9
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Definisi maintenance Maintenance (perawatan) menurut Wati (2009) adalah “semua tindakan teknik dan administratif yang dilakukan untuk menjaga agar kondisi mesin/peralatan tetap baik dan dan dapat melakukan segala fungsinya dengan baik, efisien, dan ekonomis sesuai dengan tingkat keamanan yang tinggi.” Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Stephens (2006:3), yang menyatakan bahwa “all activities necessary to keep a system and all of its components in working order.” Sehingga dapat dikatakan bahwa seiring berlalunya waktu fungsi mesin serta peralatan yang digunakan untuk produksi semakin lama akan berkurang. Namun dengan adanya suatu sistem perawatan yang baik, maka usia kegunaan mesin dapat diperpanjang dengan melakukan perawatan secara berkala dengan perawatan yang tepat. Terdapat dua hasil yang diharapkan dari kegiatan perawatan, yaitu :
9
10
a) Condition
maintenance,
yaitu
aktivitas
perawatan
untuk
mempertahankan keadaan mesin/peralatan agar dapat berfungsi dengan baik sesuai dengan usia ekonomis mesin itu. b) Replacement maintenance, yaitu aktivitas perawatan untuk perbaikan dan penggantian komponen mesin tepat pada waktunya sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. 2.2 Tujuan maintenance Kegiatan Maintenance (perawatan) secara garis besar dilakukan untuk mencegah kerusakan mesin/peralatan yang digunakan untuk kegiatan produksi terlalu cepat, selain itu kegiatan perawatan haruslah memiliki kriteria efektif, efisien, serta berbiaya rendah. Berikut ini beberapa tujuan kegiatan perawatan menurut Wati (2009), antara lain : a) Memperpanjang usia pakai dari mesin/peralatan. b) Menjaga fungsi dari mesin/peralatan agar tetap baik. c) Menjamin ketersediaan optimum mesin/peralatan. d) Menjamin kesiapan operasional mesin/peralatan. e) Mengurangi downtime mesin/peralatan (memaksimalkan ketersediaan) f) Menjamin keselamatan user mesin/peralatan tersebut. g) Menjamin kepuasan pelanggan.
11
2.3 Total Productive Maintenance (TPM) 2.3.1
Definisi Total Productive Maintenance (TPM)
Definisi Total Productive Maintenance (TPM) menurut Wireman (2004:1), “is maintenance activities that are productive and implemented by all employees.” Jadi TPM merupakan suatu aktivitas perawatan yang produktif serta diimplementasikan oleh seluruh lapisan karyawan pada suatu perusahaan atau organisasi. Metode ini melibatkan seluruh elemen dari organisasi, yaitu : a) Departemen Maintenance b) Operasional c) Fasilitas d) Desain e) Pelaksana proyek f) Kontruksi g) Persediaan dan penyimpanan h) Pembelian i) Accounting dan Finance. j) Manajemen di pabrik dan area lapangan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Panneerselvam (2005:469), “Total Productive Maintenance (TPM) is a management system for optimizing the productivity of manufacturing equipment thruogh systematic equipment maintenance involving employees at all levels.” Dimana semua karyawan dari
12
berbagai level dan tingkatan, serta berbagai divisi ikut bertanggung jawab atas kegiatan perawatan agar kegiatan manufaktur berjalan secara optimal.
