BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Kedelai (Glycine max (L.) Meriil) Tanaman kedelai termasuk ke dalam familia Leguminosae (kacangkacangan), genus Glycine dan spesies max, dalam bahasa latinnya disebut Glycine max, sedangkan dalam bahasa inggris disebut soybean. Di Indonesia, beberapa sebutan lokal untuk kedelai adalah: kacang bulu, kacang gadela, kacang jepung, atau kedelai (Astawan, 2004). Sedangkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3922-1995 mendefinisikan kedelai adalah hasil tanaman kedelai berupa biji kering yang telah dilepas dari kulit polong dan dibersihkan. Komposisi kimia kedelai per 100 gram biji dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 2.1 Komposisi Kimiawi Kedelai Kering per 100 gram Biji Komposisi Energi (kal) Air (gram) Protein (gram) Lemak (gram) Karbohidrat (gram) Serat (gram) Abu (gram) Kalsium (mg) Besi (mg) Vitamin B1 (mg) Vitamin B2 (mg)
Kedelai hitam 385,0 12,3 33,3 15,0 35,4 4,3 4,0 213,0 9,5 0,65 0,23
Kedelai kuning 400 10,2 35,1 17,7 32,0 4,2 4,0 226,0 8,5 0,66 0,22
Sumber : Santoso (1993)
Kedelai merupakan salah satu bahan pangan dari kelompok biji-bijian penghasil sumber protein (asam amino) serta lemak nabati yang sangat penting peranannya dalam kehidupan, walaupun tidak selengkap seperti yang
terdapat pada hewani. Kedelai mengandung protein kurang lebih 35%, bahkan pada varietas unggul dapat mencapai 40-43%. Bila dibandingkan dengan beras, jagung, kacang hijau, daging, ikan segar dan telur, kedelai mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi. Dapat dikatakan bila seseorang tidak boleh makan daging sebagai sumber protein maka kebutuhan protein 55 g/hari dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi 157,14 g kedelai (Rani et al, 2013). Diantara jenis kacang-kacangan, kedelai memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan karena mengandung protein yang tinggi (35-38%). Selain itu, kandungan lemak pada kedelai juga cukup tinggi (±20%). Dari jumlah ini sekitar 85% merupakan asam lemak esensial (linoleat dan linolenat). Disamping memiliki protein tinggi,kedelai mengandung serat atau dietary fiber, vitamin dan mineral. Selain kandungan protein yang tinggi, secara kualitatif protein kedelai tersusun dari asam-asam amino esensial yang lengkap dan baik mutunya kecuali asam amino bersulfur yang merupakan faktor pembatas pada kedelai. Bila dibandingkan dengan serealia, kedelai memiliki kelebihan karena kandungan asam amino lisin (sebagai asam amino esensial) yang tinggi dan melebihi persyaratan FAO. Kedelai juga mengandung1,5-3,0% lesitin yang sangat berguna baik dalam industri pangan maupun non pangan. Hal ini disebabkan oleh adanya “natural emulsifier” pada tepung kedelai berlemak utuh, yaitu lesitin, yang pada tepung kedelai bebas lemak ikut terekstrak bersama lemak. Selain itu protein kedelai memiliki sifat fungsional antara lain sifat pengikatan air dan lemak, sifat mengemulsi dan mengentalkan serta membentuk lapisan tipis. Sifat-sifat fungsional ini dapat dimanipulasi untuk memperoleh sistem pangan yang dikehendaki (Widaningrum, 2005). Senyawa fenol termasuk salah satu senyawa fitokimia penting yang memiliki aktivitas antioksidan atau antimutagen. Senyawa fenol pada kedelai, terutama isoflavon, sudah diteliti secara intensif. Sebaliknya informasi senyawa fenol dari kacang-kacangan di luar kedelai masih sangat
