyek dalam transaksi Ji‟alah. Berdasarkan kaidah tersebut, maka pekerjaan menggali sumur sampai menemukan air, dapat menjadi obyek dalam akad ijarah, tetapi tidak boleh dalam akad Ji‟alah. Dalam ijarah, orang yang menggali sumur itu sudah dapat menerima upah, walaupun airnya belum ditemukan.23 Sehubungan dengan aktivitas yang berkaitan dengan ji‟alah ini, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yakni: Pertama, harus ada unsur ja‟il (pelaksana yang memberikan tugas) untuk melakukan ji‟alah. Pihak ja‟il ini bisa perorangan yang mempunyai suatu hubungan langsung dengan objek yang diji‟alahkan, seperti seseorang yang kehilangan suatu benda, dan bisa pula pihak lain yang tidak punya hubungan kepemilikan terhadap suatu objek yang diji‟alahkan. Disamping itu, ja‟il bisa pula berbentuk lembaga, seperti yang banyak terjadi pada masa sekarang. Dengan demikian, hadiah yang diberikan dalam kegiatan ji‟alah ini bisa diberikan oleh pihak pelaksana sendiri ataupun pihak lain. Kedua, pihak yang melakukan ji‟alah, yakni orang-orang yang aktif sebagai peserta, disesuaikan dengan kondisi yang ada. Kenapa demikian? Sebab, untuk masa sekarang banyak pula kegiatan sayembara yang diperuntukkan bagi anak-anak, sebagaimana banyak pula kegiatan sayembara untuk orang yang sudah dewasa. Ketiga, objek ji‟alah mestilah berupa perbuatan yang mubah, seperti mencari barang yang hilang, dan 23
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), h. 143.
31
tidak dibolehkan melakukan ji‟alah pada lapangan yang tidak boleh dilakukan oleh agama. Keempat, upah dalam berji‟alah bagi pihak yang menang haruslah berbentuk materi ataupun jasa. Kelima, akad dalam berji‟alah tidaklah disyaratkan harus dengan lafadz tertentu. Keadaan „uruf masyarakat bisa dijadikan pedoman untuk menetapkan bagaimana lafadz yang boleh dipergunakan dalam pelaksanaan ji‟alah, sepanjang „uruf itu tidak bertentangan dengan ketentuan agama. 24 b. Dasar Hukum Ji’alah
Menurut ulama Hanafiah, akad ji‟alah tidak dibolehkan karena di dalamya terdapat unsur penipuan (gharar), yaitu ketidakjelasan pekerjaan dan waktunya. Hal ini diqiyaskan pada seluruh akad ijarah (sewa) yang disyaratkan adanya kejelasan dalam pekerjaan,pekerja itu sendiri, upah dan waktunya. Akan tetapi, mereka hanya membolehkan dengan dalil istihsan memberikan hadiah kepada orang yang dapat mengembalikan budak yang lari atau kabur, dari jarak perjalanan tiga hari atau lebih, walaupun tanpa syarat. Jumlah hadiah itu sebesar empat puluh dirham untuk menutupi biaya selama perjalanan. 25 Jika dia mengembalikan budak itu kurang dari jarak perjalanan tersebut, maka hadiah disesuaikan dengan jarak perjalanan tersebut sesuai sedikit dan banyaknya perjalanan. Misalnya, jika dia mengembalikan budak dalam jarak perjalanan dua hari, maka dia mendapat upah dua pertiganya; dan bila mengembalikannya dalam jarak perjalanan satu hari, maka dia mendapat upah
24
Helmi Karim, Op. Cit, h. 48.
25
Wahbah Az- Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Op. Cit, h. 433.