2.3.2
Pilar dari Total Productive Maintenance (TPM)
Pada sistem Total Productive Maintenance (TPM) memiliki dasar pondasi yang menjadi ciri khas sistem ini, dasar pondasi tersebut di sebut juga pilar, pilar ini terdiri dari delapan metode yang menjadi penyokong berjalannya suatu sistem TPM, dimana delapan pilar ini saling terkait antara satu sama lain. Delapan pilar tersebut menurut Ahuja dan Kahamba ( 2008 ) antara lain yaitu : a) Autonomous maintenance b) Focussed Improvement c) Planned maintenance d) Quality maintenance e) Education and Training f) Development Management g) Safety, health, and environment h) Office TPM Dalam pilar-pilar tersebut diatas dapat dijelaskan secara singkat maksud atau pengertian dari masing-masing item yaitu : a) Autonomous maintenance atau dalam bahasa Jepang Jishu Hozen adalah pemeliharaan yang independent yang artinya pekerjaan maintenance yang
13
biasanya pekerjaan dilakukan oleh bagian maintenance dapat dialihkan ke bagian lain dalam hal ini operator peralatan yang tentunya sesuai dengan kapasitasnya
sebagai
supporting
maintenance,
yang
bertujuan
meningkatkan kemampuan operator dalam merawat peralatan dan terlibat dalam proses perbaikan yang terkait dengan aspek produksi dengan perbaikan pada operasi dan manajemen peralatan yang termasuk dalam lingkup gerakan 5S. b) Focused Improvement
dan proses improvement ( Kobetsu Kaizen )
adalah perbaikan secara terus menerus atau berkesinambungan dalam tiap aspek penting dari setiap departemen yang menjalankan, yang bertujuan untuk meminimalisir berbagai kerugian atau losses untuk mendapatkan hasil efektifitas yang lebih baik dalam bentuk OEE, baik dengan perbaikan metode kerja maupun standar proses dan mesin. c) Planned Maintenance bertujuan untuk mengontrol kerusakan dari peralatan setelah jam kerja operasi yang cukup lama sebelum terjadi kerusakan yang lebih parah yang dasar pelaksanaannya dengan mengunakan histori data atau pengalaman-pengalaman sebelumnya. d) Quality Maintenance adalah sistem pengaturan terhadap kualitas yang bertujuan untuk memiliki pengetahuan dan standar untuk membuat produk yang sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan sehingga penyimpangan kualitas dalam proses dapat segera untuk diperbaiki dengan mengaitkan
14
faktor – faktor dalam proses seperti 4M yaitu Manusia, Mesin, Metode, dan Material. e) Education and Training adalah suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan skill atau kemampuan dari tiap personil terhadap suatu bidang kerja nya, salah satu bentuk training tersebut adalah training 5S, pengoperasian mesin baru dan teknik perawatan yang baik dan program training lainnya. f) Development Management adalah yang berkaitan dengan pengembangan mesin
untuk
efektifitas
yang
tinggi
serta
proses
cepat
untuk
pengembangan hal baru. g) Safety, health and environmental terkait dengan masalah kesehatan, keselamatan dan kenyamanan lingkungan dalam bekerja bagi si pekerja dengan pemakaian alat pelindung kerja dan penerapan tanda-tanda yang menunjukkan area atau proses yang berbahaya yang beresiko untuk mencapai zero accident. h) Office TPM adalah terkait dengan peranan administrasi dalam pengumpulan dan penyajian data yang diperlukan tiap departemen untuk pengambilan keputusan lebih lanjut, serta kantor yang berorientasi untuk dukungan yang sangat baik serta meningkatkan efisiensi jam kerja operator.
15
2.3.3
Tujuan Total Productive Maintenance (TPM)
Berikut ini merupakan tujuan dari maintenance menurut Wireman (2004:2), antara lain yaitu : a) Meningkatkan efektifitas dari mesin/peralatan. Memastikan bahwa suatu mesin/peralatan bekerja sesuai dengan fungsi dan spesifikasinya secara efektif. b) Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari perawatan. Memfokuskan pada kegiatan perawatan yang efektif dan efisien pada saat melakukan perawatan pada mesin/peralatan. c) Manajemen perawatan yang tepat. Tujuannya adalah untuk mengurangi tingkat perawatan dari suatu mesin/peralatan,
agar
biaya
perawatan
keseluruhan
tidak
membengkak. d) Melakukan pelatihan untuk meningkatkan keahlian kepada semua orang yang terlibat, dan dapat berkontribusi dalam kegiatan perawatan. Tidak hanya melibatkan anggota maintenance department, tapi juga pada seluruh operator, serta karyawan lainnya. e) Melibatkan operator pada setiap kegiatan perawatan rutin. Kegiatan ini bertujuan agar seluruh operator dapat memahami serta menangani setiap masalah yang mungkin timbul.
