BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Mutu Gula Gula merupakan salah satu kebutuhan pokok dan paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Sebagai produk makanan tentunya harus memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan sehingga layak untuk dikonsumsi. Indonesia ada tiga jenis gula yang beredar di pasaran, yaitu gula kristal mentah (GKM) atau raw sugar yang digunakan sebagai bahan baku industri gula rafinasi, gula kristal putih (GKP) yang dikonsumsi secara langsung dan gula rafinasi sebagai bahan baku industri makanan dan minuman. Gula yang kita konsumsi sehari-hari adalah gula kristal putih secara internasional disebut sebagai plantation white sugar. GKP dibuat dari tebu yang diolah melalui berbagai tahapan proses, untuk Indonesia kebanyakan menggunakan proses sulfitasi dalam pengolahan gula (Kuswurj, 2009). Gula berasal dari tanaman tebu yang sudah dilakukan pengolahan. Salah satu faktor penghambat produksi gula adalah adanya serangan hama, penyakit, dan gulma. Upaya yang tepat pada perlindungan atau proteksi tanaman dapat menyelamatkan produksi gula kurang lebih 20 persen (Mubyarto, 1984). Penjelasan dari faktor penghambat produksi gula dapat dilihat di bawah ini: 1. Hama Menurut Mubyarto (1984) beberapa macam hama yang sering dijumpai pada tanaman tebu adalah penggerek pucuk, penggerek batang, kutu bulu putih, tikus, uret dan babi hutan. Uret dan kutu bulu putih merupakan hama utama bagi tanaman tebu di lahan kering. Penjelasan hama dapat disajikan di bawah ini: a. Penggerek pucuk adalah hama ini berupa ulat yang menyerang pucuk tanaman sehingga mematikan titik tumbuh. Usaha pemberantasannya menggunakan insektisida carbofuran yang dapat diberikan dengan cara suntikan atau taburan. b. Penggerek batang adalah hama berupa ulat ini merusak ruas-ruas batang tebu sehingga pada serangan yang parah dapat merobohkan tanaman. Usaha pengendaliannya dapat dilakukan secara hayati dengan menggunakan
6
7
c. parasit kerawati Tricbograma Spp., dan parasit lalat Diatrae opbaga Striatalis. d. Kutu bulu putih adalah daun-daun yang mulai nampak ada kutu bulu putih segera dipangkas, dimasukkan ke dalam kantong plastik untuk dimusnahkan atau dibakar. Pada serangan yang sudah luas, pemberantasannya dapat menggunakan parasit Encarsia flavosculetan. e. Tikus merupakan salah satu faktor kerusakan yang terjadi hampir setiap tahun, sehingga kemungkinan kerugian sangat besar. Pada daerah-daerah yang berbatasan dengan sawah perlu adanya kerjasama dengan petani padi untuk mengamati adanya serangan tikus pada tanaman padi. Setelah panen dilakukan
pengasapan
pada
lubang-lubang
persembunyian
maupun
pemasangan umpan beracun. 2. Penyakit Beberapa penyakit yang biasa menyerang tanaman tebu antara lain penyakit mosaik, penyakit pembuluh, luka api (semut), blendok dan pokahbung. Penyakit mosaik penyebabnya adalah virus mosaik. Tanda-tanda penyakit ini yaitu pada daun terdapat gambaran mosaik berupa garis-garis dan noda-noda berwarna hijau muda sampai kuning. Penyakit pembuluh tanaman yang terserang menampakkan gejala pertumbuhan yang kurang sempurna terutama tanaman keprasan tampak kerdil. Penyakit blondok merupakan tanda-tanda serangan penyakit yang disebabkan oleh sejenis bakteri. 3. Gulma Gangguan gulma dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar karena bisa menyebabkan penurunan bobot tebu. Pengendalian gulma di samping dengan cara manual ataupun kimiawi menggunakan herbisida, dapat pula dilakukan secara kultur teknis dengan menciptakan kondisi lingkungan yang dapat menekan pertumbuhan gulma atau dengan cara mekanis dengan pembajakan dan penggaruan. Keempat cara tersebut dalam pelaksanaannya dapat dilakukan secara terpadu. Usaha pengendalian gulma akan dapat memberikan hasil yang baik apabila pelaksanaannya tepat waaktu, alat, dosis dan jenis herbisida yang digunakan (Mubyarto, 1984) .
