BAB II LANDASAN TEORI A. Keuangan Daerah 1. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Daerah Dalam
rangka
pelaksanaan
otonomi
daerah
dan
desentralisasi fiskal, pemerintah daerah diberi keleluasaan untuk mengelola dan memanfaatkan sumber penerimaan daerah yang dimilikinya sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah. Hal ini berdasarkan pada Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah dengan sistem pemerintahan
desentralisasi
dan
sudah
mulai
efektif
dilaksanakan sejak 1 januari 2001. Misi utama Undang-undang nomor 33 tahun 2004 adalah bukan hanya melimpahkan kewenangan pembangunan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, tetapi yang lebih penting adalah efisiensi dan efektifitas sumber daya keuangan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005, tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dalam ketentuan umumnya menyatakan bahwa keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut. Sementara Mamesah menyatakan bahwa “keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat yang dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu
18
19
baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku.”1 Menurut Halim dari definisi diatas terdapat dua hal yang perlu dijelaskan, yaitu sebagai berikut: 1) Yang dimaksud dengan semua hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, dan lain-lain, dan/atau hak untuk menerima sumber-sumber penerimaan lain seperti dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sesuai peraturan yang ditetapkan. Hak tersebut akan menaikan kekayaan daerah. 2) Yang dimaksud dengan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastuktur, pelayanan umum, dan pengembangan ekonomi. Kewajiban tersebut akan menurunkan kekayaan daerah.2 Kebijakan keuangan daerah senantiasa diarahkan pada tercapainya sasaran pembangunan, terciptanya perekonomian daerah yang mandiri sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan
berdasarkan
demokrasi
ekonomi
yang
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan
peningkatan
kemakmuran
rakyat
yang
merata.
Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 pasal 66 ayat 1, keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisiensi ekonomis, efektif, 1
Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah ( Jakarta : Salemba Empat, 2012), 25 2 Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, 2526
20
transparan, bertanggungjawaban dengan memperhatikan asas keadilan, kepatuhan dan manfaat untuk masyarkat. Ruang lingkup keuangan daerah menurut Abdul Halim meliputi beberapa aspek diantaranya: 1) Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman, 2) kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan membayar tagihan pihak ketiga, 3) penerimaan daerah, 4) pengeluaran daerah, 5) kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah, dan 6) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.3 2. Pengelolaan keuangan daerah Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Proses pengelolaan keuangan daerah dimulai dengan perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Anggaran daerah adalah rencana
pemerintah daerah dalam bentuk uang (rupiah) dalam satu periode tertentu (satu tahun).4 Anggaran daerah menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangkan kapabilitas, efesiensi, dan efektifitas pemerintah daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 3
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia (Jakarta:Rajawali Pers, 2013), 357 4 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah (Yogyakarta:ANDI, 2004), 9
21
merupakan instrument kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah.Pada hakikatnya APBD merupakan instrument kebijakan yang dipakai untuk meningkatkan pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dalam ketentuan umum pada PP Nomor 58 Tahun 2005, Pengelolaan Keuangan Daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan,
pelaksanaan,
penatausahaan,
pelaporan dan pertanggungjawaban, pengawasan daerah. Dalam pengelolaan
anggaran/keuangan
daerah
harus
mengikuti
prinsip-prinsip pokok anggaran sektor publik. Pada Permendagri Nomor 26 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyusunan
menyatakan
bahwa
APBD APBD
Tahun harus
Anggaran disusun
2007 dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pokok anggaran sektor publik, sebagai berikut: (a) Partisipasi Masyarakat, (b) Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran, (c) Disiplin Anggaran, (d) Keadilan Anggaran, (e) Efisiensi dan Efektifias Anggaran dan (f) Taat Asas. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 sudah tentu berpengaruh terhadap pengelolaan keuangan daerah. Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah menurut adalah sebagai berikut : (a) Pertanggungjawaban (Accountability), pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan tugas keuangan kepada lembaga atau orang yang berkepentingan. Unsur tanggungjawab ini adalah meliputi keabsahan dengan
22