16
2.4 Biaya perawatan Riset menunjukkan bahwa banyak perusahaan di sana yang menghabiskan banyak biaya hanya untuk kegiatan perawatan, dimana hal ini tentu saja sangat boros dan tidak perlu. Menurut Wireman (2004), ada beberapa hal mempengaruhi biaya dari perawatan, antara lain : a) Penjadwalan perawatan. b) Perekrutan dan pelatihan teknisi perawatan. c) Breakdown yang terlalu banyak. d) Kurangnya dukungan dari manajemen tingkat atas.
Sebenarnya beberapa pengeluaran yang tidak penting dapat dihindari dengan menerapkan metode perawatan yang baik, sehingga akan mengurangi biaya perawatan, yang berakibat meningkatnya profit. Oleh karena itu pada setiap perusahaan sebaiknya dicari suatu kondisi yang ideal untuk melakukan suatu perbaikan secara optimal pada kegiatan perawatan. Level optimum dari tindakan pencegahan merupakan suatu titik dimana biaya total (biaya yang berhubungan dengan perawatan pencegahan ditambah biaya perbaikan peralatan rusak) berada pada titik minimum, seperti pada gambar berikut.
17
Optimum
Preventive Maintenance
Costs
Repair and Breakdown Level of Maintenance commitment Grafik 2.1. Perbandingan biaya pada level perawatan yang berbeda (Sumber : Stephens, 2006)
Dari gambar diatas diketahui bahwa perbandingan antara program perawatan dengan biaya total perawatan (biaya perbaikan kerusakan) berbanding lurus. Selanjutnya dapat diketahui juga bahwa biaya total perawatan dan breakdown menunjukkan penurunan seiring dengan penerapan program perawatan yang tepat, atau dapat dikatakan berbanding terbalik. Variasi dari beberapa faktor seperti jenis dan usia mesin/peralatan, tipe industri, tingkat skill teknisi dapat mempengaruhi kemiringan kurva preventive maintenance (PM). Perubahan dari kemiringan kurva PM juga akan merubah posisi dari titik optimum. Untuk lebih paham, contohnya pada gambar dibawah ini.
18
Preventive Maintenance
Costs Preventive Maintenance Repair and Breakdown
Level of Maintenance commitment Grafik 2.2. Perbandingan biaya perawatan dengan variasi kemiringan PM. (Sumber : Stephens, 2006)
Maka dari itu kebijakan perawatan yang tepat sangat penting bagi suatu perusahaan agar biaya yang dikeluarkan untuk perawatan dapat terkendali dengan baik, dan dalam level optimum yang baik pula.
2.5 Jenis maintenance 2.5.1
Planned maintenance Planned maintenance atau disebut juga dengan perawatan terencana
merupakan suatu bagian dari pilar pada Total Productive Maintenance (TPM). Menurut Panneerselvam (2005:469), tujuan dari metode ini adalah “Planned maintenance aims to have trouble free machines and equipments to produce defect free products to fully satisfy customers requirements.” Sehingga dapat dikatakan bahwa planned maintenance bertujuan untuk menciptakan suatu
19
kondisi mesin yang bebas masalah dan menghasilkan suatu produk yang bebas cacat, sehingga kepuasan pelanggan dapat terpenuhi. Lalu definisi Planned maintenance menurut Wati (2009), “pemeliharaan yang diorganisasi dan dilakukan dengan pemikiran ke masa depan, pengendalian dan pencatatan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya.” Jadi dapat dikatakan Planned maintenance merupakan jenis perawatan yang telah telah diorganisir, direncanakan, dijadwalkan, serta dilakukan pencatatan pada setiap prosesnya. Pada Planned maintenance mempunyai tiga bentuk tipe perawatan, yaitu : a) Reactive atau Corrective maintenance (repair and breakdown) Perawatan perbaikan ini dilakukan tepat pada saat terjadi kegagalan mesin atau pada saat mesin benar-benar rusak. Perawatan ini menuntut operator serta teknisi untuk melakukan hal-hal yang mencakup : 1) Mencatat hasil yang timbul dari kerusakan yang terjadi secara detail dan terperinci, sehingga operator dan teknisi dapat menganalisa kerusakan dan mencari penyebabnya. 2) Ikut
