BAB II LANDASAN TEORI II. A. Makna Hidup II. A. 1. Pengertian Makna Hidup Makna hidup (meaning of life) merupakan diskusi filosofis yang fundamental mengenai eksistansi manusia. Biasanya berisi intepretasi dari pertanyaan-pertanyaan seputar
asal mula hidup, sifat kehidupan (dan alam
semesta tempat kita tinggal), hal yang penting dalam hidup, tujuan hidup, dan apa yang bernilai dalam hidup. Pertanyaan yang dapat dijawab dengan penjelasan ilmiah, filosofis, teologis dan spiritual. (www.Wikipedia.com) Frankl mengatakan : meaning is what is meant be it by a person who asks me a question or by situation which too implies a question and calls for an answer. (Victor E Frankl, The will to meaning, p.62)
Frankl (Dalam Edwards, 2007) percaya bahwa makna dalam hidup bukanlah dibuat atau diberikan oleh orang lain, melainkan sudah ada dalam diri dan harus ditemukan. Ia mengemukakan tentang dua tingkat makna hidup, yaitu provisional meaning (yang ditemukan dalam kehidupan dan peristiwa sehari-hari) dan ultimate meaning (yang dihasilkan oleh pengalaman dan kepercayaan yang dalam). Reker (dalam Edward, 2007) mengemukakan tentang makna eksistensial dan makna implisit/definisional. Ia mendefinisikan makna eksistensial sebagai
13
Universitas Sumatera Utara
usaha untuk memahami bagimana peristiwa dalam hidup dapat sesuai pada konteks yang lebih besar. Hal ini melibatkan proses penciptaan dan penemuan makna yang difasilitasi oleh sense of coherence (rasa kelayakan, alasan untuk eksistensi) dan sense of purpose in life (misi dalam hidup, arah dan orientasi tujuan). Coherence merupakan pertanyaan mengenai ”apakah makna dari hidup”, sedangkan purpose in life merupakan pertanyaan mengenai ”apakah makna dari hidupku”. Sedangkan makna implisit atau definisional merupakan arti personal yang dilekatkan seseorang pada suatu hal atau peristiwa, tentang apa yang dirasakan seseorang saat mengalami sesuatu. Dapat disimpulkan bahwa makna eksistensial memiliki koteks pemahaman yang lebih besar dibandingkan makna implisit/definisional.
Reker
mengemukakan
bahwa
pembentukan
makna
eksistensial merupakan proses inti dari membuat makna yang terdiri dari mencari makna dan menemukan makna Makna merupakan seperangkat kepercayaan yang membuat dunia dapat dimengerti, tujuan untuk diperjuangkan, dan pandangan bahwa orang mampu mencapai tujuan itu, keterikatan yang tidak egoistik terhadap (orang lain, hewan, alam, zat yang lebih tinggi), dan perasaan terpenuhi yang muncul dari adanya komponen-komponen tersebut (Edwards, 2007). Makna adalah sesuatu yang dirasakan penting, benar, berharga, dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup, yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Ada beberapa karakteristik makna hidup (Bastaman, 2007), yaitu :
14
Universitas Sumatera Utara
a. Makna hidup bersifat unik, pribadi, dan temporer, artinya apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya sifatnya khusus, berbeda dan tak sama dengan makna hidup orang lain, serta mungkin pula dari waktu ke waktu berubah. b. Makna hidup adalah spesifik dan nyata, dalam artian makna hidup benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak perlu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak filosofis, tujuantujuan idealistis, dan akademis yang serba menakjubkan. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapa pun melainkan harus dicari, dijajagi dan ditemukan sendiri. c.
Makna hidup memberi arah dan pedoman terhadap kegiatan- kegiatan kita, sehingga
tujuan
makna
hidup
seakan-akan
menantang
kita
untuk
memenuhinya. Dalam hal ini begitu makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, kegiatan-kegiatan kita terarah kepada pemenuhan itu. II. A. 2. Sumber makna Hidup Sumber makna hidup merupakan berbagai area dimana seseorang bisa merasakan makna didalamnya. “Sources of meaning are the different content areas or personal themes from which meaning is experienced” (Reker, 2000, p.42) Makna dapat ditemukan tidak hanya dalam aktivitas dan pengalaman, tapi juga melalui sikap positif seseorang terhadap situasi yang menyebabkan distress. Pencapaian potensi kebermaknaan yang tertinggi bagi manusia adalah kemampuan untuk merubah (trancend) tragedi tak terelakkan (Frankl, 1980).