berpangkal pada ketentuan hokum dan perundangundangan yang berlaku.Sedangkan pengawasan merupakan tatacara yang efektif untuk menjaga kekayaan uang dan barang, mencegah penghamburan dan penyelewengan, dan memastikan bahwa semua sumber pendapatan dan penggunaannya tepat dan sah. (b) Mampu memenuhi kewajiban keuangan. Keuangan daerah harus dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua ikatan keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. (c) Kejujuran. Urusan keuangan harus diserahkan kepada pegawai yang jujur dan kesempatan untuk berbuat curang dipersempit. (d) Efisiensi dan Efektifitas. Tata cara mengurus keuangan daerah harus menggunakan manajemen pengawasan yang baik, sehingga memungkinkan daerah dengan biaya seefisien mungkin dan memerlukan jangka waktu pelaksanaan seefektif mungkin. (e) Pengendalian. Petugas keuangan daerah, DPRD, dan petugas pengawas harus melakukan pengendalian agar tujuan yang direncanakan bisa tercapai.5 Menurut Halim Berdasarkan peraturan-peraturan manajemen keuangan daerah, pengelolaan keuangan daerah memiliki karakteristik antara lain: (a) Pengertian Daerah adalah propinsi dan kota atau kabupaten. Istilah Pemerintah Daerah Tingkat I dan II, juga kota madya tidak lagi digunakan. (b) Pengertian Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat lainnya.Pemerintah ini adalah badan eksekutif, sedang badan legislatif di daerah adalah DPRD (pasal 14 UU No.22 Tahun 1999). Oleh karena itu, terdapat pemisahan yang nyata antara legislatif dan eksekutif. (c) Perhitungan APBD menjadi satu laporan dengan pertanggung jawaban Kepala Daerah (pasal 5 PP Nomor 108 Tahun 2000). (d) Pinjaman APBD tidak lagi 5
Devas dkk, Keuangan Pemerintah Indonesia.Terjemahan Marsi Maris (Jakarta: UI-Press, 1987), 279-280
23
masuk dalam pos pendapatan (yang menunjukkan hak Pemda) tetapi masuk dalam pos penerimaan (yang belum tentu menjadi hak Pemda) Masyarakat termasuk didalam unsur-unsur penyusunan APBD disamping pemerintah daerah yang terdiri atas Kepala Daerah dan DPRD. (e) Indikator kinerja pemerintah daerah tidak hanya mencakup Perbandingan antara anggaran dan realisasinya, perbandingan antara standar biaya dan realisasinya, target dan persentase fisik proyek, tetapi juga meliputi standar pelayanan yang diharapkan. (f) Laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah pada akhir tahun anggaran yang bentuknya laporan perhitungan APBD dibahas oleh DPRD dan mengandung konsekuensi terhadap masa jabatan Kepala Daerah apabila dua kali ditolak oleh DPRD. (g) Digunakan akuntansi didalam pengelolaan keuangan daerah.6 Pengaturan mengenai pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam Peeaturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 merupakan aturan yang bersifat umum dan lebih menekankan pada hal yang bersifat prinsip, norma, asas, dan landasan umum dalam pengelolaan keuangan daerah. Sementara itu, sistem dan prosedur pengelolaan keuangan secara rinci ditetapkan
oleh
masing-masing
daerah.7
Kebinekaan
dimungkinkan terjadi sepanjang hal tersebut masih sejalan atau tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah. Dengan upaya kreatif, dan mampu mengambil inisiatif dalam perbaikan dan pemutakhiran sistem dan prosedurnya serta meninjau kembali sistem 6
tersebut
secara
terus
menerus,
dengan
tujuan
Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah ( Jakarta : Salemba Empat, 2012), 4 7 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia (Jakarta:Rajawali Pers, 2013), 357
24
memaksimalkan efisiensi dan efektifitas berdasarkan keadaan, kebutuhan dan kemampuan daerah. 3.
Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kinerja merupakan gambaran pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan dalam mencapai tujuan, visi dan misi suatu organisasi8. Kinerja keuangan pemerintah daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja dibidang keuangan daerah yang meliputi
penerimaan dan belanja
daerah dengan
menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran.Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut merupakan rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan pertanggungjawaban kepada kepala daerah berupa perhitungan APBD. Menurut Mohamad Mahsun “Kinerja adalah gambaran mengenai
tingkat
pencapaian
pelaksanaan
suatu
kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang teruang dalam stategic planning suatu organisasi.”9 Sedangkan Sedarmayanti menyatakan bahwa “Kinerja (performance) diartikan sebagai hasil kerja seorang pekerja, sebuah proses manajemen atau suatu organisasi secara
8
Indra Bastian, Sistem Akuntansi Sektor Publik (Jakarta: SalembaEmpat, 2006), 177 9 Mohamad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik (Yogyakarta: BPFE, 2006), 25
25
keseluruhan, dimana hasil kerja tersebut harus dapat diukur dengan dibandingkan standar yang telah ditentukan.”10 Menurut Mardiasmo, “Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan nonfinansial.”11 Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan dengan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah adalah tingkat capaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk kinerja tersebut berupa rasio
keuangan
yang
terbentuk
dari
unsur
laporan
pertangggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD. Pengukuran kinerja yang digunakan secara umum oleh perusahaan yang berorientasi pada pencapaian laba antara lain melalui penetapan rasio keuangan. Rasio yang dimaksud dalam laporan keuangan adalah suatu angka yang menunjukkan hubungan antara suatu unsur dengan unsur lainnya.Suatu rasio tersebut diperbandingkan dengan perusahaan lainnya yang sejenis, sehingga adanya perbandingan ini maka perusahaan tersebut dapat mengevaluasi situasi perusahaan dan kinerjanya.
