BAB II LANDASAN TEORI
2.1.
Manajemen Keuangan
2.1.1. Definisi Manajemen Keuangan Husnan (2004) menyatakan bahwa : dalam suatu organisasi, pengaturan kegiatan keuangan sering disebut sebagai manajemen keuangan. Untuk melaksanakan manajemen keuangan tersebut, perlu dipahami teori keuangan. Teori keuangan menjelaskan mengapa suatu fenomena di bidang keuangan terjadi, dan mengapa keputusan keuangan tertentu perlu diambil dalam menghadapi persoalan keuangan tertentu. Dengan kata lain
teori
keuangan mencoba menjelaskan alasan
pengambilan keputusan di bidang keuangan. Keown, Martin, Petty dan Scott,Jr (2008) menyatakan bahwa manajemen keuangan berkepentingan dengan bagaimana cara menciptakan dan menjaga nilai ekonomis atau kekayaan. Konsekuensinya, semua pengambilan keputusan harus difokuskan pada penciptaan kekayaan. 2.1.2. Tujuan Manajemen Keuangan Husnan (2004) menyatakan bahwa untuk mengambil keputusankeputusan keuangan yang benar, manajer keuangan perlu menentukan tujuan yang harus dicapai. Keputusan yang benar adalah keputusan yang akan membantu mencapai tujuan tersebut. Secara normatif, tujuan keputusan keuangan adalah untuk memaksimumkan nilai perusahaan.
19
Keown, Martin, Petty dan Scott,Jr (2008) menyatakan tujuan perusahaan adalah memaksimalkan kekayaan pemegang saham dengan cara memaksimalkan harga saham perusahaan. Tujuan ini tidak hanya merupakan kepentingan bagi para pemegang saham semata, tetapi juga akan memberikan manfaat terbaik bagi masyarakat. Ini akan terjadi ketika sumber daya-sumber daya yang langka diarahkan ke pemanfaatan yang paling produktif dalam menciptakan kekayaan. 2.1.3. Fungsi Manajemen Keuangan Martono dan Harjito (2005) menyatakan bahwa manajemen keuangan (financial management) atau literatur lain disebut pembelanjaan adalah segala aktifitas perusahaan yang berhubungan dengan bagaimana memperoleh dana, menggunakan dana, dan mengelola asset sesuai perusahaan secara menyeluruh. Dengan kata lain, manajemen keuangan merupakan manajemen (pengelolaan) mengenai bagaimana memperoleh asset, mendanai asset dan mengelola asset untuk mencapai tujuan perusahaan. Dari definisi tersebut ada tiga fungsi utama dalam manajemen keuangan yaitu : a.
Keputusan Investasi (Invesment Decision) Investasi dapat diartikan sebagai penanaman modal perusahaan. Penanaman modal dapat dilakukan pada aktiva riil ataupun aktiva financial. Aktiva-aktiva yang dimiliki perusahaan akan digunakan dalam operasinya untuk mencapai tujuan perusahaan. Kemampuan perusahaan mengelola aktiva tersebut sangat menentukan kemampuan perusahaan
20
memperolah laba yang diinginkan. Keputusan investasi ini merupakan keputusan yang paling penting diantara keputusan yang lainnya. Hal ini karena keputusan investasi ini berpengaruh secara langsung terhadap besarnya rentabilitas investasi dan aliran kas perusahaan untuk waktuwaktu yang akan datang. Rentabilitas Investasi (Return on Invesment) merupakan kemampuan perusahaan memperoleh laba yang dihasilkan dari suatu investasi. b.
Keputusan Pendanaan (financing Decision) Keputusan pendanaan menyangkut beberapa hal. Pertama, keputusan mengenai penetapan sumber dana yang diperlukan untuk membiayai investasi.Sumber dana yang akan digunakan untuk membiayai investasi tersebut dapat berupa hutang jangka pendek, hutang jangka panjang dan modal sendiri. Kedua, penetapan tentang perimbangan pembelanjaan yang terbaik atau sering disebut struktur modal optimum. Sstruktur modal optimum merupakan perimbangan hutang jangka panjang dan modal sendiri dengan biaya modal rata-rata minimal. Oleh karena itu perlu ditetapkan apakah perusahaan menggunakan sumber modal ekstern yang berasal dari hutang dengan menerbitkan obligasi atau menggunakan saham sendiri dengan menerbitkan saham baru sehingga beban biaya modal yang ditanggung perusahaan minimal.
21
c.
Keputusan Pengelolaan Asset (Asset Management Decision) Manager keuangan bersama manager lain dalam perusahaan bertanggungjawab terhadap tindakan operasi dari aset-aset yang ada. Pengalokasian dana yang digunakan untuk pengadaan dan pemanfaatan aset menjadi tanggung jawab manager keuangan. Tanggung jawab tersebut menuntut manager keuangan lebih memperhatikan pengelolaan aktiva lancar dari pada aktiva tetap. Manager keuangan yang konservatif akan mengalokasikan dananya sesuai dengan jangka waktu aset yang didanai.
2.2
Pasar Modal
2.2.1
Kebangkitan Pasar Modal Indonesia Menurut Samsul (2009) pengaktifan kembali pasar modal di Indonesia pada tahun 1977 didasarkan pada Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia nomor 52/1976 dan dilanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan. Selama 11 tahun sejak diaktifkan kembali, bursa efek hanya berhasil mengajak 24 perusahaan untuk go public, suatu prestasi yang sangat jelek. Kegagalan mengajak perusahaan untuk go public ini disebabkan oleh hal-hal berikut: (1) Penentuan harga perdana harus mendapat persetujuan BAPEPPAM (2) Calon emiten harus untung dan membagi deviden selama 5 tahun berturut-turut (3) Fluktuasi harga saham dibatasi 4% per hari (4) Bunga deposito dibebaskan dari pajak 22
(5) Investor asing tidak diperbolehkan melakukan investasi di pasar modal Kemajuan atau kemunduran ekonomi tidak hanya tergantung pada sistem ekonomi yang dianut, tetapi juga pada person „orang‟ yang diberi tanggung jawab mengambil kebijakan. Keberanian pejabat untuk menanggung resiko ketika membuat keputusan merupakan variabel yang penting. Drs. Marzuki Usman, M.A. merupakan pejabat pemerintah yang diangkat menduduki Ketua Bapepam dan memiliki keberanian untuk melakukan gebrakan dengan menghapus semua hambatan-hambatan diatas. Beberapa kebijakan penting dalam deregulasi pasar modal yang dibuat pada tahun 1987 dan 1988 yang mendorong pasar modal bangkit adalah sebagai berikut: (1) Harga perdana saham diserahkan kepada Emiten dan Underwriter (Pakdes‟88) (2) Harga saham diserahkan pada supply and demand (Pakdes‟88) (3) Calon emiten tidak diwajibkan harus untung dahulu (Pakdes‟87) (4) Bunga deposito dikenakan pajak (Pakto‟88) (5) Investor asing diperbolehkan membeli saham maksimal 49% (Pakdes‟87) (6) Dikeluarkan batas maksimum pemberian kredit bank (Pakto‟88) (7) Diterapkan company listing (Pakdes‟88) (8) Bursa efek boleh didirikan di luar Jakarta (Pakto‟88)
23
2.2.2
Pengertian Pasar Modal Menurut Samsul (2009) secara umum, pasar modal adalah tempat atau sarana bertemunya antara permintaan dan penawaran atas instrumen keuangan jangka panjang, umumnya lebih dari 1 tahun. Hukum mendefinisikan pasar modal sebagai “Kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek”. Tujuan dan manfaat pasar modal dapat dilihat dari 3 sudut pandang, yaitu:
a.