32
sepertiganya. Barang siapa yang dapat mengembalikannya kurang dari satu hari atau menemukannya di daerahnya, maka dia mendapat upah disesuaikan dengan kadar pekerjaannya. Sebab, untuk berhak mendapatkan upah adalah dapat mengembalikan budak kepada pemiliknya. Dengan demikian, pemberian upah tersebut adalah sebuah cara bagi pemiliknya untuk menjaga hartanya. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi‟iyah dan Hanabilah, akad ji‟alah dibolehkan dengan dalil firman Allah dalam kisah nabi Yusuf as. bersama saudara-saudaranya. Al-qur‟an: Firman Allah dalam surat yusuf yang berbunyi:
ٌصَعِْ٘و۷ٕ ِِِب :ٕسفٚ َّْٔاٌََا ( ٍصَٕاعَ انًَْهِكِ َٔنًٍَِْ جَؐاءَ بِِِ حِوْلُ بَعِْ٘س ُ ُلَاُنْٕا َفْمِذ ) Artinya: Mereka menjawab, „„Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh (bahan makanan seberat) beban onta dan aku jamin itu.”(Yusuf: 72)26 Dalam al-Qur‟an dengan tegas Allah membolehkan memberikan upah kepada orang lain yang telah berjasa menemukan barang yang hilang. Ar-Ramli dalam Abdul Aziz Muhammad Azam menilai bahwa ayat ini sebagai isti‟nas (pembangkit semangat) dan bukan istidlal (bentuk pembuktian).27 Surat al-Maidah ayat 1: 26
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2005), h.
27
Abdul Aziz Muhammad Azam, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 332.
194.
33
)ٔ :(انًائذة........ ٍَِ آ َيُُٕا َأْٔفُٕا بِانْؼُمُٕدَُِٚٓا انَزَٚا َأٚ Atinya: Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.......(QS. alMaidah:1)28 Sabda nabi SAW kepada para sahabat yang mendapatkan Ji‟alah berupa sekawanan kambing karena pengobatan orang yang tersengat, “ambillah Ji‟alah atau upah dan berikanku satu bagian bersama kalian”. (HR. Bukhari). Dalil dari As Sunnah adalah hadits abu Sa‟id berikut ia berkata: Hadits:
حتَٗ تَجْؼَهُٕا َنَُا َ ْ فًََا َأََا بِشَاقٍ نَكُى،ِفََُٕاٛض َ س َتضَ ْفَُاكُىْ فَهَىْ ُت ْ َٔنَكٍِْ َٔانهَِّ نَمَذِ ا،ِٙ نَأَسْلََِٙٔانهَِّ ِإ ًٍََِٛ انحًَْذُ نِهَِّ سَبِ انؼَان:َُمْشَأَٚٔ ،ِّْٛتْفِمُ ػََهَٚ َ فَاَْطَهَك،ِغٍ يٍَِ ان َغَُىِٛ َفصَانَحُُْٕىْ ػَهَٗ لَط،جُؼْهًا ٌ َٔيَا بِِّ لََهبَتًَِْٙشٚ َ فَاَْطَهَك،ٍفَكََأ ًََا َُشِطَ يٍِْ ػِمَال
29
Arinya: Demi Allah, saya bisa meruqyah. Tetapi, demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kamu namun kamu tidak memberikannya kepada kami. Oleh karena itu, aku tidak akan meruqyah untuk kalian sampai kalian mau memberikan imbalan kepada kami.” Maka mereka pun sepakat untuk memberikan sekawanan kambing, lalu ia pun pergi (mendatangi kepala kampung tersebut), kemudian meniupnya dan membaca “Al Hamdulillahi Rabbil „aalamiin,” (surat Al Fatihah), maka tiba-tiba ia seperti baru lepas dari ikatan, ia pun dapat berjalan kembali tanpa merasakan sakit. Kemudian mereka memberikan imbalan yang mereka sepakati itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
28
29
Depag RI. Op.Cit, h. 85.
Muhammad Fuat Abdul Baqi, Al-Lu‟lu‟ Wal Marjan (Mutiara Hadits Sahih Bukhari Dan Muslim), (Jakarta: Ummul Qura, 2013), h. 759.