10
Sedarmayanti, Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Manajeman Perkantoran (Bandung: Mandar Maju, 2003), 64 11 Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah (Yogyakarta:ANDI, 2004),121
26
4. Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja Keuangan Daerah Prestasi pelaksanaan program yang dapat diukur akan mendorong pencapaian prestasi tersebut. Pengukuran prestasi yang dilakukan secara berkelanjutan memberikan umpan balik untuk upaya perbaikan secara terusmenerus dan pencapaian tujuan di masa mendatang. Salah satu alat menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya. Menurut Abdul Halim hasil analisis rasio keuangan ini bertujuan untuk: (a) Menilai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai penyelenggaraan otonomi daerah. (b) Mengukur efektivitas dan efisiensi dalam merealisasikan pendapatan daerah. (c) Mengukur sejauh mana aktivitas pemerintah daerah dalam membelanjakan pendapatan daerahnya. (d) Mengukur kontribusi masing-masing sumber pendapatan dalam pembentukan pendapatan daerah. (e) Melihat pertumbuhan/perkembangan perolehan pendapatan dan pengeluran yang dilakukan selama periode waktu tertentu.12 B. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 1. Pengertian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Meurut pasal 1 UU Nomor 32 tahun 2004 APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, didanai dan atas beban
12
Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah ( Jakarta : Salemba Empat, 2012), 126
27
anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), sementara penyelenggaraan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan pemerintah di daerah, didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBN). Sementara Abdul Halim menyatakan APBD adalah Suatu rencana pekerjaan keuangan (Financial work plan) yang dibuat dalam jangka waktu tertantu dimana badan legislatif memberikan kredit kepada badan-badan eksekutif untuk melakukan pembiayaan sehubungan dengan kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rencana yang menjadi dasar (grondsleg) penetapan anggaran, dan yang menunjukan semaua penghasilan untuk menutup pengeluaran tadi.13 APBD dapat didefinisikan sebagai rencana operasional keuangan pemerintah daerah, di mana pada satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah selama satu tahun anggaran tertentu, dan di pihak lain menggambarkan perkiraan menutupi
dan
sumber-sumber
penerimaan
pengeluaran-pengeluaran
yang
daerah
guna
dimaksud.14
Sedangkan definisi APBD pada orde lama adalah kegiatan badan legislatif (DPRD) memberikan kredit kepada badan eksekutif (kepala daerah) untuk melakukan pembiayaan guna kebutuhan rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjad dasar (grondslag) penetapan anggaran, dan yang
13
Abdul Halim,Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali (Jakarta, 2004), 15 14 Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah, 21
28
menunjukan semua penghasilan untuk menutupi pengeluaran tadi. Dari kedua definisi tersebut, menunjukan bahwa APBD sebagai anggaran daerah memiliki unsur-unsur sebagai berikut: (a) Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara terperinci. (b) Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan adanya biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran yang akan dilaksanakan. (c) Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka. (d) Periode anggaran, yaitu biasanya 1 (satu) tahun.15 2. Fungsi-Fungsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yaitu: a. Fungsi Otoritasi Fungsi Otoritasi bermakna bahwa anggaran daerah menjadi dasar untuk merealisasi pendapatan dan belanja pada tahun bersangkutan.Tanpa dianggarkan dalam APBD sebuah kegiatan tidak memiliki kekuatan untuk dilaksanakan. b. Fungsi Perencanaan Fungsi Perencanaan bermakna bermakna bahwa anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. c. Fungsi Pengawasan Fungsi Pengawasan bermakna Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan 15
Abdul Halim dan Syam Kusufi, Teori, Konsep, dan Aplikasi :Akuntansi Sektor Publik: Dari Anggaran Hingga Laporan Keuangan dari Pemeintah Hingga Temapat Ibadah (Jakarta: Salemba Empat, 2012), 38
29
pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. d. Fungsi Alokasi Fungsi Alokasi mengandung makna bahwa anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran,
dan
pemborosan
sumberdaya,
serta
meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian daerah. e. Fungsi Distribusi Fungsi Distribusi memiliki makna bahwa kebijakan-kebijakan dalam penganggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. f. Fungsi Stabilitasi Fungsi Stabilitasi memliki makna bahwa anggaran daerah menjadi
alat
untuk
memelihara
dan
mengupayakan
keseimbangan fundamental perekonomian daerah. 3. Stuktur APBD Dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah maka akan membawa konsekuensi terhadap berbagai perubahan dalam keuangan daerah, termasuk terhadap struktur APBD berdasarkan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagai berikut : a.
Pendapatan daerah Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas
daerah.Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan dan pembiayaan.Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
30
Pendapatan adalah semua rekening kas umum negara/daerah yang menambah ekuitas dana lancar dari periode tahun anggaran yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah.16 Pendapatan daerah meliputi : Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbang dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. 1) Pendapatan Asli Daerah Pendapatan
Asli
Daerah
(PAD)
adalah
semua
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, retibusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan
dalam
pelaksanaan
otonomi
daerah
sebagai
perwujudan asas desentralisasi.17 Sektor pendapatan daerah memegang peranan yang sangat penting, karena melalui sektor ini dapat dilihat sejauh mana suatu daerah dapat membiayai kegiatan pemerintah dan pembangunan daerah. Menurut pasal 6 ayat (1) UU Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber pendapatan asli daerah (PAD) terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah.