memberikan
masukan-masukan
setelah
melakukan
pencatatan serta menganalisanya, yang tujuannya adalah mencegah
kejadian
mesin/peralatan
serupa
terjadi
kembali
pada
20
b) Preventive maintenance Perawatan jenis ini adalah kebalikan dari perawatan perbaikan, perawatan ini dilakukan untuk mencegah dan memperbaiki masalah sebelum terjadi kegagalan mesin/peralatan. Dalam hal ini pemeriksaan merupakan kegiatan yang penting untuk pembuatan laporan dan merencanakan perawatan yang rutin untuk kegiatan selanjutnya agar lebih tepat dan cepat. Langkah-langkah standar yang dilakukan untuk melakukan perawatan jenis ini adalah : 1) Membersihkan
area
dekat
mesin/peralatan,
seperti
membersihkan debu, membersihkan sisa pelumas yang tercecer, membersihkan sisa-sisa scrap, dan lain-lain. 2) Inspeksi mesin/peralatan setelah digunakan, seperti memeriksa tingkat ketinggian oli, memeriksa apakah ada baut di mesin yang lepas, atau kabel yang lepas serta terbuka, dan lain-lain. 3) Pelumasan terhadap bagian mesin/peralatan yang mungkin memerlukannya. c) Predictive maintenance Perawatan ini merupakan perkembangan dari Preventive maintenance, perawatan ini dilakukan pada interval waktu yang telah ditentukan berdasarkan prediksi hasil analisa. Data yang digunakan untuk dianalisa dalam sistem perawatan ini dapat berupa temperatur, getaran, bahan kimia pelumas dan lain-lain.
21
2.5.2
Autonomous maintenance Suatu sistem pemeliharaan mandiri, dimana kegiatan perawatan
mesin/peralatan dilakukan oleh operator sendiri, seperti yang dikatakan oleh Panneerselvam (2005:469), “to prepare the operators to take care of routine maintenance task which will help to free the core maintenance personnel to concentrate on high end maintenance activities.” Namun hanya berlaku pada perawatan ringan saja yang dilakukan oleh operator tersebut. Beberapa tujuan dari Autonomous maintenance adalah sebagai berikut : a) Mencegah dan mengurangi lama waktu mesin/peralatan downtime. b) Mencegah defect dari proses mesin. c) Mempercepat penanganan mesin downtime. d) Meningkatkan ketahanan mesin. e) Menjaga kondisi mesin dalam keadaan prima. f) Mencegah kerusakan mesin yang lebih parah. g) Meningkatkan pemahaman operator dan skill tentang mesin. h) Mengurangi resiko kecelakaan kerja, karena operator lebih paham dengan sistem safety dari mesin.
2.6 Reliability Centered Maintenance (RCM) RCM menurut Moubray (1992:7), “a process used to determine what must be done to ensure that any physical asset continues to do what its user
22
want it to do in its present operating context.” Sehingga dapat dikatakan sistem ini diciptakan untuk menentukan langkah yang diperlukan dan menentukan perawatan yang efektif untuk menjamin seluruh fasilitas fisik berjalan dengan baik dan sesuai fungsinya. Metode ini merupakan suatu metode pendekatan perawatan yang mengkombinasikan praktek dan strategi dari seluruh elemen planned maintenance (Preventive maintenance dan corrective maintenance) untuk memaksimalkan umur mesin/peralatan dengan biaya yang minimal (minimum cost). Untuk menerapkan metode RCM maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut : a) Identifikasi mesin/peralatan yang penting untuk di lakukan tindakan maintenance, dengan menggunakan metode :
Failure, Mode, Effect, Criticality Analysis (FMECA).
