BAB II LANDASAN TEORI A. Universal-Diverse Orientation 1. Multikulturalisme Seiring dengan perubahan demografis budaya di masyarakat, rasanya wajar bila mengasumsikan akan ada individu yang mampu beradaptasi dengan lebih cepat dan lebih efektif terhadap masyarakat multikultur dibanding beberapa individu lainnya. Misalkan saja, pada masyarakat yang beragam, seorang individu diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan budaya melalui cara berkomunikasi dan penghargaan atas nilai-nilai budaya sendiri maupun budaya orang lain. Dengan demikian, memahami bagaimana proses adaptasi individu serta atribut personal apa yang berperan dalam keefektivan berada di lingkungan multikultur menjadi suatu topik yang menarik untuk dibahas oleh peneliti, pendidik, maupun penyedia jasa profesional (Ponterotto, Utsey, & Pedersen, 2006). Multikulturalisme
perlu
dikembangkan
di
masyarakat
karena
menunjukkan peran yang amat penting sebagai alternatif mencegah konflik sosial. Berry, Poortinga, Segall, dan Dasen (1997) menjelaskan multikulturalisme sebagai kompetensi yang menjadikan individu mampu mengembangkan kesehatan jati diri sekaligus mengembangkan sikap antar kelompok yang positif. Beberapa model konseptual telah diajukan untuk menjelaskan mengenai karakteristik individu yang efektif dalam lingkungan multikultur. Model-model tersebut berfokus pada topik-topik seperti membantu klien dalam konseling untuk
13
14
mengembangkan keterampilan bikultural dan orientasi multikultural dalam kehidupan (Ramirez, 1999), membantu siswa menjadi „masyarakat multikultural‟ ataupun „individu multikultural‟ (Banks, 2001; Nieto, 2000), dan memahami karakteristik personal individu yang berhasil mengatasi lingkungan kerja yang beragam latar belakang budaya, khususnya dalam setting internasional (Van Der Zee, Atsma, dan Brodbeck, 2004; Van Der Zee dan Van Oudenhoven, 2000). Dalam rentang dekade terakhir, penelitian mengenai multikulturalisme telah dilakukan dengan berbagai pendekatan. Istilah-istilah yang digunakan yang mengacu pada konsep ini berbeda-beda tergantung disiplin ilmu dan pendekatan yang digunakan. Misalnya saja, praktisi kerja sosial menggunakan istilah cultural competence sementara pakar teknik lebih memilih istilah global competence. Ada juga istilah-istilah lain yang digunakan seperti multicultural competence dan intercultural maturity. Fantini (2009) menemukan beragam istilah yang digunakan dalam literatur maupun alat ukur yang memiliki definisi kurang lebih sama seperti multiculturalism, cross-cultural adaptation, intercultural sensitivity, cultural intelligence, cross-cultural awareness, dan sebagainya. Model yang saat ini sedang menjadi fokus utama dalam riset multikultural adalah universal-diverse orientation atau UDO (Vargas, 2010). Sebelum membahas lebih dalam mengenai UDO, penulis akan mencoba merinci dimensi apa saja yang ada dalam masyarakat yang menjadikan masyarakat tersebut disebut multikultur atau beragam. Istilah kultur di masa sekarang ini telah berkembang dan tidak hanya merujuk pada kelompok etnis atau
15
budaya tertentu, melainkan juga termasuk kelompok bangsa-negara, kelompok agama, kelompok ras, serta perusahaan (Betancourt & Lopez, 1993). Dalton (2007) menjelaskan mengenai dimensi-dimensi kunci dari keberagaman manusia dalam perspektif psikologi komunitas sebagai berikut: a. Budaya Perdebatan panjang para ilmuwan sosial belum bisa mendefinisikan secara tepat apa yang dimaksud dengan budaya, namun ada beberapa elemen budaya yang dapat diidentifikasi. Elemen tersebut antara lain adanya seperangkat norma perilaku yang disepakati bersama, adanya persamaan bahasa, serta adanya tradisi yang diwariskan secara turun temurun. b. Ras Ras didefinisikan sebagai pengelompokan sosial yang didasarkan pada kriteria fisik. Manusia membedakan ras berdasarkan asumsi atas kualitas fisik yang dapat diobservasi seperti warna kulit. Perbedaan ras pada manusia sebenarnya tak berarti apa-apa. Sejumlah penelitian menemukan bahwa tingkat IQ ataupun atribut lain pada seseorang tidak ditentukan oleh ras melainkan variasi pada variabel sosial dan ekonomi. Meski demikian, perbedaan ras menjadi perbincangan karena konstruksi manusia yang menjadikan ras satu lebih superior dibanding ras lainnya. c. Etnis Etnis dapat didefinisikan sebagai identitas sosial yang didasarkan pada asal-usul nenek moyang yang dimodifikasi dengan budaya setempat. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani ethnos yang dapat diartikan sebagai suku atau