16
Dalam Standar Akuntansi Pemerintah (2005, hal. 107) Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 44 17
31
2) Dana Perimbangan Dana perimbangan terdiri dari: a) Bagian daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan penerimaan sumber daya alam (SDA) b) Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan
tujuan
pemerataan
kemampuan
keuangan
antardaerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan
daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
desentralisasi.18 c) Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBD yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan perioritas nasional.19 3) Lain-lain Pendapatan yang sah Pada peraturan sebelumnya yaitu Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, pendapatan ini dikelompokan dalam jenis pendapatan bantuan dana kontinjensi/penyeimbang dari pemerintah dan dana darurat. 18
Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, 142 19 Ahmad Yani, Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia, 165
32
Sesuai dengan peraturan terbaru Permendagri Nomor 13 Tahun
2006,
pendapatan
ini
dibagi
menurut
jenis
pendapatan yang mencakup: a) Pendapatan hibah b) Pendapatan dana darurat c) Pendapatan lainnya. b. Belanja Daerah Belanja daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 merupakan semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam
APBD
yang
diarahkan
untuk
mendukung
penyelenggaraan pemeritahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Menurut Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002, belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Belanja daerah adalah semua pengeluaran kas daerah atau kewajiban yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.20 Belanja daerah dikelompokkan ke dalam belanja tidak langsung
dan
belanja
langsung.Belanja
tidak
langsung
merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara tidak langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.Sementara
20
Sony Yuwono dkk, Penganggaran Sektor Publik (Surabaya: Bayumedia Publishing, 2005), 108
33
belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. c. Pembiayaan daerah Pembiayaan adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada
tahun-tahun
anggaran
berikutnya.
Selisih
antara
penerimaan pembiayaan dengan pengeluaran pembiayaan dalam periode tahun anggaran dicatat dalam pos pembiayaan neto. Pembiayaan dikatagorikan menjadi dua, yaitu; 1) Penerimaan Pembiayaan: Penggunaan SILPA tahun lalu, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman dalam negeri kepada pemerintah pusat, pinjaman dalam negeri kepada pemerintah daerah lainnya, pinjaman dalam negeri kepada lembaga keuangan bank, pinjaman dalam negeri lainnya,
penerimaan
kembali
pinjaman
kepada
perusahaan negara, perusahaan daerah, dan pemerintah daerah lainnya. 2) Pengeluaran Pembiayaan: pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah pembayaran pokok pinjaman dalam negeri kepada pemerintah daerah lainnya, pemerintah pusat, lembaga keuangan bank, dan lembaga keuangan non bank.21
21
Mahmudi, Analisis Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Edisi Dua (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2010), 76
34
C. Efektifitas 1. Pengertian Efektifitas Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 efektifitas merupakan pencapaian hasil program dengan target yang telah ditentukan, yaitu dengan cara membandingkan pengeluaran dengan hasil. Sementara Mardiasmo mengemukaan bahwa efektifitas merupakan tingkat penca paian hasil program dengan target yang ditetapkan.22 Sedangkan Tannenbaum
dalam
bukunya
yang
Georgopolous dan berjudul
Efektivitas
Organisasi (1985) mengemukakan bahwa Efektivitas ditinjau dari sudut pencapaian tujuan, dimana keberhasilan suatu organisasi harus mempertimbangkan bukan saja sasaran organisasi tetapi juga mekanisme mempertahankan diri dalam mengejar sasaran dengan kata lain, penilaian efektivitas harus berkaitan dengan masalah sasaran maupun tujuan.Secara sederhana efektifitas merupakan perbandingan outcome dengan output. Efektifitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi
dalam
mencapai
tujuannya.23
Apabila
suatu
organisasi berhasil dalam mencapai tujuannya, maka organisasi tersebut dikatakan telah berjalan efektif.Hal ini menunjukan bahwa efektifitas sebagi suatu kegiatan yang tepat sasaran, berdaya guna dan berhasil guna untuk mencapai tujuan dalam implementasi suatau kegiatan tertentu. Efektifitas pada dasarnya berhubungan dengan pencapaian tujuan atau target kegiatan. 22 23
Mardiasmo,Akuntansi Sektor Publik (Yogyakarta:ANDI, 2009), 4 Mardiasmo,Akuntansi Sektor Publik (Yogyakarta:ANDI, 2009),14
35
Efektifitas merupakan hubungan anatara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai.24 Kegiatan operasional ini dikatakan efektif apabila proses kegegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely).25 Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa efektifitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektifitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktifitas-aktifitas yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan tingkat yang telah ditetapkan sebelumnya. Besarnya efektifitas dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:26