8
Menurut Landherr (1980) hasil gula yang diperoleh sebagian besar adalah sebagai hasil pengkristalan di dalam pan-pan masak dengan menggunakan vakum. Larutan gula dipekatkan dengan cara menguapkan airnya di dalam pan-pan, menggunakan pemanas vakum di dalam elemen-elemen pemanas jenis callandria atau ceoil. Proses kristalisasi melewati 3 (tiga) fase yang berbeda, memerlukan cara yang khusus untuk mendapatkan hasil efisiensi yang tertinggi. Fase-fase yang dimaksud adalah: 1. pembentukan inti/ inti kristal 2. pembesaran gula kristal, didapat ukuran yang dikehendaki 3. mendapatkan kristal untuk mengakhiri konsentrasi dari masakan untuk mendapatkan hasil kristal tertinggi tiap 100 gram gula dalam bahan dasar.
2.2 Kekeruhan (Turbidity) Kekeruhan adalah salah satu parameter fisika dalam pengujian kualitas air bersih. Kekeruhan menunjukkan sifat optimis air yang menyebabkan pembiasan cahaya kedalam air. Kekeruhan membatasi pencahayaan kedalam air. Sekalipun ada pengaruh padatan terlarut atau partikel yang melayang dalam air namun penyerapan cahaya ini dipengaruhi juga bentuk dan ukurannya. Kekeruhan disebabkan oleh adanya partikel-partikel kecil dan koloid yang berukuran 10 nm sampai 10 µm. Partikel-partikel kecil dan koloid tersebut tidak lain adalah tanah liat, lumpur, zat oranik, sisa tanaman, ganggang dan sebagainya (Gintings, 1992). Turbidity (kekeruhan) disebabkan oleh banyak faktor, antara lain debu, tanah liat, bahan organik atau anorganik, dan mikroorganisme air. Di sini berakibat air akan menjadi kotor dan tidak jernih. Turbidity mengganggu penetrasi sinar matahari, sehingga mengganggu fotosintesis tanaman air. Selain itu bakteri patogen dapat berlindung di dalam atau di sekitar bahan penyebab turbidity (Sutrisno,2004)
9
Menurut Sutrisno (1987) ada tiga pengukuran kekeruhan yaitu: a. Metode Nefelometrik (unit kekeruhan nefelometrik FTU atau NTU) Cara Nephlometer merupakan pengukuran turbidity tidak langsung. Cara ini membandingkan intensitas penyebaran cahaya yang disebabkan oleh sampel air dengan intensitas yang disebabkan oleh suspensi standar air pada kondisi yang sama. Semakin tinggi intensitas penyebaran cahaya, semakin tinggi penyebaran sinar. Oleh karena itu, baik sekali untuk pengukuran turbidity yang rendah. b. Metode Hellige Turbidity (Unit kekeruhan silika) c. Metode Visali (unit kekruhan Jackson).
Tujuan deteksi kekeruhan adalah untuk mengetahui macam partikel penyebab pencemar air yang dideteksi. Deteksi kekeruhan (turbidity) pada air minum dapat dilakukan dengan alat turbidimeter dan dinyatakan dengan satuan NTU (Nephelometric Turbidity Unit). Untuk melihat macam zat yang terlarut penyebab kekeruhan tersebut digunakan alat elektrolyzer (Pitojo, 2002). kekeruhan sering diukur dengan metode Nephelometric. Pada metode ini sumber cahaya dilewatkan pada sampel dan intensitas cahaya yang dipantulkan oleh bahan-bahan, penyebab kekeruhan diukur dengan menggunakan suspensi polimer formazin sebagai larutan standar. Satuan kekeruhan yang diukur dengan metode Nephelometric adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (Effendi, 2003). Alat yang digunakan dalam mengukur dengan Nephelometric dapat dilihat pada lampiran.