Fault Tree Analysis (FTA).
MTBF (Mean Time Between Failure), MTTR (Mean Time To Repair) dan MTTF (Mean Time To Failure).
b) Menentukan penyebab terjadinya kegagalan, untuk hal ini diperlukan data histori yang lengkap. c) Mengklasifikasi tingkatan maintenance. d) Mengimplementasikan keputusan berdasarkan RCM e) Melakukan evaluasi.
23
2.7 Overall Equipment Effectiveness (OEE) Efektivitas suatu sistem produksi berpengaruh terhadap keuntungan yang akan di peroleh perusahaan. Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengukur dan memaksimalkan efektifitas adalah dengan Overall Equipment Effectiveness ( OEE ). OEE merupakan pengukuran efektifitas secara keseluruhan untuk mengevaluasi seberapa capaian performansi dan reliability peralatan. OEE merupakan indikator performansi produktivitas yang didasarkan pada level tertentu dari performansi yang diharapkan. Besarnya kesempatan untuk memperbaiki produktivitas yang diidentifikasi dengan menggunakan OEE tergantung pada langkah yang tepat yang diambil oleh perusahaan. Dengan OEE dapat diketahui dan diukur penyebab melemahnya kinerja peralatan. Tujuan dari OEE adalah sebagai alat ukur performa dari suatu sistem maintenance, dengan menggunakan metode ini maka dapat diketahui ketersediaan mesin/peralatan, efisiensi produksi, dan kualitas output mesin/peralatan.
Penggunaan
OEE
sebagai
performance
indicator
,
mengambil periode basis waktu tertentu, seperti shiftly, harian, mingguan, bulanan, maupun tahunan. Pengukuran OEE lebih efektif digunakan pada suatu peralatan produksi. OEE dapat digunakan dalam beberapa tingkatan pada sebuah lingkungan perusahaan.
OEE dapat dipergunakan sebagai “
benchmark “ untuk mengukur rencana perusahaan dalam performasi. Nilai OEE, perkiraan dari suatu aliran produksi, dapat digunakan untuk
24
membandingkan garis performansi melintang dari perusahaan, maka akan terlihat aliran yang tidak penting. Selain digunakan untuk mengetahui performa peralatan, suatu ukuran OEE dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk keputusan pembelian peralatan baru. Dalam hal ini, pihak pengambil keputusan mengetahui dengan jelas kapasitas peralatan yang ada sehingga keputusan yang tepat dapat diambil dalam rangka memenuhi permintaan pelanggan. Untuk itu OEE dapat dirumuskan dengan melihat hubungan antara ketiga elemen produktifitas tersebut dapat dilihat pada rumus dibawah ini, dimana :
OEE % = A x P x Q x 100%
Dimana :
A = Avalability (waktu ketersediaan mesin/peralatan). P = Performance effectiveness. Q = Quality.
Menurut Hansen ( 2001 ) dalam Overall Equipment Effectiveness ( OEE ) dapat dikategorikan menjadi : < 65% tidak dapat diterima 65 - 75 % cukup baik, hanya ada kecenderungan adanya peningkatan tiap kuartalnya
25
75 – 85 % sangat bagus, lanjutkan hingga world class level ( > 85% untuk batch type process dan > 90%
untuk continuous discrate
process ) Untuk
ideal parameter OEE adalah availability > 90%, Performance
Efficiency > 95%, Quality rate product > 99% Faktor-faktor yang mempengaruhi OEE atau biasa disebut dengan six big losses disajikan dalam tabel berikut ini : Six Big Losses Category
OEE Loss Category
OEE Factor
Downtime Losses
Availability ( A )
Speed Losses
Performance ( P )
Defect Losses
Quality ( Q )
Equipment Failure Setup and adjustment Idling and minor stoppages Reduced Speed Reduce Yield Quality Defect
Tabel 2.1 Six Big Losses ( Sumber : Jurnal Performance Measurement of Mining Equipment by Utilizing OEE, 2010 )
Enam kerugian atau six big losses yang mengakibatkan downtime dibagi dalam beberapa hal berikut : Kerugian karena peralatan berhenti beroperasi 1. Kerusakan peralatan : diakibatkan oleh kerusakan yang tidak terduga
26
2. Setup dan penyesuaian ( Setup and adjustment ). Kerugian atas waktu yang dibutuhkan untuk equipment setup dan adjustment terlalu lambat sehingga akan mengurangi produktivitas. Kerugian karena memperlambat operasi 3. Berhenti sebentar atau tiba-tiba berhenti (Idling and Minor Stoppages) 4. Pengurangan kecepatan ( Reduce Speed ). Kerugian karena kecepatan alat lambat. Kerugian karena menghasilkan produk rusak 5. Cacat dalam proses ( Defect in process ) 6. Berkurangnya hasil produksi ( Reduce yield ). Kerugian antara saat produksi dimulai hingga produksi berlangsung lancar/stabil.
