67
BAB II LANDASAN TEORI
II.A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS II.A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Ryff (1989) meramu pandangan mengenai pemfungsian positif manusia dan kemudian mengemukakan bahwa individu dengan kesejahteraan psikologis yang positif tidak sekedar terbebas dari hal-hal yang berkaitan dengan afek negatif, seperti bebas dari rasa cemas atau merasa bahagia, melainkan lebih menekankan pada pemfungsian positif serta bagaimana pandangannya terhadap potensi-potensi positif dalam dirinya. Menurutnya, kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah
lakunya
sendiri,
mampu
mengembangkan
potensi
diri
secara
berkelanjutan, mampu mengatur lingkungan, dan memiliki tujuan hidup.
II.B.2. Dimensi-dimensi kesejahteraan psikologis Ryff (1989) mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis sebagai berikut: a. Penerimaan diri (self-acceptance) Penerimaan diri merupakan ciri utama dari konsep kesehatan mental dan juga merupakan karakteristik dari orang yang teraktualisasi diri, berfungsi secara optimal dan matang (Ryff, 1989). Penerimaan diri yang baik
Universitas Sumatera Utara
68
ditandai dengan kemampuan menerima diri seperti apa adanya dari segi positif dan negatif (Jahoda, dalam Ryff, 1989). Dengan menerima diri apa adanya, seseorang dimungkinkan untuk bersikap positif terhadap diri sendiri yang selanjutnya dapat meningkatkan toleransi akan frustasi dan berbagai kondisi yang tidak menyenangkan, termasuk keterbatasan diri, tanpa merasa menyesal atau marah yang mendalam. b. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others) Kualitas yang dihubungkan dengan kemampuan membina hubungan yang positif dengan orang lain meliputi kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang hangat dan saling percaya, saling mengembangkan pribadi satu dengan yang lain, kemampuan untuk mencintai, berempati, memiliki afeksi terhadap orang lain, serta mampu menjalin persahabatan yang mendalam (Ryff, 1989). c. Otonomi (autonomy) Dimensi otonomi memiliki kualitas-kualitas seperti penentuan diri (selfdetermination), kemandirian, pengendalian perilaku dari dalam diri, dan penggunaan locus of control yang bersifat internal dalam mengevaluasi diri (Ryff, 1989). Dimensi ini melihat kemandirian individu dalam memutuskan dan mengatur perilakunya sendiri yang bebas tekanan dari pihak manapun. d. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Kualitas yang tercakup dalam dimensi ini meliputi kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
69
kondisinya,
berpartisipasi
dalam
lingkungan
di
luar
dirinya,
mengendalikan dan memanipulasi lingkungan yang kompleks, serta kemampuan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan di lingkungan (Ryff, 1989). Secara umum dapat dikatakan bahwa dimensi ini melihat kemampuan individu dalam menghadapi berbagai kejadian di luar dirinya dan mengatur sesuai dengan keadaan dirinya sendiri. e. Tujuan hidup (purpose in life) Orang yang berkualitas menurut dimensi ini adalah orang yang memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasa bahwa kehidupan di masa lalu dan masa sekarang memiliki makna, serta memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki tujuan hidup ditandai dengan karakteristik kurang mampu memahami makna hidup, tidak dapat melihat tujuan dari kehidupan di masa lampau, tidak memiliki keyakinan yang dapat memberikan makna dalam hidup. f. Pertumbuhan pribadi (personal growth) Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu memiliki aspek-aspek pertumbuhan pribadi yang baik. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berkembang, kemampuan untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus bertumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman yang baru, memiliki keinginan untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu.
Universitas Sumatera Utara
70
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada enam dimensi kesejahteraan psikologis, yaitu penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.