2.3 Kendali Mutu (Kualitas) Menurut Ishikawa (1992) kendali mutu dilakukan dengan tujuan mewujudkan mutu yang sesuai dengan syarat-syarat yang dituntut oleh konsumen. Langkah pertama dalam kendali mutu adalah mengetahui apakah sebenarnya yang dimaksudkan oleh konsep. Melaksanakan kendali mutu adalah mengembangkan, mendesain, memproduksi, memberikan jasa produk bermutu yang paling ekonomis, paling berguna, dan selalu memuaskan bagi konsumen. Mencapai tujuan pengertian di atas, setiap orang di dalam perusahaan harus berpartisipasi
10
dalam memajukan kendali mutu, termasuk eksekutif-eksekutif puncak, semua divisi di dalam perusahaan dan semua karyawan. Langkah-langkah dalam mengendalikan mutu sebagai berikut: 1. Pahami karakteristik mutu sebenarnya. 2. Tentukan metode pengukuran dan pengujian karakteristik mutu sebenarnya. Tugas ini begitu sulit sehingga pada akhirnya, kelima indera manusia mungkin digunakan dalam membuat penentuan. 3. Temukan karakteristik mutu pengganti, dan miliki pemahaman yang benar tentang hubungan antara karakteristik mutu sebenarnya dan karakteristik mutu pengganti. Meyakinkan langkah-langkah bahwa semua partisispan kendali mutu dapat mengerti ketiga langkah di atas, perusahaan-perusahaan didorong untuk menggunakan produk sesungguhnya sebagai studi dalam menyelidiki produk sendiri sangat besar manfaatnya. Riset produksi merupakan suatu proses yang sangat mahal, dan kadang kala suatu perusahaan saja tidak dapat menangani tugas itu. Kesimpulannya, mungkin perlu melakukan pengujian bersama yang dilakukan oleh produsen dan konsumen (pemakai).
2.3.1 Dimensi Kualitas Setelah dipahami definisi kualitas, maka harus diketahui apa saja yang termasuk dalam dimensi kualitas. Dimensi kualitas menurut Garvin (dalam Gasperz, 1997) ada delapan dimensi yaitu: 1. Fungsi Inti (Performance) Performance merupakan aspek fungsional dari produk dan merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan ketika ingin membeli suatu produk. 2. Fungsi Tambahan (Features) Features merupakan aspek kedua dari performasi yang menambah fungsi dasar berkaitan dengan pilihan-pilihan dan pengembangannya. Sering kali terdapat kesulitan untuk memisahkan karakteristik performasi dengan features. Biasanya pelanggan mendefinisikan nilai dalam bentuk fleksibilitas, kemampuan mereka untuk memilih features yang ada, dan kualitas dari
11
features tersebut. Ini berarti features adalah ciri-ciri atau keistimewaan tambahan atau pelengkap. 3. Kehandalan (Reliability) Reliability merupakan kemungkinan suatu produk berfungsi secara berhasil dalam periode waktu tertentu dibawah kondisi tertentu. Keandalan merupakan karakteristik yang merefleksikan kemungkinan tingkat keberhasilan dalam penggunaan suatu produk. 4. Konformansi (Conformance) Conformance merupakan merefleksikan karakteristik desain produk dan karakteristik operasi memenuhi standar yang telah ditetapkan, serta sering didefinisikan sebagai konformansi terhadap kebutuhan (conformance to requirement). Karakteristik ini mengukur banyaknya atau presentase produk yang gagal memenuhi sekumpulan standar yang telah ditetapkan dan karena itu perlu dikerjakan ulang atau diperbaiki. 5. Daya Tahan (Durability) Durability merupakan ukuran masa pakai suatu produk. Karakteristik ini berkaitan dengan kemampuan daya tahan dari suatu produk. 6. Kemampuan Pelayanan (Serviceability) Serviceability merupakan kecepatan, kemampuan dan kemudahan dalam perbaikan. Serviceability ditunjukan oleh kesiapan dan kemudahan suatu produk pada saat diperbaiki ketika terdapat kerusakan. 7. Estetika (Aesthetics) Aesthetics merupakan karakteristik mengenai keindahan yang bersifat subyektif sehingga berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi atau pilihan individual. 8. Kualitas Yang Dipersepsikan (Perceived Quality) Perceived quality merupakan kepuasan pelanggan dalam mengkonsumsi produk. Hal ini dapat juga berupa karakteristik yang berkaitan dengan reputasi (brand name-image).
12
Dimensi-dimensi di atas lebih banyak diterapkan pada perusahaan manufaktur, maka berdasarkan berbagai penelitian terhadap beberapa jenis jasa. Berry dan Parasuraman (dalam Fitzsimmons,1994) berhasil mengidentifikasi lima kelompok karakteristik yang digunakan oleh para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa, yaitu seperti berikut: 1. Bukti langsung (tangibles) yaitu meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. 2. Keandalan (reliability) yaitu kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan. 3. Daya tanggap (responsiveness) yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggapan. 4. Jaminan (assurance) yaitu mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang memiliki para staf. 5. Empati (empathy) yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan para pelanggan.
