BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Pajak 1. Pengertian Pajak Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh pemerintah dari masyarakat (wajib pajak) untuk menutupi pengeluaran rutin negara dan biaya pembangunan tanpa balas jasa yang dapat ditunjuk secara langsung. Menurut Adriani P.J.A, definisi pajak ialah: Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan dengan tidak mendapat imbalan kembali yang dapat ditunjuk secara langsung dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum berhubung tugas-tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintah. Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro (1990:5) adalah: Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontaprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang dapat digunakan untuk mebayar pengeluaran umum.
6
7
Menurut Sommerfeld Ray M, dkk pajak adalah sebagai berikut: Suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang sudah ditentukan dan tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintah. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur yang melekat pada pengertian pajak yaitu: a. Pajak
dipungut
berdasarkan
undang-undang
serta
aturan
pelaksanaannya. b. Sifatnya dapat dipaksakan. Akan ada sanksi bagi yang melanggar aturan perpajakan. c. Dalam
pembayaran
pajak
tidak
dapat
ditunjukkkan
adanya
kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah. d. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemungutan pajak tidak boleh dilakukan pihak swasta yang orientasinya adalah keuntungan. e. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
8
2. Fungsi Pajak a. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran pemerintah baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan. b. Fungsi Mengatur (Reguleren) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya mengatur dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya yang sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. 3. Jenis –jenis Pajak a. Menurut Sifatnya 1) Pajak langsung adalah
pajak pembebanannya
tidak
dapat
dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) 2) Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain.
9
Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) b. Menurut Sasaran/Objeknya 1) Pajak Subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan atas subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh) 2) Pajak Objektif adalah pajak yang berpangkkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah. c. Menurut Pemungutnya 1) Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Materai. 2) Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
10
Contoh: Pajak Reklame, Pajak Hiburan, dan lain-lain. 4. Cara Pemungutan Pajak a. Stelsel Pajak 1) Stelsel Nyata (riil stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. 2) Stelsel Fiktif (fictive stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang, misalnya, penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak yang berjalan. 3) Stelsel Campuran Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan
11
suatu anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan yang sebenarnya. b. Sistem Pemungutan Pajak 1) Official Assessment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. 2) Self Assessment System Adalah suatu sistem pemuungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan,
tanggungjawab
kepada
Wajib
Pajak
untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. 3) Withholding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
12
c. Yurisdiksi Pemungutan Pajak 1) Tempat Tinggal Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak berdasarkan tempat tinggal Wajib Pajak tanpa memperhatikan apakah ia sebagai warga negaranya atau warga negara asing. Wajib pajak yang bertempat tinggal di Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh berasal dari Indonesia atau berasal dari luar negeri (Pasal 4 Undang-undang Pajak Penghasilan). 2) Kebangsaan Pengenanaan pajaknya dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Suatu negara memungut pajak atas orang yang mempunyai kebangsaan negara tersebut tanpa memperhatikan dimana ia tinggal. 3) Sumber Penghasilan Negara mempunyai hak untuk memungut pajak atas penghasilan yang bersumber dari suatu negara. Dengan demikian orang atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia
13
dikenakan pajak di Indonesia tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. 5. Asas Pemungutan Pajak Dalam sistem pemingutan pajak, untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli mengemukakan tentang asas pemungutan pajak antara lain : Menurut Adam smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal “ The Four Maxims:, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut : a. Asas Equqlity Asas yang pemungutan pajaknya dolakukan oleh Negara harus sesuai dengan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap wajib pajak. b. Asas Certainty Pada asas ini semua pungutan pajak harus berdasarkan unadangundang sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenakan sanksi hokum.
14
c. Asas Convinience of Payment Pada asas ini pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima penghasilan. d. Asas Effeciency Pada saat ini biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak. B. Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan Menurut Slamet Munawir (2002:109), definisi pajak penghasilan adalah sebagai berikut : Pajak penghasilan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari pendapatan rakyat, pemungutannya telah diatur dengan Undang-Undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam negara yang berdasarkan hukum. 2.
Pajak Penghasilan Pasal 21 Pajak penghasilan pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima
15
atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan. a. Pemotong pajak penghasilan pasal 21 1) Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan. 2) Bendaharawan pemerintah baik Pusat maupun Daerah. 3) Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT Taspen, PT ASABRI. 4) Perusahaan dan bentuk usaha tetap. 5) Yayasan, lembaga, kepanitia-an, asosiasi, perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik dan organisasi lainnya serta organisasi internasional yang telah ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. 6) Penyelenggara kegiatan. b. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 1) Pegawai tetap. 2) Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola proyek, peserta perlombaan, petugas dinas luar asuransi), distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis.