Berikut ini merupakan parameter perhitungan OEE. Dimana untuk mencapai efektivitas yang tinggi dari peralatan maka nilai dari masing-masing parameter harus mencapai nilai yang tinggi.
27
Gambar 2.1 OEE Parameter ( Sumber : Jurnal Performance Measurement of Mining Equipment by Utilizing OEE, 2010 )
2.7.1 Availability Availability masuk dalam kategori “ lost time “ dimana hal-hal yang termasuk didalamnya antara lain faktor-faktor yang menyebabkan adanya waktu jeda dalam kinerja peralatan, misalnya kerusakan pada peralatan, waktu menunggu dan lainlain. Sehingga, availability dapat dirumuskan sebagai berikut :
Availability = Net Available Time – Downtime Losses x 100 % Net Available Time
Dimana Net Available Time adalah waktu yang tersedia (total availability time) perhari atau perbulan yang dikurangi dengan downtime peralatan yang direncanakan (scheduled downtime).
28
Net Available Time = total availability time – scheduled downtime
Dimana scheduled downtime adalah jumlah downtime yang direncanakan dalam rencana produksi, termasuk didalamnya terdapat downtime peralatan untuk perawatan.
2.7.2 Performance Efficiency Performance masuk dalam kategori “ speed loss “ dimana faktor-faktor yang dipertimbangkan adalah hal-hal yang menyebabkan peralatan beroperasi kurang dari kecepatan maksimal yang seharusnya. Kondisi ini dapat di sebabkan oleh beberapa hal antara lain, material, pengoperasian dari operator, dan lain-lain. Sehingga, performance dapat dirumuskan sebagai berikut :
Performance = Operating Time – Speed Losses x 100 % Operating Time
Dimana operating time adalah waktu yang tersedia dari net available time dikurangi dengan downtime losses. 2.7.3 Rate of Quality Rate of quality merupakan suatu perbandingan yang menggambarkan kemampuan peralatan dalam menghasilkan suatu produk yang sesuai dengan
29
standar. Persamaan yang digunakan untuk pengukuran rasio ini adalah sebagai berikut :
Rate of Quality = Good Output x 100 % Actual Output
2.8
Kegagalan ( Failure ) Kegagalan dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak memuaskan.