16
kebangsaan. Namun, kebangsaan tak selamanya berarti etnis. Sebagai contoh, bangsa Jepang terdiri atas beragam etnis, begitu pula Indonesia. Etnis ditentukan oleh bahasa, kebiasaan, adat-istiadat, nilai, dan aspek lain dari budaya subjektif. d. Spiritualitas dan agama Spiritualitas dan agama mengacu pada tradisi ketuhanan dan segala perspektif yang berkaitan dengan aspek transenden. Spiritualitas dan agama saling berkaitan dengan budaya dan etnis. Mustahil untuk memahami budaya tanpa memahami terlebih dahulu institusi agama dan praktek spiritual yang ada dalam budaya tersebut. Di sisi lain, agama dan spiritualitas tak juga semata soal budaya. Banyak agama yang multikultural, sebaliknya ada pula budaya yang di dalamnya terdapat banyak agama. e. Gender Perbedaan lelaki dan perempuan menjadi dasar konstruksi sosial akan konsep dan makna perbedaan seksual. Gender mengacu pada bagaimana perbedaan tersebut diinterpretasi dan direfleksikan dalam sikap, peran sosial, dan institusi sosial, termasuk pembagian sumber daya dan kekuasaan. Gender merupakan aspek yang penting dalam identitas diri seseorang. f. Orientasi seksual Orientasi seksual mengacu pada kecenderungan dalam ketertarikan secara seksual, kedekatan romantis, seta emosi terkait lainnya. Orientasi seksual berbeda dengan identitas gender. g. Kelas sosial / status sosioekonomi
17
Aspek ini terutama ditentukan oleh seberapa besar pendapatan atau aset material yang dimiliki serta status pekerjaan dan level pendidikan. Kelas sosial tidak hanya sekedar faktor demografis namun juga menentukan perbedaan dalam hal kekuasaan, khususnya kuasa atas sumber daya ekonomi dan peluang. h. Ability/disability Orang-orang dengan keterbatasan sering mengalami stigma, pengucilan, dan ketidakadilan karena keterbatasan mereka. Keterbatasan ini membuat mereka harus menjalani hidup dengan cara berbeda dengan orang „normal‟. i. Usia Anak-anak, remaja, orang dewasa berbeda secara psikologis, tahap perkembangan, serta keterlibatan dalam komunitas. Menuanya usia juga membawa perubahan pada hal pemegang kekuasaan dalam keluarga, komunitas, dan masyarakat. Selanjutnya,
istilah
keberagaman
atau
multikulturalisme
dalam
masyarakat yang disebutkan dalam penelitian ini akan mengacu pada beragamnya aspek-aspek yang disebutkan di atas dalam masyarakat tersebut.
2. Definisi Universal-Diverse Orientation Miville (1999) mengajukan bahwa kepekaan dan penerimaan atas perbedaan dan persamaan lah yang krusial dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan multikultur. UDO kemudian muncul dengan berlandaskan pada tulisan konseling eksistensial dari Vontress (1988, 1996).
18
Lebih spesifik, Vontress (1996) mengajukan bahwa kemampuan untuk secara terus-menerus menerima dan mengapresiasi perbedaan dan persamaan budaya dengan orang lain merupakan hal yang penting dalam membangun hubungan antara orang-orang yang berbeda kebudayaan sama halnya dengan adaptasi individu dalam lingkungan multikultur. UDO dikembangkan oleh Miville, Gelso, Pannu, Liu, Touradji, Holloway, dan Fuertes (1999) yang didefinisikan sebagai, “Sikap inklusif sekaligus menganggap unik setiap manusia dengan cara menyadari dan menerima bahwa setiap manusia memiliki kesamaan serta perbedaan; pengalaman serupa sebagai manusia menciptakan rasa keterhubungan antar satu sama lain sekaligus memberikan kesadaran bahwa terdapat keberagaman di antara manusia.”