15
Universitas Sumatera Utara
Makna hidup tidak saja dapat ditemukan dalam keadaan yang menyenangkan, tetapi juga dapat ditemukan dalam penderitaan sekalipun jika kita mampu melihat hikmah-hikmahnya. Dalam kehidupan ini terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup didalamnya apabila nilai-nilai itu diterapkan dan dipenuhi. Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyebutkan tentang ketiga nilai tersebut, yaitu: a. Creative values Merupakan apa yang diberikan orang tersebut kepada dunia, dapat diperoleh dari kegiatan berkarya, bekerja, mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebak-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Namun pekerjaan hanyalah prasarana untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup, makna hidup tidak terletak pada pekerjaan tetapi lebih bergantung pada pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya. b. Experiential values Apa yang diperoleh seseorang dari dunia, dapat berupa keyakinan dan penghayatan akan cinta dan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan dan keagamaan, serta cinta kasih. Tidak sedikit orang yang merasa menemukan arti hidup dari agama yang diyakininya, atau ada orang yang menghabiskan sebagian besar usianya untuk menekuni suatu cabang seni tertentu. Cinta kasih
16
Universitas Sumatera Utara
dapat pula menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Dengan mencintai dan dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan. c. Attitudinal values Sikap seseorang dalam menghadapi penderitaan di dunia, yaitu dengan menerima dengan penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak terelakkan. Seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan, sekarat, dan kematian. Dalam hal ini yang berubah bukanlah keadaannya melainkan sikap yang diambil dalam menghadapi keadaan itu. Sikap menerima dengan penuh keikhlasan dan ketabahan segala penderitaan dapat membuat seseorang mampu melihat makna dan hikmah dari sebuah penderitaan. Selain ketiga nilai diatas, Bastaman (2007) mengemukakan satu nilai lain yang dapat menjadikan hidup ini menjadi bermakna, yaitu harapan (hope). Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Pengharapan mengandung makna hidup karena adanya keyakinan akan terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan menghadapi keadaan buruk saat ini dan sikap optimis menyongsong masa depan. Nilai kehidupan ini dinamakan nilai pengharapan (hopeful values). Beberapa peneliti telah melakukan penelitian untuk mengetahui suatu sumber dimana seseorang bisa memperoleh makna didalamnya. diantaranya adalah (Edwards, 2007) : a. Battista dan Almond yang mengemukakan tentang enam orientasi nilai utama, yaitu : hubungan interpersonal (Interpersonal) dengan orang lain yang
17
Universitas Sumatera Utara
melibatkan cinta dan memberi; pelayanan (Service) seperti mengobati atau menolong orang lain;
pemahaman (understanding) yang menekankan pada
pengembangan teori dan berpikir abstrak; mendapatkan keinginan, rasa hormat, dan tanggung jawab (obtaining); mengekspresikan diri melalui perasaan, seni, dan atletik (expressive); hidup dalam suatu kepercayaan sosial, politik, dan agama (ethical). b. DeVoegler dan Ebersole memodifikasi dan menambahkan kategori baru dari penelitian Battista dan Almond, yaitu: relationship, service, obtaining, expression, understanding, growth (bekerja hingga mencapai batas potensi diri dan mencapai suatu tujuan), belief (dibimbing oleh kepercayaan sosial, politik dan agama),
existential-hedonistic
(kenikmatan,
hidup
dari
hari-ke
hari),
pleasure/happiness dan health. c. Debats juga mengemukakan bahwa relationship, service, dan beliefs merupakan salah satu sumber makna hidup selain life work (makna dari pekerjaan yang dilakukannya saat ini), personal WellBeing (hidup itu sendiri merupakan makna), Self Actualization (ingin menjadi sesuatu), Materiality (materi yang dimiliki), dan future/hope (harapan bahwa hidup akan menjadi lebih baik di masa depan) d. Baum dan Stewart membedakan berdasarkan gender, mengatakan bahwa sumber makna hidup pada pria adalah pekerjaan, cinta dan pernikahan, dan mengejar kemandirian sedangkan pada wanita adalah anak, cinta dan pernikahan, dan pekerjaan.
18
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa penelitian diatas dapat dilihat bahwa relationship merupakan sumber makna yang penting. Selain itu, makna hidup dapat diperoleh dari : service, understanding, obtaining, expression, ethical, life work, growth, pleasure/happiness, health, belief, love, existential-hedonistic, personal wellbeing, self actualization, materiality dan future/hope. Tabel 1. Sumber-Sumber Makna Hidup No.
Makna hidup
1
Interpersonal/ Relationship
Arti cinta dan memberi. hubungan yang baik dengan keluarga, teman, dan pasangan. Menghabiskan waktu dengan orang-orang yang disayangi. Perasaan bahwa mereka mendukung kita.
2
Service
Mengobati, membantu atau menolong orang lain.
3
pengembangan teori dan berpikir abstrak. Understanding
Bekerja
keras
untuk
mengumpulkan
pengetahuan. Belajar tentang semua hal yang menarik bagi dirinya. 4
Obtaining
Mendapatkan keinginan, rasa hormat, dan tanggung jawab.
5
Expression
mengekspresikan diri melalui perasaan, seni, dan atletik. hidup dalam suatu kepercayaan sosial, politik,
19
Universitas Sumatera Utara
Ethical/ 6
Belief
dan agama dibimbing oleh kepercayaan sosial, politik dan agama seperti aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan selain ’isi’ dari kepercayaan itu sendiri, ’proses’ dari mempercayai juga memiliki peranan penting.
7
Growth
bekerja hingga mencapai batas potensi diri dan mencapai suatu tujuan. Hidup adalah tentang
perubahan
dan
pertumbuhan.
Misalnya percaya bahwa ia dilahirkan untuk mencari tahu tentang dirinya sendiri dan mengembangkan bakatnya. 8
Existential-hedonistic
kenikmatan, hidup dari hari-ke hari. Sedapat mungkin menikmati hari-hari yang dijalani
9
Pleasure/happiness
10
Health.
11
Life work
Kesenangan, kebahagiaan. Kesehatan. makna dari pekerjaan yang dilakukannya saat ini.
12
Personal Wellbeing
hidup itu sendiri merupakan makna seperti pemandangan, tanaman, pohon, hewan, suara burung, laut, pegunungan, dll.
13
Self Actualization
ingin menjadi sesuatu.
20
Universitas Sumatera Utara
14
Materiality
materi yang dimiliki. Memiliki banyak uang untuk membeli segala yang diinginkan.