II.B.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis Melalui berbagai penelitian yang dilakukan, Ryff (1989) menemukan bahwa faktor-faktor demografis seperti usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan budaya mempengaruhi perkembangan kesejahteraan psikologis seseorang. a. Usia Ryff (1989) menemukan adanya perbedaan tingkat kesejahteraan psikologis pada orang dari berbagai kelompok usia. Dalam dimensi pengasaan
lingkungan
terlihat
profil
meningkat
seiring
dengan
pertambahan usia. Semakin bertambah usia seseorang ia semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. b. Jenis kelamin Menurut Ryff (1989), satu-satunya dimensi yang menunjukkan perbedaan signifikan antara laki-laki dan perempuan adalah dimensi hubungan positif dengan orang lain. Sejak kecil, stereotip gender telah tertanam dalam diri anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara itu, perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan tergantung, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Papalia & Feldman,
Universitas Sumatera Utara
71
2001). Tidaklah mengherankan bahwa sifat-sifat stereotip ini akhirnya terbawa oleh individu sampai individu tersbeut dewasa. Sebagai sosok yang digambarkan tergantung dan sensitif terhadap perasaan sesamanya, sepanjang hidupnya perempuan terbiasa untuk membina keadaan harmoni dengan orang-orang di sekitarnya. Inilah yang menyebabkan mengapa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi hubungan positif dan dapat mempertahankan hubungan dengan orang lain. c. Status sosial ekonomi Ryff, dkk. (dalam Ryan & Deci, 2001) mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan diri. Individu yang memiliki status sosial ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. Menurut Davis (dalam Robinson & Andrews, 1991), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi. d. Budaya Ruff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampay terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang
Universitas Sumatera Utara
72
menjunjung tinggi kolektivisme memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan empat faKtor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu, yaitu usia, jenis kelamin, status social ekonomi, dan budaya.
II.B. COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT) II.B.1. Definisi dan Konsep Dasar Cognitive Behavior Therapy CBT
merupakan psikoterapi
yang berfokus pada
kognisi
yang
dimodifikasi secara langsung, yaitu dengan mengubah pikiran maladaptif dan kemudian secara tidak langsung juga akan mengubah tingkah laku yang nampak (overt action). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2003) menekankan CBT pada pandangan individu tentang keyakinan (hipotesa) sementaranya dan kemudian menguji validitasnya dengan mengumpulkan bukti-bukti untuk menolak atau mendukung hipotesanya. Pucci (2005) menambahkan bahwa CBT berfokus pada thought dan core beliefs yang menyebabkan distress emosional, yaitu dengan menempatkan kembali pikiran-pikiran yang sehat dan akurat. CBT bertujuan untuk memfasilitasi individu dalam menciptakan “situasi emosional positif”, sehingga dapat mengimplementasi strategi-strategi spesifik, seperti restrukturisasi kognitif, mengatur jadwal aktivitas dan strategi lainnya (McGinss, 2000). Beck (dalam Spiegler & Guevremont, 2003) menyatakan bahwa salah satu tujuan utama CBT adalah untuk membantu individu dalam mengubah pemikiran atau kognisi yang irasional menjadi pemikiran yang lebih rasional.
Universitas Sumatera Utara
73
Hackney & Cormier (dalam Cengage Learning, 2008) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa CBT terbukti lebih efektif untuk mengatasi masalahmasalah emosional dan fisik. CBT juga merupakan terapi yang efektif sebagai treatmen untuk berbagai
gangguan
psikologis dan juga
meningkatkan
kesejahteraan psikologis dan emosional (Bortholomew, 2013). Dalam pelaksanaan CBT, perlu dilakukan analisa fungsional berdasarkan prinsip “S-O-R-C”. Berdasarkan analisa fungsional ini dapat diidentifikasi kognisi yang terdistorsi, serta pola perilaku maladaptifnya. Prinsip S-O-R-C tersebut secara rinci adalah sebagai berikut: S (Stimulus)
:
peristiwa
yang
terjadi
sebelum
individu
menunjukkan perilaku tertentu. O (Organism)
: individu dengan aspek kognisi (K) dan Emosi (E)
di dalamnya. R (Response)
: apa yang dilakukan oleh individu atau organism,
sering juga disebut dengan perilaku (behavior), baik perilaku yang tampak (overt behavior) ataupun perilaku yang tidak tampak (covert behavior). C (Consequences)
: peristiwa yang terjadi setelah atau sebagai hasil