34
Demikian juga dengan sabda Rasulullah
dalam sebuah hadits yang
menceritakan tentang orang yang mengambil upah atas pengobatan dengan surah al-Fatihah, yang diriwayatkan oleh jamaah kecuali Imam Nasa‟i dari Abu Sa‟id Al-Khudri. Diriwayatkan bahwa beberapa orang sahabat Rasulullah sampai pada satu kampung badui tapi mereka tidak dijamu. Pada saat demikian tiba-tiba kepala suku badui disengat kalajengking. Penduduk kampung itu pun bertanya, “apakah di antara kalian ada yang bisa mengobati?”. Para sahabat menjawab, “kalian belum menjamu kami. Kami tidak akan melakukannya kecuali jika kalian memberi kami upah.” 30 Maka mereka menyiapkan sekawanan domba. Lalu seorang sahabat membaca surah al-fatihah dan mengumpulkan air
ludahnya kemudian
meludahkannya sehingga kepala suku itu pun sembuh. Penduduk kampung itu pun lalu memberi domba yang dijanjikan kepada para sahabat. Para sahabat itu berkata, “kami tidak akan mengambilnya hingga kami tanyakan dahulu kepada Rasulullah.” Kemudian sahabat itu menanyakan hal tersebut kepada rasulullah, maka beliau pun tertawa dan berkata,“tidakkah kalian tahu? Surah al-fatihah itu adalah obat. Ambilah domba itu dan berikan kepadaku satu bagian.”31 Terdapat dalil aqli (rasio) yang juga menguatkan dibolehkannya akad ji‟alah, yaitu kebutuhan masyarakat yang menuntut diadakannya akad ji‟alah ini, seperti untuk mengembalikan binatang yang hilang, budak yang lari atau kabur,
30
Wahbah Az- Zuhaili, Loc. Cit.
31
Ibid., h. 434.
35
dan pekerjaan yang tidak bisa dilakukan sendiri. Maka boleh mengeluarkan upah seperti akat ijarah dan muda>rabah, hanya saja pekerjaan dan waktu yang belum jelas dalam ji‟alah tidak merusak akad itu, berbeda halnya dengan ijarah. Hal itu kareana akad ji‟alah sifatnya tidak mengikat, sedangkan akad ijarah mengikat dan memerlukan kepastian waktu untuk mengetahui jumlah manfaat yang akan digunakan. Selain itu, karena akad ji‟alah adalah sebuah keringanan (rukhshah) berdasarkan kesepakatan ulama, karena mengandung ketidakjelasan,
dan
dibolehkan karena ada izin dari Allah.32 Kedudukan transaksi upah (al-Ju‟l) adalah segala bentuk pekerjaan (jasa), yang memberi upah tidak mengambil sedikitpun dari upah (hadiah) itu. Sebab jika pemberi upah mengambil sebagian dari upah itu, berarti ia harus terikat dengan jasa dan pekerjaan itu. Padahal jika calon penerima upah itu (al-Maj‟ul) gagal mendapatkan manfaat, seperti ditetapkan dalam transaksi upah (al-ju‟l), ia tidak akan mendapatkan apa-apa. Jika pemberi upah (al-Ja‟il) mengambil hasil kerja calon penerima upah ( al-maj‟ul), tanpa imbalan kerja atau jasa tertentu, berarti ia telah suatu kezaliman. 33 2. Rukun dan syarat ji’alah a. Orang yang menjanjikan upahnya, yang menjanjikan upah itu boleh juga orang lain yang mendapat persetujuan dari orang yang kehilangan, atau memiliki pekerjaan.
32
33
Ibid.
Ibnu Rasyd, Bidayatul Mujtahid Analisis Fiqih Para Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h. 102.
36
b. Pekerja, yaitu mencari barang yang hilang yang mempunyai izin untuk bekerja dari orang yang punya harta, jika dia bekerja tanpa ada izin darinya seperti ada harta yang hilang lalu dia menemukannya atau hewan tersesat lalu dia mengembalikan kepada pemiliknya, maka dalam hal ini dia tidak berhak mendapat ji‟alah, sebab dia memberikan bantuan tanpa ada ikatan upah, maka dia tidak berhak dengan upah itu, adapun jika diizinkan oleh si pemilik harta dan disyaratkan ada ji‟alahnya lalu dia bekerja, maka dia berhak mendapat ji‟alah, sebab si pemilik harta menerima manfaat dari usahanya dengan akad ji‟alah, maka si pekerja pun berhak dengan ji‟alah itu sama seperti orang yang disewa. Kedua, hendaklah si pekerja orang yang ahli dengan pekerjaan itu jika memang dijelaskan bentuknya, maka sah akad ji‟alah dengan orang yang memang ahlinya walaupun masih anak-anak. Ketiga, si pekerja tidak berhak mendapatkan upah kecuali jika sudah selesai bekerja, jika disyaratkan untuk mengembalikan unta yang lari lalu dia mengembalikannya sampai ke pintu rumah kemudian lari lagi atau mati sebelum diterima oleh si pemberi ji‟alah, maka dia tidak berhak mendapatkan sesuatu dari ji‟alah yang ada sebab maksud dari akad adalah mengembalikan, dan upah sebagai bayarannya dan disini tidak ada hasil. 34
34
Abdul Aziz Muhammad Azam, Op. Cit, 334.