15
Future/Hope
harapan bahwa hidup akan menjadi lebih baik di masa depan.
16
Pria: pekerjaan,
_
cinta dan pernikahan, mengejar kemandirian 17
Wanita : anak,
_
cinta dan pernikahan, pekerjaan
II. A. 3. Orientasi Nilai Orang yang telah memiliki makna hidup dan menemukan orientasi nilai dibagi Kratochvil (1968) menjadi dua kelompok : a. Sistem nilai Paralel Mereka yang berada dalam sistem nilai paralel memiliki beberapa nilai yang sama kuatnya dalam hidup mereka, dan kesemuanya bermakna. b. Sistem nilai Piramidal Pada sistem nilai piramidal, satu nilai besar berada pada tempat paling atas, sedangkan yang lainnya berada jauh di bawah, sehingga keseluruhan sistem nilai diatur seperti piramid. Mereka yang merasa aman dalam sistem nilai ini hanya memiliki satu tujuan untuk diperjuangkan, satu ketertarikan berharga untuk dikejar.
21
Universitas Sumatera Utara
Keputusasaan (despair) dapat terjadi jika nilai utama pada sistem nilai piramidal rusak, juga pada saat pencarian makna hidup berakhir pada frustasi. Namun, kebanyakan keputusasaan tidak disebabkan oleh distress dan kegagalan. Distress tidak hanya mengakibatkan kerusakan psikologi, namun dapat juga memiliki kemungkinan untuk menemukan makna baru. (Frankl, ….) II. A. 4. Penderitaan Penderitaan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia. Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan, kesalahan, dosa, sakit ataupun derita dalam hidupnya, dan siapapun yang merasa belum pernah mengalaminya pasti suatu saat akan mengalaminya juga. Bastaman (1996) merumuskan penderitaan sebagai perasaan tidak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang. Perasaan tidak menyenangkan dapat dihayati dengan intensitas yang berbeda-beda pada setiap orang mulai dari perasaan tidak nyaman yang temporer sampai dengan kesedihan mendalam yang berlangsung lama. Penderitaan menimbulkan reaksi yang berbeda-beda pada orang yang mengalaminya. Travelbee (dalam Bastaman, 1996) menyebutkan adanya 3 reaksi dalam menghadapi penderitaan, yaitu: a. The why me reaction Why me reaction adalah corak reaksi yang paling sering terjadi pada orang-orang
yang
sedang
mengalami
penderitaan.
Mereka
seakan-akan
mempertanyakan mengapa nasib buruk itu yang menimpa diri mereka, dan bukan terjadi pada orang lain. Reaksi tidak menerima ini biasanya terungkap dalam
22
Universitas Sumatera Utara
bentuk-bentuk marah, mengasihani diri sendiri, depresi, tidak peduli, apatis dan mencari-cari kesalahan pada orang lain. b. The acceptance reaction Reaksi menerima dengan penuh kesabaran penderitaan yang sedang dialami. c. The why not me reaction Reaksi berupa kesediaan untuk mengambil alih dan mengalami sendiri penderitaan yang menimpa orang lain, khususnya orang yang dikasihi. Ini sama sekali bukan masochistis, melainkan reaksi yang lebih banyak didasari oleh keyakinan
agama dan filsafat hidup yang menganggap bahwa penderitaan
merupakan bagian intrinsik dari kehidupan manusia dan kesediaan berkorban untuk menanggung penderitaan orang lain merupakan perbuatan yang mulia. Ada banyak kesulitan-kesulitan yang menyebabkan penderitaan, seperti penyakit badani, gangguan/penyakit kejiwaan, perpisahan (cerai, lari, mati, terkucil menyendiri), dosa dan kesalahan, kegagalan, dan sebagainya. Frankl (dalam Bastaman, 1996) menyebut hal-hal yang menimbulkan penderitaan sebagai “the tragic triads of human existence”, yakni tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam kehidupan manusia, yaitu : a. Sakit (pain) Merupakan suatu keadaan mental atau fisik
yang kurang baik atau
kegelisahan mental dan fisik. Intensitas sakit (pain) berkisar dari mulai setengah gelisah atau penderitaan yang membosankan hingga penderitaan yang akut bahkan
23
Universitas Sumatera Utara
seringkali rasa sakit yang tak terperikan, dan dapat dirasakan secara “generelized” atau “localized”, (Travelbee, dalam Bastaman, 1996). b. Salah (guilt) Merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tak sesuai dengan hati nurani. Hati nurani adalah unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang sesuai dengan tolok ukur tertentu. Secara umum dikenal bermacam-macam rasa salah, seperti fantasy guilt, situation guilt, dan real guilt. Semuanya dianggap melanggar hati nurani dan norma-norma sosial, dan biasanya berakhir dengan penyesalan. c. Kematian (death) Baik kematian sendiri maupun kematian orang lain merupakan tragedi alami yang pasti terjadi dan setiap orang akan mengalaminya. Tetapi sikap orang terhadap kematian pada umumnya paradoksal. Di satu pihak menyadari bahwa kematian merupakan kepastian, tetapi di lain pihak jarang sekali secara serius bersedia memikirkan dan mempersiapkannya, lebih-lebih bila menyangkut kematian sendiri. II. B. Bunuh Diri II. B. 1. Pengertian Bunuh Diri Kata suicide berasal dari bahasa latin sui yang berarti dari diri sendiri dan cide/cidium yang berarti pembunuhan. Dalam Maris, Berman, dan Silverman, (2000) ada beberapa definisi dasar dari perspektif disiplin ilmu yang berbeda, diantaranya adalah:
24
Universitas Sumatera Utara
1. pandangan psikologis yang dikemukakan oleh Shneidman (1985) yaitu bunuh diri adalah tindakan yang menyebabkan kehancuran pada diri sendiri yang dilakukan secara sadar, paling baik dipahami sebagai perasaan tidak enak yang multidimensional pada individu yang menganggap bunuh diri sebagai solusi terbaik 2. pandangan eksistensial yang dikemukakan oleh jean baechler (1975,1979) yaitu bunuh diri merupakan semua perilaku yang mencari dan menemukan solusinya pada suatu masalah eksistensial dengan membuat suatu percobaan dalam kehidupan sebagai subjeknya. Menurut Shneidman (1996) suicide disebabkan oleh suatu rasa sakit psikologis (Psychologycal pain) atau psychache (sik-ak). Psychache ini muncul dari distorsi kebutuhan psikologis. Psychache merupakan rasa sakit atau penderitaan yang bersumber diadalam benak (mind) seseorang. Ia merupakan proses psikologis yang intrinsik, perasaan sakit dari perasaan malu, bersalah, ketakutan, kecemasan, kesepian yang berlebihan dari bertambah tua atau sekarat. Bunuh diri terjadi saat psychache tidah tertahankan lagi dan kematian merupakan cara untuk menghentikana aliran kesadaran yang penuh penderitaan. Cara terbaik untuk memahami bunuh diri adalah melalui penelitian tentang emosi manusia. Saat kita mengalami emosi negatif dalam tingkat yang cukup tinggi, gangguan dan penderitaan psikologis muncul. Penderitaan atau gangguan atau kekacauan (pertubation) disebabkan oleh rasa sakit, terkadang rasa sakit fisik tapi lebih sering rasa sakit psikologis. Rasa sakit psikologis merupakan unsur dasar dari bunuh diri (shneidman, 1996).
25
Universitas Sumatera Utara
Beberapa bunuh diri muncul dari keinginan yang kuat untuk keluar dari self awareness yang aversive, yaitu dari kesadaran yang menyakitkan akan kekurangan dan ketidaksuksesan yang diatributkan seseorang pada dirinya sendiri (Baumeister,1990). Pandangan kedokteran modern bahwa bunuh diri merupakan perhatian kesehatan mental yang diasosiasikan dengan faktor psikologis seperti kesulitan dalam menghadapi depresi, rasa sakit atau takut yang tak terelakkan, tekanan, atau penyakit mental. Bunuh diri sering diintepretasikan sebagai “cry for help” dan perhatian, atau untuk mengekspresikan keputusasaan dan harapan untuk keluar (Barlow, 2005). Dalam bunuh diri, ada motif dan niat. Motif merupakan alasan seseorang untuk bunuh diri, seperti depresi, perceraian, penyakit fisik, rasa malu, bersalah, dan kehilangan. Motif merupakan penyebab atau alasan yang menggerakkan keinginan dan menyebabkan tindakan. Motif adalah hal yang mendorong dan menstimulasi seseorang untuk melakukan suatu tindakan tau untuk memproduksi suatu hasil. Niat adalah maksud yang dimiliki seseorang dalam menggunakan alat khusus (bunuh diri) untuk mengakibatkan suatu hasil (kematian). Niat bunuh diri biasanya mengindikasikan bahwa individu memahami sifat fisik dan konsekuensi dari tindakan merusak diri (Maris, Berman, silverman, 2000) Kuchar, Potter, Powell, & Rosenberg (1995) menggambarkan suicide sebagai akhir dari suatu kontinum yang bermula dari suicidal ideation, berlanjut dengan merencanakan dan mempersiapkan untuk suicide dan berakhir dengan mengancam, mencoba, dan benar- benar melakukan suicide (SPRC, 2004) .
26
Universitas Sumatera Utara
Beck et,all (1973) mengembangkan skema klasifikasi untuk perilaku bunuh diri. Berdasarkan klasifikasi ini, fenomena suicidal digambarkan sebagai: completed suicide, suicide atempts, suicide ideation. O’Carrol et al (1996) menyediakan definisi yang sering digunakan dalam penelitian tentang bunuh diri. Suicide atau completed suicide didefinisikan sebagai kematian karena luka, racun, mati lemas dimana ada bukti (eksplisit maupun implisit) bahwa luka tersebut diakibatkan diri sendiri dan bahwa pelaku bermaksud untuk membunuh dirinya sendiri. Suicide attempt didefinisikan sebagai perilaku yang berpotensi menyakiti diri sendiri namun dengan hasil yang tidak fatal (Orang tersebut tidak mati, masih dapat diobati), dan ada bukti (eksplisit maupun implisit) bahwa orang tersebut memiliki maksud untuk membunuh dirinya. Suicidal ideation adalah pemikiran apapun yang berkaitan dengan perilaku bunuh diri atau membentuk suatu niat untuk bunuh diri dengan berbagai derajat keseriusan namun tidak melakukan suatu tindakan eksplisit. II. B. 2. kondisi Psikologis Berdasarkan teori kebutuhan Murray, Shneidman (1996) menggolongkan kegagalan dalam pemenuhan kebutuhan psikologis orang yang bunuh diri kedalam 5 kelompok. Masing-masing merefleksikan jenis rasa sakit psikologis yang dialami. Kelima hal tersebut adalah: 1. Thwarted love, acceptance, and belonging berkaitan dengan frustasi kebutuhan succorance dan affiliation 2. Fractured control, predictability, and arrangement