dari perilaku atau response. Consequences termasuk apa yang terjadi secara langsung pada individu, pada orang lain, dan pada lingkungan fisik sebagai hasil dari perilaku tersebut. Ketika consequences atas perilaku adalah positif, individu akan lebih cenderung untuk mengulangi perilaku yang sama. Sebaliknya, ketika consequences atas perilaku adalah negatif, individu cenderung mengurangi untuk melakukan perilaku yang sama. Consequences dapat berasal dari dalam (internal)
Universitas Sumatera Utara
74
ataupun dari luar individu (eksternal). Diagram analisa S-O-R-C dapat dilihat sebagai berikut: S (Stimulus): Peristiwa
O (Organism): Kognisi dan Emosi
R (Response): Perilaku
C (Consequences): Konsekuensi positif atau negatif
Gambar 2.1. Diagram Analisa S-O-R-C
II.B.2. Proses Kognisi dan Kesalahan yang Umum dalam Cognitive Behavior Therapy Oei (1999) menyatakan bahwa pada situasi stressful, seringkali individu menghadapinya dengan menggunakan pemahaman atau pengalaman masa lalu. Masalahnya, pemahaman tersebut seringkali berupa kognisi yang maladaptif dan memicu emosi negatif, yang kemudian memunculkan perilaku-perilaku yang semakin memperburuk masalah. Beck menyebut hal itu dengan automatic thought, yaitu pikiran yang muncul secara otomatis dan sangat cepat, yang sifatnya repetitif dank has. Mengidentifikasi automatic thought merupakan hal yang perlu dilakukan dalam upaya mengubah pikiran-pikiran yang irasional menjadi pikiran yang rasional (Beck, dalam Spiegler & Guevremont, 2003). Adapun beberapa bentuk distorsi kognitif yang umum ditemui, yaitu: a. Arbitrary inference / jumping to conclusion – mengambil kesimpulan tanpa bukti yang relevan atau tanpa pengujian lebih lanjut.
Universitas Sumatera Utara
75
b. Overgeneralization – menggeneralisasikan satu kejadian negative pada kejadian lainnya. c. Selective
abstraction
–
memperhatikan detail
dengan mengabaikan
keseluruhan d. Personalization – mengaitkan situasi eksternal pada diri sendiri secara berlebihan. e. Polarized or dichotomous thinking / all or nothing thinking – berpikir secara ekstrim, ya atau tidak, hitam atau putih. f. Magnification or minimization – memandang sesuatu lebih jauh atau lebih penting dari yang sebenarnya, ataupun mengurangi kepentingan sesuatu dari yang seharusnya. g. Mental
filter
–
mengambil
pernyataan
negative
dari
situasi
dan
menggunakannya dengan mengabaikan pertimbangan positif yang lebih besar. h. Automatic discounting – sensitifitas terhadap informasi negative yang diserap dan memotong informasi negatif. i. Emotional reasoning – menggunakan perasaan sebagai bukti dari kebenaran dalam suatu situasi. j. “Should statement” – kewajiban moral yang berlebihan. k. Labeling & Mislabelling – reaksi emosional memberikan label pada seseorang yang berkaitan dengan suatu fenomena.
Universitas Sumatera Utara
76
II.B.3. Teknik-teknik dalam Cognitive Behavior Therapy Beberapa ahli terapi CBT memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menjalankan terapi CBT. Pendekatan tersebut diterjemahkan dalam teknik-teknik berstruktur yang disesuaikan dengan target terapi. Spiegler & Guevremont (2003) menyatakan bahwa ada 2 model CBT, yaitu: a. Cognitive restructuring : berfokus pada kognitif maladaptif dan bertujuan untuk menggantikan kognisi yang maladaptif dengan kognisi yang adaptif. b. Cognitive behavior coping skills : berfokus pada kogninsi yang kurang adaptif dan bertujuan untuk melatih individu dalam memberikan respon yang adaptif, agar mampu menghadapi situasi secara efektif. McGinn (2000) secara spesifik menyatakan bahwa ada beberapa teknik yang digunakan dalam CBT dan kemudian dibagi atas tiga area, yaitu: a. Area kognitif : cognitice restructuring, yaitu mengoreksi pikiran-pikiran yang terdistorsi secara negative dan diarahkan menjadi lebih logis dan adaptif. b. Area perilaku : activity scheduling, social skills training, dan assertiveness training. c. Area fisiologis : teknik imagery, meditasi, relaksasi. Pada penelitian ini akan digunakan teknik cognitive restructuring yang kemudian akan dikombinasikan dengan social skills training. Cognitive restructuring berfokus pada kognisi yang maladaptif, dan digunakan untuk mengajari individu mengubah distorsi kognisi tersebut, yang merupakan sumber masalah dalam diri individu. Social skills training merupakan teknik yang
Universitas Sumatera Utara
77
digunakan untuk melatih individu agar lebih mampu dalam mengatur situasi interpersonal secara efektif. Teknik social skills training yang akan digunakan adalah social perception skills training, yaitu mengajarkan individu untuk mampu memonitor, membedakan, dan mengidentifikasi: (a) emosi dan perasaan orang lain, (b) emosi, perasaan, dan perspektif orang lain dalam interaksi, (c) karakteristik dan aturan-aturan sosial dalam konteks sosial yang spesifik (Milne & Spence, dalam Spence, 2003).