Sudut Pandang Negara Pasar modal dibangun dengan tujuan menggerakkan perekonomian suatu negara melalui kekuatan swasta dan mengurangi beban negara. Negara memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mengatur bidang perekonomian tetapi tidak harus memiliki perusahaan sendiri. Jika kegiatan ekonomi dapat dilaksanakan oleh pihak swasta, maka negara tidak perlu ikut campur agar tidak membuang-buang biaya. Akan tetapi, negara mempunyai kewajiban membuat perundang-undangan agar pihak swasta dapat bersaing dengan jujur dan tidak terjadi monopoli.
b.
Sudut Pandang Emiten Pasar modal merupakan sarana untuk mencari tambahan modal. Perusahaan berkepentingan untuk mendapatkan dana dengan biaya yang lebih murah dan hal itu hanya bisa diperoleh dipasar modal. Modal pinjaman dalam bentuk obligasi jauh lebih murah daripada kredit jangka
24
panjang perbankan. Meningkatkan modal sendiri jauh lebih baik daripada meningkatkan modal pinjaman, khususnya untuk menghadapi persaingan yang semakin tajam di era globalisasi. c.
Sudut Pandang Masyarakat Masyarakat
memiliki
sarana baru untuk
menginvestasikan
uangnya. Investasi yang semula dilakukan dalam bentuk deposito, emas, tanah atau rumah sekarang dapat dilakukan dalam bentuk saham dan obligasi. Jika investasi dalam bentuk tanah atau rumah butuh uang ratusan juta rupiah, maka investasi dalam bentuk efek dapat dilakukan dengan dana dibawah Rp 5 juta. Jadi pasar modal merupakan sarana yang baik untuk melakukan investasi dalam jumlah yang tidak terlalu besar bagi kebanyakan masyarakat. 2.2.3
Instrumen di Pasar Modal Menurut Samsul (2009) bentuk instrumen dipasar modal disebut efek, yaitu surat berharga yang berupa saham, obligasi, bukti right, bukti waran dan produk turunan atau biasa disebut derivatif. Contoh produk derivatif di pasar modal adalah indeks harga saham dan indeks kurs obligasi.
a.
Saham Saham adalah tanda bukti memiliki perusahaan dimana pemiliknya disebut juga sebagai pemegang saham (shareholder atau stockholder).
1)
Saham Preferen (preferrend stock) Saham preferen adalah jenis saham yang memiliki hak terlebih
25
dahulu untuk menerima laba dan memiliki hak laba kumulatif. Hak kumulatif adalah hak untuk mendapatkan laba yang tidak dibagikan pada suatu tahun yang mengalami kerugian, tetapi akan dibayar pada tahun yang mengalami keuntungan, sehingga saham preferen akan menerima laba dua kali. Hak istimewa ini diberikan kepada pemegang saham preferen karena merekalah yang memasok dana ke perusahaan sewaktu mengalami kesulitan keuangan. 2)
Saham Biasa (common stock) Saham biasa adalah jenis saham yang akan menerima laba setelah laba bagian saham preferen dibayarkan. Apabila perusahaan bangkrut, maka pemegang saham biasa yang akan menderita terlebih dahulu. Penghitungan indeks harga saham didasarkan pada harga saham biasa. Hanya pemegang saham biasa yang mempunyai suara dalam RUPS.
b.
Obligasi (bonds) Obligasi adalah tanda bukti perusahaan memiliki utang jangka panjang kepada masyarakat yaitu diatas 3 tahun. Pihak yang membeli obligasi disebut pemegang obligasi (bondholder) dan pemegang obligasi akan menerima kupon sebagai pendapatan obligasi yang dibayarkan setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali. Pada saat pelunasan obligasi oleh perusahaan, pemegang obligasi akan menerima kupon dan pokok obligasi.
c.
Bukti Right Bukti right adalah hak untuk membeli saham pada harga tertentu dalam jangka waktu tertentu. Hak membeli itu diberikan oleh pemegang
26
saham lama. Harga tertentu disini berarti harganya sudah ditetapkan dimuka dan biasa disebut harga pelaksanaan atau harga tebusan (strike price atau exercise price). Pada umumnya, strike price dari bukti right berada di bawah harga pasar saat diterbitkan. Sementara jangka waktu tertentu berarti waktunya kurang dari 6 bulan sejak diterbitkan harus dilaksanakan. Apabila pemegang saham lama yang menerima bukti right tidak mampu atau tidak berniat menukarkan bukti right dengan saham, maka bukti right tersebut dapat dijual di Bursa Efek melalui broker efek. Apabila pemegang bukti right lalai menukarkannya dengan saham dan waktu penukaran sudah kedaluarsa, maka bukti right tersebut tidak berharga lagi, atau pemegang bukti right akan menderita rugi. d.