2.3.2 Tujuan Pengendalian Kualitas Menurut Ishikawa (1992) Banyak pendapat mengenai maksud dan tujuan pengendalian kualitas, berbagai fungsi dan aspek yang dipertimbangkan. Pengendalian kualitas yang pada dasarnya meliputi banyak aspek dalam perusahaan. Pada fungsi-fungsi yang lain tersebut misalnya perbaikan terhadap cara penyimpanan bahan baku atau produk jadi. Tujuan pengendalian kualitas diantaranya sebagai berikut: 1. Mengawasi terhadap mutu produk sehingga barang yang dibuat dapat sesuai dengan yang diharapkan. 2. Mengetahui apakah segalanya berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. 3. Mengetahui apakah kelemahan serta kesulitan dan kegagalannya sehingga dapat diadakan perubahan, perbaikan serta menjaga jangan sampai terjadi kesalahan lagi. 4. Mengetahui segala sesuatunya berjalan efisien dan apakah perlu untuk mengadakan perbaikan.
13
5. Menolong menentukan sebab-sebab kerusakan dari suatu pekerjaan dan berusaha untuk menghilangkan sebab-sebab kerusakan tersebut, dalam pemeriksaan ini dicoba untuk mencegah sebelum cacat terjadi. 6. Mengawasi standar mutu proses suatu produksi.
2.4 Peta Pengendali Peta pengendali pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Walter Andrew Shewhart dari Amerika Serikat tahun 1924 dengan maksud untuk menghilangkan variasi tidak normal melalui pemisahan variasi yang disebabkan oleh penyebab khusus (special/assignable causes variation) dari variasi yang disebabkan oleh penyebab umum (common causes variation). Peta pengendali merupakan salah satu perangkat yang digunakan untuk pengendalian proses statistik yang dapat membantu dalam menetapkan kemampuan proses dengan melakukan pengukuran terhadap variasi produk yang dihasilkan atau kualitas pelayanan sepanjang waktu. Secara grafis pengendalian proses statistik menyajikan variasi yang terjadi yang memungkinkan untuk menetapkan apakah sebuah proses di dalam kontrol (in control) atau berada di luar kontrol (out control). Batas kontrol/garis pusat (control limit/CL) yang meliputi batas atas (upper control limit/UCL) dan batas bawah (lower control limit/LCL) dapat membantu menggambarkan performansi yang diharapkan dari suatu proses yang menunjukkan bahwa proses tersebut berada dalam pengendalian (Indranata, 2008). Control chart adalah suatu grafik dengan batasan atas (upper) dan bawah (lower) untuk menunjukkan batasan kualitas dalam proses produksi. Grafik ini sangat bermanfaat untuk deteksi situasi abnormal di luar standar yang ditentukan dalam proses manufaktur. Control chart diplot variabel waktu (kiri ke kanan) dan grafik output sekitar garis tengah (mean) sehingga dapat dilihat apakah output masih berada dalam batasan atau sudah melampaui batas atas atau bawah, dan kapan hal ini terjadi, apakah secara teratur atau jarang (Ibrahim, 2000). Peta-peta kontrol
merupakan
alat
ampuh
dalam
mengendalikan
proses,
asalkan
penggunaanya dipahami secara benar. Dasarnya peta-peta kontrol digunakan untuk beberapa hal, diantaranya sebagai berikut:
14
1. Menentukan apakah suatu proses berada dalam pengendalian statistikal? dengan demikian peta-peta kontrol digunakan untuk mencapai suatu keadaan terkendali secara statistikal. 2. Memantau proses terus-menerus sepanjang waktu agar proses tetap stabil secara statistikal dan hanya mengandung variasi penyebab-umum. 3. Menentukan kemampuan proses (process capability). Setalah proses berada dalam pengendalian statistikal, batas-batas dari variasi dapat ditentukan. Pada dasarnya setiap peta kontrol memiliki: a. Garis Tengah (Central Line) yang biasa dinotasikan sebagai CL. b. Sepasang batas kontrol (control limits) dimana batas kontrol ditempatkan di atas garis tengah sebagai batas kontrol atas (upper control limit) dinotasikan sebagai UCL dan ditempatkan di bawah garis tengah sebagai batas kontrol bawah (lower control limit) dinotasikan sebagai LCL. c. Plot nilai-nilai karakteristik kualitas yang menggambarkan keadaan dari proses. Apabila semua nilai-nilai yang diplot dalam batas-batas kontrol tanpa memperlihatkan kecenderungan tertentu, maka proses dianggap dalam keadaan terkontrol atau terkendali secara statistikal.