37
c. Upah, disyaratkan keadaan upah dengan barang atau benda yang tertentu. Kalau yang kehilangan itu berseru: “Barangsiapa yang mendapat barang atau bendaku, akan saya beri uang sekian. Kemudian dua orang pekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu secara bersama-sama, maka upah yang dijanjikan itu berserikat antara keduanya (dibagi-bagikan). d. Shighat, Ucapan ini datang dari pihak pemberi ji‟alah sedangkan dari pihak pekerja, maka tidak disyaratkan ada ucapan dan dengan ada qabul darinya dengan ucapan walaupun barangnya sudah jelas sebab yang dinilai adalah pekerjaanya sama dengan akad perwakilan, dan tidak batal seandainya dia menjawab, ya seandainya dia berkata kepadanya saya akan kembalikan hewanmu atau mobilmu dan saya mendapat bayaran datu dinar kemudian si pemberi ja‟alah berkata ya atau menjawabnya, maka sudah dianggap cukup.35
Adapun yang menjadi syarat ji‟alah yaitu: a. Pihak-pihak yang berji‟alah wajib memiliki kecakapan bermu‟amalah (ahliyyah al-tasharruf), yaitu berakal, baligh, dan rasyid (tidak dalam perwalian). Jadi ji‟alah tidak sah dilakukan oleh orang gila atau anak kecil. b. Upah yang dijanjikan harus disebutkan secara jelas jumlahnya. Jika upahnya tidak jelas, maka akad ji‟alah batal adanya, karena
35
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Algensindo, 1986), h. 306.
Sinar Baru
38
ketidakpastian kompensasi, Upah yang tidak jelas akan menimbulkan perselisihan dimasyarakat, maka dari itu syarat dari upah yaitu, pertama: harus sesuai dengan apa yang dijanjikan, yaitu jika seseorang mengadakan sebuah sayembara pemberian upahnya harus ada di awal perjanjian sebelum sayembara dilaksanakan. Kedua: berupa materi atau uang, yaitu didalam sebuah sayembara upahnya yang diberikan haruslah berupa materi, tidak boleh berupa jasa atau yang lain yang tidak ada manfaatnya. Ketiga: jelas bentuknya. Seperti jika seseorang mengatakan “Barang siapa yang menemukan mobil saya maka dia akan mendapat pakaian”. Dalam keadaan ini, maka orang yang menemukannya atau yang mengembalikannya berhak mendapatkan upah umum yang berlaku. Dan jika upah itu berupa barang haram, seperti minuman keras atau barang yang terghasab (diambil oleh orang lain tanpa hak), maka akadnya juga batal karena kenajisan minuman keras dan ketidakmampuan untuk menyerahkan barang yang terghasab. Keadaan upah itu hendaklah ditentukan, uang atau barang, sebelum seseorang mengerjakan pekerjaan itu. Selain itu, upah upah yang diperjanjikan itu bukanlah barang haram, seperti minuman keras.36 c. Aktivitas yang akan diberi kompensasi wajib aktifitas yang mubah, bukan
yang
haram
dan diperbolehkan secara
syar‟i.
Tidak
diperbolehkan menyewa tenaga paranormal untuk mengeluarkan jin, 36
Hendi Suhendi, Op. Cit, h. 207.