II.C. GAY DAN PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS SEKSUAL PADA GAY (COMING OUT) II.C.1. Definisi Gay Sebelum mendefinisikan apa yang dimaksud dengan gay, perlu dipahami terlebih dahulu konsep orientasi seksual. Yang dimaksud dengan orientasi seksual adalah ketertarikan seseorang secara emosional, fisik, seksual dan romantis terhadap suatu gender maupun lebih (Carroll, 2005). Individu yang tertarik kepada lawan jenis kelaminnya disebut heteroseksual dan individu yang tertarik pada jenis kelamin yang sama disebut homoseksual. Sementara itu, individu yang tertarik pada kedua jenis kelamin disebut biseksual. Kelompok yang disebut dengan gay adalah kaum laki-laki homoseksual (Kelly, 2001; Carroll, 2005). Menurut Hawkins (dalam Sadock & Sadock, 2003) istilah gay merujuk pada identititas pribadi dan identitas seksual yang dibentuk individu, yang merefleksikan perasaan keterkaitan seseorang terhadap kelompok sosial yang memiliki label yang sama.
Universitas Sumatera Utara
78
II.C.2. Definisi dan Proses Pembentukan Identitas Seksual (Coming Out) Menurut Klinger dan Cabaj (dalam Sadock & Sadock, 1998) pembentukan identitas seksual merupakan proses dimana individu mengemukakan orentasi seksualnya dihadapan stigma sosial dengan keberhasilan untuk menerima dirinya sendiri. Cass (dalam Carroll, 2005) mengemukakan model enam tahapan dalam pembentukan identitas homoseksual. Tidak semua individu homoseksual mencapai tahap keenam, tergantung seberapa nyaman individu dalam orientasinya di masing-masing tahapan. a.
Tahap I: Identity Confusion Individu mulai meyakini bahwa tingkah lakunya dapat diidentifikasi
sebagai homoseksual. Mungkin akan ada kebutuhan untuk mendefinisikan ulang konsep individu mengenai tingkah laku homoseksual dengan segala bias dan kesalahan informasi yang dialami kebanyakan orang. Individu mungkin menerima peran tersebut dan mencari informasi, mungkin menekan dan menyembunyikan segala tingkah laku homoseksual (bahkan mungkin menjadi seorang anti homoseksual dan mengutuknya), atau mungkin menyangkal keterkaitannya dengan identitasnya. b. Tahap II: Identity Comparison Individu menerima potensi identitas dirinya sebagai seorang homoseksual, menolak heteroseksual namun tidak memiliki model lain yang dapat menjadi penggantinya. Individu merasa dirinya berbeda dan tersesat. Jika ia kemudian mempertimbangkan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang homoseksual, ia akan mencari seorang model yang sesuai untuk itu.