Tingkat
efektifitas
dapat
diukur
dengan
membandingkan antara rencana atau target yang telah ditentukan dengan hasil yang dicapai, maka usaha atau hasil pekerjaan tersebut itulah yang dikatakan efektif, namun jika usaha atau hasil pekerjaan yang dilakukan tidak tercapai sesuai dengan apa yang direncanakan, maka hal itu dikatakan tidak efektif. Efektifitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Apabila suatu organisasi tersebut dikatakan telah berjalan dengan efektif. Hal terpenting 24
Ihyaul Ulum, intellectual Capital: Konsep dan Kajian Empiris (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 26 25 Deddi Nordiawan dan Ayuningtyas Hertanti, Akuntansi Sektor Publik (Jakarta:SalembaEmpat, 2010), 161 26 Ihyaul Ulum, Intellectual Capital: Konsep dan Kajian Empiris 32
36
yang
perlu
di
catat
adalah
bahwa
efektivitas
tidak
menyatakantentang berapa besar biaya yang telah di keluarkan untuk mencapai tujuan tersebut.27 Biaya boleh jadi melebihi apa yang telah di anggarkan boleh jadi dua kali lebih besar atau bahkan tiga kali lebih besar. Efektifitas hanya melihat suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah di tetapkan.28 Efektifitas terkait dengan hubungan antara hasil yang di harapkan dengan hasil yang sesunguhnya dicapai. Efektifitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Maka semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan ,maka semakin efektif organisasi,program atau kegiatan. 2. Rasio Efektifitas Keuangan Daerah Rasio efektifitas keuangan daerah otonom selanjutnya disebut
Rasio
efektifitas
menunjukkan
kemampuan
pemerintahan daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah (PAD) yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Adapun rasio efektifitas keuangan daerah dapat diformulasikan sebagai berikut:
Kemampuan
daerah
dalam
menjalankan
tugas
dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal 1 (satu) 100 persen.Namun, semakin tinggi rasio efektifitas menggambarkan kemampuan daerah semakin baik. 27 28
Ihyaul Ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar,28 Mardiasmo,Efisiensi dan Efektifitas (Jakarta:ANDI, 2004), 134
37
Kriteria Rasio Efektifitas Keuangan Daerah menurut Mohamad Mahsun adalah:29 “(a) Jika diperoleh nilai kurang dari 100% ( x < 100%) berarti tidak efektif. (b) Jika diperoleh nilai sama dengan 100% (x = 100%) berarti efektivitas berimbang (c) Jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%) berarti efektif” D. Efisiensi 1. Pengertian Efisiensi Sesuai dengan Permendagri No 13 Tahun 2006 efisiensi adalah hubungan antara masukan (input) dengan keluaran (output), efisiensi merupakan ukuran apakah penggunaan barang dan jasa yang dibeli dan digunakan oleh organisasi perangkat pemerintahan dapat mencapai tujuan organisasi tertentu.
Efisiensi
berhubungan
erat
dengan
konsep
produktivitas. Pengukuran efisiensi dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara output yang dihasilkan terhadap input yang digunakan (cost of output).proses kegiatan operasional dapat dikatakan efisien apabila suatu produk atau hasil kerja tertentu dapat dicapai dengan penggunaan sumber daya dan dana yang serendah-rendahnya.30
Efisiensi diukur dengan ratio antara
output dengan input. Semakin besar output di banding
29
Mohammad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik. (Yogyakarta: BPFE, 2012), 187 30 Ihyaul ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), 26
38
input,maka semakin tinggi tingkat efisiensi suatu organisasi. 31 Dengan demikian efisiensi dapat di rumuskan sebagai berikut:
Berdasarkan
rumusan
tersebut
penilaian
efisiensi
dikatakan sangat efisien apabila hasil perhitungan di bawah 60%. Karena efisiensi di ukur dengan membandingkan keluaran dan masukan,maka perbaikan efisiensi dapat dilakukan dengan cara: (1) Meningkatkan output pada tingkat input yang sama. (2) Meningkatkan output dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi peningkatan input. (3) Menurunkan input pada tingkatan output yang sama. (4) Menurunkan input dalam proporsi yang lebih besar daripada proporsi penurunan output. 32 Dalam pengukuran kinerja pengeloalaan organisasi sektor publik, efisiensi dapat dibedakan atas: “(1) Efisiensi Alokasi, Terkait
dengan
kemampuan
untuk
mendayagunakan
sumberdaya input pada tingkat efektivitas optimal. (2) Efisiensi Teknis
(Manajerial),
Terkait
dengan
kemampuan
mendayagunakan sumberdaya input pada tingkat output tertentu.” 33
31
Mardiasmo,Efisiensi dan Efektifitas (Jakarta: ANDI, 2004), 133 Ihyaul ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), 27 33 Ihyaul ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar, 28 32
39
2. Rasio Efisiensi Keuangan Daerah Rasio
Efisiensi
Keuangan
Daerah
(REKD)
