BAB II LANDASAN TEORI
2.1.
Medical Checkup Medical checkup merupakan tindakan yang seharusnya bersifat rutin untuk
dilakukan dengan mencakup pemeriksaan untuk layanan pencegahan klinis dan termasuk kepada seseorang yang tidak memiliki tanda ataupun gejala sakit, hal ini adalah proses dari pemeriksaan kesehatan secara rutin (Culica, 2002). Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, medical checkup harus secara rutin dilaksanakan periodik khususnya pada laki-laki dengan usia antara 25 – 44, untuk memperhatikan kondisi kesehatannya karena usia tersebut merupakan populasi yang produktif dan aktif (Culica, 2002). Selain itu, rentang usia tersebut merupakan usia prajurit yang masih sangat aktif di dalam penugasan operasi. Untuk itulah mengapa urikes sangatlah penting bagi personel militer. Di dalam pelaksanaannya banyak sekali manfaat yang didapat dengan melakukan medical checkup diantaranya adalah mengetahui gejala penyakit yang timbul seperti kanker lambung yang merupakan infeksi Helicobacter pylori (Goro, 2005), Diabetes Mellitus tipe 2 yang dipengaruhi oleh lemak hati (Yamada, 2009), radang paru-paru, kanker leher rahim, dan lain-lain (Shenson, 2011). Dengan adanya pemeriksaan rutin ini dapat dilakukan tindakan pencegahan, dan dapat menetapkan prioritas seseorang yang mempengaruhi kehidupannya (Angel, 2008). Selain itu, dengan pelaksaan proses medical checkup yang efisien dan efektif, diharapkan dapat mendapatkan hasil laporan yang akurat, sehingga dapat dilakukan tindakan perawatan atau pencegahan yang tepat. Akan tetapi, seringkali
7
8
proses medical checkup tidak dilakukan dengan efisien dan efektif, dimana banyak paperwork, proses yang redundansi, kesalahan input data, serta terjadi kesalahan diagnosis yang membawa pada kesalahan pengobatan (Laflamme, Piotraszek, dan Rajadhyex, 2010).
2.1.1
Urikes pada Personel Militer Uji pemeriksaan kesehatan (urikes) lebih dikenal dengan medical
checkup merupakan hal yang sangat penting dan seharusnya dilaksanakan oleh setiap orang dengan tujuan untuk mengetahui kondisi kesehatannya. Pada personel militer terdapat suatu penekanan yang sangat khusus terhadap kondisi kesehatan, terutama pada personel yang harus melakukan kontak langsung, seperti operasi terhadap suatu penduduk asli pedalaman akan memiliki tingkat resiko ancaman yang besar untuk terinfeksi penyakit tertentu, seperti TBC (Kelley, 2005). Karena itu, pada pelaksanaan setiap operasi, harus selalu terdapat fungsi komando yang sangat kuat dan prajurit yang memiliki tingkat kesehatan yang tinggi agar dapat melaksanakan tugasnya dengan maksimal dan selalu siap menghadapi semua kondisi pada medan operasi (Kelley, 2005). Pada personel militer Angkatan Laut (AL) Indonesia terdapat dua jenis operasi yang harus dijalankan berdasarkan Undang-Undang RI No.34 tahun 2004 tentang tugas yang meliputi Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP), oleh karena itulah menurut Peraturan Kasal No.Perkasal/35/IV/2010 tanggal 5 April 2010 tentang pembangunan pada organisasi diantaranya adalah untuk meningkatkan
9
kesejahteraan prajurit dan PNS (Pegawai Negeri Sipil) beserta keluarganya, yang
meliputi
pendidikan,
perumahan,
kesehatan
dan
jaminan
kesejahteraan akhir tugas. Karena itu, organisasi militer menyediakan medical checkup dalam bentuk urikes untuk memantau kesehatan tiap personelnya secara rutin, sehingga dapat selalu siap di dalam memikul tanggung jawab sebagai alat pertahanan negara disamping sebagai kesejahteraan terhadap personel militer. Banyak permasalahan yang terdapat pada proses urikes yang dialami oleh Diskes dan Rumkit, dimana banyaknya proses yang tidak efisien, kesalahan-kesalahan, redundansi, dan data yang tidak akurat. Hal ini akan membawa dampak negatif pada personel dan rumah sakit sendiri. Para personel tidak mendapatkan hasil diagnosis dan perawatan yang tepat, sehingga kemudian mereka tidak melakukan tindakan pencegahan karena tidak percaya dengan hasil medical checkup tersebut. Dengan demikian, pertahanan negara akan terpengaruh karena kesehatan personel tidak terjamin. Disisi lain, dengan tidak efisiennya proses medical checkup ini akan membebankan biaya tambahan yang sebenarnya dapat dihindari, sehingga beban biaya meningkat. Selain itu, dengan adanya kesalahan dalam input data karena dilakukan dengan manual, akan mengakibatkan data rumah sakit tidak reliable dan akurat (Syed-Mohamad, Ali, dan MatHusin, 2010; Igira, Titlestad, dan Lungo, 2007). Karena itu, salah satu solusi yang ditawarkan adalah dengan menggunakan teknologi informasi.