27
Universitas Sumatera Utara
berkaitan dengan frustasi kebutuhan achievement, autonomy, order dan understanding 3. Assaulted self image and avoidance of shame, defeat, humiliation, and disgrace berkaitan dengan frustasi kebutuhan affiliation, defendance dan shame avoidance 4. Ruptured key relationship and the attendant grief and bereftness berkaitan dengan frustasi kebutuhan affiliation dan nurturance 5. Excessive anger, rage and hostility berkaitan
dengan
frustasi
kebutuhan
dominance,
aggression,dan
counteraction bukanlah suatu kebutuhan yang menyebabkan bunuh diri, melainkan rasa frustasi, kegagalan, terhalangi, ketidaklengkapan dan tegangan akan terpenuhinya kebutuhan tersebut, hal ini dianggap penting bagi orang tersebut sehingga menyebabkan tegangan yang tidak dapat dipikul. Joiner (2005) menjadikannya dua kategori utama, yaitu : 1. Perceived Burdensomeness (yaitu assaulted self image, fractured controlled dan excessive anger) Apabila kebutuhan untuk keefektivan dan rasa kompetensi tidak terpenuhi, maka akan memiliki kontribusi dalam keinginan bunuh diri terutama bila perasaan tidak efektif tersebut hingga derajat dimana orang lain terbebani. Mereka yang melihat dirinya sendiri sebagai beban bagi orang lain memiliki image diri yang negatif, perasaan tidak bisa mengontrol hidupnya, dan memiliki emosi
28
Universitas Sumatera Utara
negatif yang berasal dari rasa bahwa ketidakmampuan mereka mempengaruhi orang lain. Orang yang melakukan bunuh diri memandang dirinya sebagai beban, memandang bahwa kondisi ini adalah stabil dan permanen, dengan kematian sebagai solusi dari masalah. Pandangan mereka mungkin saja salah, namun setiap persepsi dapat mempengaruhi perilaku. Berlawanan dengan rasa ketidakefektivan dan helpless, rasa keefektivan yaitu pandangan bahwa seseorang bukanlah beban melainkan memiliki kontribusi dapat mempertahankan kehidupan. Melihat bahwa diri sendiri sangat tidak efektif dan orang yang dicintai terancam dan terbebani merupakan sumber dari keinginan untuk bunuh diri.
2. Thwarted Belongingness (yaitu thwarted love dan ruptured relationship) Need to belong merupakan motif fundamental manusia yang melibatkan kombinasi dari interaksi yang sering terjadi disertai perhatian yang terus menerus. Dua komponen dari terpenuhinya need to belong adalah interaksi dengan orang lain dan perasaan diperhatikan. Sehingga untuk memenuhinya dibutuhkan interaksi yang positif dan sering.
Jika individu tersebut memiliki pemikiran
bunuh diri, hubungannya dengan orang yang ia sayangi membuatnya tidak mungkin melakukan tindakan bunuh diri. Tidak terpenuhinya need to belong dapat meningkatkan resiko akan keinginan untuk bunuh diri : individu yang suicidal mengalami interaksi yang tidak memuaskan kebutuhannya akan need to belong ( hubungan yang tidak
29
Universitas Sumatera Utara
menyenangkan, tidak stabil, tidak sering, atau tanpa kedekatan) dan merasa tidak terhubungkan dengan orang lain dan tidak diperhatikan. Orang yang gagal dalam memenuhi need to belong akan memiliki hasrat (desire) untuk mati, Sebagaimana orang yang telah kehilangan hubungan dengan orang lain mulai membentuk pemikiran akan kematian. Ia melihat kematian dengan cara yang aneh. Menggunakan kata-kata seperti ‘indah’ dan ‘anggun’ saat menggambarkan tentang kematian dan meleburkan konsep kematian dan penghancuran dengan hidup dan pemeliharaan. Hal ini hanya dapat terjadi jika seseorang telah kehilangan rasa takutnya yang mendalam pada kematian. Kedua kondisi psikologis ini, keefektivan dan keterhubungan saling berkaitan satu sama lain. Untuk merasa menjadi beban bagi seseorang, kita harus terhubungkan pada orang tersebut, maka burdensomness
mempengaruhi
belongingness. Dan bahwa perasaan terhubung akan mempengaruhi perasaan efektiv (Joiner 2005). Ada 3 variabel yang sering muncul dalam pelaku bunuh diri, yaitu feeling a burden on others, social withdrawal, dan help negation (kecendrungan untuk menghalangi pertolongan, terutama pertolongan terapeutik). Help negation dipandang sebagai proses dari pemutusan hubungan interpersonal dan dapat merepresentasikan suatu thwarted belongingness (Joiner, 2005).
30
Universitas Sumatera Utara
II. B. 3. Commonalities of suicide Menurut Shneidman (1996), ada 10 kebiasaan dalam bunuh diri, yaitu: 1.
Biasanya maksud dari bunuh diri adalah mencari solusi Bunuh diri bukanlah tindakan yang dilakukan secara acak. Bunuh diri
tidak pernah dilakukan tanpa tujuan karena bunuh diri merupakan jalan keluar dari masalah, dilema, kesulitan, krisis dan situasi yang tidak dapat ditanggung lagi. Bila hidup dianggap sebagai sesuatu yang menyakitkan, tak tertahankan, absurd dan tidak bermakna, bunuh diri menjadi suatu jawaban . Tujuan dari bunuh diri adalah untuk menyelesaikan masalah , untuk mencari sebuah solusi dari masalah yang mengakibatkan penderitaan hebat. 2.