Menurut Montgomery (2013) interpretasi terhadap peta kendali secara umum (baik untuk peta kendali atribut maupun variabel) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Proses dikatakan berada di luar kendali jika ada titik yang berada di luar batas kendali (atas atau bawah) khususnya proses dimana kondisi tersebut terjadi. Data yang berada di luar batas kendali tersebut disebabkan oleh faktor yang tidak alamiah maka data tersebut harus dibuang dan dilakukan perhitungan kembali terhadap parameter peta kendali yang baru. 2. Sebaliknya proses dikatakan terkendali jika semua data berada di antara batasbatas kendali, atau pengelompokkan data di antara batas-batas kendali tidak mengasumsikan suatu pola tertentu. Pengelompokan data dalam pola tertentu disebut sebagai abnormalitas.
15
Menurut
Montgomery
(2013)
bentuk-bentuk
pengelompokkan
yang
dimaksud adalah sebagai berikut. Runs yaitu sekumpulan titik yang berada di atas atau bawah garis sentral. Evaluasi yang dilakukan adalah sebagai berikut (lihat Gambar 2.1): 1. Titik
berturutan
membentuk
runs
dapat
mengindikasikan
terjadinya
abnormalitas dalam proses. Pengelompokan data tersebut dapat juga meningkat atau menurun, jika data berurutan meningkat disebut run up dan jika data berurutan menurun disebut run down. 2. Jika 10 dari 11 titik atau 12 dari 14 titik berada pada salah satu sisi, maka terjadi abnormalitas proses.
Gambar 2. 1 Abnormalitas Runs (Sumber: Montgomery, 2013) 1. Trends yaitu terjadinya peningkatan atau penurunan secara kontinu pada sekelompok titik. Evaluasi yang dilakukan adalah sebagai berikut (lihat gambar 2.2): a. Jika terjadi 7 titik berurutan naik atau turun maka telah terjadi abnormalitas pada proses.
Gambar 2. 2 Abnormalitas Trends (Sumber: Montgomery, 2013)
16
b. Pengulangan secara periodik yaitu terjadinya pola perubahan yang berulang pada titik-titik dengan interval yang sama. Evaluasi abnormalitas jenis ini tidak semudah 2 kasus sebelumnya karena diperlukan perhatian yang seksama untuk mengikuti pergerakan seluruh titik yang ada (lihat Gambar 2.3).
Gambar 2. 3 Abnormalitas Siklis (Sumber: Montgomery, 2013) 2. Hugging of the control line yaitu pola dimana titik-titik cenderung berada dekat garis sentral atau garis kendali (UCL dan LCL). Evaluasi dilakukan sebagai berikut: a. Hugging pada garis sentral yaitu kecenderung data berada di sekitar garis sentral sehingga data tidak menunjukan variabilitas secara natural. Evaluasi yang dilakukan adalah sebagai berikut (lihat gambar 2.4): 1) Buat garis kendali tambahan yang terletak di tengah-tengah antara garis sentral dan UCL atau LCL. 2) Jika titik-titik berada di antara kedua garis tersebut maka telah terjadi abnormalitas pada proses.
17
Gambar 2. 4 Hugging pada Garis Sentral (Sumber: Montgomery, 2013) b. Hugging pada garis kendali (CL) yang terjadi apabila terdapat data yang cenderung turun atau naik di sekitar (baik di luar maupun di dalam) batas kendali dan hanya sedikit titik disekitar garis sentral. Evaluasi dilakukan sebagai berikut: 1) Buat garis kendali tambahan yang terletak di tengah-tengah antara garis sentral dan UCL atau LCL. 2) Jika titik-titik berada di antara kedua garis tersebut maka telah terjadi abnormalitas pada proses.