2.2.
Health Information System (HIS)
10
Beberapa tahun terakhir ini, peran teknologi informasi pada bidang kesehatan semakin meningkat. Peran teknologi informasi sangat besar karena pada bidang kesehatan banyak sekali data pasien, dimana pasien memiliki penyakit yang berbeda dan prosedur perawatan yang berbeda, sehingga diperlukan teknologi informasi agar data tersebut dapat reliable, akurat, dapat diakses dengan mudah, serta sesuai dengan kebutuhan (Igira, Titlestad, dan Lungo, 2007; Ramick, 2001; Kalogriopoulos, Baran, Nimunkar, dan Webster, 2009). Selain itu, diperlukan bantuan teknologi informasi untuk memantau keadaan pasien (Varshney, 2006), seperti fungsi-fungsi organ vital, aliran darah, dan sebagainya. Kemudian hasil pemantauan tersebut perlu diintegrasikan dengan database rumah sakit,
sehingga
dapat
menjadi
sumber
informasi
bagi
dokter
yang
bertanggungjawab atas pasien tersebut. Berdasarkan informasi tersebut, dapat ditentukan prosedur perawatan atau pengujian selanjutnya bagi pasien tersebut.
2.2.1. Electronic Health Record (EHR) Terdapat beberapa sistem yang telah dikembangkan sebelumnya untuk digunakan di dalam bidang medik khususnya perawatan kesehatan, diantaranya adalah Electronic Health Record (EHR) dan Computerized Physician
Order
Entry
(CPOE)
yang
diajukan
oleh
American
Reinvestment and Recovery Act untuk diimplementasikan pada penyedia layanan kesehatan (Lullamme, Piotraszek, dan Rajadhyex, 2010). EHR adalah sistem yang menyediakan kepada para dokter dan staff lainnya akses online pada data pasien dan decision support. Electronic Healthcare Record (EHCR) merupakan rekam data medis yang berupa teks, numeric,
11
grafik, suara, video dan lain-lain. Pemenuhan terhadap kebutuhan EHCR sendiri akan dipengaruhi oleh kemampuan suatu organisasi kesehatan untuk membangun akses terintegrasi yang dimilikinya (Grismon, 2001).
2.2.2. Computerized Physician Order Entry (CPOE) Sedangkan CPOE adalah bagian dari EHR yang mengharuskan pada dokter, perawat, dan spesialis lainnya untuk mengikuti menu-menu dari prosedur yang tersedia pada saat menjalankan uji, prosedur, atau pengobatan pasien (Laflamme, Piotraszek, dan Rajadhyex, 2010). Dengan demikian, proses dalam organisasi kesehatan dapat terstandarisasi dan mengurangi kesalahan. Laflamme, Piotraszek, dan Rajadhyex (2010) mengatakan pula, bahwa dengan automatisasi dan strandarisasi informasi dalam bidang kesehatan dapat memberikan efisiensi dalam operasi, dimana data medis dapat dikelola dengan transparan, serta ada guidelines yang jelas untuk prosedur dan uji yang akan dilakukan. Dengan dasar ini, dapat mengurangi paperwork, mengurangi perawatan yang tidak perlu, dan mengurangi resiko kesalahan pengobatan. Selain itu, dengan menggunakan teknologi informasi, kualitas dari pelayanan kesehatan dapat meningkat (Ortiz dan Clancy, 2003).