Universitas Sumatera Utara
79
c. Tahap III: Identity Tolerance Di tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa dirinya mungkin homoseksual dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan menurun tetapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya individu masih tidak memberitahukan identitas barunya dan menjalani gaya hidup ganda, sebagai homoseksual dan sebagai heteroseksual. d. Tahap IV: Identity Acceptance Terbentuk pandangan positif tentang identitas diri dan mulai mengembangkan jaringan hubungan dengan kaum homoseksual yang lain. Ia mulai membuka diri terhadap teman dan keluarga serta semakin membenamkan diri dalam budaya homoseksual. e. Tahap V: Identity Pride Berkembang kebanggaan akan homoseksualitas sejalan dengan kemarahan akan treatment
yang
pada
akhirnya
mengakibatkan
penolakan
terhadap
heteroseksualitas karena dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa gaya hidupnya yang baru adalah sesuatu yang benar dan sesuai. f. Tahap VI: Identity Shynthesis Individu menjalani gaya hidup homoseksual yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi menjadi masalah dan muncul kesadaran bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian dan orentasi seksual hanya salah satu dari aspek-aspek tersebut.
Universitas Sumatera Utara
80
II.D. Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses Pembentukan Identitas Seksual Salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja adalah membentuk identitas diri (Hurlock, 1999). Sebagian besar remaja dapat memenuhi tugas ini dengan baik, namun tidak bagi remaja gay. Remaja gay harus mengintegrasikan identitas diri mereka sebagai gay (Newman & Muzzognigro, 1993), yang mana hal ini bertentangan dengan norma masyarakat. Di dalam prosesnya, pada awal pencarian jati diri sebagai seorang individu gay, akan banyak konflik batin yang dialami oleh individu. Menurut situs Gay & Lesbian Information (2006), ada 4 elemen yang berkaitan dengan konflik individu dalam membentuk identitas seksualnya sebagai gay, yaitu: (1) perasaan akan persepsi pembentukan diri yang ”berbeda” dengan orang lain; (2) perasaan dan proses menjalani pengalaman tertarik dan terangsang dengan kehadiran individu lain yang memiliki jenis kelamin sama; (3) perasaan sensitif terhadap stigma seputar kehidupan
homoseksualitas;
dan
(4)
kurangnya
pengetahuan
terkait
homoseksualitas itu sendiri. Membentuk identitas seksual merupakan proses yang panjang dan menakutkan bagi remaja gay. Mereka dihadapkan dengan ketakutan ditolak oleh masyarakat sosial, terutama oleh keluarga. Banyak situasi seperti lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lingkungan keluarga, serta agama dan sosial yang menjadi penghalang bagi individu homoseksual untuk membentuk identitas seksualnya sebagai gay atau lesbian (Stevens, 2004). Miller dan Major (2000) juga mengungkapkan hal yang sama, bahwa proses pembentukan identitas seksual
Universitas Sumatera Utara
81
menjadi permasalahan yang cukup serius bagi remaja gay dalam menerima kondisinya sendiri. Mengakui dan menerima diri sebagai gay akan membuat mereka distigma dan dinilai ”sakit” oleh masyarakat. Stigmatisasi dan diskriminasi yang mereka terima menjadi salah satu penyebab utama munculnya berbagai masalah selama proses pembentukan identitas seksual (Caroll, 2005). Membuka diri merupakan sesuatu yang sulit, penuh risiko dan dapat menimbulkan risiko dan dapat menimbulkan kecemasan (Savin-Williams, 1996; Maris, 2000; Woolfe, 2003; Carroll, 2004). Terkait dengan kondisi tersebut, tidak sedikit remaja gay yang memutuskan untuk menutup diri dan menyembunyikan kondisinya. Akan tetapi hal ini dapat meningkatkan stres dan berbagai permasalahan psikologis yang dialami oleh remaja gay. Menutup diri dari lingkungan mengenai kebenaran seksualitasnya juga dapat menimbulkan rasa bersalah, ketidakjujuran, keterasingan dari orang lain dan diri sendiri, serta ketakutan bahwa rahasianya akan terungkap (Maris, 2000; Woolfe, 2003). D’Augelli (dalam Legate, Ryan, & Weinstein, 2012) menemukan bahwa proses pembentukan identitas seksual akan menimbulkan berbagai dampak negatif, yang salah satunya berdampak pada kesejahteraan psikologis individu. Dalam penelitian, Gottschalk (2007) menemukan bahwa kesadaran dan keyakinan individu gay atau lesbian mengenai stereotip negatif terkait seksualitasnya akan berdampak pada rasa keberhargaan diri (self-worth) dan kesejahteraan psikologisnya. Tugas-tugas yang terkait dengan perkembangan identitas seorang homoseksual juga dapat menuntut sumber psikologis dari individu dan pada akhirnya dapat mengancam kesejahteraan psikologisnya (Woolfe, 2003).