Definisi ini merefleksikan interrelasi antara komponen kognitif, perilaku dan afektif dari UDO. UDO didefinisikan sebagai kesadaran dan penerimaan terhadap persamaan maupun perbedaan yang ada di antara setiap manusia. Kesadaran atas persamaan (universal), atau aspek yang dimiliki bersama oleh setiap manusia, dapat menyatukan orang-orang. Sementara itu, perbedaan (diverse) merupakan aspek unik yang dimiliki manusia tergantung pada budaya maupun faktor individual lainnya (ras, jenis kelamin, agama, orientasi seksual, nasionalisme, kepribadian). Faktor-faktor ini berdampak pada kemampuan individu untuk berinteraksi secara efektif di dalam kelompok maupun antar kelompok (Strauss & Connerley, 2003). UDO muncul untuk memberi penjelasan lebih lanjut atas kompetensi multikultural yang mencakup kemampuan umum untuk menerima dan memahami perbedaan (Vargas, 2010). Miville (1999) menyatakan bahwa individu yang
19
menempatkan diri sendiri pada beragam situasi merupakan individu yang mampu mengapresiasi perbedaan dan persamaan sehingga memiliki keterikatan emosi yang dapat memperkuat UDO mereka. Konsep UDO dapat memberi arah baru yang penting dalam asesmen pada konseling multikultural maupun perancangan program diversitas (Fuertes dkk 2000; Miville dkk, 1999). Tak hanya sekedar ada tidaknya prasangka, UDO juga melihat apakah individu cenderung mendekati atau menghindari situasi keberagaman. Dengan mengetahui tingkat UDO, praktisi dan peneliti bisa menetapkan dasar dalam merancang program multikultural (Singley & Sedlacek, 2009). UDO merefleksikan sikap kesadaran dan penerimaan pada adanya kesamaan maupun perbedaan di antara manusia (Miville dkk, 1999). Menyadari adanya persamaan universal di antara setiap manusia membuat individu mampu melihat adanya koneksi dengan setiap manusia yang ada di dunia. Sebaliknya, secara sadar mengakui bahwa masing-masing manusia juga memiliki perbedaan membuat individu mampu melihat sisi unik dari setiap manusia. Penerimaan akan kesamaan dan perbedaan ini membuat individu menjadi lebih menghargai keunikan yang ada pada masing-masing manusia karena perbedaan latar belakang namun di sisi lain tahu bahwa pada dasarnya setiap manusia memiliki persamaan (Yeh & Arora, 2003). Miville (1999) mengartikan persamaan atau universalitas sebagai aspekaspek dalam diri manusia yang dianggap sama antara satu orang dengan orang lainnya. Sementara itu perbedaan atau diversitas dimaknai sebagai aspek-aspek
20
unik dalam diri manusia yang muncul karena adanya perbedaan budaya dan perbedaan individual. Menurut Miville, kesadaran akan adanya persamaan dan perbedaan di antara manusia dapat membuat individu memiliki ikatan dengan orang lain yang memiliki kesamaan namun juga secara bersamaan mampu menerima, mengapresiasi, dan memahami orang lain yang memiliki perbedaan (dalam Yeh & Arora, 2003). Berdasarkan penjelasan di atas, maka definisi UDO yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kesadaran bahwa pada satu sisi setiap manusia memiliki persamaan sehingga muncul perasaan terhubung antar sesama manusia dan di sisi lain tiap-tiap manusia juga memiliki perbedaan yang memunculkan penerimaan dan penghargaan atas keunikan yang dimiliki masing-masing orang.
3. Aspek-aspek Universal-Diverse Orientation UDO terdiri dari tiga aspek yang merepresentasikan dimensi kognitif, perilaku, dan afektif dari persepsi atas keberagaman. Dimensi kognitif disebut sebagai Relativistic Appreciation, dimensi perilaku disebut Diversity of Contact, dan dimensi afektif disebut Comfort with Differences (Miville dkk, 2000). Strauss & Connerley (2003) menjelaskan lebih terperinci mengenai ketiga aspek tersebut sebagai berikut: a. Diversity of Contacts Aspek perilaku dari UDO yang menjelaskan tentang tingkat ketertarikan atau kecenderungan individu untuk berinteraksi dalam lingkungan sosial yang memiliki keragaman serta ikut serta dalam kegiatan-kegiatan lintas budaya. Aspek
21
ini melihat bagaimana individu secara aktif bersedia untuk berinteraksi dalam lingkungan yang plural. b. Relativistic Appreciation Aspek kognitif dari UDO yang melihat sejauh mana individu mampu merekognisi, memberi nilai, dan menerima persamaan dan perbedaan yang ada antara manusia. Aspek ini menjelaskan tingkat apresiasi individu akan pentingnya menyadari persamaan dan perbedaan yang ada di antara kelompok-kelompok yang beragam serta menyadari bahwa hal tersebut akan memberi dampak positif pada perkembangan dirinya. c. Comfort with Difference Aspek afektif dari UDO ini menjelaskan bagaimana individu merasa terhubung dengan manusia lain karena adanya pengalaman yang sama sebagai manusia. Individu mampu merasa nyaman dengan ide untuk berinteraksi dalam lingkungan sosial yang memiliki keragaman.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Universal-Diverse Orientation Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk merumuskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tinggi rendahnya level UDO pada individu. Faktorfaktor tersebut antara lain: a. Faktor demografis Faktor yang paling banyak dikaitkan dengan UDO adalah faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, dan ras. Ras minoritas seperti ras AfrikaAmerika terbukti memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding ras kulit putih
22
(Strauss & Connerley, 2003; Singley & Sedlacek, 2009). Begitu pula dalam hal gender. Wanita ditemukan memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding kaum pria (Singley & Sedlacek, 2009). Hal ini dikarenakan baik ras minoritas maupun wanita, secara umum mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat sehingga membuat mereka lebih peka pada pentingnya bersikap menghargai keberagaman. b. Faktor kepribadian Penelitian Thompson dkk (2002) menemukan bahwa terdapat hubungan kepribadian yang ditinjau dari Five Factor Model dengan level UDO seseorang. Individu dengan tipe kepribadian opennes to experience ditemukan memiliki level UDO yang lebih tinggi dibanding tipe kepribadian lainnya. c. Faktor pengetahuan Pengetahuan tentang multikulturalisme dan multicultural competence yang didapat melalui seminar, pelatihan, maupun pelajaran di kelas terbukti berperan dalam meningkatkan level UDO individu (Yeh & Arora, 2003). d. Faktor interaksi Pendidikan inklusi dikatakan Allenby (2009) berperan dalam mengubah sikap terhadap keberagaman para siswa menjadi lebih positif. Hal ini dikarenakan siswa dapat berinteraksi secara langsung dengan siswa lain yang memiliki disability. Keterlibatan siswa dalam organisasi dan aktivitas yang memungkinkan mereka bertemu dan bekerjasama dengan kelompok-kelompok berbeda latar belakang juga dapat meningkatkan level UDO siswa (Allenby, 2009).