39
praktek sihir, atau praktek haram lainnya. Kaidahnya adalah, setiap asset yang boleh dijadikan sebagai objek transaksi dalam akad ji‟alah. d. Kompensasi (materi) yang diberikan harus jelas diketahui jenis dan jumlahnya (ma‟lum), di samping itu tentunya harus halal. 37
3. Sistem Pengupahan Dalam Pengupahan terdapat dua sistem, yaitu : a. Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan Ibadah Upah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan, seperti dalam shalat, puasa, haji dan membaca al-Qur‟an dipersilisihkan kebolehannya oleh para ulama‟ karena berbeda cara pandangan terhadap pekerjaanpekerjaan ini. Menurut imam Hanafi bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, dan membaca al-Qur‟an yang pahalanya dijadikan kepada orang tertentu haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut.38 Mazhab Syafi‟i dan Maliki ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mangajar al-Quran dan ilmu-ilmu, karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebagai
37
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Algensindo, 1986), h. 306 38
Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟amalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 118
Sinar Baru
40
imbalan mangajar al-Qur‟an dan pengajaran ilmu baik secara bulanan atau sekaligus karena nash yang melarang tidak ada.39 Menurut Imam Hambali bahwa pengambilan upah dari pekerjaan adzan, qamat, mengajarkan al-Qur‟an, fiqh, hadis, badal haji dan puasa qadha‟ adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Tapi boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada masalih, seperti mengajarkan al-Qur‟an, hadits dan fiqh, dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca al-Qur‟an, shalat dan lainnya. 40 b. Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan yang Bersifat Matrial Dalam melakukan pekerjaan dan besarnya pengupahan seseorang itu ditentukan melalui standar kompetensi yang dimilikinya, yaitu: 1) Kompetensi teknis, yaitu pekerjaan yang bersifat ketrampilan teknis,
contoh
pekerjaan
berkaitan
dengan
mekanik
perbengkelan, pekerjaan di proyek-proyek yang bersifat fisik, pekerjaan di bidang industri mekanik lainnya. 2) Kompetensi sosial, yaitu pekerjaan yang bersifat hubungan kemanusiaan, seperti pemasaran, hubungan kemasyarakatan, dan lainnya. 3) Kompetensi manajerial, yaitu pekerjaan yang bersifat penataan dan pengaturan usaha, seperti manajer keuangan dan lainnya.
39
Ismail Nawawi, Fiqh Mu‟amalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 92. 40
Hendi Suhendi, Op. Cit, h. 120.
41
4) Kompetensi intelektual, yaitu tenaga di bidang perencanaan, konsultan, dosen, guru dan lainnya.41 Para ulama‟ tidak meberikan batasan maksimal atau minimal, jadi diperbolehkan dengan sepanjang waktu dengan tetap ada, sebab tidak ada dalil yang mengharuskan membatasinya. Ulama‟ Hanafiyah tidak menetapkan pekerjaan tentang awal waktu akad. Sedangkan Ulama‟ Syafi‟iyah mensyaratkan sebab kalau tidak dibatasi hal itu menyebabkan tidak diketahuinya awal waktu yang wajib dipenuhi. 42
4. Perbedan ji’alah dengan ijarah Ji‟alah berbeda dengan ijarah (menyewa orang) dlam beberapa hal sebagai berikut: a. Untuk sahnya ji‟alah tidak disyaratkan diketahuinya pekerjaan yang dijanjikan komisi atasnya. Ini berbeda dengan ijarah, karena untuk sahnya ijarah disyaratkan pekerjaan yang akan dikerjakan diketahui. b. Dalah ji‟alah tidak disyaratkan diketahuinya masa berlangsungnya pekerjaan, sedangkan dalam ijarah disyaratkan diketahuinya masa berlangsungnya pekerjaan yang akan dilakukan. c. Dalam akad ji‟alah antara pekerjaan dan batas waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikannya boleh digabungkan. Seperti seorang berkata, “barangsiapa dapat membuat baju dalam satu hari, maka ia 41
Ismail Nawawi, Op. Cit, h. 89-93.
42
Rachmat Syafe‟i, Fiqh Mu‟amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 127.