Dalam konteks pemeliharaan, kegagalan didefinisikan sebagai ketidakmampuan menghasilkan pekerjaa-pekerjaan dengan cara yang tepat, bukan ketidakmampuan untuk menghasilkan pekerjaan. 2.8.1
Penyebab Kegagalan
Kegagalan operasi sebuah sistem ataupun komponen tidak hanya berpengaruh Terhadap komponen atau sistem tersebut serta keberlangsungan dari proses produksi dimana sistem atau komponen tersebut dioperasikan. Lebih jauh lagi, kegagalan tersebut dapat berpengaruh terhadap keselamatan operator maupun lingkungan sekitar dimana proses produksi tersebut dilakukan. Dengan demikian, efek dari kegagalan dari suatu komponen kecil di dalam sistem akan dapat mengakibatkan kerugian yang besar baik materi maupun jiwa manusia serta lingkungan. Untuk mencegah terjadinya kegagalan, pengetahuan tentang penyebab kegagalan sangatlah
diperlukan. Beberapa penyebab kegagalan operasi ini antara
lain, kelalaian manusia, pemeliharaan yang buruk, kesalahan dalam penggunaan, kurangnya perlindungan terhadap tekanan lingkungan yang berlebihan. Secara garis
30
besar ada empat faktor yang berperan besar terhadap kegagalan suatu peralatan atau sistem yaitu : 1. Design tidak memadai ( engineering design ) 2. Kegagalan komponen 3. Penanganan yang buruk waktu mengoperasikan atau memelihara alat 4. Buruknya para pekerja ( un-trained ) dan amat jarangnya pemeriksaan Kegiatan pemeliharaan pencegahan pada suatu industry manufaktur diarahkan untuk mencegah kegagalan ( failure ) sarana produksi dan dilaksanakan dengan memeriksa peralatan pada selang waktu teratur dan ditentukan sebelumnya, pelaksanaan reparasi selanjutnya tergantung pada apa yang ditemukan selama pemeriksaan. 2.9
Mean Time Between Failure ( MTBF ) Mean Time Between Failure ( MTBF ) adalah waktu rata-rata diantara
kerusakan / breakdown satu dengan kerusakan / breakdown
berikutnya pada
peralatan. Dengan adanya perhitungan MTBF ini, maka dapat terlihat fluktuasi antara kerusakan satu dengan kerusakan yang lainnya bervariasi untuk masing-masing peralatan unit electric forklift. Rumus dari perhitungan MTBF sebagai berikut : MTBF = Operation time Frekuensi Breakdown
31
2.10
Mean Time To Repair ( MTTR ) Mean Time To Repair ( MTTR ) adalah rata-rata waktu yang dibutuhkan
untuk memperbaiki suatu mesin pada saat terjadi kerusakan / breakdown. MTTR diperlukan untuk mengetahui kemampuan ( skill maintenance ) dalam menangani setiap kerusakan mesin atau komponen / parts, juga untuk mendeteksi permasalahan serta pengambilan tindakan untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan adanya perhitungan MTTR ini, maka dapat dilihat fluktuasi antara kerusakan satu dengan kerusakan yang lain bervariasi untuk masing-masing peralatan. Rumus dari perhitungan MTTR adalah sebagai berikut ini : MTTR = waktu kerusakan mesin Frekuensi kerusakan mesin 2.11
Diagram Pareto Analisis pareto adalah grafik batang yang menunjukkan masalah berdasarkan
urutan banyaknya kejadian. Masalah yang paling banyak terjadi ditunjukkan oleh grafik batang pertama tertinggi serta ditempatkan pada sisi paling kiri dan seterusnya hingga sampai masalah yang paling sedikit, ditunjukkan oleh grafik batang terakhir yang terendah ditempatkan disisi paling kanan. Pada dasarnya diagram pareto digunakan sebagai alat interpretasi untuk menentukan frekuensi relative dan urutan pentingnya masalah-masalah atau penyebab-penyebab dari masalah yang ada. Langkah-langkah yang digunakan untuk melaksanakan analisis tersebut adalah : 1. Identifikasi tipe-tipe kerusakan 2. Tentukan frekuensi untuk berbagai kategori
32
3. Daftar kerusakan menurut frekuensi nya menurun 4. Teliti presentase frekuensi untuk setiap kategori dan frekuensi kumulatif nya diranking 5. Buatlah skala untuk diagram pareto, skala pada sisi kiri menunjukkan frekuensi kejadian yang sebenarnya didalam sampel, skala di sisi kanan berlaku untuk presentase frekuensi kumulatif Manfaat dari diagram pareto adalah sebagai berikut : 1. Menunjukkan masalah utama 2. Menyatakan perbandingan masing-masing persoalan terhadap keseluruhan 3. Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan perbaikan pada daerah yang terbatas 4. Menunjukkan masing-masing persoalan sebelum dan setelah perbaikan.