2.2.3. District Health Information Software (DHIS) Contoh lain adalah penerapan Hospital Management Information System (HMIS) di Tanzania, Zanibar (Igira, Titlestad, dan Lungo, 2007). Tanzania adalah suatu negara yang sedang berkembang, dimana sumber
12
daya yang dimiliki masih kurang. Karena itu, diperlukan suatu sistem yang tidak terlalu mahal, tetapi dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas layanan kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan ini, dikembangkan sebuah software untuk mengumpulkan, memproses, dan menganalisa informasi kesehatan yang diberi nama District Health Information Software (DHIS). DHIS ini adalah open-source software, sehingga dapat dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan biaya yang tidak terlalu besar (Igira, Titlestad, dan Lungo, 2007). Jika dibandingkan dengan sistem terdahulu yang digunakan, DHIS menyediakan fleksibilitas dan standarisasi data elemen yang lebih baik. Pada sistem sebelumnya, struktur dan bentuk laporan tidak fleksibel, serta tidak dapat diintegrasikan dengan programprogram lainnya. Selain itu, setiap unit kesehatan yang berbeda memiliki data element yang berbeda, sehingga terjadi fragmentasi, overlap, dan tidak ada definisi standar atas elemen data (Igira, Titlestad, dan Lungo, 2007). Karena itu, untuk dapat terintegrasi, baik dengan program lainnya atau dengan unit lainnya pertama-tama diperlukan standarisasi dan definisi data (Kalogriopoulos, Baran, Nimunkar, dan Webster, 2009; Igira, Titlestad, dan Lungo, 2007).
2.2.4. One Stop Cricis Centre (OSCC) Portal OSCC adalah suatu bagian pada Emergency Department (ED) pada Hospital University Sains Malaysia (HUSM), yang memberi perawatan pada pasien yang mengalami tindak kekerasan. Pasien yang mengalami kekerasan akan diwawancarai dan diberikan beberapa tes kesehatan.
13
Beberapa departemen/bagian akan melakukan tes kesehatan, termasuk departemen psikologi. Selanjutnya, tergantung kondisi pasien, maka koordinator dari OSCC akan membuat jadwal perawatan. Dalam hal ini terjadi beberapa permasalahan, yaitu karena banyaknya departemendepartemen yang melakukan test, data pasien tersimpan di berbagai tempat yang menyebabkan dispersi informasi, sehingga laporan pasien tidak dapat dihasilkan dengan sempurna (Syed-Mohamad, Ali, dan Mat-Husin, 2010). Selain itu, format laporan tiap departemen berbeda-beda dan perolehan data masih dilakukan secara manual. Hal ini mengakibatkan banyak data pasien yang tidak sesuai antar departemen, dan banyak terjadi redundansi (Syed-Mohamad, Ali, dan Mat-Husin, 2010). Karena itu, dibentuklah OSCC portal untuk mengatasinya. Sistem OSCC portal ini adalah web based dan menggunakan teknologi open source. Dengan portal ini, perawat memasukkan data dengan tidak secara manual lagi sehingga dapat mengurangi redundansi, karena data yang masuk akan tertampilkan pada form departemen lainnya, dan dapat di update. Selain itu, dengan portal ini, seluruh perawat dapat mengakses data dari satu sumber dengan menggunakan jaringan HUMS (Syed-Mohamad, Ali, dan Mat-Husin, 2010).
2.2.5. Composite Health Care System II (CHCS II) in Military Health System (MHS) CHCS adalah sistem health care yang dikembangkan oleh Departement of Defense di Amerika Serikat. CHCS ini termasuk dalam
14
keseluruhan Military Health System (MHS). Dalam CHCS ini juga termasuk EHR dan CPOE, dimana data pasien disimpan dalam satu data repositori. CHCS ini memiliki filosofi, yaitu “one patient, one record” yang menggambarkan pentingnya akses real time pada data pasien (Charles, Harmon, dan Jordan, 2005). Tujuan dari MHS ini adalah agar dokter, perawat, dan administrator dapat mendokumentasikan data pasien pada saat dalam operasi militer dan agar dapat memelihara dan mengakses EHR kapan saja. Selain itu, dengan MHS ini, dapat melacak distribusi obat-obatan dan peralatan untuk memastikan sistem logistik dengan merespon permintaan secara real time (Charles, Harmon, dan Jordan, 2005). Dikatakan pula, dengan sistem DoD CPOE, para perawat/dokter dapat memasukkan resep obat dan dapat melihat peringatan untuk alergi dan interaksi lainnya yang dapat terjadi. Dengan demikian, pada dokter dapat lebih berhati-hati dalam memberikan resep dokter, sehingga benarbenar sesuai dengan keadaan pasien. Sebelum menggunakan CHCS, dokumentasi data dilakukan secara manual dan prosedur dilakukan dengan paper-based. Akan tetapi, dengan menggunakan CPOE, dokumentasi dilakukan secara elektronik, termasuk jadwal perjanjian, data pengobatan, uji kesehatan, dan sebagainya (Charles, Harmon, dan Jordan, 2005). Pengembangan CHCS sendiri sudah dengan implementasi pada CHCS II, dengan CHCS II ini akan menciptakan EHR yang terpadu dan lebih mendetail, yang terdiri dari sejarah pasien, alergi, peringatanperingatan, hasil laboratorium dan radiologi, diagnosis, perawatan, dan
15
resep pengobatan. Selain itu, dengan CHCS II ini prosedur lebih terstandarisasi, para perawat dapat mendokumentasikan diagnosis dan prosedur secara otomatis, dan EHR dapat diakses oleh semua pasien di seluruh dunia. Untuk hal tersebut, diperlukan sebuah database yang terkonsolidasi (Clinical Data Repository) yang dapat diakses oleh pasien yang memiliki otorisasi. CHCS II ini juga menyatukan semua kemampuan CPOE dengan suatu interface yang user friendly, untuk meningkatkan dan mengembangkan dokumentasi pada bidang perawatan kesehatan (Charles, Harmon, dan Jordan, 2005).