23
B. Self Construal 1. Definisi Self Construal Dalam sejarahnya, psikolog sosial memiliki kecenderungan untuk berpikir bahwa konstruk diri merupakan suatu entitas yang independen dan terpisah dari orang lain. Akan tetapi, bukti-bukti terkini, terutama dari perspektif lintas budaya, menunjukkan bahwa konstruk diri sangat bergantung pada variabel sosial seperti hubungan dengan orang lain atau keanggotaan dalam suatu kelompok (Brewer & Gardner, 1996; Markus & Kitayama, 1991). Individu sering kali mencari makna akan dirinya melalui afiliasi dengan kelompok tertentu yang disebut social self (Brewer & Gardner, 1996). Faktanya, teori motivasi terkini menunjukkan bahwa keterkaitan dan perasaan memiliki dengan orang lain merupakan hal fundamental yang terus menerus dicari oleh manusia (Baumeister & Leary, 1995). Hal ini lah yang memunculkan konsep self construal. Self construal berbicara tentang cara individu memandang diri mereka dalam relasi dengan orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Cara pandang yang dimaksud adalah apakah individu memandang diri mereka sebagai bagian yang otonom dari orang lain atau sebaliknya memiliki koneksi dan kelekatan dengan orang lain. Self construal merupakan pikiran dan perasaan individu terkait hubungannya dengan orang lain dan keunikannya dari orang lain (Singelis, 1994). Teori self construal melihat bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh cara individu itu sendiri dalam memandang dirinya, memandang orang lain, dan memandang hubungannya dengan orang lain (Markus & Kitayama, 1991).
24
Self construal sangat terkait dengan budaya dan merupakan hal yang paling banyak dikaji pada penelitian lintas budaya (Kam, Zhou, Zhang, & Ho, 2012). Budaya timur yang kolektivis dan budaya barat yang lebih individualistis dipercaya berkontribusi pada tipe self construal seperti apa yang dimiliki individu dari budaya tersebut. Dengan demikian, definisi self construal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah cara pandang individu terhadap dirinya dalam relasi dengan orang lain.
2. Interdependent dan Independent Self Construal Riset mengenai self construal membedakan variabel ini menjadi dua tipe yakni independent dan interdependent self construal yang didasarkan pada riset lintas budaya. Pada awalnya, peneliti mengajukan konsep bahwa interdependent dan independent self construal merupakan kutub yang berlawanan dari sebuah variabel kontinuum self construal (Schimmack, Oishi, & Diener, 2005). Akan tetapi, faktor analisis yang dilakukan terhadap aitem-aitem self construal menunjukkan hasil bahwa interdependent dan independent self construal merupakan konstruk yang terpisah. Seorang individu dapat memiliki kedua tipe self construal secara simultan. Tipe self construal mana yang lebih dominan pada individu tergantung pada tipe mana yang lebih sering diaktifkan dan menjadi norma perilaku pada budaya tempat individu berada (Miramontes, 2011). Penelitian Markus dan Kitayama (1991) menemukan bahwa orang-orang dari budaya barat (seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa) yang memiliki budaya individualistis cenderung memiliki independent self construal
25
yang lebih dominan. Sementara itu, budaya kolektivis di timur (seperti negaranegara di Asia) memunculkan individu yang lebih dominan pada interdependent self construal. Independent self construal ditandai dengan sifat stabil, unik, dan berbeda dari yang lain. Konsep diri seperti ini membutuhkan perasaan terindividuasi dari orang lain dan hasrat untuk menemukan keunikan dalam diri yang berbeda dari orang lain. Perilaku interdependent self construal dicirikan dengan selalu berfokus pada atribut internal dan unik dari diri. Diri dipandang sebagai sesuatu yang otonom dan independen. Tujuan utama adalah tujuan diri sendiri. Independent self construal cenderung menghasilkan self esteem yang tinggi (Singelis, 1994). Sementara itu, interdependent self construal ditandai dengan individu yang memandang dirinya tidak terpisah dari konteks sosial. Ia bersifat fleksibel dan dapat berubah-ubah. Keterikatan dengan orang lain dan hubungan sosial merupakan hal utama. Dalam hal pengambilan keputusan, hubungan sosial, peran diri, dan konteks menjadi pertimbangan yang penting. Individu dengan tipe ini memaknai hidupnya melalui hubungan dengan orang lain. Atribut internal diri sendiri ditempatkan setelah relasi. Gaya komunikasi tipe ini cenderung tidak langsung dan memikirkan perasaan lawan bicaranya (Markus & Kitayama, 1991; Singelis, 1994). Menurut Markus & Kitayama (1991), budaya memungkinkan tumbuhnya salah satu tipe self construal pada masyarakatnya. Budaya yang menekankan pentingnya relasi sosial sebagaimana terlihat pada budaya Jepang dan kebanyakan negara Asia lainnya memungkinkan tumbuhnya interdependent self construal.