Gambar 2. 5 Hugging pada Garis Kendali (Sumber: Montgomery, 2013) Secara umum dijumpai titik-titik yang menunjukkan abnormalitas proses (proses dalam keadaan tidak terkendali) langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah: 1. Hentikan proses. 2. Periksa proses dan cari penyebab ketidaknormalan tersebut. 3. Lakukan penyesuaian proses sesuai dengan temuan pada langkah 2.
2.4.1 Peta Kontrol untuk Data Variabel Peta kendali untuk data variabel dapat digunakan secara luas. Biasanya peta kendali ini merupakan prosedur pengendali yang lebih efisien dan memberikan informasi tentang proses yang lebih banyak. Apabila bekerja dengan karakteristik kuantitas yang variabelnya sudah merupakan standar untuk mengendalikan nilai mean karakteristik kualitas dan variabilitasnya. Pengendalian proses rata-rata atau
18
mean tingkat kualitas biasanya dengan peta kendali mean atau peta kendali
X.
Peta kendali untuk rentang dinamakan peta kendali R. Peta kontrol
X
dan R (Range) digunakan untuk memantau proses yang
mempunyai karakteristik berdimensi kontinu, sehingga peta kontrol sering disebut sebagai peta kontrol untuk variabel. Peta kontrol
X
X
dan R
menjelaskan
tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran titik pusat (central tendency) atau rata-rata dari suatu proses. Hal ini mungkin disebabkan oleh faktor-faktor seperti: peralatan yang dipakai, peningkatan temperatur secara gradual, perbedaan metode yang digunakan dalam shif kedua, material baru, tenaga kerja yang baru dilatih, dan lain-lain. Sedangkan peta kontrol R (Range) menjelaskan tentang apakah perubahan-perubahan telah terjadi dalam ukuran variasi, dengan demikian berkaitan dengan perubahan homogenitas produk yang dihasilkan melalui suatu proses. Langkah-langkah yang digunakan dalam pembuatan peta
X
dan R adalah sebagai berikut:
1. Menentukan tujuan dari peta kendali. 2. Menentukan subgroup. 3. Menyiapkan formulir pencatatan data. 4. Menentukan cara pengukuran. 5. Melakukan pengukuran. 6. Mencatat data hasil pengukuran. Rumus dalam menerapkan langkah-langkah di atas adalah dengan cara sebagai berikut: 1.
Menghitung rata-rata peta ( X ) dan rata-rata rentangan (R) berikut: X
2.
Xi dan R Xi n
max
Ximin
(2.1)
Menghitung nilai rata-rata keseluruhan ( X ) dan rata-rata rentangan ( R ). k
X i 1
k Xi Ri dan R k i 1 k
(2.2)
19
3.
Menghitung batas kontrol untuk masing-masing peta kendali. a. Peta X
CL X
X
UCLX X A2 R
(2.3)
LCLX X A2 R b. Peta R CLR
R
UCLR D4 R
(2.4)
LCLR D3 R
2.4.2 Peta Kontrol untuk Data Atribut Data yang diperlukan disini hanya diklasifikasikan sebagai data dalam kondisi baik atau cacat. Seperti halnya dengan peta kendali variabel, maka suatu proses akan dikatakan terkendali bila data berada dalam batas-batas kendali. Pada umumnya untuk data atribut dipergunakan peta kendali p, np, c, u, seperti dibawah ini: 1. Peta kendali p Peta kendali p digunakan untuk mengukur proporsi ketidaksesuaian atau sering disebut cacat dari item-item dalam kelompok yang sedang diinspeksi. Demikian peta kendali p digunakan untuk mengendalikan proporsi dari itemitem yang tidak memenuhi syarat spesifikasi kualitas. Proporsi yang tidak memenuhi syarat didefinisikan sebagai rasio banyaknya item yang tidak memenuhi syarat dalam suatu kelompok terhadap total banyaknya item dalam kelompok. Item-item yang tidak memenuhi standar pada satu atau lebih karakteristik kualitas yang diperiksa digolongkan sebagai tidak memenuhi syarat spesifikasi atau cacat. 2. Peta kendali np Pada dasarnya peta kontrol np serupa dengan peta kontrol p, kecuali dalam peta kendali np terjadi perubahan skala pengukuran. Peta kendali np menggunakan ukuran banyaknya item yang tidak memenuhi spesifikasi atau banyaknya item yang tidak sesuai (cacat) dalam suatu pemeriksaan.