42
mendapatkan bayaran sekian. “Jika ada orang yang dapat membuat baju dalam satu hari, maka ia berhak mendapatkan komisi (al-ju‟l). Hal ini berbeda dengan ijarah. Di dalam ijarah tidak boleh digabungkan antara pekerjaan dan masa pekerjaan tersebut. d. Dalam ji‟alah, si pekerja tidak wajib melakukan pekerjaan yang dijanjikan komisi atasnya, sedangkan dalam ijarah si pekerja wajib melakukan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. e. Di dalam ji‟alah tidak disyaratkan tertentunya orang yang akan melakukan pekerjaan. Sedangkan dalam ijarah, orang yang akan melakukan pekerjaan harus ditentukan dengan jelas. f. Ji‟alah adalah akad yang masing-masing pihak (jaa‟il dan aamil) boleh membatalkannya tanpa seizin pihak yang lain. Ini berbeda dengan ijarah. Ijarah adalah akad yang tetap atas kedua belah pihak, yang masing-masing tidah boleh membatalkannya tanpa persetujuan pihak yang lain. 43
B. Sistem Pemberian Komisi (al-ji’alah) dalam Hukum Islam 1. Pembatalan Ji’alah Pembatalan ji‟alah dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (orang yang kehilangan barang dengan orang yang dijanjikan ji‟alahatau orang yang mencari barang) sebelum bekerja. Jika pembatalan datang dari orang yang bekerja mencari barang, maka ia tidak mendapatkan upah sekalipun ia telah bekerja. 43
Saleh Al-Fauzan, Op.Cit, h. 517-518.
43
Tetapi, jika yang membatalkannya itu pihak yang menjanjikan upah maka yang bekerja, menuntut upah sebanyak pekerjaan yang dilakukanya. 44 Madzhab malikiyah menyatakan, akad ji‟alah boleh dibatalkan ketika pekerjaan belum dilaksanakan oleh pekerja (amil). Sedangkan menurut syafi‟iyah dan hanabilah, akad ji‟alah boleh dibatalkan kapanpun, sebagaimana akad-akad lain, seperti syirkah dan wakalah, sebelum pekerjaan diselesaikan secara sempurna. Jika akad dibatalkan di awal, atau di tengah berlangsungnya kontrak, maka hal itu tidak masalah, karena tujuan akad belum tercapai. Jika akad dibatalkan setelah dilaksanakannya pekerjaan, maka amil atau pekerja boleh menuntut atau mendapatkan upah sesuai yang dikerjakan.
2. Operasionalisasi Ji’alah Adapun operasionalisasi ji‟alah adalah: a. Pengupahan (ji‟alah) adalah akad yang diperbolehkan kedua belah pihak
yang
bertransaksi
dalam
pengupahan
diperbolehkan
membatalkannya. Jika pembatalan terjadi sebelum pekerjaan dimulai, maka pekerjaan tidak mendapatkan apa-apa. Jika pekerjaan terjadi ditengah-tengah proses pekerjaan, maka pekerja berhak mendapatkan upah atas pekerjaan. b. Dalam pengupahan, masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika seseorang berkata, ” barang siapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapat hadiah satu dinar” maka orang yang
44
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2012) , h. 143.
44
berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut kendati menemukannya setelah sebulan atau setahun.45 c. Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang, maka upah atau hadiahnya dibagi secara merata antara mereka. d. Pengupahan tidak tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi sseorang tidak boleh berkata, ”barang siapa menyakiti atau memukul si Fulan, atau memakinya, ia mendapatkan upah sekian. e. Barang siapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau mengerjakan
sesuatu
pekerjaan
dan
sebelumnya
ia
tidak
mengetahui kalau didalamnya terdapat upah, ia tidak berhak atas upah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara suka rela sejak awal. Jadi ia tidak berhak mendapatkan upah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang melarikan diri dari tuannya maka ia diberi upah sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut. f. Jika seseorang berkata, ”barang siapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia berhak atas upah”, maka ji‟alah seperti itu diperbolehkan, kecuali ia berkata ”barang siapa makan dan tidak memakan sesuatu daripadanya, ia berhak atas upah”, maka ji‟alah tidak sah. g. Jika pemilik upah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ji‟alah, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pemilik ji‟alah 45
Abu Bakar Jabir El-Jazairi, Minhajul Muslim, Alih Bahasa Rachmat Djatnika dan Ahmad Sumpeno, Pola Hidup Muslim, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991),h. 90.