menggambarkan perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan dengan realisasi pendapatan yang diterima. Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah
dalam
melakukan
pemungutan
pendapatan
dikategorikan efisien apabila rasio yang dicapai kurang dari 1 (satu) atau di bawah 100%. Semakin kecil Rasio Efisiensi Keuangan Daerah berarti Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah semakin baik. Untuk itu pemerintah daerah perlu menghitung secara cermat berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk merealisasikan seluruh pendapatan yang diterimanya sehingga dapat diketahui apakah kegiatan pemungutan pendapatannya tersebut efisien atau tidak. Efisiensi pengelolaan keuangan daerah merupakan perbandingan antara realisasi belanja dan realisasi pendapatan yang diterima. Rumus yang digunakan untuk menghitung rasio ini adalah sebagai berikut :
Kriteria Rasio Efisensi Keuangan Daerah Mohamad Mahsun adalah:
menurut
34
a) Jika diperoleh nilai kurang dari 100% ( x < 100%) berarti efisien
34
Mohammad Mahsun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik. (Yogyakarta: BPFE, 2012), 187
40
b) Jika diperoleh nilai sama dengan 100% (x = 100%) berarti efektivitas berimbang. c) Jika diperoleh nilai lebih dari 100% (x > 100%) berarti tidak efisien E. Kemandirian Keuangan Daerah 1. Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Dalam kemandirian
Undang-Undang keuangan
daerah
Nomor
32
tahun
2004,
berarti
pemerintah
dapat
melakukan pembiayaan dan pertanggungjawaban keuangan sendiri, melaksanakan sendiri dalam rangka asas desentralisasi. Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber yang diperlukan daerah.35 Kemandirian keuangan daerah ditenjukan oleh besar kecilnya
pendapatan
asli
daerah
dibandingkan
dengan
pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun pinjaman.36 Bantuan pemerintah pusat dalam konteks otonomi daerah bisa dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah 35
Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah ( Jakarta : Salemba Empat, 2012), 232 36 Ihyaul ulum, Audit Sektor Publik: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), 31
41
daerah dalam menggali dan mengelola sumber daya atau potensi daerah yang dimilikinya secara efektif dan efisien sebagai sumber utama keuangan daerah yang berguna untuk membiayai kegiatan penyelengaraan pemerintah di daerah. 2. Faktor-Faktor
yang
Mempengaruhi
Kemandirian
Keuangan Daerah Tangkilisan
mengemukakan bahwa terdapat faktor-
faktor yang mempengaruhi kemandirian keuangan daerah, antara lain: (1) Potensi ekonomi daerah, indikator yang banyak digunakan sebagai tolak ukur potensi ekonomi daerah adalah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). (2) Kemampuan Dinas Pendapatan Daerah, artinya kemandirian keuangan daerah dapat ditingkatkan secara terencana melalui kemampuan atau kinerja institusi atau lembaga yang inovotif dan pemanfaatan lembaga Dispenda untk meningkatkan penerimaan daerah. 37 3.
Pola Hubungan dan Tingkat Kemandirian Kuangan Daerah Menunjukkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah ditunjukan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan
37
Tangkilisan, Hessel Nogi S, Manajemen Publik (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2007), 89-92
42
pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Berikut Rasio untuk mengukur tingkat kemandirian keuangan daerah.38 (
)
Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menggambarkan Ketergantungan daerah terhadap Pendapatan Transfer (sumber dana ekstern). Transfer dana dari pemerintah pusat ini dilakukan dengan mekanisme dana perimbangan, yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Transfer dari pemerintah pusat atau disebut juga dengan perimbangan keuangan ini merupakan suatu sistem pembiayaan dalam kerangka Negara kesatuan yang mencangkup pembagian keuangan pemerintah pusat dan daerah. Semakin
tinggi
Rasio
Kemandirian
Keuangan
Daerah
mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern semakin rendah dan demikian pula sebaliknya, sehingga kinerja keuangan daerah semakin baik. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama Pendapatan Asli Daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Sebagai pedoman dalam melihat 38
Abdul Halim, Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi Keuangan Daerah ( Jakarta : Salemba Empat, 2012), 128
43
pola hubungan dengan kemampuan daerah (dari sisi keuangan ) dapat dikemukakan tabel sebagai berikut : Tabel 2.1 Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah39 Kemampuan
Kemandirian
Keuangan
(%)
Pola Hubungan
Rendah Sekali
0%-25%
Instruktif
Rendah
25%-50%
Konsultatif
Sedang
50%-75%
Partisipatif
Tinggi
75%-100%
Delegatif
1) Pola hubungan instruktif, di mana peranan pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah). 2) Pola hubungan konsultatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi daerah. 3) Pola hubungan partisipatif, peranan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.