20
3. Peta Kendali c Suatu item tidak memenuhi syarat atau cacat dalam proses pengendalian kualitas didefinisikan sebagai tidak memenuhi spesifikasi untuk item. Setiap titik spesifikasi yang tidak memenuhi menyebabkan digolongkan sebagai item cacat. 4. Peta Kendali u Peta kendali u mengukur banyaknya ketidaksesuaian (titik spesifikasi) per unit laporan inspeksi dalam kelompok (periode) pengamatan yang mungkin memiliki ukuran. Peta kendali u serupa dengan peta kendali c, kecuali banyaknya ketidaksesuaian dinyatakan dalam basis per unit item.
2.5 EWMA (Exponnentially Weighted Moving Average) Menurut Montgomery (2001) EWMA control chart merupakan alternatif yang baik untuk peta kendali shewhart ketika kita tertarik dalam mendeteksi pergeseran kecil. Kinerja peta kendali EWMA kurang lebih setara dengan Cumulative Sum (CUSUM) control chart, dan dalam beberapa cara untuk mengatur dan mengoperasi. Metode EWMA dapat diterapkan atau dipaki apabila ada pergeseran kecil dalam melakukan memproduksi suatu produk dalam segi pergeseran kegagalan produk maupun pergeseran mengarah pada kecacatan produk. EMWA memiliki beberapa kelebihan, pertama dengan menggunkan Factor decay yang optimal maka akan diperoleh hasil yang relatif tepat, yang kedua pendekatan metode ini tidak membutuhkan banyak data dalam hal mengestimasi suatu variansi. Diagram EWMA membutuhkan pengetahuan dari pengguna untuk menentukan dua parameter sebelum pembuatannya: 1. Parameter pertama adalah λ yakni bobot yang akan diberikan untuk data terbaru. λ merupakan angka dari 0 sampai 1, namun pemilihan λ yang benar membutuhkan
pengetahuan
dan
pengalaman.
Beberapa
rekomendasi
mengatakan 0.05 ≤ λ ≤ 0.25, namun ada juga yang merekomendasikan 0.2 ≤ λ ≤ 0.3. 2. Parameter kedua adalah L yakni perkalian dari rasional subgroup simpangan baku yang digunakan untuk menghitung batas kontrol. L biasanya di set 3 seperti diagram kontrol yang lain, namun jika angka λ nya rendah, L juga perlu
21
diturunkan. Tahapan pertama yang dilakukan menghitung data dengan rumus di bawah ini: zi xi 1 zi 1
(2.5)
Dimana 0 < λ ≤ 1 adalah konstan dan nilai awal (dibutuhkan dengan sample pertama pada i=1) merupakan target proses, jadi : z0 0
Terkadang rata-rata dari data persiapan digunakan sebagai nilai awal dari EWMA, jadi z0 x Untuk mendemonstrasikan EWMA zi adalah rata-rata bobot dari semua rata-rata sample sebelumnya, kita mungkin mengganti untuk zi-1 pada bagian kiri dari persamaan zi untuk mendapatkan:
zi xi 1 xi 1 1 zi 2
(2.6)
xi 1 xi 1 1 zi 2 2
Bobot 1 j penurunan secara geometris dengan umur dari rata-rata sample. Selanjutnya jumlah bobot untuk kesatuan yaitu: i 1
1
j
j 0
1 1 i i 1 1 1 1
(2.7)
Jika observasi xi adalah variabel acak bebas dengan variansi σ2, kemudian variansi dari zi adalah: i
2i 1 1 2
z2 2
(2.8)
Oleh karena itu, peta kendali EWMA sebaiknya dibangun dengan memplot zi dengan jumlah sample i (atau waktu). Garis tengah dan batas kendali untuk peta kendali EWMA mengikuti rumus di bawah ini. UCL
0 L
CL
0
LCL
0 L
1 1 2
2i
(2.9)
1 1 2
2i
22
Dalam persamaan di atas, faktor L merupakan lebar dari batas kendali. Catatan istilah [1-(1-λ)2i] seperti dalam persamaan diatas mendekati kesatuan seperti i (atau waktu) mendapatkan yang lebih besar. Setelah peta kendali EWMA sudah berjalan untuk beberapa periode waktu, batas kendali akan mendekati nilai posisi tetap diberikan. Contohnya seperti pada Gambar 2.6 di bawah ini:
Gambar 2. 6 Contoh Diagram EWMA (Sumber: Montgomery, 2001)