terbatas. Kacang tunggak mengandung senyawa phenol berupa ester protokatekat (protocathecuic) yang selanjutnya terhidrolisa menjadi asam protokatekat bebas. Senyawa ini yang diduga memiliki fungsi tertentu dalam diet. Di Indonesia sendiri terdapat beberapa varietas kedelai yang sedang dikembangkan pada saat ini. Adapun beberapa varietas unggul kedelai yang ada di Indonesia untuk bahan industri pangan disajikan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Ukuran Biji (Per 100 biji) dan Komposisi Kimia Beberapa Varietas/Galur Kedelai Varietas/ galur Bobot 100 Warna Protein Lemak Potensi biji (gram) kulit biji (% bk) (% bk) Hasil (ton/ha) Argomulyo 18 – 19 Kuning 37 – 40,2 19,3 – 20,8 2 Grobogan 18 Kuning 43,9 18,4 3,40 Panderman 15 – 17 Kuning 36,9 17,7 2,40 Burangrang 14,9 – 17 Kuning 39 – 41,6 20 2,50 Bromo 14,4 – 15,8 Kuning 37,8 – 42,6 19,5 2,50 Anjasmoro 14,8 – 15, 3 Kuning 41,8 – 42,1 17,2 – 18,6 2,30 Tampomas 10,9 – 11 Kuning 34 – 41,2 18 – 19,6 1,90 Wilis 8,9 – 11 Kuning 37 – 40,5 18 – 8,8 1,60 Kawi 10,1 – 10,5 Kuning 38,5 – 44,1 16,6 – 17,5 2 Krakatau 8 – 9,1 Kuning 36 – 44,3 16 – 17 1,90 Kedelai Impor 14,8 – 15,8 Kuning 35 – 36,80 21,4 – 21,7 bk = basis kering Sumber: Ginting (2009)
Varietas unggul kedelai yang dilepas oleh pemerintah telah melalui uji adaptasi yang dilakukan oleh berbagai instansi terkait, yaitu Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih, Pusat penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian dan Teknologi Pertanian, Perguruan Tinggi, atau Instansi Pemuliaan. Sampai tahun 1999, pemerintah telah melepas 48 vaietas unggul (Pitojo, 2003).
2. Perkecambahan Kedelai
Perkecambahan merupakan pertumbuhan embrio yang dimulai kembali setelah penyerapan air/imbibisi. Menurut Aminah dan Wikanastri (2012) nilai dan kandungan gizi kacang-kacangan menjadi lebih baik setelah melalui proses perkecambahan. Selama proses perkecambahan pada kacangkacangan sebagian sistem enzim menjadi aktif dan terjadi perubahan pada beberapa komponen gizi yaitu peningkatan kandungan vitamin C dan kadar protein. Peningkatan komponen bioaktif selama perkecambahan pada proses perendaman dapat ditambahkan beberapa bahan-bahan sebagai larutan perendaman seperti natrium alginate 2% (Andarwulan dan Purwiyatno, 2004). Perkecambahan secara umum dapat meningkatkan karakteristik fungsional dan nilai nutrisi dari kacang-kacangan. Kandungan gizi pada biji sebelum dikecambahkan berada dalam bentuk tidak aktif (terikat), setelah perkecambahan bentuk tersebut diaktifkan sehingga meningkatkan daya cerna bagi manusia. Germinasi atau perkecambahan meningkatkan daya cerna karena berkecambah merupakan proses katabolis yang menyediakan zat gizi penting untuk pertumbuhan tanaman melalui reaksi hidrolisis dari zat cadangan yang terdapat didalam biji (Vanderstoep, 1981). Selama proses perkecambahan, beberapa kandungan pati diubah menjadi bagian yang lebih kecil yaitu dalam bentuk gula dan maltosa. Kandungan glukosa dan fruktosa meningkat sepuluh kali lipat, serta kandungan sukrosa meningkat dua kali dan galaktosa menghilang. Molekul protein dipecah menjadi asam-asam amino yaitu lisin 24%, threonine 19%, dan fenilalanin 7%. Lemak juga dihidrolisa menjadi asam-asam lemak yang lebih mudah dicerna. Beberapa mineral yang biasa terikat dilepaskan sehingga menjadi bentuk yang lebih bebas, dengan demikian lebih mudah dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan (Winarno, 1980). Kecambah mempunyai kandungan vitamin lebih banyak dari bentuk bijinya. Dibandingkan dalam biji, kadar vitamin B meningkat dua sampai tiga kali lebih besar. Kadar
vitamin E juga meningkat, serta terbentuknya vitamin C pada tauge kedelai (Erna, 2004).