Warran Warran adalah hak untuk membeli saham pada harga tertentu dalam jangka waktu tertentu. Mirip dengan Right, bedanya waran tidak saja dapat diberikan kepada pemegang saham lama, tetapi juga sering diberikan kepada pemegang obligasi sebagai pemanis (sweetener) pada saat perusahaan menerbitkan obligasi. Pemegang waran tidak akan menderita kerugian apapun seandainya waran itu tidak dilaksanakan. Pada saat harga pasar melebihi strike price waran, maka waran sudah saatnya untuk ditukarkan dengan saham. Namun pemegang waran masih dapat menunggu sampai harga saham mencapai tingkat tertinggi sepanjang waktu berlakunya belum kedaluarsa.
e.
Indeks Saham dan Indeks Obligasi
27
Indeks saham dan indeks obligasi adalah angka indeks yang diperdagangkan untuk tujuan spekulasi dan lindung nilai (hedging). Perdagangan yang dilakukan tidak memerlukan penyerahan barang secara fisik, melainkan hanya perhitugan untung rugi dari selisih antara harga beli dan harga jual. Berbeda dengan saham, obligasi, bukti right dan waran, indeks saham dan indeks obligasi diperdagangkan secara berjangka. Mekanisme perdagangan produk derivatif ini dilakukan secara future dan option. 2.2.4
Jenis Pasar Modal Menurut Samsul (2009) terdapat 4 jenis pasar modal, yang akan dijelaskan berikut:
a.
Pasar perdana (primary market) Pasar perdana adalah tempat atau sarana bagi perusahaan untuk pertama kali menawarkan saham atau obligasi ke masyarakat umum. Penawaran umum awal ini yang disebut juga initial public offering (IPO), telah mengubah status dari perseroan tertutup menjadi perseroan terbuka (Tbk.). Terbuka disini berarti perseroan dapat dimiliki oleh masyarakat luas dan mempunyai kewajiban untuk membuka semua informasi kepada para pemegang saham dan masyarakat, kecuali yang bersifat rahasia untuk menjaga persaingan. Penawaran umum didefinisikan oleh UUPM tahun 1995 sebagai: “kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tatacara yang diatur dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya. 28
b.
Pasar kedua (scondary market) Pasar kedua adalah tempat atau sarana transaksi jual beli efek antar investor dan harga dibentuk oleh investor melalui perantara efek. Terbentuknya harga pasar oleh tawaran jual dan tawaran beli dari para investor ini disebut juga dengan istilah order driven market. Sistem perdagangan di pasar kedua yang biasa disebut bursa efek ini sudah terintregasi dengan sistem penyelesaian yang ada di central clearing, yaitu Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI), dan central depository, yaitu Kustodian sentral Efek Indonesia (KSEI). Dengan sistem perdagangan tanpa warkat (scripless trading) yang sudah berjalan di Indonesia, pemindahan kepemilikan saham dapat dilakukan dengan cara overbooking atau book-entry system. Dengan scripless trading, fungsi lending and borrowing saham juga dapat berjalan sehingga kasus gagal serah dapat diatasi dengan biaya lebih murah.
c.
Pasar ketiga (thirtd market) Pasar ketiga adalah sarana transaksi jual beli efek antara market maker (anggota bursa) dengan investor dan harga ditentukan oleh market maker. Investor dapat memilih market maker yang memberi harga terbaik. Para market maker ini akan bersaing dalam menentukan harga saham, karena satu jenis saham dipasarkan oleh lebih dari satu market maker. Setiap market maker dapat memasarkan lebih dari satu jenis saham. Investor dapat melihat harga yang ditawarkan oleh market maker pada komputer informasi yang ada di perasahaan efek, yang tersebar di kota29
kota besar diseluruh negeri. Sampai saat ini Indonesia masih belum memiliki pasar ketiga atau yang disebut juga Over The Counter (OTC). d.
Pasar keempat Pasar keempat adalah sarana transaksi jual beli tanpa melalui perantara efek. Transaksi dilakukan secara tatap muka antara investor beli dan investor jual untuk saham atas pembawa. Mekanisme ini pernah terjadi pada awal-awal perdagangan efek di abad ke-17. Dengan kemajuan teknologi, mekanisme ini dapat terjadi melalui Electronic Communication Network (ECN) asalkan para pelaku memenuhi syarat, yaitu memiliki efek dan dana di central kustodian dan central clearing house. Pelaku di pasar keempat akan menjadi anggota dari ECN, central kustodian dan central clearing. Pasar keempat ini hanya dilakukan oleh para investor besar karena dapat menghemat biaya transaksi daripada jika dilakukan di pasar sekunder.
2.3
Analisis Industri Makro Seiring dengan peningkatan kapasitas pembangkit listrik tenaga uap di seluruh dunia, permintaan batubara thermal baik di pasar domestik maupun dunia terus meningkat dari tahun ke tahun. BUMI selalu berupaya mengambil peran signifikan sebagai produsen baik di pasar lokal maupun dunia. Peningkatan produksi menjadi 111 juta ton per tahun yang akan dicapai pada tahun 2012 dan ekspansi ke pertambangan non batubara yang
30
terus dijalankan menjadi strategi BUMI dalam
meningkatkan bisnis
sekaligus memberikan hasil maksimal pada investor. 2.3.1
Kondisi Pasar dan Strategi Perusahaan. Sebagai sumber energi yang banyak digunakan selain minyak bumi, seiring peningkatan penggunaan batubara untuk pembangkit listrik, kebutuhan batubara dunia terus meningkat secara signifikan. Data International Energy Agency (IEA) mencatat, kurun waktu 2006-2030 konsumsi batubara dunia diprediksi akan meningkat sebesar 49% dari 127,5 miliar ton tahun 2006 menjadi 190,2 miliar ton pada tahun 2030. IEA juga memprediksi tren pertumbuhan konsumsi batubara pada periode 2005-2015 rata-rata sebesar 2,6% per tahun dan akan melambat pada periode 2015-1030 menjadi rata-rata 1,7% per tahun. Hingga akhir 2009, Amerika, China, dan India menjadi Negara yang memiliki tingkat konsumsi batubara terbesar di dunia. Tren ini masih akan berlangsung selama beberapa tahun ke depan. Selama tahun 2006, Amerika mengkonsumsi batubara sebanyak 22,5 miliar ton atau setara dengan 48% dari total konsumsi batubara dunia. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar pada pembangkit listrik, total permintaan batubara (cooking dan thermal) Amerika diprediksi akan meningkat menjadi 26,6 miliar ton pada tahun 2030.