26
Sebaliknya, budaya yang lebih mengutamakan prestasi personal seperti budaya Amerika Serikat dan kebanyakan negara di Eropa Barat, memungkinkan munculnya independent self construal. Budaya yang dimaksud Markus & Kitayama terdiri dari nilai dan norma dalam masyarakat. Meskipun demikian, Triandis (2001) menyatakan tidak benar bila interdependent dan independent self construal hanya dilihat semata dari kecenderungan individualis atau kolektivis pada suatu budaya. Proses kognitif individu dan situasi juga berpengaruh pada tipe self construal mana yang lebih dominan pada individu tersebut. Terlebih, globalisasi semakin mengaburkan batas antar negara sehingga budaya semata tidak dapat digeneralisasikan dalam memprediksi self construal.
C. Kontak 1. Definisi Kontak Teori kontak menyatakan bahwa menyatukan anggota-anggota dari kelompak yang berbeda dan mendorong mereka untuk saling bekerjasama, memiliki status yang setara, dan memiliki ikatan personal dapat meningkatkan sikap positif kepada out-group dan mampu menciptakan harmoni antar kelompok (Allport 1954; Janowski, 2000). Kontak yang dimaksud tidak hanya sekedar perjumpaan secara fisik karena pertemuan semata belum cukup untuk mempererat hubungan atau mengubah suatu sikap (Nisbet, 1992). Kontak yang berperan dalam mengurangi prasangka dan mendorong keharmonisan antar kelompok antara lain dicontohkan
27
seperti pertemuan terstruktur antar kelompok dimana setiap anggota kelompok dapat saling bekerjasama atau kontak yang terjadi dalam pertemanan (Pettigrew, 1998). Ada beberapa kunci penting yang menjadikan suatu kontak antar kelompok dapat merangsang perubahan perilaku dan sikap. Interaksi yang paling mungkin dapat memberikan dampak positif dalam perubahan sikap adalah interaksi dimana tiap individu memiliki status yang setara, individu-individu tersebut terlibat dalam kegiatan untuk mencapai tujuan yang sama, dan interaksi yang memberikan waktu bagi semua partisipan untuk saling mengenal satu sama lain (Devine & O‟Brien, 2007). Brickson (2000) menemukan bahwa banyak literatur menunjukkan dampak positif dari kontak paling sering terjadi dalam setting sekolah atau pendidikan. Hal ini dikarenakan syarat-syarat efektifnya kontak terpenuhi dalam setting pendidikan seperti status yang setara antar murid dan peluang terjadinya kerjasama untuk mencapai suatu tujuan. Sejumlah penelitian mendukung teori kontak yang menyatakan bahwa perubahan sikap yang positif dapat didorong ketika individu memiliki kontak langsung dan positif dengan kelompok-kelompok yang berbeda dari kelompoknya (Allenby, 2009). Teori kontak merumuskan bahwa kontak positif antara kelompok-kelompok berbeda dapat mengurangi bias negatif, stereotype, ekspektasi, dan perilaku diskriminatif (Allport, 1954; Roper, 1990). Pada penelitian ini, kontak akan dimaknai sebagai interaksi langsung antara individu-individu dari kelompok berbeda namun memiliki status setara
28
yang melibatkan kerjasama untuk mencapai suatu tujuan serta aktivitas bersama untuk dapat saling mengenal satu sama lain.