45
dengan disuruh sumpah. Jika keduanya berbeda pendapat tentang pokok ji‟alah, maka ucapan yang diterima adalah ucapan pekerja dengan disuruh bersumpah.46
3. Ketentuan Imbalan atau Komisi Dalam Hukum Islam Menyangkut penentuan imbalan atau upah kerja, syariat Islam tidak memberikan ketentuan yang rinci secara tekstual, baik dalam ketentuan al-Quran maupun sunnah Rasul. Yang ada kaitannya dengan penentuan upah kerja secara umum dalam al-Quran surat an-Nahl ayat 90 :
َْؼِظُكُىٚ َُِْٙٓٗ ػٍَِ انْفَحْشَاءِ َٔانْ ًُُْكَشِ َٔا ْنبَ ْغَٚ َٔ َٗتَاءِ رِ٘ انْمُ ْشبَِٚأْيُشُ بِانْؼَذْلِ َٔانْإِحْسَاٌِ َٔإٚ ََّإٌَِ انه )۹ٓ :نَؼَهَكُى تَزَكَشٌَُٔ (اَّحم Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (Q.S. An-Nahl: 90).47 Apabila ayat itu di kaitkan dengan ji‟alah, maka dapat dikemukakan bahwa Allah memerintahkan kepada para pemberi upah untuk berlaku adil,berbuat baik dan dermawan kepada penerima upah. Kata kerabat dalam ayat itu dapat diartikan penerima upah, sebab penerima upah tersebut sudah merupakan bagian dari pekerjaan, dan kalaulah bukan karena jerih payah penerima upah tidak mungkin 46
Ismail Nawawi, Op. Cit, h. 96-97.
47
Depag RI, Op. Cit, h. 415.
46
usaha pemberi upah dapat berhasil. Disebabkan penerima upah mempunyai mempunyai andil yang besar untuk kesuksesan usaha pemberi upah, maka berkewajibanlah pemberi upah untuk menyejahterakan penerima upah, termasuk memberikan upah yang layak.48 Upah atau ujrah dapat diklasifikasikan menjadi dua: pertama, upah yang telah disebutkan, upah ini disyaratkan ketika disebutkan harus disertai kerelaan kedua pihak yang bertransaksi dan kedua, upah yang sepadan, yakni upah yang sepadan dengan kerja keras serta kondisi pekerjaannya. 49 Dalam hal pemberian upah harus ditetapkan secara jelas dalam akad. Jika masanya ditetapkan, maka kadar harga pengupahan yang harus diberikan juga harus di tetapkan.
Dalam Surat al-Ahqaf ayat 9 yang berbunyi:
َ َٔيَا َأََا إِنَاٙحٰٗ إَِن َ ُٕٚ َٔنَا بِكُىْ ۖ إٌِْ َأَت ِبغُ إِنَا يَاُِٙفْؼَمُ بٚ لُمْ يَا ُكُْتُ بِذْػًا يٍَِ انشُسُمِ َٔيَا أَدْسِ٘ يَا )۹ :ٌٍ (االحمافِٛشٌ ُيبَِٚز Artinya : “Katakanlah "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasulrasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan."50 48
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h 155.
49
M. Ismail Yusanto dan M. Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islam, (Jakarta: Gema Insani Pres, 2002), h. 194. 50
Depag RI. Op.Cit, h. 283.
47
4. Dampak Sosial dan Ekonomi Ji’alah Menggunakan potensi orang lain untuk melakukan kerja baik di sektor pertanian, industri dan jasa serta yang lain merupakan aktivitas yang bersifat ekonomi yang dapat memenuhi kebutuhan orang lain. 51 Dalam sistem pengupahan untuk melakukan pekerjaan diberbagai sektor usaha diperlukan keterampilan sumber daya manusia, baik sebagai wirausaha maupun sebagai pekerja teknis di bidangnya. Sebagai mana firman Allah dalam surat al-Isra‟ ayat 84 yang berbunyi:
)۸۶ :هًا (االسشأِٛسب َ ََٰٖؼًَْمُ ػََهٰٗ شَاكَِهتِِّ فَ َشبُكُىْ أَػْهَىُ بًٍَِْ َُْٕ َأْْذٚ ٌلُمْ كُم Artinya: katakanlah (Muhammad) “tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya” (al-Isra‟: 84)52
Termasuk dalam pengertian keadaan di sini ialah tabiat dan pengaruh alam sekitarnya. Sedangkan sesuai bidang atau profesi dijelaskan oleh Allah dalam firmanNya yang berbunyi:
)ٖ۹ :سْٕفَ تَؼْهًٌََُٕ (انضّيش َ َ ػَايِمٌ ۖ فََِٙا َلْٕوِ اػًَْهُٕا ػََهٰٗ يَكَاَتِكُىْ ِإٚ ْلُم
51
Ismail Nawawi, Op.Cit, h. 97.