2.3.2
Pasar Batubara China Guna mendorong peningkatan produksi baja dan pembangkit listrik, sejak tahun 2006 hingga 2008, total konsumsi batubara China
31
(thermal dan cooking) meningkat 6,8% menjadi 1,4 miliar ton atau 42,6% dari total konsumsi dunia. Kebutuhan yang melebihi kapasitas produksi membuat China harus mengimpor kedua jenis batubara tersebut. Pada tahun 2009, impor China untuk batubara thermal meningkat 167% dibanding tahun 2008. Demikian halnya dengan impor China untuk batubara cooking yang meningkat hampir 400% dibanding tahun 2008. Sebagai gambaran, kurun waktu sembilan bulan sejak September 2008 China mengekspor batubara thermal sebesar 5,9 juta ton. Disebabkan oleh penurunan kemampuan produksi dan desakan kebutuhan pembangkit listrik, hingga bulan September tahun 2009, China mengimpor batubara thermal sebesar 46,4 juta ton. Seiring dengan peningkatan produksi batubara di tahun 2010, jumlah permintaan China dari pasar batubara thermal dunia diprediksi akan mengalami penurunan menjadi sekitar 45 juta ton pada tahun 2010. Namun, pada tahun-tahun berikutnya permintaan China akan kembali meningkat dengan kecenderungan peningkatan yang relatif stabil dan pada tahun 2011 akan menjadi 50 juta ton dan 60 juta ton pada 2015. 2.3.3
Pasar Batubara India Kondisi yang hampir sama juga terjadi pada India. Pada tahun 2008, total konsumsi batubara India meningkat 8,4% menjadi 231 juta ton atau setara dengan 7% konsumsi dunia. Kekurangan pasokan batubara domestik mendorong kenaikan impor batubara. Selama tahun 2003-2008 impor batubara India mencapai 17,1%. Sementara ekspor batubara India
32
turun dengan CAGR mencapai -0,1%. Guna menunjang produktivitasnya, pabrik baja di India mengimpor sekitar 50% kebutuhan batubara. Terus meningkatnya kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik ikut mendorong tingginya permintaan India terhadap batubara. Hingga bulan Juli 2009, India mengimpor batubara thermal sebesar 32,6 juta ton atau meningkat 55% dibandingkan dengan Juli 2008. Peningkatan permintaan India diprediksi akan terus terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Pada tahun 2010 permintaan India terhadap batubara thermal diprediksi sebesar 53 juta ton. Pada tahun 2011, jumlah tersebut akan meningkat menjadi 63 juta ton dan pada tahun 2015 diprediksi menjadi sekitar 108 juta ton. Secara keseluruhan, impor batubara India diproyeksi masih akan meningkat di tahun-tahun mendatang. Untuk memenuhi permintaan domestik yang terus meningkat, dalam tiga tahun ke depan, impor batubara (cooking dan thermal) India akan meningkat sepuluh kali menjadi 40-45 juta ton.
2.3.4
Harga Batubara Krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008 berdampak cukup signifikan pada penurunan harga batubara dari US$ 180 per metrik ton menjadi sekitar US$ 75 per metrik ton pada akhir tahun 2008. Seiring membaiknya ekonomi dunia dan terus meningkatnya kebutuhan batubara, mulai semester kedua tahun 2009, harga batubara kembali stabil dengan kecenderungan meningkat. IEA memprediksi harga batubara akan terus
33
meningkat dimana pada tahun 2010 akan berada di level US$ 85 per metrik ton dan pada tahun 2012 akan berada di level US$ 90 per metrik ton. Sebagai negara yang memiliki cadangan batubara sebesar 20 miliar ton dengan potensi 90 miliar ton, Indonesia memiliki peran penting di pasar batubara dunia. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, Indonesia juga mengalami peningkatan konsumsi batubara yang cukup signifikan. Pada tahun 1997, konsumsi domestik masih sebesar 13,2 juta ton. Jumlah tersebut meningkat 243% menjadi 45,3 juta ton pada tahun 2007. Menyusul selesainya proyek percepatan 10.000 MW tahap II, kebutuhan batubara domestik untuk pembangkit listrik akan mengalami peningkatan sebesar 65-70 juta ton per tahun. Hingga 2010, pada saat semua proyek PLTU sudah beroperasi, konsumsi batubara domestik diprediksi akan mencapai 90 juta ton, atau meningkat sekitar 40 juta ton dibandingkan dengan kebutuhan saat ini. Seiring dengan peningkatan kebutuhan pasokan tersebut, produksi batubara domestik juga terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, produksi batubara Indonesia mencapai 215 juta ton, meningkat 90,3% dibanding 2003. Sementara, pada tahun 2009, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia mencatat produksi batubara Indonesia sebesar 250 juta ton. Jumlah tersebut diprediksi akan meningkat hingga mencapai 280 juta ton pada tahun 2010. Sebagian besar produksi batubara Indonesia diekspor ke luar negeri terutama Jepang, Taiwan, China, dan India. Di tengah percaturan pasar batubara baik domestik maupun Internasional, dengan
34
kepemilikan basis sumber daya yang sangat besar (lebih dari 10 miliar ton), Perseroan memiliki peran yang cukup besar baik di pasar domestik maupun ekspor. Untuk itu, Perseroan telah menyiapkan berbagai langkah strategis. Penggunaan teknologi mutakhir menjadi salah satu upaya efisiensi sekaligus meningkatkan produksi. Untuk memenuhi permintaan pasar, Perseroan juga telah menetapkan target peningkatan produksi menjadi 111 juta ton per tahun yang akan dicapai pada tahun 2012. Ekspansi pasar ke Cina, India, maupun pasar domestik yangdiiringi dengan peningkatan volume penjualan menjadi strategi Perseroan untuk meningkatkan penjualan batubara terutama jenis batubara thermal. Selama ini, selain pasar domestik Perseroan mengandalkan pemasaran batubara ke Jepang, China, dan Taiwan. Perseroan akan berupaya memperpendek jangka waktu pengiriman sebagai salah satu strategi meningkatkan pelayanan dan mencapai kepuasan pelanggan. Selain itu, Perseroan juga menempuh upaya pertumbuhan organik melalui serangkaian akuisisi perusahaan tambang batubara yang potensial. Guna mendorong kinerja perusahaan diversifikasi
lebih
optimal,
portofolio
Perseroan
bisnis
melalui
terus
berupaya
investasi
pada
melakukan komoditas
pertambangan selain batubara seperti tembaga, emas, bijih besi, timah, seng, dan gas metan. Semua upaya tersebut tentu membutuhkan komitmen dari seluruh jajaran manajemen dan karyawan. Untuk itu, peningkatan kwalitas SDM menjadi salah satu upaya mendorong kemajuan bisnis Perseroan. Pengelolaan perusahaan dengan tetap memperhatikan prinsip
35
tata kelola perusahaan yang sehat dan selalu mempertimbangkan aspek risiko menjadi kunci keberhasilan bisnis. Mendasarkan pada praktik terbaik di tingkat nasional maupun internasional, Perseroan akan selalu menerapkan GCG dan Manajemen Risiko dengan baik. Kebijakan CSR yang diterapkan akan membantu Perseroan mencapai sukses bisnis secara berkesinambungan. (sumber: www.bumiresources.com)
2.4
Kebijakan Deviden Menurut Atmaja (2008), manajemen mempunyai dua alternatif perlakuan terhadap penghasilan bersih sesudah pajak (EAT) perusahaan, pertama dibagi kepada para pemegang saham perusahaan dalam bentuk deviden dan yang kedua diinvestasikan kembali ke perusahaan sebagai laba ditahan (retained earning). Pada umumnya sebagian EAT dibagi dalam bentuk deviden dan sebagian lagi diinvestasikan kembali. Artinya, manajemen harus membuat keputusan tentang besarnya EAT yang dibagikan sebagai deviden. Pembuatan keputusan tentang deviden ini disebut kebijakan deviden (dividend policy). Persentase deviden yang dibagi dari EAT disebut Deviden Payout Ratio (DPR). DPR =
2.4.1
Teori Kebijakan Deviden Menurut Atmaja (2008) ada berbagai pendapat atau teori tentang kebijakan deviden, antara lain:
36
a.