39
Hermi Oppier, “Analisis Pengaruh Pelaksanaan Otonomi Daerah Terhadap Keuangan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara”, Jurnal Benchmark Volume II (November, 2013),82
44
4) Pola hubungan delegatif, yaitu campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. F. Kajian Teori Yang Digunakan Menurut Prespektif Islam 1. Keuangan Daerah Berdasarkan Prinsip Keuangan Publik Islam Menurut ulama Islam klasik, seperti Abu Ubaid yang menulis kitab Al-Amwal, ungkapan yang digunakan olehnya mengenai ekonomi publik adalah: sunuful amwaal allati yahliihaa al-a’immah liirro’iyyah, yang artinya beberapa macam bentu kekayaan yang dikelola oleh pemerintah oleh rakyat.40 Nurul Huda menyimpulkan bahwa terdapat empat konsep dalam definisi di atas, yaitu amwal (harta kekayaan), wilayah (pengelolaan), imamah (pemerintah), dan ro’iyyah (rakyat). Yang dimaksud dengan amwal adalah kekayaan atau hak milik yang
diatur oleh pemerintah untuk kepentingan
rakyat, sedangkan wilayah dapat diartikan sebagai konsep perwalian/pengelolaan kekayaan publik. Sedangkan yang dimaksud dengan imamah dan ro’iyyah adalah pemerintah dan rakyat, dimana syariat mutlak suatu pemerintahan adalah kepercayaan (amanah).Otoritas publik diharuskan memerintah berdasarkan kita Allah, bertanggung jawab dan adil, jika
40
Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam Pendekatan AlKharaj (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 9
45
pemerintah dapat memenuhi persyaratan tersebut, maka wajib bagi rakyat untuk mematuhinya.41 Sementara keuangan publik menurut ulama kontemporer diantaranya oleh As-syayiji, yaitu kumpulan prinsip dan kaidah kekayaan publik yang diambil dari sumber syariat Islam yaitu Al-Quran, sunah dan ijma yang menjelaskan dan mengatur aktivitas ekonomi publik serta temuan para pakar yang berupa aturan dan solusi yang diterjemahkan dari sumber dasar tersebut sesuai waktu dan tempat.42 Keuangan publik berhubungan dengan peran Negara dalam
menganalisa
dampak-dampak
perpajakan
dalam
pembelanjaan Negara terhadap situasi ekonomi individu dan lembaga, juga menyelidiki damapaknya terhadap ekonomi secara keseluruhan.43 Dalam sejarah islam, keuangan publik berkembang bersamaan dengan pengembangan
masyarakat
muslim dan pembentukan Negara islam oleh Rosulullah SAW., kemudian diteruskan oleh para sahabat. Sebelum Negara dibentuk
perintah-perintah
wahyu
menegaskan
perintah
menyantuini orang miskin secara sukarela. Sebagaimana salah satu firman Allah SWT., dalam Q.S Al-Ma’arij ayat 24-25:
41
Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam Pendekatan AlKharaj (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 9-10 42 Nurul Huda dan Ahmad Muti, Keuangan Publik Islam Pendekatan AlKharaj (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 10 43 Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam (Bandung: Nuansa, 2005), 25
46
Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta) (Q.S Al- Ma’arij : 24-25).44 Abu Ubaid berpendapat bahwa andil pemerintah/Negara begitu
besar
dalam
perekonomian,
karena
tugas
pemerintah/Negara adalah menegakan kehidupan sosial dan menumbuhkan administrasi
kepedulian
keuangan
sosial.
Negara
Melalui
secara
efektif,
peraturan sehingga
penyediaan kebutuhan pokok, fasilitas umum, distribusi pendapatan dapat menjamin kemaslahatan umat yang pada akhirnya terselenggara kegiatan ekonomi yang berkeadilan.Abu Ubaid juga berpendapat, bahwa pemerintah harus menjaga keamanan, meningkatkan kesejahtraan, melindungi hak-hak rakyat, mengatur kekayaan publik, dan menjamin terpeliharanya maqashid syariah.45 Menurut M. Umar Chapra, efisiensi da efektifitas merupakan landasan pokok dalam kebijakan pengeluara pemerintah. Dalam ajaran Islam tersebut dipandu oleh kaidahkaidah syariah dan penentuan skala perioritas.46 Umar Chapra menjelaskan bahwa pemerintah Islam wajib meminimalkan pinjaman
dengan
menegakan
displin
dalam
program
pengeluaran dan tidak melampauinya. 44
Tim penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Diponegoro, 2005), 456 45 Nurul Huda dkk, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teori dan Sejarah (Jakarta: Kencana, 2012), 6 46 Nurul Huda dkk, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teori dan Sejarah, 168
47
2. Prinsip Pendapatan Negara Menurut Sistem Ekonomi Islam Dalam Sistem Ekonomi Islam ada beberapa prinsip yang harus ditaati oleh Ulil Amri dalam melaksanakan pemungutan pendapatan Negara, yaitu sebagai berikut: a. Harus Ada Nash yang Memerintahnya Setiap pendapatan dalam Negara Islam harus diperoleh sesuai dengan hokum syara’ dan juga disalurkan sesuai
hukum-hukum
syara’.47
Prinsip
kebijakan
penerimaan Negara yang pertama adalah harus ada Nash (Al-Quran dan Hadis) yang memerintahnya, sebagaimana firman Allah SWT.,
Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta orang itu dengan (jalan berbuat dosa), padahal kamu mengetahui (Q.S Al-Baqarah [2]:188)48 b. Harus ada pemisahan muslim dan non muslim Islam membedakan antara subjek zakat dengan pajak muslim dengan non muslim. Zakat misalnya hanya bersumber dari kaum muslim dan hanya digunakan untuk 47
Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, Edisi terjemahan oleh Ahmad S, dkk (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), 115 48 Tim penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Diponegoro, 2005), 23
48
kepentingan
kaum
muslim.