2. Kondisi Kunci Kontak Antarkelompok Allport (dalam Pettigrew, 1998) berkeyakinan bahwa efek positif dari kontak antarkelompok hanya dapat terjadi apabila empat kondisi kunci di bawah ini terpenuhi, yakni: a. Status yang setara Allport menekankan pentingnya status yang setara dalam situasi kontak antarkelompok. Tiap kelompok yang berinteraksi haruslah merasa memiliki status yang setara satu sama lain. Ketika kelompok yang berinteraksi memiliki perbedaan status, kontak justru dapat menghasilkan efek negatif (Jackman & Crane, 1986). Ruang kelas adalah salah satu tempat dimana setiap kelompok yang berinteraksi dapat merasakan status yang setara (Allenby, 2009). b. Tujuan yang sama Menghilangkan prasangka melalui kontak membutuhkan usaha yang aktif dan berorientasi pada tujuan. Ketika kelompok-kelompok yang saling berinteraksi memiliki tujuan yang sama, akan tercipta kondisi saling membutuhkan antara kelompok tersebut agar tujuan dapat tercapai (Pettigrew, 1998). c. Adanya kerjasama antarkelompok
29
Tercapainya tujuan yang sama pada kelompok harus terjadi dengan adanya saling kerjasama antara kelompok yang terlibat dalam kontak (Bettencourt, 1992). d.
Adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi Kondisi terakhir membutuhkan keterlibatan dari pihak-pihak lain yang
terkait dengan kelompok-kelompok yang saling berinteraksi. Sebagai contoh, adanya aturan atau sanksi sosial akan membuat kontak antarkelompok diterima lebih luas dan memberikan dampak positif yang lebih besar (Pettigrew, 1998)
3. Proses Perubahan Melalui Kontak Antarkelompok Studi terkini dari Pettigrew (1998) merumuskan empat langkah yang saling berkaitan dalam proses perubahan sikap melalui kontak. Langkah-langkah tersebut adalah sebagai berikut: a. Mempelajari kelompok lain Teori awal menyatakan bahwa langkah pertama ini merupakan cara yang paling utama agar kontak antarkelompok membuahkan hasil. Saat proses belajar mampu mengoreksi pandangan negatif yang keliru pada kelompok tertentu, maka kontak akan mampu mengurangi prasangka. Memberikan informasi-informasi baru tentang kelompok yang lain akan mampu mendorong terjadinya perubahan sikap menjadi lebih positif. b. Mengubah perilaku Kontak antarkelompok yang optimal merupakan salah satu bentuk awal dari modifikasi perilaku. Perubahan perilaku seringkali menjadi awal terjadinya
30
perubahan sikap. Menciptakan situasi baru dimana individu dituntut mengubah perilakunya untuk semakin sering berinteraksi dengan anggota kelompok lain akan semakin memudahkan terjadinya perubahan sikap. c. Generalisasi ikatan afektif Emosi merupakan hal yang sangat penting dalam kontak antarkelompok. Kecemasan pada saat pertama kali berinteraksi dengan kelompok berbeda merupakan hal yang biasa terjadi dan dapat memicu reaksi negatif (Islam & Hewstone, 1993). Kecemasan ini akan semakin berkurang dengan semakin seringnya interaksi. Oleh karena itu, penting untuk memperhatikan emosi-emosi yang muncul dari individu pada saat melakukan kontak dengan kelompokkelompok lain. d. Ingroup reappraisal Kontak antarkelompok yang optimal memberikan pemahaman lebih baik tentang kondisi ingroup sekaligus juga outgroup. Kontak tak hanya membuat individu semakin mengenal kelompok lain namun juga semakin memahami kelompoknya sendiri dengan bercermin pada pengetahuan barunya tentang kelompok lain. 4.
Kontak dan Perguruan Tinggi Flexner (dalam Syukri 2009) menyatakan bahwa perguruan tinggi
merupakan sebuah tempat untuk mencari ilmu pengetahuan, memecahkan berbagai masalah, mengkritisi karya-karya yang dihasilkan, dan sebagai pusat pelatihan manusia. Lingkungan perguruan tinggi merupakan lingkungan untuk menyemai, mendidik dan melatih mahasiswa agar memiliki daya nalar tinggi serta
31
kemampuan analisa yang tajam dan luas (Syukri, 2009). Misi perguruan tinggi adalah pengajaran, penelitian dan aplikasi ilmu pengetahuan (Arthur, dalam Syukri 2009) yang tercermin dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Terkait dengan kontak antar kelompok, perguruan tinggi merupakan salah satu tempat ideal untuk berlangsungnya kontak yang positif sebagaimana halnya setting sekolah (Brickson, 2000). Interaksi mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi memenuhi kondisi-kondisi kunci terciptanya kontak antar kelompok (Pettigrew, 1998). Peran perguruan tinggi dalam mendorong mahasiswanya memiliki kompetensi multikultural yang baik sangatlah besar. Masyarakat Indonesia pada umumnya mempunyai harapan yang tinggi bahwa perguruan tinggi akan menjadi tempat latihan dan pendidikan putra-putrinya untuk menjadi bagian dari kaum intelektual yang berilmu tinggi dan berperilaku terpuji (Syukri, 2009). Sayangnya, harapan besar masyarakat ini masih belum maksimal diterapkan dalam perguruan tinggi. Sebagaimana dinyatakan Asyanti (2012), perguruan tinggi kurang memberikan porsi pada pendidikan karakter mahasiswa. Kurikulum pendidikan tinggi masih menitikberatkan pada kompetensi akademis. Melihat bagaimana perbedaan kontak di perguruan tinggi dapat berperan dalam memprediksi munculnya komptensi multikultural perlu dilakukan sebagai salah satu dasar perancangan kurikulum pembentukan karakter mahasiswa. Schwartz (2000) menyatakan universitas, baik yang berlatar belakang religius