Deviden Tidak Relevan dari MM Menurut Modigliani dan Miller (MM), nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar kecilnya DPR tetapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT) dan kelas resiko perusahaan. Jadi menurut MM, deviden adalah tidak relevan. Pernyataan MM ini didasarkan pada beberapa asumsi penting yang “lemah” seperti: (1) Pasar modal sempurna dimana semua investor adalah rasional (2) Tidak ada biaya emisi saham baru jika perusahaan menerbitkan saham baru (3) Tidak ada pajak (4) Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah Beberapa ahli menentang pendapat MM tentang deviden adalah tidak relevan dengan menunjukan bahwa adanya biaya emisi saham baru akan mempengaruhi nilai perusahaan. Modal sendiri dapat berasal dari laba ditahan dan menerbitkan saham biasa baru. Jika modal sendiri berasal dari laba ditahan, biaya modal sendiri sebesar Ks, tapi bila berasal dari saham biasa baru, biaya modal sendiri adalah Ke. Ks =
+g
Ke =
+g
Dimana: Ks = Biaya modal sendiri dari laba ditahan Ke = Biaya modal sendiri dari saham biasa baru D1 = Deviden setahun mendatang Po = Harga saham saat ini g = Pertumbuhan deviden/keuntungan F = Flotation Cost atau biaya emisi saham 37
Jika D1, Po dan g adalah sama, dapat disimpulkan bahwa Ke > Ks, artinya perusahaan lebih suka menggunakan laba ditahan daripada penerbitan saham baru. Ada kemungkinan laba ditahan tidak cukup besar sehingga perusahaan harus menerbitkan saham baru. Semakin besar target laba ditahan, semakin kecil kemungkinan perusahaan menerbitkan saham baru. Karena biaya modal sendiri ditentukan oleh besar kecilnya laba ditahan dan besar kecilnya laba ditahan ditentukan oleh DPR maka kebijakan deviden mempengaruhi nilai perusahaan. Beberapa ahli lain menyoroti asumsi tidak adanya pajak. Jika ada pajak maka penghasilan investor dari deviden dan dari capital gain (kenaikan harga saham) akan dikenai pajak. Seandainya tingkat pajak untuk capital gain dan deviden adalah sama, investor cenderung lebih suka menerima capital gain daripada deviden karena pajak pada capital gain baru dibayar saat saham dijual dan keuntungan dinikmati. Dengan kata lain investor lebih untung karena dapat menunda pembayaran pajak. Investor lebih suka bila perusahaan menetapkan DPR yang rendah, menginvestasikan kembali keuntungan dan menaikan nilai perusahaan atau harga saham. b.
Teori The Bird in The Hand Gordon dan Lintner menyatakan bahwa biaya modal sendiri (Ks) perusahaan akan naik jika DPR rendah karena investor lebih suka menerima deviden daripada capital gains. Menurut mereka, investor
38
memandang dividend yield (D1/Po) lebih pasti daripada capital gain yield (g). Perlu diingat bahwa dilihat dari sisi investor, Ks adalah tingkat keuntungan yang disyaratkan investor pada saham. Ks adalah keuntungan dari deviden (dividend yield) ditambah keuntungan dari capital gain (capital gains yield). Ks = c.
+g
Teori Perbedaan Pajak Teori ini diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy. Mereka menyatakan bahwa karena adanya pajak terhadap keuntungan deviden dan capital gain, para investor lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan dividend yield tinggi, capital gain yield rendah daripada saham dengan deviden yield rendah, capital gain yield tinggi. Jika pajak atas deviden lebih besar dari pajak atas capital gain, perbedaan ini akan makin terasa.
d.
Teori Signaling Hypothesis Ada bukti empiris bahwa jika ada kenaikan deviden, sering diikuti dengan kenaikan harga saham. Sebaliknya, penurunan deviden pada umumnya menyebabkan harga saham turun. Fenomena ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa para investor lebih menyukai deviden daripada capital gain. Tapi MM berpendapat bahwa suatu kenaikan deviden yang diatas biasanya, merupakan suatu sinyal kepada para investor bahwa manajemen perusahaan meramalkan suatu penghasilan yang baik dimasa
39
mendatang. Sebaliknya, suatu penurunan deviden atau kenaikan deviden yang dibawah kenaikan normal (biasanya) diyakini investor sebagai suatu sinyal bahwa perusahaan akan menghadapi masa sulit diwaktu mendatang. e.