Universitas Sumatera Utara
82
II.E.
Efektifitas
Cognitive
Behavior
Therapy
untuk
Meningkatkan
Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Gay yang Menjalani Proses Pembentukan Identitas Seksual Selama bertahun-tahun, individu homoseksual telah melakukan konsultasi pada terapis untuk mengubah orientasi seksualnya menjadi heteroseksual dengan terapi reparatif. Banyak sekali terapi reparatif yang mengajarkan bahwa homoseksulitas tidak wajar dan menjijikkan. Hal ini akan meningkatkan kecemasan dan perasaan membenci diri sendiri pada individu homoseksual (Robinson, 2006). Walaupun demikian, menurut beberapa ahli psikologi, tekanan sosial terhadap individu untuk menjadi seorang heteroseksual menimbulkan keraguan bahwa permintaan tersebut memang pilihan yang mereka buat dengan kondisi dimana mereka memiliki kebebasan untuk memilih. Salvin-Williams (1996) melaporkan bahwa individu yang menyadari orientasi seksualnya sebagai seorang homoseksual akan kehilangan kemampuan untuk menghormati dan menghargai dirinya sendiri karena hal tersebut berbeda atau dipandang tidak normal oleh lingkungannya. Individu yang memiliki dugaan bahwa dirinya seorang homoseksual akan berhadapan dengan pesan seksual yang negatif tentang perasaan seksual mereka, yang terbukti bersifat korosif terhadap self-esteem dan psychological well-being (Wolfe, 2003). Beck (dalam LaSala, 2006) menyatakan bahwa distress emosional yang dialami oleh individu bukanlah dampak dari peristiwa dan situasi yang dialaminya, melainkan bagaimana mereka menerima situasi tersebut. Dalam merespon situasi yang penuh stres, beberapa individu mengalami distorsi kognitif,
Universitas Sumatera Utara
83
yang kemudian menimbulkan berbagai permasalahan psikologis dan emosional dalam dirinya, seperti depresi dan kecemasan. Terapi CBT memungkinkan individu untuk menyadari pikiran dan perasaan yang dimilikinya, mengidentifikasi bagaimana situasi, pikiran, dan perilaku mempengaruhi emosi, dan meningkatkan perasaan positif dengan mengubah pikiran yang disfungsional dan perilaku individu (Cully & Teten, 2008). Pendekatan CBT dapat diadaptasi untuk membantu individu gay dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang mereka alami terkait dengan orientasi seksualnya. Teknik CBT yang berfokus pada mengembangkan teknik coping yang efektif dan meningkatkan frekuensi klien dalam menilai kejadian positif akan membantu mereka dalam menghadapi berbagai stressor terkait dengan stigma masyarakat terhadap diri mereka (Safren, Hollander, Hart, & Heimberg, 2001).
Universitas Sumatera Utara
84
Remaja
Orientasi Seksual: Ketertarikan secara emosional dan seksual
Salah satu tugas perkembangan: Membentuk identiitas diri Heteroseksual
Membentuk identitas seksual
Homoseksual
Lesbi
Gay
Ketakutan ditolak keluarga dan sosial Menghadapi stigma dan stereotype gay Kesulitan untuk mengembangankan public intimate relationship Menerima tindak kekerasan dan pelecehan Merasakan diskriminasi
Homoseksual
Tahapan: 1. Identity Confusion 2. Identity Comparison 3. Identity Tolerance 4. Identity Acceptance 5. Identity Pride 6. Identity Synthesis
Kesejahteraan psikologis rendah
Cognitive Behavior Therapy
Cognitive restructuring
Social perception skills training
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir
Universitas Sumatera Utara
85
II. F. HIPOTESA PENELITIAN Hipotesa dalam penelitian ini adalah ada pengaruh Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk meningkatkan kesejahteraan psikologis pada remaja gay.
Universitas Sumatera Utara