2.2.6 Alert Management System (AMS)-Mobile Healthcare Computing Devices (MHCDs) Untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan tepat dan cepat, maka diperlukan teknologi dan sistem informasi yang mendukung. Karena itu, telah dikembangkan suatu sistem alert untuk memantau kesehatan pasien, khususnya bagi pasien yang sedang melakukan perawatan. Penggunaan sistem alert ini didukung dengan teknologi berupa perangkat seluler yang telah menjadi gaya hidup sehari-hari, seperti ponsel, PDA, smartphone, dan perangkat seluler lainnya. Sistem alert (AMS) dengan menggunakan perangkat seluler disebut dengan Mobile Healthcare Computing Devices (Varshney, 2007; Kafeza, Chiu, Cheung, dan Kafeza, 2004). Perkembangan teknologi jaringan mendorong teknologi perangkat selular untuk memiliki kemampuan akses jaringan seperti layaknya PC.
16
Sebelum adanya teknologi jaringan, perangkat seluler selain untuk menelepon atau mengirim pesan teks, hanya digunakan untuk menyimpan alamat, penjadwalan, dan pengoranisasian tugas. Akan tetapi saat ini perangkat
seluler
ini
dapat
mendukung
akses
internet
dengan
perkembangan teknologi mobile (Chiu et al, 2004). Perangkat seluler dapat menggunakan
wireless
LAN,
ad
hoc
wireless
network,
dan
GSM/2G/3G/4G network untuk mengakses internet (Varshney, 2007; Meiappane et al, 2011). Dengan kemampuan akses ini, pasien, dokter, petugas kesehatan, dan perawat dapat saling berhubungan. Alert dapat dikirimkan untuk mengingatkan pasien dengan menggunakan short message service (SMS) ke ponsel pasien (Kafeza, Chiu, Cheung, dan Kafeza, 2004), dan memungkinkan untuk mengetahui keadaan pasien secara real time karena pasien dapat mengirimkan kembali balasan berupa kadar gula, detak jantung, dan sebagainya melalui ponsel atau alat lainnya dengan menggunakan jaringan wireless atau seluler (Chiu et al, 2004). Varshney (2007) mengatakan bahwa layanan kesehatan yang menyeluruh adalah memberikan layanan untuk semua orang, kapan saja, dan dimana saja, dengan menghapus segala halangan dan meningkatkan cakupan dan kualitas dari layanan kesehatan, yang mencakup pencegahan, perawatan dan pemeriksaan, pemantauan jangka panjang dan jangka pendek, pemantauan khusus, deteksi penyakit, pertolongan dalam keadaan darurat untuk transportasi dan perawatan. Dalam layanan kesehatan yang menyeluruh, wireless network memberikan cakupan yang komprehensif,
17
akses dan transmisi yang andal atas informasi kesehatan, manajemen lokasi, serta mendukung mobilitas pasien (Varshney, 2007). Dalam penelitiannya, Lee, Hsiao, Chen, dan Liu (2005) mengintegrasikan teknologi jaringan wireless untuk mobile communication dan mengimplementasikan sistem perawatan dengan mekanisme “telealert” melalui internet dan jaringan GSM. Pada waktu pasien kembali ke rumah sakit untuk perawatan atau konsultasi, pusat perawatan secara otomatis akan mengirim alert pemberitahuan kepada pasien. Setelah pasien menerima alert, ia dapat menggunakan perangkat seluler yang terhubung ke sistem pendaftaran online rumah sakit untuk melakukan pendaftaran. Pada saat pasien telah tiba di rumah sakit, maka pusat perawatan akan mengirimkan alert lagi ke perangkat selulernya untuk memberitahukan agar masuk ke ruang konsultasi. Pada penelitian ini, alert dikirimkan pada pasien untuk melakukan perawatan, dan pasien dapat menggunakan jaringan yang ada untuk mengakses internet dan melihat detail perawatan yang perlu dilakukan. Penerapan AMS dalam penelitian ini tidak secanggih yang diterapkan pada penelitian sebelumnya, karena melihat budaya pengguna yang belum terbiasa dengan penggunaan teknologi. Diharapkan dalam penelitian dan perkembangan
selanjutnya
penggunaan
AMS
dapat
ditingkatkan,
menggunakan teknologi yang terbaru, sehingga dapat meningkatkan fungsi pemantauan pasien, terutama bagi personel militer yang memiliki mobilitas tinggi.