52
Depag RI. Op.Cit, h. 356.
48
Artnya: “katakanlah hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui” (azZumar: 39)53
5. Hukum Perselisihan Antara Pemilik dan Amil Jika terjadi perselisihan antara pemilik akad ji‟alah dan amil, dalam masalah asal persyaratan upah, misalnyasalah satu mengingkari persyaratan tersebut, maka orang yang mengingkari itu yang dibenarkan sumpahnya. Seperti jika amil bekata, “kamu mensyaratkan upah kepada saya”, tapi si pemilik mengingkarinya, maka sipemilik itu dibenarkan dengan sumpahnya. Hal itu karena asalnya tidak ada persyaratan upah. Apabila mereka berdua berselisih dalam jenis pekerjaannya, seperti mengembalikan mobil yang hilang, atau barang yang hilang, atau berselisih tentang siapa yang mengerjakannya, maka yang dibenarkan adalah yang melaksanakan pekerjaan atau (amil) tersebut dengan sumpahnya.karena amil mengaku sesuatu yang asalnya tidak ada, maka yang mengingkarinya dibenarkan dengan sumpahnya. Demikian juga, orang yang mengingkari dibenarkan jika merka berselisih dalam usaha yang dilakukan amil. Misalkan sipemilik berkata, “kamu bukan yang mengembalikannnya, tapi dia (binatang atau barang) yang datang atau kembali sendiri.” Maka sipemilik itu dibenarkan, karena asalnya tidak ada pengembalian.
53
Ibid, h. 794.
49
Apabila mereka berdua berselisih tentang besarnya upah, atau jauhnya jarak, atau tempat yang telah diperkirakan adanya barang yang hilang, maka ulama Malikiyyah dan Syafi‟iyah berpendapat bahawa keduanya disumpah dan akad ji‟alahnya dibatalkan, lalu sipemilik wajib memberikan upah yang umum berlaku. Sedangkan ulama Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang dibenarkan adalah ucapan si pemilik dengan sumpahnya, karena asalnya tidak ada tambahan yang diperselisihkan. Juga karena ucapan yang
dibenarkan adalah ucapan si
pemilik dalam ada tidaknya imbalan, maka demikian juga dalam jumlahnya. Selain itu, karena sipemilik mengingkari yang diakui oleh amil yang melebihi dari yang pemilik akui, dan asalnya si pemilik itu bebas dari yang diakui oleh amil. Dan bisa saja mereka berdua bersumpah seperti penjual dan pembeli jika keduanya berselisih tentang besarnya harga. 54
6. Hikmah Ji’alah Ji‟alah merupakan pemberian penghargaan kepada orang lain berupa materi karena orang itu telah bekerja dan membantu mengembalikan sesuatu yang berharga. Baik itu berupa materi (barang yang hilang) atau mengembalikan kesehatan, atau membenatu seseorang menghafal al-Qur‟an. Hikmah yang dapat dipetik adalah dengan ji‟alah dapat memperkuat persaudaraan dan persahabatan, menanamkan sikap saling menghargai dan akhirnya tercipta sebuah komunitas yang saling tolong-menolong dan bahu-membahu. Dengan ji‟alah, akan 54
Wahbah Zuhaili, Op.Cit, h. 439.
50
terbangun suatu semangat dalam melakukan sesuatu bagi para pekerja. Terkait dengan ji‟alah sebagai sesuatau pekerjaan yang baik, Islam mengajarkan bahwa Allah selalu menjanjikan balasan berupa surga bagi mereka yang mau melaksanakan perintahnya, seseorang akan memperoleh pahala dari pekerjaan yang baik yang ia kerjakan.55
55
Nur Azizah, Makalah Ji‟alah, http://nurazizahaza.blogspot.com/2013/01/makalahjialah.html. Di akses 25 Maret 2016 pukul 13:36.