Sedangkan
kepada
non
muslimdipungut jizyah.Hal tersebut tercantum dalam firman Allah QS. At-Taubah [9]: 29
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk (Q.S At-Taubah: 29).49 c. Hanya golongan kaya yang menanggung beban Prinsip kebijakan pemasukan terpenting ketiga adalah bahwa sistem zakat dan pajak harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan makmur yang mempunyai kelebihan yang memiliki beban utama. Hal ini sesuai firman Allah SWT., :
.... 49
Tim penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Diponegoro, 2005), 27
49
Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan.”demikian Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu supaya kamu berpikir. (QS Al-Baqarah [2]: 219)50 d. Adanya tuntutan kemaslahatan umum Prinsip kebijakan penerimaan Negara keempat adalah adanya tuntutan kemaslahatan umum, yang mesti didahulukan untuk mencegah kemudharatan. Dalam keadaan tertentu (darurat), Ulil Amri wajib mengadakan kebutuhan tersebut, besar kemungkinan akan datang kemudharatan yang lebih besar lagi. Atas dasar tuntutan umum inilah Negara boleh mengadakan suatau jenis pendapatan tambahan. G. Penelitian yang Relevan Tabel 2.2 Penelitian yang Relevan No
Nama Peneliti Judul
.
Hasil Penelitian
Peneliti
1.
Dori saputra, Analisis
50
Hasil
penelitian
tersebut
Program
kemandirian menunjukan
bahwa
Studi
dan
rata-rata
Akuntansi,
efektivitas
rendah sekali karena berapada
Fakultas
keuangan
pada
Ekonomi
daerah Pada kemandirian keuangan daerah
rasio
0%-25%
secara
kemandirian
dan
trend
Tim penerjemah Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departemen Agama R.I., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Semarang: Diponegoro, 2005),
50
Universitas
kabupaten
menandakan
cenderung
Negeri
dan kota di menurun berada pada 95.3%
Padang
propinsi
kurang dari 100%. Kemudian
(2014)
Sumatera
untuk rasio efektifitas sangat
barat.
efektif
karna
berada
kecenderungan
pada
sebesar
109,8% dan trend efektifitas cenderung naik berada diatas 100%. 2.
Vera
Sri Analisis
Dalam
penelitian
ini
analisis
rasio
Endah,
Efisiensi
digunakan
Fakultas
Dan
efektifitas dan rasio efisiensi
Ekonomi
Efektivitas
untuk melihat sejauh mana
Universitas
Serta
pemerintah
Sam
Kemandiria
minahasa
Ratulangi
n
keuangan yang dimiliki dan
(2014)
Pengelolaan
mampu
Keuangan
perekonomiannya.Penghitunga
Daerah
Di n
rasio
kabupaten utara
mengelola
meningkatkan
yang
dilakukan
Kabupaten
menghasilkan angka efisiensi
Minahasa
rata-rata
Utara
selama tahun penelitian (2009 -
2013),
diatas
75
sementara
persen
untuk
efektivitas kinerja mencapai angka rata-rata 90 persen per tahunnya.
51
Stevany
Efektivitas
Hasil
dari
penelitian
ini
Hanalyna
Dan
menunjukkan bahwa tingkat
Dethan,
Efisiensi
efektivitas
Fakultas
Pengelolaan
keuangan
Ekonomi
Keuangan
Nusa Tenggara Barat berada
Universitas
Daerah
pada
pengelolaan daerah
tingkat
Provinsi
pengelolaan
Mahasaraswat Provinsi
keuangan daerah yang cukup
i
efektif dan efektif. Sementara
Mataram Nusa
(2016)
Tenggara
itu,
tingkat
efisiensi
Barat
pengelolaan keuangan daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat berada
pada
tingkat
pengelolaan keuangan daerah yang tidak efisien dan kurang efisien.
H. Hipotesis Penelitian Hipotesis adalah dugaan sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dikatakan sementara karena baru didasari teori bukan fakata. Soeratno dan Lincolin Arsyad mengungkapkan bahwa: Hipotesis berasal dari kata hipo (hypo) dan tesis.Hipo berarti kurang dari dan teas berarti pendapat.Jadi hipoteisi adalah suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih sementara belum bener-benar berstatus sebagai tesis. Sifat sementara dari hipoteisis ini mempunyai arti bahwa hipoteisis dan diubah atau diganti dengan hipotesis lain yang lebih tepat. Hal ini dimungkinkan karena hipotesis yang diperoleh biasanya
52
tergantug pada masalah yang diteliti dan konsep-konsep yang digunakan.51 Hipotesis dari rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: H1 = Diduga kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Serang berdasarkan tingkat efektifitas Keuangan Daerah Kabupaten Serang selama periode 2011-2016 belum efektif , H2 = Diduga kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Serang berdasarkan tingkat efisien Keuangan Daerah Kabupaten Serang selama periode 2011-2016 belum efisien. H3 = Diduga kinerja keuangan pemerintah Kabupaten Serang berdasarkan tingkat kemandirian Keuangan Daerah Kabupaten Serang
selama
periode
2011-2016
belum
mencapai
kemandirian.
51
Soeratno & Lincolin Arsyad, Metodolologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2008), 19