32
maupun yang sekuler, dapat menggunakan kekuatan kurikulum untuk membentuk pemikiran sekaligus karakter mahasiswa. Perguruan tinggi pada umumnya menarik mahasiswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kondisi kunci kontak antar kelompok yang terpenuhi dalam interaksi perguruan tinggi akan semakin maksimal dampaknya bila perguruan tinggi tersebut juga memiliki kelompok-kelompok mahasiswa dari berbagai etnis, agama, jenis kelamin, ras, dan budaya. Akan tetapi, tidak semua perguruan tinggi memiliki komposisi mahasiswa yang sangat beragam. Sejumlah perguruan tinggi, terutama yang berafiliasi pada agama, tentu hanya akan memiliki kelompok mahasiswa dari satu agama tertentu. Selain itu, keterkaitan budaya dan agama menjadikan perguruan tinggi yang berafiliasi pada agama tertentu cenderung memiliki kelompok mahasiswa dari budaya tertentu pula. Hal ini bukanlah suatu hal yang buruk mengingat tujuan didirikannya perguruan tinggi berafiliasi agama memang lah untuk memperdalam ilmu mengenai agama itu sendiri. Schwartz (2000) bahkan menyatakan biasanya institusi kecil yang berafiliasi agama lah yang memiliki komitmen luas dan komprehensif terhadap perkembangan karakter dalam semua dimensi kehidupan perguruan tinggi. Namun, pengembangan kompetensi multikultural pada mahasiswa di perguruan tinggi tetap perlu menjadi perhatian. Mendorong terjadinya kontakkontak positif antar kelompok mahasiswa perlu dilakukan agar mahasiswa nantinya tak canggung saat masuk ke masyarakat yang multikultur. Oleh karena itu, perlu untuk dilihat bagaimana keberagaman kelompok di lingkungan
33
perguruan tinggi dapat mendorong terjadinya kontak yang positif dan karenanya turut memicu berkurangnya prasangka antar kelompok. Penelitian ini akan mencoba melihat bagaimana dua level kontak yang berbeda pada perguruan tinggi umum dan perguruan tinggi yang berafiliasi agama akan berinteraksi dengan level UDO mahasiswa di kedua perguruan tinggi tersebut.
D. Self Construal dan Kontak sebagai Prediktor UDO Individu dengan interdependent self construal adalah individu yang terhubung, memberi perhatian, dan responsif terhadap orang di sekitarnya (Kondo, 1990). Mereka dengan gaya interdependent selalu mampu menemukan cara untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitarnya, mampu memenuhi tuntutan peran yang diberikan masyarakat padanya, serta menjadi bagian dalam berbagai relasi interpersonal (Yeh & Hwang, 2000). Kemampuan mengendalikan perilaku, pikiran, emosi dan motivasi untuk mengakomodir orang lain pada individu dengan interdependent self construal merupakan sumber dari self-esteem mereka yang cenderung mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri (Markus & Kitayama, 1991). Pada sisi lain, individu dengan independent self construal seringkali dikarakteristikkan sebagai individu yang terpisah, unik, dan memiliki sense of self yang di luar konteks (Sampson, 1989). Mereka dengan tipe self construal ini terbiasa mengekspresikan pikiran, perasaan, dan perilaku mereka dengan bebas. Lebih jauh, diri sendiri merupakan aktor utama yang mengendalikan perilaku dan interaksi dengan orang lain (Bellah, Madsen, dkk, 1996). Self esteem mereka
34
muncul dari sikap asertif, terang-terangan, dan menjadi diri yang unik (Markus dkk, 1997). Cross (2000) menyatakan bahwa perbedaan self construal pada individu mempengaruhi
perkembangan
hubungannya
dengan
orang
lain.
Baik
interdependent maupun independent self construal berperan dalam membentuk norma sosial dan kultural pada saat berinteraksi dalam sebuah hubungan (Markus, 1997). Pada masyarakat yang multikultural, kecenderungan memaknai hubungan sosial akan berdampak pada bagaimana individu bersikap dan berperilaku di tengah keberagaman tersebut. Oleh karena itu, perbedaan tipe self construal yang dominan pada masing-masing individu diprediksi akan mempengaruhi bagaimana ia memberi makna dan memperlakukan keberagaman yang ada di sekitarnya. Pemberian makna dan perlakuan terhadap keberagaman ini yang dicirikan dengan UDO. Individu dengan interdependent self construal dan independent self construal akan bereaksi berbeda dalam berinteraksi dan menjalin hubungan di masyarakat. Melihat perbedaan karakteristik kedua tipe ini, interdependent self construal diprediksi akan lebih berperan terhadap UDO. Sebagai contoh, Cross (2000) menemukan bahwa individu dengan interdependent self construal cenderung lebih mempertimbangkan konsekuensi keputusan mereka atas orang lain dan mau mendengarkan opini serta kebutuhan orang lain. Mereka membangun hubungan baru dengan membuka diri dan peka terhadap kebutuhan orang lain. Sebagai hasilnya, cara interdependent dipandang sebagai cara yang lebih responsif dan menunjukkan kepedulian.