Biasanya
tujuan
dari
bunuh
diri
adalah
berhentinya
kesadaran
(consciousness) Bunuh diri dapat dipahami sebagai pergerakan
kearah berhentinya
kesadaran dan rasa sakit yang tidak bisa ditanggung lagi oleh seseorang. Terutama bila berhentinya kesadaran itu dianggap sebagai solusi terbaik dari orang yang menderita masalah yang menekan dan hidup yang penuh derita. 3.
Biasanya, stimulus dari bunuh diri adalah rasa sakit psikologis yang tak
tertahankan Bunuh diri merupakan pergerakan menjauhi emosi yang tak tertahankan, rasa sakit yang tidak dapat ditanggung, dan kesedihan yang tidak dapat diterima. Orang ingin keluar dari rasa sakit psikologis (psychache). Rasa sakit (pain) merupakan inti dari bunuh diri. Bunuh diri merupakan respon manusia untuk rasa sakit psikologis yang ekstrem, rasa sakit dari penderitaan manusia.
31
Universitas Sumatera Utara
4.
Biasanya stressor dalam bunuh diri adalah terhalangnya kebutuhan
psikologis Bunuh diri merupakan hasil dari terhalangnya atau tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis. Hal ini lah yang menyebabkan rasa sakit dan mendorong pada tindakan bunuh diri. Kebanyakan bunuh diri mewakili kombinasi dari berbagai kebutuhan, tapi setiap tindakan bunuh diri merefleksikan tidak terpenuhinya kebutuhan psikologi khusus. 5.
Biasanya emosi dalam bunuh diri adalah hopelessness dan helplessness Perasaan yang meliputi kondisi suicide adalah hopelessness dan
helplessness. Perasaan seperti : “tidak ada yang dapat aku lakukan (kecuali bunuh diri), dan bahwa tidak ada yang dapat menolongku (dengan derita yang kualami)”. Yang mendasari ini adalah perasaan tidak bertenaga, bosan, dan sangat sedih bahwa segalanya tidak memiliki harapan dan aku tidak tertolong lagi. 6.
Biasanya kondisi kognitif dalam bunuh diri adalah ambivalent Orang yang melakukan bunuh diri ambivalen antara hidup dan mati pada
saat mereka melakukannya. Mereka ingin mati, namun di saat yang sama juga ingin diselamatkan. Ambivalensi merupakan kondisi yang umum dari bunuh diri. 7.
Biasanya kondisi perseptual dalam bunuh diri mengalami penyempitan Dalam bunuh diri biasanya terjadi penyempitan dalam emosi dan
psikologis seseorang. Orang yang bunuh diri mempersempit atau memfokuskan pilihan mereka menjadi suatu dikotomi. Akan mencapai solusi bahagia yang hampir tidak mungkin dilanjutkan atau berhenti melakukannya. Semua atau tidak sama sekali. Yang memunculkan pemikiran seperti: ” tidak ada hal lain lagi untuk
32
Universitas Sumatera Utara
dilakukan”, ”jalan keluar nya hanyalah kematian: ” satu-satunya yang dapat aku lakukan adalah membunuh diriku”. 8.
Biasanya tindakan dalam bunuh diri adalah pelarian atau egression Bunuh diri merupakan kepergian dari suatu kondisi distress. Kebanyakan
orang berkeinginan untuk keluar dari masalah untuk sementara (seperti lari dari rumah, berhenti dari pekerjaan, meninggalkan pasangan, berlibur, atau tenggelam dalam buku atau film yang mengasyikkan), namun hal itu berbeda dengan keinginan untuk menghentikan hidup selamanya. 9.
Biasanya tindakan interpersonal dalam bunuh diri adalah komunikasi akan
niat Kebanyakan orang yang melakukan bunuh diri, baik secara sadar maupun tidak menunjukkan petunjuk tentang niatnya, tanda-tanda akan distress, rengekan akan ketidakberdayaan, dan pertolongan untuk intervensi. Tentu saja komunikasi verbal dan perilaku ini biasanya dilakukan secara tidak langsung, tapi dapat didengar oleh orang yang memang mau mendengarnya. 10.
Biasanya pola dalam bunuh diri adalah konsistensi dari gaya abadi Ada pola tertentu yang selalu digunakan seseorang dalam menyelesaikan
masalahnya, baik dalam emosi maupun reaksi pertahanannya. Hal ini konsisten dengan reaksi jangka pendek dan jangka panjangnya saat mengalami penderitaan, ancaman, kegagalan, ketidakberdayaan dan berbagai peristiwa negatif dalam hidupnya. Untuk dapat mengetahui gaya seseorang dalam mengatasi masalah kita harus melihat peristiwa sebelumnya yang mengganggu, dan masa-masa kelam dalam kehidupan untuk mengukur kapasitas seseorang dalam memikul psychache.