18
2.3.
Infrastruktur Sistem Informasi Untuk mendukung sistem informasi kesehatan (Health Informationa
System) diperlukan infrastruktur teknologi informasi yang memadai. Terdapat tiga hal utama yang diperhatikan dalam penelitian ini, yaitu database, aplikasi, dan portal. Penyimpanan dan standarisasi data dari berbagai unit dapat dilakukan dengan menggunakan data warehouse yang dapat menyimpan informasi yang terintegrasi dari berbagai sumber, dan dapat memanggil dan menganalisis data (Benander, 2000; dalam Ramick, 2001). Di lain pihak, untuk meningkatkan aksesibilitas data, mengurangi kesulitan pemeliharaan, dan mengurangi resiko terjadinya permasalahan, maka Ramick (2001) mengatakan bahwa lebih baik menggunakan data mart. Jika menggunakan enterprise data warehouse akan terlalu besar dan kompleks, sehingga lebih sulit untuk diakses pengguna (Ramick, 2001). Selanjutnya, hal yang perlu diperhatikan adalah data-data tersebut harus dapat diakses dimana dan kapan saja sesuai kebutuhan informasi. Varshney (2006) mengatakan bahwa diperlukan alat yang canggih, dan penggunaan wireless dan jaringan yang baik agar informasi dapat diperloleh tepat waktu, sehingga dapat mengurangi kesalahan diagnosis dan pengobatan. Dengan menggunakan peralatan wireless network juga dapat meningkatkan efektifitas pemantauan keadaan pasien yang sedang dalam perawatan (Varshney, 2006). Pasien dapat diingatkan mengenai jadwal perawatan atau jadwal pengobatan melalui handphone atau smartphone yang digunakan (Varshney, 2006; Kalogriopoulos, Baran, Nimunkar, dan Webster, 2009). Fraser et al (2005) mengatakan bahwa untuk sistem medical record diperlukan database dan network yang mendukung. Network dapat berupa
19
stand alone system, local area network system, atau wide area network system (Fraser et al, 2005). Sebagai sarana integrasi, selain menggunakan network, maka diperlukan suatu portal, sehingga informasi kesehatan personel dapat dilihat oleh pihak yang bersangkutan (Diskes, Rumkit, personel). Dengan portal (web-based) ini, Diskes dapat melihat kemajuan perawatan atas personel yang akan diberikan oleh Rumkit Selain itu, dengan portal ini, Diskes dapat melihat status kesehatan personel, dan dapat melakukan pemantauan dan memberikan peringatan bagi personel yang belum melakukan perawatan. Syed-Mohamad, Ali, dan Mat-Husin (2010) telah menggunakan web-based portal untuk bagian kesehatan pada Hospital University Sains Malaysia (HUSM) dengan nama One Stop Cricis Centre (OSCC) portal. Dengan menggunakan OSCC ini informasi-informasi yang ter-dispersi pada bagian-bagian lain dapat terintegrasi dan dapat diakses dari berbagai jenis web browser dan semua jenis komputer. Akses terhadap portal ini dilakukan dengan memanfaatkan jaringan intranet HUSM. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah desain portal tersebut. Dengan adanya permasalahan tidak ada standarisasi format laporan dan redundansi pengumpulan data, maka desain portal harus dibentuk agar data dapat di-input dengan cepat dan tidak perlu pengulangan input data oleh departemen yang berbeda (Syed-Mohamad, Ali, dan Mat-Husin, 2010). Hal ini dapat dilakukan dengan radio buttons, check boxes, dan drop down list. Selain itu, pada saat staff departemen lain melakukan input data, data sebelumnya yang telah diperoleh ditampilkan, sehingga jika ada tambahan hanya perlu dilakukan update minor (Syed-Mohamad, Ali, dan Mat-Husin, 2010).