3. Penepungan Pengolahan produk setengah jadi merupakan salah satu cara pengawetan hasil panen yang memiliki beberapa keuntungan, yaitu sebagai bahan baku yang fleksibel untuk industri pengolahan lanjutan, aman dalam distribusi, serta menghemat ruangan dan biaya penyimpanan. Teknologi tepung merupakan salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan karena lebih lama disimpan, mudah dicampur dengan tepung lain (untuk dibuat komposit), diperkaya zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang ingin serba praktis. Prosedur pembuatan tepung sangat beragam, dibedakan berdasarkan sifat dan komponen kimia pangan. Namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bahan pangan yang tidak mudah menjadi cokelat apabila dikupas (kelompok serealia) dan bahan pangan yang mudah menjadi cokelat (kelompok aneka umbi dan buah yang kaya akan karbohidrat) (Widowati, 2009). Sifat atau mutu suatu komoditi banyak dikaitkan dengan warna. Produk tepung-tepungan sangat berkaitan dengan warna putih bersih. Jika warnanya menyimpang maka mutunya dinilai kurang baik (Indrasti, 2004). Warna merupakan salah satu atribut penampilan pada suatu produk yang seringkali menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut secara keseluruhan (Pangastuti et al., 2013). Sifat fisik dari tepung yang lain yaitu densitas padat, densitas kamba, kelarutan, wettability dan total colour different.
Densitas kamba adalah sifat bahan pangan dari tepung-tepungan yang merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume bahan. Suatu bahan dikatakan kamba apabila nilai densitas kambanya kecil, berarti dibutuhkan ruang (volume) yang besar untuk berat yang ringan (Indrasti, 2004). Densitas kamba dinyatakan sebagai massa partikel yang menempati satu unit volume tertentu tanpa dipadatkan dengan satuan g/ml (Suriani, 2008). Densitas kamba merupakan salah satu karakteristik fisik yang seringkali digunakan untuk merencanakan volume alat pengolahan atau sarana transportasi, mengkonversikan harga satuan, dan lain sebagainya (Pangastuti et al., 2013). Densitas padat merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati setelah tepung dipadatkan (Pangastuti et al., 2013). Densitas padat dinyatakan sebagai massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu dengan dipadatkan dalam satuan g/ml (Suriani, 2008). Kapasitas silo, kontainer, serta kemasan seperti karung dipengaruhi oleh besarnya nilai kerapatan pemadatan tumpukan. Dengan mengetahui nilai kerapatan pemadatan tumpukan bermanfaat pada saat pengisian bahan ke dalam wadah yang diam tetapi bergetar (Erna, 2004). Wettability adalah waktu yang dibutuhkan oleh sampel tepung dalam menyerap air (Pangastuti et al., 2013). Wettability merupakan kemampuan partikel tepung untuk menyerap air pada permukaan dan merupakan proses terjadinya rekonstruksi. Wettability sangat dipengaruhi oleh ukuran partikel tepung (Erna, 2004). Solubility (kelarutan) menunjukkan indikasi tingkat kemudahan suatu tepung untuk dapat larut dalam air. Nilai kelarutan yang tinggi mengindikasikan bahwa tepung lebih mudah larut dalam air dan sebaliknya. Hal ini disebabkan partikel-partikel yang tidak larut dalam air akan lebih sedikit yang didispersikan. Semakin tinggi nilai kelarutan, maka tepung yang
dihasilkan akan semakin baik karena akan mempermudah dalam pembuatan produk olahan lainnya (Janathan, 2007).
4. Tepung Kecambah Kedelai Tepung kedelai adalah produk setengah jadi yang merupakan bahan dasar industri pangan. Sedangkan tepung kecambah kedelai adalah produk setengah
jadi,
dimana
kedelai
yang
digunakan
telah
mengalami
perkecambahan terlebih dahulu. Kedua tepung ini cukup banyak digunakan sebagai bahan makanan campuran (BMC) dalam formulasi suatu bentuk makanan seperti roti, kue kering, cake, sosis, meat loaves, donat, dan produk olahan pangan lainnya. BMC dengan tepung kedelai dapat meningkatkan nilai gizi
pada
suatu
produk
pangan.