Teori Clientele Effect Teori ini menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan deviden perusahaan. Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai suatu DPR yang tinggi. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang tidak begitu membutuhkan uang saat ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian besar laba bersih perusahaan. Jika ada perbedaan pajak bagi individu (misalnya orang lanjut usia dikenai pajak lebih ringan) maka kelompok pemegang saham yang dikenai pajak tinggi lebih menyukai capital gain karena dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang jika perusahaan membagi deviden yang kecil. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang dikenai pajak relatif rendah cenderung menyukai deviden yang besar.
2.4.2
Stock Repurchase, Stock Dividend dan Stock Split
a.
Stock Repurchase Menurut Atmaja (2008), sebagai alternatif terhadap pemberian deviden berupa uang (cash dividend), perusahaan dapat mendistribusikan pendapatan kepada pemegang saham dengan cara membeli kembali saham perusahaan (repurchasing stock).
40
Harga stock repurchase pada ekuilibrium (harga yang membuat sama pilihan untuk menjual saham kembali ke perusahaan atau menahannya) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: P* = Dimana: P* = Harga stock repurchase equilibrium S = Jumlah saham beredar sebelum stock repurchase Pc = Harga saham saat ini sebelum stock repurchase n = Jumlah lembar saham yang akan dibeli kembali oleh perusahaan 1)
Keuntungan stock repurchase bagi pemegang saham (1) Stock repurchase sering dipandang sebagai tanda positif bagi investor karena pada umumnya stock repurchase dilakukan jika perusahaan merasa bahwa saham undervalued (2) Stock repurchase mengurangi jumlah saham yang beredar di pasar. Setelah stock repurchase ada kemungkinan harga saham naik.
2)
Kerugian stock repurchase bagi pemegang saham (1) Perusahaan membeli kembali saham dengan harga yang terlalu tinggi sehingga merugikan pemegang saham yang tidak menjual kembali sahamnya. (2) Keuntungan stock repurchase dalam bentuk capital gain, padahal sebagian investor menyukai deviden
3)
Keuntungan stock repurchase bagi perusahaan (1) Menghindari kenaikan deviden. Jika deviden naik terlalu tinggi, dikhawatirkan dimasa mendatang perusahaan terpaksa membagi
41
deviden yang lebih kecil (pada masa sulit atau banyak kebutuhan dana investasi) yang dapat memberi pertanda negatif. Stock repurchase merupakan alternatif yang baik untuk mendistribusikan penghasilan yang diatas normal (extraordinary earnings) kepada pemegang saham. (2) Dapat
digunakan
sebagai
strategi
untuk
mengacau
usaha
pengambilalihan perusahaan (yang biasanya dilakukan dengan cara membeli saham sebanyak-banyaknya hingga mencapai jumlah saham mayoritas) stock repurchase dapat menggagalkan usaha ini. (3) Mengubah struktur modal perusahaan. Misalnya, perusahaan ingin meningkatkan rasio hutang dengan cara menggunakan hutang baru untuk membeli kembali saham yang beredar (4) Saham yang ditarik kembali dapat dijual kembali ke pasar jika perusahaan membutuhkan tambahan dana 4)
Kerugian stock repurchase bagi perusahaan (1) Dapat merusak image perusahaan karena sebagian investor merasa bahwa stock repurchase merupakan indikator bahwa manajemen perusahaan tidak mempunyai proyek-proyek baru yang baik. Namun demikian, jika perusahaan benar-benar tidak memiliki kesempatan investasi yang baik, ia memang sebaiknya mendistribusikan dana kembali kepada pemegang saham. (2) Setelah stock repurchase, pasar mungkin merasa bahwa resiko perusahaan meningkat sehingga dapat menurunkan harga saham. Menurut Atmaja (2008) ada tiga metode yang dapat digunakan 42
untuk membeli kembali saham: (1) Saham dapat dibeli pada pasar terbuka (open market). Disini perusahaan membeli sahamnya sendiri melalui pialang saham. Pendekatan ini dapat menyebabkan kenaikan harga saham yang dibeli dan ada biaya komisi. (2) Perusahaan membuat penawaran formal untuk membeli saham perusahaan dalam jumlah tertentu dan harga yang telah ditetapkan. Pendekatan ini disebut tender offer. Biasanya harga beli ditetapkan diatas harga pasar guna menarik investor untuk melepas sahamnya. (3) Perusahaan membeli sejumlah sahamnya kembali dari satu atau beberapa pemegang saham besar (major stockholder). Pendekatan ini disebut negotiated basis. b.
Stock Split dan Stock Dividend Menurut Atmaja (2008), bagian yang integral dari kebijakan deviden adalah penggunaan stock deviden dan stock split. Stock split adalah tindakan perusahaan memecah saham yang beredar menjadi bagian yang lebih kecil. Misalnya pada stock split “two for one” selembar saham dengan nominal 1000,- ditukar dengan 2 lembar saham dengan nominal 500,-. Setelah stock split jumlah saham yang beredar bertambah tetapi modal perusahaan tetap. Stock dividend adalah tindakan perusahaan memberikan saham baru sebagai pembayaran deviden. Misalnya “three for one” stock dividend berarti untuk 1 lembar saham akan mendapat 3 lembar saham baru sebagai deviden
43
Bagi pemegang saham, stock split tidak membuat mereka bertambah kaya karena kenaikan jumlah saham diimbangi dengan penurunan nilai nominal atau harga saham. Secara keseluruhan kekayaan mereka tidak berubah, hanya saja sekarang mereka memegang lebih banyak lembar saham dengan nominal yang lebih kecil. Sama seperti stock split, stock dividend juga tidak mengubah kekayaan pemegang saham. 1)
Alasan perusahaan melakukan stock split dan stock dividend (1) Stock split dilakukan untuk menjaga agar harga ssaham tetap berada pada “optimal price range” atau harga pasar yang optimal untuk menjaga agar saham tetap diperjual belikan banyak orang. Harga saham yang terlalu tinggi akan menyulitkan investor kecil untuk membeli saham tersebut, sehingga menurunkan demand untuk saham tersebut di pasar sekunder. (2) Stock deviden digunakan pada saat perusahaan ingin menghemat kas atau pada saat perusahaan kesulitan keuangan. Perusahaan menghemat kas untuk dapat mengambil proyek-proyek yang menguntungkan.