2.6 CUSUM (Cumulative Sum Control Chart) Bagan pengendali jumlah kumulatif (Cumulative Sum Control Chart) sering juga disebut bagan CUSUM. Pada awalnya bagan ini dikembangkan di inggris pada tahun 1954 oleh E.S Page. Teknik ini menggabungkan informasi yang diambil dari sampel pertama dengan sampel terakhir. Lebih lanjut dijelaskan akan digunakan bagan CUSUM untuk X, maka bagan rentangan untuk CUSUM biasa digunakan bagan R shewhart yang standar (Grant dan Leavenworth,1993). Pada grafik kontrol CUSUM, deviasi kumulatif dari target diperiksa apakah tetap berada dalam batas yang ditentukan atau tidak. Karena deviasi adalah kumulatif, CUSUM mampu mendeteksi deviasi yang sangat kecil lebih cepat. Ada dua macam penjumlahan kumulatif yang dihitung pada CUSUM standar. Penjumlahan ini menggunakan kriteria batas KU. Menurut Marquardt (1995) persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut: SL(i) max0, (X AIM ) KU SL(i 1) (2.10) SH (i) max0, (X AIM ) KU SH (i 1) (2.11)
23
2.7 FishBone Diagram sebab-akibat adalah suatu diagram yang menunjukkan hubungan antara sebab dan akibat. Berkaitan dengan pengendalian proses statistikal, diagram sebab-akibat dipergunakan untuk menunjukkan faktor-faktor penyebab (sebab) dan karakteristik kualitas (akibat) yang disebabkan oleh faktor-faktor penyebab itu. Diagram sebab-akibat ini juga sering disebut sebagai diagram tulang ikan (fishbone diagram) karena bentuknya seperti kerangka ikan, atau diagram Ishikawa (Ishikawa’s diagram) karena pertama kali diperkenalkan
oleh
Prof. Kaoru Ishikawa dari Universitas Tokyo pada tahun 1943 (Gaspersz, 2001). Diagram
sebab-akibat
merupakan
diagram
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi berbagai kemungkinan penyebab suatu permasalahan. Penyebab permasalahan ini bisa diidentifikasi melalui proses sesi brainstorming (curah pendapat). Secara umum penyebab utama permasalahan adalah metode kerja, mesin (peralatan), orang, material, alat pengukuran, dan lingkungan. Berdasarkan penyebab utama tersebut kemudian bisa dikembangkan penyebab-penyebab lain yang lebih spesifik melalui curah pendapat (Purnama, 2006). Konsep dasar dari fishbone diagram adalah menjabarkan sebuah masalah dan penyebabnya yang dibagi menjadi penyebab utama dan penyebab lainnya. Penyebab tersebut biasanya mengarah kepada 7 (tujuh) masalah, yaitu: 1. Metode (Methods) 2. Mesin (Machinery) 3. Manajemen (Management) 4. Material (Materials) 5. Sumber Daya Manusia (Manpower) 6. Lingkungan (Environment) 7. Pengukuran (Measurement) Langkah-langkah dalam membuat diagram sebab-akibat dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Mulai dengan pernyataan masalah-masalah utama yang penting dan mendesak untuk diselesaikan. 2. Tuliskan pernyataan masalah itu pada “kepala ikan” yang merupakan akibat (effect).
24
3. Tuliskan faktor-faktor penyebab utama (sebab-sebab) yang mempengaruhi masalah kualitas sebagai “tulang besar”, juga ditempatkan dalam kontak. 4. Tuliskan penyebab-penyebab sekunder yang mempengaruhi penyebabpenyebab utama (tulang-tulang besar). 5. Tuliskan penyebab-penyebab sekunder yang mempengaruhi penyebabpenyebab utama (tulang-tulang berukuran sedang). 6. Tentukan item-item yang penting dari setiap faktor dan tandailah faktor-faktor penting tertentu yang kelihatannya memiliki pengaruh nyata terhadap karakteristik kualitas. Contoh dari pembuatan diagram sebab-akibat dapat dilihat Gambar 2.7 di bawah ini:
Gambar 2. 7 Contoh Diagram Sebab-Akibat (Sumber: Purnama, 2006)