35
Memiliki interdependent self contrual membuat individu secara konstan menyadari keberadaan orang lain dan fokus pada kebutuhan, hasrat, dan tujuan orang lain (Markus & Kitayama, 1991). Menyadari keberadaan orang lain dan mau menerima orang lain apa adanya merupakan salah satu ciri dari UDO. Temuan Yeh & Arora (2003) menunjukkan individu dengan interdependent self construal lebih sadar dan lebih mau menerima persamaan dan perbedaan mereka dengan orang lain. Menyadari persamaan dan perbedaan dengan orang lain akan mampu membantu individu dalam menjalin ikatan dengan mereka yang memiliki kesamaan sekaligus mampu menghargai keunikan pada mereka yang berbeda. Selanjutnya, variabel lain yang diprediksi akan berkontribusi pada level UDO adalah faktor situasional berupa level kontak dengan kelompok-kelompok yang beragam. Liebkind (2000) menyatakan bahwa cara terbaik untuk mengurangi sikap antarkelompok yang negatif adalah dengan membiarkan anggota-anggota dari masing-masing kelompok berinteraksi satu sama lain. Perguruan tinggi bisa menjadi salah satu tempat ideal dimana kontak positif dapat terjadi. Sebagaimana yang dikemukakan Allport (dalam Pettigrew, 1998) kondisi kunci yang harus dipenuhi agar kontak berdampak positif adalah status yang setara, memiliki tujuan yang sama, terdapat kerjasama antarkelompok, dan adanya dukungan dari otoritas yang lebih tinggi. Mahasiswa di perguruan tinggi memiliki status yang setara sebagai pelajar. Interaksi di ruang kelas yang dibuat oleh otoritas seperti dosen sering kali menempatkan mahasiswa pada kondisi dimana mereka dituntut untuk saling bekerjasama seperti adanya tugas kelompok, metode belajar dengan cara diskusi,
36
adanya kompetisi olahraga, minat, bakat dan sebagainya. Mahasiswa akan memiliki tujuan yang sama seperti lulus ujian, mendapatkan nilai tinggi, atau memenangkan kompetisi yang diharapkan akan memicu terjadinya kontak yang positif antara berbagai kelompok mahasiswa. Meski demikian, tidak semua perguruan tinggi memiliki kelompok mahasiswa yang beragam. Interaksi di perguruan tinggi yang sesuai dengan kondisi kunci terciptanya kontak positif akan sia-sia bila mahasiswa yang ada hanya berasal dari satu atau sedikit kelompok saja. Kondisi seperti ini justru akan memicu semakin menguatnya identitas kekelompokan. Individu yang memiliki kelekatan yang tinggi dengan kelompoknya akan cenderung menjadikan kelompoknya sebagai pusat segalanya, memandang kelompok di mana diri bernaung sebagai kelompok yang paling benar dan memandang kelompok lain melalui sudut pandang kelompok sendiri (Brehm & Kassim, 1989; Stephan & Stephan, 2000). Hal ini bisa saja berdampak negatif pada mahasiswa karena kurangnya interaksi dengan kelompok lain akan memicu munculnya prasangka, stereotip negatif, jarak sosial, dan diskriminasi (Brehm & Kassim, 1989). Sebaliknya, perguruan tinggi dengan mahasiswa yang berasal dari latar belakang suku bangsa, etnis, dan agama yang beragam akan menjadi tempat yang sangat ideal untuk terciptanya kontak positif. Kerjasama serta perasaan memiliki status setara dan tujuan yang sama akan membuat mahasiswa dari kelompok berbeda menjadi lebih saling mengenal satu sama lain dan menemukan bahwa sebenarnya kelompok lain, meskipun berbeda, sebenarnya juga memiliki persamaan dengan kelompoknya sendiri. Hal ini diharapkan akan berkontribusi
37
pada meningkatnya level UDO mahasiswa dimana memiliki UDO berarti mampu menyadari dan menerima bahwa setiap manusia memiliki keterikatan meski masing-masing juga memiliki keunikannya sendiri. Oleh karena itu, baik self construal maupun kontak akan menjadi prediktor bagi UDO. Selanjutnya, penelitian ini akan mengungkap bagaimana kontribusi kedua variabel tersebut terhadap UDO. E. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka dipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Self construal merupakan prediktor dari UDO 2. Kontak merupakan prediktor dari UDO 3. Self construal bersama-sama dengan kontak merupakan prediktor dari UDO