2.5
Valuasi Saham Penelitian mengenai valuasi saham sebelumnya dilakukan oleh Wibowo (2009), yang melakukan analisis terhadap nilai intrinsik saham pada Sektor Telekomunikasi (sampel pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk dan PT Indosat Tbk) dengan mengaplikasikan metode pendekatan arus kas terdiskonto (dicount cash flow) dengan metode Dividend Discount
44
Model pada pertumbuhan konstan. Pada penelitian tersebut harga saham PT Telekomunikasi Indonesia overvalued dan harga saham PT Indosat undervalued. Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh Fitrin Rianti (2009) terhadap saham PT Bank BCA Tbk. Dengan menggunakan pendekatan dicount cash flow metode Dividend Discount Model pada pertumbuhan non konstan dan metode Excess Return Model. Pada penelitian tersebut diperoleh hasil bahwa saham PT Bank BCA Tbk berada dalam
kondisi
undervalued.
Dengan
kondisi
tersebut
investor
dimungkinkan untuk membeli saham tersebut. Walaupun harga saham berubah setiap waktu, namun dengan mengetahui nilai wajarnya, kita akan lebih tenang dalam menghadapi gejolak pasar. Selain itu sebelum membeli saham, investor disarankan untuk memilih saham-saham perusahaan yang memiliki kinerja yang baik. 2.5.1
Nilai Buku, Harga Pasar dan Nilai Intrinsik Menurut Halim (2005), nilai buku saham mencerminkan nilai perusahaan, dan nilai perusahaan tercermin pada nilai kekayaan bersih ekonomis yang dimilikinya. Nilai buku saham bersifat dinamis tergantung pada perubahan nilai kekayaan bersih ekonomis pada suatu saat. Nilai buku per lembar saham biasa adalah nilai kekayaan bersih ekonomis dibagi dengan jumlah lembar saham biasa yang beredar. Kekayaan bersih ekonomis adalah selisih total aktiva dengan total kewajiban. Sedangkan harga pasar adalah harga yang terbentuk di pasar jual beli saham. Sementara itu nilai intrinsik adalah nilai saham yang
45
seharusnya
terjadi.
Dari
ketiga
nilai
tersebut,
investor
berkepentingan terhadap harga pasar dan nilai intrinsik
sangat
sebagai dasar
dalam pengambilan keputusan membeli atau menjual saham. Menurut Husnan (2005), analisis saham bertujuan untuk menaksir nilai
intrinsik
(intrinsic
value)
suatu
saham,
dan
kemudian
membandingkannya dengan harga pasar saat ini (current market price) saham tersebut. Nilai intrinsik (NI) menunjukan present value arus kas yang diharapkan dari saham tersebut. Pedoman yang dipergunakan adalah sebaga berikut: (1) Apabila NI > harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai undervalued (harganya terlalu rendah), dan karenanya seharusnya dibeli atau ditahan apabila saham tersebut telah dimiliki (2) Apabila NI < harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai overvalued (harganya terlalu mahal), dan karenanya seharusnya dijual (3) Apabila NI = harga pasar saat ini, maka saham tersebut dinilai wajar harganya dan berada dalam kondisi keseimbangan. 2.5.2
Valuasi Saham Preferen Menurut Brigham & Houston (2006), saham preferen adalah hibrida (hybrid) dalam beberapa hal tertentu mirip dengan obligasi dan mirip dengan saham biasa dalam beberapa hal yang lain. Sifat hibrida dari saham preferen tampak jelas terlihat ketika kita mencoba untuk mengklasifikasikannya sehubungan dengan obligasi dan saham biasa. Seperti obligasi, saham preferen memiliki nilai pari dan terdapat deviden
46
dalam jumlah tetap yang harus dibayarkan sebelum deviden dapat dibayarkan kepada saham biasa. Akan tetapi jika deviden preferen tidak diberikan, para direktur dapat menghilangkan (atau “membiarkan”) pembayaran tersebut tanpa harus memasukan perusahaan ke dalam kebangkrutan. Jadi meskipun saham preferen memiliki pembayaran tetap seperti obligasi, kegagalan dalam melakukan pembayaran tersebut tidak akan mengarah kepada kebangkrutan Seperti yang telah dibahas diatas, saham preferen memberikan hak kepada pemiliknya untuk mendapatkan pembayaran deviden secara rutin dan dalam jumlah tetap. Jika pembayaran tersebut terjadi untuk selamalamanya, maka nilai saham preferen dapat dihitung dengan cara: Vp = Dp/kp Ket: Vp Dp kp 2.5.3
= nilai saham preferen = deviden saham preferen = tingkat pengembalian yang diminta
Valuasi Saham Biasa Menurut Brigham & Houston (2006) saham biasa mencerminkan suatu kepentingan kepemilikan di dalam sebuah perusahaan, tetapi bagi seorang investor, saham biasa hanyalah sekedar selembar kertas yang dicirikan oleh dua sifat: (a) Saham memberikan hak atas deviden kepada pemiliknya, asalkan perusahaan memiliki keuntungan untuk membayarkan deviden, dan asalkan manajemen memutuskan untuk membayarkan deviden dan
47
bukannya mempertahankan dan menginvestasikan kembali seluruh keuntungan yang diperoleh. (b) Saham dapat dijual disuatu tanggal dimasa mendatang, harapannya tentu dengan harga yang lebih tinggi daripada harga belinya. Jika saham tersebut dijual dengan harga diatas harga belinya, maka investor akan menerima keuntungan modal (capital gain). Menurut Halim (2005), model dasar penghitungan harga saham biasa adalah sebagai berikut: Po = Keterangan: Po = Harga saham pada periode 0 dt = Deviden yang diterima pada periode t i = Tingkat pengembalian yang diminta 2.5.4
Pendekatan Penilaian Saham
a.