16
3) Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua. 4) Penerima honorarium. 5) Penerima upah. 6) Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris). c. Penerima Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21 1) Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat: a) Bukan warga negara Indonesia dan b) Di
Indonesia
penghasilan lain
tidak
menerima
atau
memperoleh
di luar jabatan atau pekerjaannya
tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; 2) Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan
17
atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. d. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : 1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot,
tunjangan
pajak,
tunjangan
iuran
pensiun,
tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun; 2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap; 3) Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap
18
atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai; 4) Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja; 5) Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, terdiri dari : a) Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris) b) Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; c) Olahragawan; d) Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
19
e) Pengarang, peneliti, dan penerjemah; Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya,
telekomunikasi,
elektronika,
fotografi, ekonomi dan sosial; f) Agen iklan; g) Pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat; h) Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan; i) Peserta perlombaan; j) Petugas penjaja barang dagangan; k) Petugas dinas luar asuransi; l) Peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai; m) Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. 6) Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang
20
diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya. e. Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi Tabel 2.1 Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi Keterangan
Tarif Pajak Terutang
Rp. 0 – Rp.50.000.000
5%
Rp. 50.0000.000 - Rp.250.000.000
15%
Rp. 250.000.000 – Rp. 500.000.000
25%
Diatas Rp. 500.000.000
30%
3. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Tabel 2.2 Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Keterangan
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Diri Wajib Pajak Orang Pribadi
Rp. 15.840.000
Tambahan Wajib Pajak Yang Kawin
Rp. 1.320.000
Tambahan untuk seorang istri yang
Rp. 15.840.000
penghasilannya
digabung
dengan
21
penghasilan suami. Tambahan
untuk
keturunan
sedarah
setiap
anggota
dalam
Rp. 1.320.000
garis
keturunan serta anak angkat yang ditanggung sepenuhnya, maksimal 3 orang untuk setiap keluarga
C. Sanksi Administrasi Perpajakan Ketentuan tentang sanksi administrasi diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009. Undang-undang KUP merupakan ketentuan formal yang mengatur perpajakan sedangkan ketentuan materialnya ada dalam masing-masing Undang-undang sesuai dengan jenis pajaknya.
1. Sanksi Administrasi Berupa Bunga Sanksi administrasi yang dikenakan berupa bunga dihitung dalam bentuk persentase tertentu pada umumnya sebesar 2% (dua persen) sebulan. Untuk lebih jelas diberikan contoh sebagai berikut : (1) Dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar dihitung sejak saat
22
penyampaian
SPT
berakhir
sampai
dengan
tanggal
pembayaran karena wajib pajak membetulkan sendiri SPT yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar. (2) Pemerintah memberikan bunga 2% (dua persen) sebulan atas kelambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak. (3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak dibayar atau kurang dibayar, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB ditambah sanksi administrasi berupa bunga 2% (dua persen) sebulan, paling lama dua puluh empat bulan, dihitung saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak bagian tahun pajak atau tahun pajak sampai diterbitkannya Surat Keputusan Pajak Kurang Bayar.
2.
Sanksi Administrasi Berupa Denda Sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak berupa denda adalah dihitung dalam bentuk jumlah uangnya atau dalam persentase. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh sebagai berikut : (1) Apabila SPT tidak disampaikan atau disampaikan melewati batas waktu yang telah ditentukan dalam undang-undang
23
maka di kenakan sanksi administrasi berupa denda, untuk SPT masa sebesar Rp 50.000,- dan untuk SPT tahunan sebesar Rp 100.000,(2) Surat Tagihan Pajak (STP) dapat diterbitkan apabila pengusaha tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak (PKP). Terhadap PKP tersebut dikanakan sanksi administrasi berupa denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP). (3) Surat tagihan pajak dapat diterbitkan apabila pengusaha tidak dikukuhkan sebagai PKP tetapi membuat faktur pajak atau tidak mengisi selengkapnya faktur pajak dikenakan sanksi administrasi berupa benda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
3.
Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan Sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak berupa kenaikan adalah terhitung dalam bentuk persentase yang besarnya 50% atau lebih. Untuk lebih jelas diberi contoh sebagai berikut; (1) Jumlah pajak dalam surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) sebagai mana dimaksud pada pasal 13 ayat (1)
24
huruf b, huruf c dan huruf d undang-undang KUP ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar. a. 50% dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak. b. 100% dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetorkan dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetorkan. c. 100% dari pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah yang tidak atau kurang dibayar. (2) Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan dapat diterbitkan dalam jangka waktu sepuluh tahun, apabila ditemukan data baru dan/atau data semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut. D. Kepatuhan Wajib Pajak 1. Wajib Pajak Wajib pajak menurut pasal 1 huruf a Ketentuan Umum Perpajakan adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
25
perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Dengan kata lain, wajib pajak adalah subjek pajak yang memenuhi syaratsyarat objektif, jadi memenuhi tabestand yang ditentukan oleh undangundang, yaitu dalam rangka UU PPh 1984, menerima atau memperoleh penghasilan kena pajak, yaitu penghasilan yang melebihi pendapatan tidak kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri (Soemitro, 2004: 59). 2.