Penepungan
kedelai
juga
dapat
menghilangkan karakterstik flavor langu (Beany atau Paint-off flavour) sehingga dapat meningkatkan akseptabilitas makanan berasal dari kedelai (Badrut dan I Putu, 2013). Perbandingan komponen gizi tepung kedelai dengan tepung kecambah kedelai dapat dilihat pada Tabel 2.3. Tabel 2.3 Perbandingan Komponen Gizi Tepung Kecambah Kedelai dengan Tepung Kedelai Kadar (%) Komponen Tepung Kecambah Kedelai Tepung Kedelai Kadar Air 8,55 7,10 Kadar Abu 5,15 3,72 Protein 33,22 32,51 Lemak 20,79 25,53 Serat Pangan Total 22,91 11,65 Sumber : Pratama (2015)
Pembuatan tepung kecambah kedelai dilakukan dengan beberapa tahap antara lain sortasi, pencucian, perendaman, pengeringan, germinasi atau perkecambahan, penggilingan, dan pengayakan (Ayo, 2014). Sortasi dilakukan untuk memisahkan kedelai yang rusak atau yang tidak sesuai dengan standar yang diinginkan. Pencucian bertujuan untuk menghilangkan
kotoran yang menempel pada kedelai. Perendaman dilakukan untuk mencegah pencoklatan. Pengeringan bertujuan mengurangi kandungan air dalam kedelai hingga tercapai kadar air seharusnya. Germinasi adalah proses perkecambahan kedelai. Penggilingan dilakukan untuk memperkecil ukuran kedelai sehingga dihasilkan bentuk butiran. Pengayakan dilakukan untuk memisahkan butiran yang masih kasar agar diperoleh ukuran butiran halus yang sesuai dengan syarat dan memiliki ukuran yang seragam (Welasih dan Nur, 2000). Penelitian oleh Ayo et al (2014) menyatakan bahwa dengan penambahan tepung kecambah kedelai pada tepung komposit sebagai bahan pembuatan roti dan biskuit menunjukkan penurunan nilai warna rata-rata.Hal ini disebabkan oleh pigmen yang melekat alami pada tepung kecambah kedelai yang ditambahkan akibat reaksi pencoklatan non enzimatis yaitu reaksi maillard, dimana reaksi ini terjadi antara gula pereduksi dan gugus amino protein yang dipercepat dengan adanya panas. 5. Pencoklatan (Browning) Pencoklatan (browning) pada hasil pertanian merupakan problema khusus pada proses pengolahan pangan. Pencoklatan dapat mengakibatkan perubahan-perubahan
yang
tidak
diinginkan
seperti
menyebabkan
kenampakkan produk menjadi tidak baik dan timbulnya citarasa lain sehingga dapat menurunkan kualitas produk (Susanto dan Saneto, 1994). Komponen yang dapat menyebabkan pencoklatan enzimatis yaitu oksigen, enzim, logam dan substrat (Laurila et al., 2001). Jaringan
bahan yang rusak menjadi gelap
warnanya setelah berhubungan dengan
udara. Hal ini disebabkan oleh
terjadinya konversi senyawa fenolik oleh
enzim fenolase menjadi senyawa
melanin (melanoidin) yang berwarna coklat. Mekanisme
pencoklatan
enzimatis
menurut
Susanto
(1994)
disebabkan pecahnya sel bahan hasil pertanian akibat kerusakan mekanis, sehingga menyebabkan senyawa fenol yang ada dalam vakuola keluar dan
bertemu dengan enzim yang ada dalam sitoplasma. Dengan adanya oksigen dan katalis logam akan terbentuk senyawa quinon. Reaksi selanjutnya terjadi secara spontan dan tidak lagi tergantung oleh enzim atau oksigen. Bentuk quinon mengalami hidrolisis menjadi bentuk hidroksi. Selanjutnya hidroksi quinon mengalami polimerisasi dan menjadi polimer berwarna cokelat yang akhirnya menjadi melanin berwarna coklat. Faktor penting yang menentukan kecepatan reaksi pencoklatan adalah konsentrasi enzim dan substrat, pH, temperatur serta kesediaan oksigen dalam jaringan. Pencengahan proses pencoklatan enzimatis dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain penggunaan panas, pencegahan kontak dengan oksigen, pemberian inhibitor dan penggunaan asam. Bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mencegah reaksi pencoklatan antara lain cystein, glutathion, sulfonamides, asam sulfat, sodium sulfat, sodium klorida, asam hidoklorik, sodium bisulfit dan asam askorbat (Susanto, 1994). 6. Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP yang dapat mencegah terjadinya browning adalah natrium metabisulfit (Na2S2O5) yang tergolong sebagai bahan pengawet. Menurut Chichester dan Tanner (1972), Natrium metabisulfit merupakan bahan pengawet anorganik yang termasuk dalam golongan ‘Generally Recognized As Safe’ (GRAS), artinya bahan pengawet ini aman untuk digunakan pada bahan pangan sesuai dengan batas konsentrasi yang diijinkan. Natrium metabisulfit sering digunakan dalam pengolahan pangan yang berfungsi sebagai pemutih bahan pangan digunakan untuk mencegah kerusakan karena reaksi browning yang enzimatis serta bekerja sebagai zat antioksidan. Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk
mencegah proses pencoklatan serta untuk mempertahankan warna bahan agar tetap menarik (Damayanti, 2010). Natrium metabisulfit (Na2S2O5) merupakan inhibitor yang kuat untuk mencegah terjadinya browning, pertumbuhan bakteri, dan sebagai antioksidan (Philip, 2010). Penambahan natrium metabisulfit harus sesuai standar yang diterapkan BPOM No 36 2013 yaitu tidak melebihi 200mg-1gr/kg untuk produk pangan. Sipayung (1982) menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan untuk mengawetkan bahan pangan kering akan cenderung mengakibatkan kadar air rendah pada bahan tersebut. Menurut Frazier (1976) yang dikutip dalam Hildayati (2005) garamgaram sulfit dalam air akan membentuk asam sulfit, ion HSO3- dan SO2 yang masing-masing jumlahnya dipengaruhi oleh pH bahan. Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion yaitu : Na2S2O5 + H2O
2NaHSO3
NaHSO3
Na+ + HSO3-
HSO3- + H+
H2SO3 atau
HSO3- + H+
SO2 + H2O
Senyawa sulfit dapat menghambat reaksi pencoklatan enzimatis, karena adanya hambatan terhadap enzim fenolase sangat tinggi dan bersifat irreversibel, sehingga tidak memungkinkan terjadinya regenerasi fenolase (Eskin dkk., 1971). Menurut Braverman (1963), mekanisme penghambatan reaksi pencoklatan non enzimatis oleh senyawa sulfit adalah reaksi antara bisulfit dengan gugus aldehid dari gula sehingga gugus aldehid tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bereaksi dengan asam amino. Dengan demikian sulfit mencegah konversi D-glukosa menjadi 5-hidroksi-metil-2furfural (HMF). Senyawa ini merupakan senyawa antara yang akan bereaksi dengan gugus amino dari protein atau asam amino membentuk pigmen coklat melanoidin. Hal ini ditambahkan oleh Purwanto (2013) penambahan
natrium metabisulfit selain sebagai pengawet juga dapat mencegah reaksi pencoklatan dengan cara berinteraksi dengan gugus karbonil, dimana hasil reaksi tersebut dapat mengikat melanoidin sehingga mencegah terbentuknya warna coklat. Reaksi penghambatan pencoklatan non enzimatis oleh sulfit dapat dilihat pada Gambar 2.1 H
C
O
OH
H
C
OH
H
C
SO3Na
HO
C
H
H
C
OH
H
C
OH
HO
C
H
H
C
OH
H
C
OH
H
C
OH
+ NaHSO3
CH2OH
CH2OH D- Glukosa
Hidroksi sulfonat
Gambar 2.1 Reaksi Penghambatan Pencoklatan Non Enzimatis oleh Sulfit (Braverman (1958) dalam Hildayati (2005)). B. Kerangka Berpikir Banyaknya suplai kedelai yang tersedia di pasaran
Potensi pemanfaatan dan nilai gizi kecamabah kedelai yang sangat besar
Pemanfaatan kecambah kedelai menjadi tepung masih jarang
Perlu di lakukan penepungan pada kecambah kedelai
Terjadinya proses browning yang terdapat pada tepung kecambah kedelai
Perlakuan pendahuluan yang bervariasi untuk menghilangkan browning yang ada pada tepung kecambah kedelai
Konsentrasi dan waktu perendaman natrium metabisulfit dapat mempengaruhi hasil tepung kecambah kedelai
Perlunya informasi baru mengenai pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap karakteristik tepung kecambah kedelai
Dikaji pengaruh perendaman dan penambahan natrium metabisulfit terhadap sifat fisik dan sifat kimia tepung kecambah
kedelai
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian C. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah kombinasi perlakuan yaitu konsentrasi dan lama perendaman natrium metabisulfit akan berpengaruh terhadap sifat fisik dan sifat kimia tepung kecambah kedelai