Pendekatan Deviden Deviden merupakan sebagian dari laba yang dibagikan kepada pemegang saham. Bagi investor jumlah rupiah yang diterima dari pembayaran deviden resikonya lebih kecil dari capital gain, selain itu deviden lebih dapat diperkirakan sebelumnya. Sedangkan capital gain lebih sulit diperkirakan, sehingga pembayaran deviden yang tinggi dapat diartikan bahwa perusahaan mempunyai prospek tingkat keuntungan yang baik. Sebaliknya, penurunan pembayaran deviden dapat diartikan bahwa prospek tingkat keuntungan perusahaan kurang baik. Akhirnya harga saham cenderung mengikuti naik turunnya besarnya deviden yang
48
dibayarkan. Pengaruh penurunan besarnya deviden yang dibayar dapat menjadi informasi yang kurang baik bagi perusahaan karena deviden merupakan tanda tersedianya laba perusahaan dan besarnya deviden yang dibayar sebagai informasi tingkat pertumbuhan laba saat ini dan masa mendatang. Dengan anggapan tersebut, harga saham akan menjadi turun karena banyak pemegang saham akan menjual sahamnya. Dalam pendekatan ini harga saham dapat diketahui dengan menghitung nilai sekarang (present value-PV) dari proyeksi deviden yang akan diterima investor. 1)
Deviden tak bertumbuh (Zero Growth) Dimana deviden saham biasa yang dibagikan, tidak mengalami pertumbuhan atau jumlahnya tetap setiap pembagian deviden. Nilai saham dengan pertumbuhan nol dapat dihitung sbb (Sjahrial, 2007) : Po = D1/Ks Ket.: D1 Ks
2)
Po = Nilai saham = Deviden tahun mendatang = Tingkat pengembalian yang diminta
Deviden bertumbuh secara konstan Deviden tumbuh secara konstan berarti deviden bertumbuh dengan suatu tingkat pertumbuhan yang selalu sama. Pada umumnya deviden bertumbuh sesuai dengan tingkat pertumbuhan perusahaan. Asumsi deviden tumbuh secara konstan ini biasanya diterapkan pada perusahaan yang telah mapan atau memasuki ke tahap kedewasaan pada siklus daur
49
hidup produk. Model ini disebut juga Gordon model sesuai dengan nama penemunya Myron J Gordon (Atmaja, 2008). Menurut Brigham & Houston (2006), nilai intrinsik saham dengan pertumbuhan konstan dapat dihitung dengan rumus sbb: = Ket.: Do D1 g Ks
3)
=
= Nilai intrinsik saham = Deviden terakhir yang dibagikan = Deviden tahun depan yang diharapkan = Tingkat pertumbuhan deviden = Tingkat pengembalian yang diminta
Deviden dengan dua periode pertumbuhan Banyak perusahaan mengalami pertumbuhan penjualan, laba dan deviden yang tidak konstan. Mula-mula pertumbuhannya diatas normal, kemudian berangsur-angsur akan menjadi normal dan selanjutnya akan menuju ke tingkat pertumbuhan yang konstan (Halim, 2005). Menurut Atmaja (2008), langkah-langkah menghitung nilai saham biasa pada pertumbuhan tidak konstan sbb: (a) Membuat estimasi pertumbuhan deviden (b) Menghitung nilai sekarang (present value) deviden selama periode dimana deviden tidak bertumbuh secara konstan (c) Menghitung nilai saham pada akhir periode pertumbuhan tidak konstan (d) Jumlahkan c dan d untuk mendapatkan nilai saham tahun tersebut
50
Menurut Halim (2005) rumus umum untuk menghitung saham pertumbuhan dua tahap adalah sbb: Po =
+
Keterangan: g1 = pertumbuhan deviden diatas normal g2 = pertumbuhan deviden normal i = tingkat pengembalian yang diminta n = periode pertumbuhan deviden diatas normal n+1 = mulai periode pertumbuhan deviden normal 4)
Model dengan tiga periode pertumbuhan Menurut Husnan (2005), model merupakan perluasan dari model dengan pertumbuhan dua tahap, tetapi dengan menggunakan skenario tambahan lagi. Tingkat pertumbuhan (=g) bukanlah g1, g2, g3 dan gk saja, tetapi akan terjadi masa transisi sebelum pertumbuhan pada periode permulaan akhirnya berubah menjadi pertumbuhan yang konstan. Karena itu dalam model ini diasumsikan ada tiga periode yaitu: (1) Periode awal (misalnya selama 5 tahun). Yaitu periode pada waktu pertumbuhan laba (dan deviden) paling tinggi dibanding dengan periode-periode kemudian (2) Periode transisi (misalnya 3 tahun). Periode ini menunjukan berapa pertumbuhan pada periode awal akhirnya turun menjadi normal. Turunnya pertumbuhan selama periode transisi ini diasumsikan secara linier.
51
(3) Periode
pertumbuhan
konstan
selamanya.
Pada
periode
ini
diasumsikan pertumbuhan telah menjadi normal dan akan berlangsung selamanya. b.
Pendekatan Price Earning Ratio (PER) Pada dasarnya PER memberikan indikasi tentang jangka waktu ini menggambarkan kesediaan investor membayar suatu jumlah tertentu untuk setiap rupiah perolehan laba perusahaan, sehingga PER dapat dihitung dengan rumus sbb (Halim, 2005): PER =
atau PER =
EPS = Keterangan: Po = harga saham yang layak dibeli EPS1 = laba per saham tahun mendatang RR = bagian dari laba yang ditahan dalam perusahaan i = tingkat pengembalian yang diminta g = pertumbuhan deviden c.
Pendekatan Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Model CAPM diperkenalkan oleh Treynor, Sharpe dan Litner. Model
CAPM
merupakan
pengembangan
teori
portofolio
yang
dikemukan oleh Markowitz dengan memperkenalkan istilah baru yaitu risiko sistematik (systematic risk) dan risiko spesifik/risiko tidak sistematik (spesific risk /unsystematic risk). Pada tahun 1990, William Sharpe memperoleh nobel ekonomi atas teori pembentukan harga aset keuangan yang kemudian disebut Capital Asset Pricing Model (CAPM)
52
Model yang dikembangkan CAPM menjelaskan bahwa tingkat return yang diharapkan adalah penjumlahan dari return aset bebas risiko dan premium risiko. Premium risiko dihitung dari beta dikalikan dengan premium risiko pasar yang diharapkan. Premium risiko pasar sendiri dihitung dari tingkat return pasar yang diharapkan dikurangi dengan tingkat return aset bebas risiko. Bentuk matematika CAPM Rs = Rf + βs (Rm – Rf)
Rf biasanya didekati dengan tingkat return suku bunga bank sentral, di Indonesia umumnya risk free aset didekati dengan tingkat return suku bunga Bank Indonesia. βs didekati dengan menghitung data time series saham dengan data return pasarnya.
Rm
didapatkan
dengan
meramalkan
return
IHSG.
(Sumber:
www.investopedia.com)
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan deviden asumsi pertumbuhan konstan karena PT Bumi Resources Tbk. telah memasuki tahap kedewasaan dengan pertumbuhan yang relatif stabil.
53