Kepatuhan Wajib Pajak a. Ismawan (2001:82) mengemukakan prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela. Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung sistem self assessment di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut. b. Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai ”suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi (Devano, 2006:110) sebagai berikut: 1) Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
26
2) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. 3) Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. 4) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. c. Dalam Practice Note tentang Compliance Measurement yang diterbitkan oleh OECD (2001), kepatuhan kategori,
dibagi menjadi dua
yaitu: (1) kepatuhan administratif
(administrative
compliance); dan (2) kepatuhan teknis (technical compliance). Kepatuhan administratif mencakup kepatuhan pelaporan dan kepatuhan prosedural. Sedangkan kepatuhan teknis mencakup kepatuhan dalam penghitungan jumlah pajak yang akan dibayar oleh wajib pajak. Berdasarkan kedua definisi kepatuhan di muka, dapat disimpulkan bahwa kepatuhan administratif adalah kepatuhan formal, yakni kepatuhan yang terkait dengan ketentuan umum dan tatacara perpajakan. Sedangkan kepatuhan teknis adalah kepatuhan material, yakni kepatuhan yang terkait dengan kebenaran pengisian SPT dalam menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. 3.
Wajib Pajak Patuh Wajib
Pajak
Patuh
menurut
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.235/KMK.03/2003 adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktur
27
Jenderal Pajak sebagai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan pembayaran pajak. a. Syarat-syarat menjadi Wajib Pajak Patuh Sesuai
dengan
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor
235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003, Wajib Pajak dapat ditetapkan sebagai WP Patuh yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila memenuhi semua syarat sebagai berikut: 1) tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 2 (dua) tahun terakhir; 2) dalam tahun terakhir penyampaian SPT Masa yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; 3) SPT Masa yang terlambat itu disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa pajak berikutnya; 4) tidak mempunyai tunggakan Pajak untuk semua jenis pajak: a) kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
28
b) tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir; 5) tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir; dan 6) dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. Laporan audit harus : a) disusun dalam bentuk panjang (long form report); b) menyajikan rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal. Dalam hal laporan keuangan Wajib Pajak tidak diaudit oleh akuntan publik, maka Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis paling lambat 3 bulan sebelum tahun buku berakhir, untuk dapat ditetapkan sebagai WP Patuh sepanjang memenuhi syarat pada huruf a sampai huruf e, ditambah syarat: - dalam 2 tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU KUP, dan
29
- apabila dalam 2 tahun terakhir terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan pajak, maka koreksi fiskal untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10%. b. Proses Penetapan Wajib Pajak Patuh Proses penetapan Wajib Pajak Patuh Dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktur Jenderal Pajak setelah menerima daftar normative Wajib Pajak Patuh dari Kantor Pelayanan Pajak paling lambat akhir bulan Januari dan mengirimkan penetapan Wajib Pajak Patuh Kepada: 1) Kepala KPP tempat Wajib Pajak domisili terdaftar 2) Kepala KPP tempat Wajib Pajak lokasi terdaftar 3) Kepala KPP Wilayah atasan KPP tempat Wajib Pajak lokasi daftar c. Keuntungan dan Masa Berlakumya Wajib Pajak Patuh Bagi Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak Patuh akan diberikan pelayanan khusus dalam restitusi Pajak Penghasilan dan Pertambahan Nilai berupa pengembalian kelebihan pajak tanpa dilakukan pemeriksaan pajak terlebih dahulu. Sedangkan Masa berlakunya Penetapan Wajib Pajak Patuh berlaku untuk jangka waktu 2 tahun.
30
E. Tata Cara Pembayaran Pajak 1. Surat Pemberitahuan (SPT) Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jenis-jenis SPT yaitu SPT Tahunan dan SPT Masa. 2. Surat Setoran Pajak (SSP) Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui kantor dan atau Bank BUMN atau Bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. 3. Surat Tagihan Pajak (STP) Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat yang digunakan untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat Tagihan Pajak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. 4. Surat Ketetapan Pajak (SKP) Surat ketetapan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atas adanya kurang atau lebih pembayaran pajak dan adanya pajak yang
31
nihil. Surat Ketetapan Pajak (SKP) meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), dan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN). F. Penelitian Terdahulu 1. Sikap WP terhadap pelaksanaan sanksi denda, sikap WP terhadap pelayanan fiskus dan sikap wajib pajak terhadap kesadaran perpajakan memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan WP (Agus Nugroho Jatmiko, 2006). 2. Risnawati (2009) menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang positif pada penerapan sanksi administrasi terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Bandung Cicadas. Kesimpulan ini didapat karena hubungan yang cukup dan besarnya pengaruh variabel X (penerapan sanksi administrasi) terhadap variabel Y (tingkat kepatuhan wajib pajak). 3. Danang Wahyu Setyawan (2009) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak salah satunya yaitu sanksi perpajakan. Dimana menurutnya, dengan adanya sanksi administrasi perpajakan maka wajib pajak akan semakin patuh. Karena jika tidak patuh maka akan dikenakan sanksi.