20
Dapat dilihat, bahwa dengan penerapan IT/IS dalam bidang kesehatan, dapat membantu proses pemberian layanan kesehatan pada pasien, dan meningkatkan efisiensi proses, yaitu pengurangan redundansi, data lebih akurat dan reliabel, pengurangan beban biaya karena banyaknya paperwork, efisiensi waktu dan sumberdaya, serta peningkatan kepuasan pasien. Jika dihubungkan dengan permasalahan pada Diskes dan Rumkit yang berkaitan dengan urikes, maka dengan penerapan IT/IS ini dapat memberikan solusi yang tepat.
21
Tabel 2.1. Matrix Sistem Informasi dalam Bidang Kesehatan/Health Care pada Health Information System (HIS) Komponen SI No.
Author
1.
Ramick (2001)
2.
Fraser et al (2005)
3.
Charles, Harmon, dan Jordan (2005)
4.
Varshney (2006)
Akses Data
Network
- Data warehouse dengan data mart - Sumber data harus ditentukan untuk membentuk elemen data - Semua data disimpan dan dapat diakses oleh pengguna - Data dapat diakses oleh mereka yang memiliki autorisasi. - Data dapat diupdate - Menggunakan stand alone - Data model harus dapat mengakomodasi data baru, system. - Dengan sistem ini, database data sementara, data dapat di dan user interface kirim dalam bentuk standar, dikembangkan dalam single dapat dikembangkan sesuai bahasa dan terminologi baru. machine. - Menggunakan satu database yaitu Clinical Data Repository - CHCS II mengkorporasikan (CDR). semua kemampuan CPOE pada user friendly interface. - Dapat diakses oleh user dengan otorisasi diseluruh dunia. - Informasi kesehatan pasien dapat diperoleh dengan menggunakan wireless device dan mobile network. - Mobile devices seperti PDA
Aplikasi
22
dengan wireless LAN dapat digunakan untuk upload and download jadwal untuk pasien dan dokter. - Pasien dapat diingatkan untuk janji temu mereka dengan memberikan notifikasi pada PDA mereka.
5.
6.
7.
Igira, Titlestad, dan Lungo (2007)
- Memecah form menjadi blok data - Standarisasi elemen data, bukan standarisasi form
Kalogriopoulos, Baran, Nimunkan, dan Webster (2009)
- Database menyimpan semua diagnosis, tes, prosedur, obat, dan pertanyaan-pertanyaan umum serta jawabannya. - Multifunctional system harus dapat menangani berbagai data yang berbeda, berkembang sesuai perkembangan data. - Data dapat di ekspor dalam format standar dan dapat mendukung berbagai bahasa dan variasi dalam terminologi kesehatan.
Syed-Mohamad, Ali, Mat-Husin (2010)
- Integrasi program dan level - Memecah form sehingga data dapat lebih fleksibel
- 3 tipe network yang dapat digunakan pada EMR., yaitu stand alone system, local area network system, dan wide area network system. - Dengan jaringan, data pada EMR dapat diakses secara bersamaan, pada berbagai tempat.
- Menggunakan sistem webbased yang digunakan dengan internet. - Sistem dapat diakses dengan
- Menggunakan open source software, sehingga sistem dapat dikembangkan sesuai kebutuhan. - Menggunakan mobile care platform untuk mengintegrasikan handphone dengan aplikasi OpenMRS.
- Semua sistem dikembangkan dengan open source technologies, seperti Apache, Linux Slackware,
23
semua web browser dan semua jenis komputer.
8.
Varshney (2007)
9.
Kafeza, Chiu, Cheung, dan Kafeza (2004)
- Menggunakan jaringan wireless atau GSM network/2G/3G/4G bagi perangkat seluler untuk mengakses internet - AMS dilakukan dengan menggunakan jaringan wireless atau GSM terhadap perangkat seluler.
PHP, and MySQL.
- Mengirimkan alert dengan SMS ke perangkat seluler pasien.