33
Universitas Sumatera Utara
II. B. 4. Faktor Resiko Penyebab Bunuh Diri a. Sejarah Keluarga Jika ada anggota keluarga yang melakukan bunuh diri, ada peningkatan resiko pada orang lain dalam keluarga. Orang yang membunuh dirinya sendiri merasa depresi dan depresi mengalir dalam keluarga. Pertanyaannya, apakah orang tersebut mengadopsi solusi dengan cara yang familiar baginya atau hal tersebut merupakan trait yang diwariskan. Ada kontribusi, walaupun relatif kecil, faktor biologi terhadap bunuh diri. (Barlow & Duran, 2005) b. Neurobiologi Ada bukti bahwa level serotonin yang rendah dapat diasosiasikan dengan suicide dan suicide attempts yang kasar (Barlow & Duran, 2005) c. Gangguan Psikologi Beberapa gangguan psikologis tertentu sering berimplikasi dalam bunuh diri. Gangguan mood, gangguan penyalahgunaan substans, dan gangguan kepribadian tertentu merupakan gangguan yang paling sering memicu tindakan bunuh diri. Kombinasi gangguan yang paling berbahaya adalah depresi dan ketergantungan alkohol (Cornelius dalam Gardner, 2002). 1) Mood Disorder Depresi dan suicide, walaupun dapat berdiri sendiri, namun tetap memiliki hubungan yang kuat. Komponen hopelessness pada depresi dapat menyebabkan bunuh diri.
34
Universitas Sumatera Utara
2) Substance Abuse Hampir setengah dari pelaku percobaan bunuh diri melakukannya dibawah pengaruh alkohol dan hampir seperempatnya dinyatakan mabuk. Penggunaan obat-obatan sering berperan dalan percobaan bunuh diri pada remaja dan dewasa muda. 3) Borderline Personality Disorder Individu dengan gangguan kepribadian ini sering melakukan suicidal gesture yang manipulatif dan impulsif tanpa bermaksud menghancurkan dirinya sendiri namun tanpa sengaja membunuh dirinya sendiri. 4) Histrionic personality disorder Kebutuhan orang Histrionik akan perhatian begitu besar sehingga ia berusaha menarik perhatian dengan cara ekstrem yaitu mengancam bunuh diri. d. Stressful Life Events Mengalami peristiwa yang membuat stress dan menderita seperti :memalukan atau dipermalukan, kegagalan (nyata maupun imajinatif) dalam sekolah ataupun kerja, penahanan yang tak disangka, penolakan dari orang yang dicintai, dan stress karena penghancuran pada bencana alam dapat memicu bunuh diri (Conwell et al.,2002). Selain itu kehilangan orang yang dicintai melalui kematian atau perceraian, penyakit serius, atau masalah pekerjaan juga sering menjadi penyebab bunuh diri. (Comer dalam Gardner, 2002) e. Perubahan mood dan pemikiran Perubahan yang signifikan pada mood atau cara berpikir sering menjadi penyebab bunuh diri. Peningkatan dalam berbagai perasaan seperti kesedihan,
35
Universitas Sumatera Utara
kemarahan, frustasi, kecemasan, ketegangan atau rasa malu dapat menjadi pencetusnya. Individu yang sedang berada dalam kondisi ketidaknyamanan psikologis dari perasaan tersebut biasanya mencari kelegaan melalui bunuh diri. Individu yang bunuh diri biasanya mengembangkan pola pemikiran hopelessness ataupun pemikiran dikotomis. Hopelessness merupakan kepercayaan yang bertahan bahwa apapun yang individu lakukan atau bagaimanapun keadaan berubah, keadaan tidak akan bertambah baik. Perasaan hopelessness yang tibatiba dan berlangsung dalam waktu lama merupakan indikator terbaik untuk memprediksi kemungkinan bunuh diri individu. Sedangkan pemikiran dikotomis merupakan keadaan dimana individu melihat masalahnya dalam istilah yang sangat sempit dengan solusi yang terbatas. Mereka kehilangan perspektif dan melihat solusi dari masalah mereka dalam suatu dikotomi. Dalam kondisi ini, bunuh diri menjadi satu dari alternatif terbatas yang mereka lihat tersedia sebagai suatu solusi (Comer dalam Gardner, 2002). f. Modeling Salah satu fakta tentang bunuh diri adalah kecendrungan individu untuk meniru perilaku setelah mengobservasi atau membaca tentang orang lain yang melakukan bunuh diri. Yang cukup kuat mempengaruhi antara lain: bunuh diri yang dilakukan oleh selebritis, bunuh diri yang dipublikasi besar-besaran, dan bunuh diri yang dilakukan oleh teman dekat (Comer dalam Gardner, 2002). Sebagai contoh, adalah peningkatan angka bunuh diri yang mengikuti pemberitaan kematian akibat bunuh diri yang dilakukan Marilyn Monroe dan Kurt Cobain.
36
Universitas Sumatera Utara
g. Adanya Suicidal Ideation dan Past Suicide Attempts Suicidal ideation merupakan prediktor yang cukup ampuh dalam melihat besarnya kemungkinan individu melakukan tindakan bunuh diri. Individu yang pernah mencoba bunuh diri di masa lalunya lebih mungkin dari individu lain untuk melakukan bunuh diri. Percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan di masa lampau merupakan salah satu faktor resiko yang harus diperhatikan secara serius (Barlow & Durand, 2005). II. C. Kaitan antara makna hidup dan bunuh diri Ada hubungan antara makna hidup dan perasaan negatif, kurangnya makna berkaitan dengan manifestasi bunuh diri. Dari penelitian yang dilakukannya, Lester dan Badro (dalam Edwards, 2007) menemukan bahwa skor tes tujuan hidup (purpose in life test) yang rendah memprediksikan percobaan bunuh diri yang pernah dilakukan dimasa lalu, dan pemikiran bunuh diri yang dirasakan baik dulu maupun sekarang. Edwards dan Holden (dalam Edwards, 2007) menemukan hubungan negatif antara tujuan hidup dengan pemikiran bunuh diri dan kecendrungan untuk bunuh diri di masa depan. Kurangnya rasa coherence yang memandang bahwa hidup adalah penuh makna merupakan prediktor pemikiran bunuh diri pada pelaku percobaan bunuh diri yang tengah dirawat di rumah sakit enam bulan setelah usaha bunuh diri yang dilakukannya, ini juga merupakan prediktor dari percobaan bunuh diri yang dilakukan di masa mendatang (Petrie & Brook dalam Edwards, 2007)
37
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa makna hidup sangat berkaitan dengan tindakan bunuh diri. Frankl (...) mengemukakan tentang dua kelompok orang yang membutuhkan pertolongan, yaitu : a. People in Doubt Bagi orang yang dalam keraguan, segala sesuatu terlihat negatif dan dipertanyakan. Mereka mencari tujuan untuk dikejar, ide untuk dipercayai, tugas untuk dipenuhi, karena mereka menemukan diri mereka berada dalam kekosongan yang diistilahkan dengan existential vacuum. Mereka tidak melihat adanya tujuan dalam hidup mereka dan sedang mencari makna. Jika pencarian makna ini tersangkut dalam suatu kondisi permanen keraguan, dan tidak ada perkembangan, mungkin akan menghasilkan neurotis serius, psikotis,atau bahkan depresi. b. People in Despair Adalah mereka yang tadinya memiliki orientasi hidup yang bermakna, tapi kemudian kehilangan makna itu baik melalui hilangnya rasa percaya (fate) atau menemukan bahwa makna tersebut tidaklah penting atau mengecewakan. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang pernah hidup dalam kesenangan, kekuasaan, kesejahteraan, dan menyadari mereka mengejar sesuatu yang tidak memiliki kelanjutan, dan sekarang merasa kosong. Realitas ini dapat mengarah pada kemunduran (resignation), perasaan tak bermakna, bahkan pemikiran untuk bunuh diri. Mereka yang tak berhasil memenuhi motivasi untuk bermakna akan mengalami kekecewaan dan kehampaan hidup serta merasakan hidupnya tidak
38
Universitas Sumatera Utara
bermakna. Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan, dan apatis. Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa. Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk: berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money). Akibat dari penghayatan hidup yang hampa dan tak bermakna yang berlarut-larut dapat menjelma menjadi nerurosis neugenic, totalitarianism, dan conformism. Totalitarianism
adalah
gambaran
pribadi
dengan
kecenderungan
untuk
memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain. Pribadi ini sangat peka kritik dan biasanya akan menunjukkan reaksi menyerang kembali secara keras dan emosional; Sedangkan conformism adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan kepentingan dirinya sendiri (Bastaman, 2007) . Frankl (1950) mendiagnosa dan menggambarkan suatu sindrom yang disebut dengan Existential frustation, yang termanifestasi dalam ketidakacuhan, perasaan tidak bermakna, kekosongan dalam, kekurangan orientasi tujuan,
39
Universitas Sumatera Utara
kebosanan (boredom), ketidak puasan dengan hidup yang berakibat muak/jenuh akan hidup. Orang dewasa yang terkena frustasi eksistensial, mengganti karir, mencoba ini-itu tanpa menemukan kepuasan. Mereka kenyang akan segalanya tanpa menemukan kepuasan, dan pada akhirnya berkata :”aku muak akan hidup” Existential frustration biasanya diikuti dengan existential vacuum, yaitu kondisi dimana seseorang menderita ketidak bermaknaan (meaninglessness) dan kekosongan (emptiness) disebut juga dengan kehampaan inti (inner void). Konsekuensi dari existential vacuum
adalah tidak mengetahui apa yang
sebenarnya ingin dilakukannya, kekurangan isi dan tujuan hidup. Juga dapat memiliki konsekuensi berbahaya, seperti depresi, inflasi sex, ketergantungan, dan kekerasan. (Frankl,...) Walaupun penghayatan hidup tanpa makna ini bukanlah merupakan suatu penyakit, tetapi jika berlangsung secara intensif dan berlarut-larut tanpa penyelesaian tuntas dapat menjelma menjadi suatu noogenic nerosis, yaitu neurosis yang berasal dari masalah spiritual, dalam konflik moral, atau dalam konflik diantara hati nurani yang sebenarnya dengan sekedar superego. Neurosa ini adalah hasil dari frustasi akan keinginan untuk bermakna (will to meaning ), dari apa yang disebut dengan frustasi eksistensial, atau dari kehampaan eksistensial. Gangguan ini biasanya tampil dalam keluhan-keluhan bosan, hampa, dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya. Kehidupan sehari-hari dirasakan sebagai suatu rutinitas yang tidak pernah berubah, bahkan tugas sehari-hari ditanggapi sebagai hal yang sangat menjemukan dan menyakitkan hati. Kegairahan kerja dan kesediaan untuk bekerja
40
Universitas Sumatera Utara
menghilang serta menganggap tak pernah mencapai kemajuan apapun dalam hidup, bahkan prestasi-prestasi yang pernah dicapai dirasakan tak berharga. Lingkungan dan keadaan di luar dirinya ditanggapi sebagai hal-hal yang membatasi dan serba menentukan dirinya, dan ia merasa tak berdaya menghadapinya. Kelahiran dan kehadiran di dunia pun dipertanyakan, bahkan disesali. Sikapnya terhadap kematian ambivalen, di satu pihak ia merasa takut dan tidak siap mati tetapi di lain pihak sering beranggapan bahwa bunuh diri merupakan jalan terbaik untuk keluar dari kehidupan yang serba hampa ini. (Frankl,...; Bastaman, 1996)
41
Universitas Sumatera Utara