BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Perspektif Perkembangan Perkembangan adalah suatu proses perubahan kapasitas fungsional atau kemampuan kerja organ-organ kearah keadaan yang semakin terorganisir dan terspesialisasi. Maksud dari terorganisir yaitu organ organ tubuh semakin bisa dikendalikan
sesuai
dengan
kehendak.
Sedangkan
terspesialisasi
yaitu
kemampuan organ-organ tubuh semakin dapat berfungsi sesuai dengan fungsinya masing-masing. Perkembangan dapat terjadi dalam bentuk perubahan kuantitatif dan kualitatif, atau perubahan pada kedua-duanya secara serempak. Perubahan kuantitatif merupakan perubahan yag dapat diukur atau dihitung. Sedangkan perubahan kualitatif yaitu perubahan dalam bentuk semakin baik, semakin teratur, semakin lancar dan sebagainya yang ada dasarnya merupakan perubahan yang tidak bisa atau sukar diukur. (Sugianto, 1998:14). Perkembangan individu mencakup berbagai aspek yang ada di dalam dirinya, yang berpengaruh terhadap perkembangan itu meliputi berbagai faktor, baik yang berada di dalam dirinya maupun yang berada di luar dirinya. Berbagai aspek yang berkembang dan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan perlu dipadukan dalam membentuk konsep perkembangan secara menyeluruh. Di dalam membahas konsep perkembangan diperlukan kerangka acuan. Teori-teori perkembangan yang sudah berkembang lebih awal digunakan sebagai acuan dalam studi perkembangan gerak. Secara umum perkembangan dikaji dari perspektif atau sudut pandang biologi dan psikologi. Dalam perspektif biologis, keterbentukan dan perkembangan bagian-bagian dan sistem tubuh dipelajari pada level seluler dan pada lever organismik. Pada level seluler dipelajari perkembangan sel yang membentuk organ-organ tubuh manusia, sedangkan pada level organismik dipelajari organ-organ tubuh manusia. Dalam perspektif psikologis individu dipelajari dalam segi berfikir, emosi dan perasannya (Sugianto, 1998:18).
10
11
Perkembangan individu bersifat
individual dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang secara umum dapat dikelompokkan sebagai faktor eksternal dan internal
individu.
Masing-masing
individu
memiliki
tingkat
kecepatan
pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda sesuai dengan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan individu tersebut. Aspek genetis dan aspek lingkungan baik fisik maupun sosial secara bersama memberikan pengaruh pada pola perkembangan. Perkembangan individu mencakup seluruh aspek kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam perkembangannya seluruh aspek dalam diri individu berkembang secara berkesinambungan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Keserasian antar masing-masing aspek perkembangan memberikan kualitas perkembangan individu yang optimal. Walaupun perkembangan individu bersifat individual tetapi secara umum menunjukkan pola perkembangan-perkembangan yang sama. Perkembangan individu memiliki korelasi yang sangat erat dengan umur namun tidak tergantug dengan umur. Dalam proses perkembangan individu sebagai proses berkelanjutan yang berlangsung seumur hidup terdapat periode-periode perkembangan individu yang menunjukkan karakteristik perkembangan yang sama untuk semua individu secara umum perubahan yang terjadi pada awalnya bersifat peningkatan dan kemudian mengalami penurunan. Karakteristik perkembangan individu secara umum menunjukkan fase-fase yang sama pada periode unsur tertentu. Fase-fase perkembangan berdasarkan umur secara umum dibagi menjadi beberapa fase seperti di bawah ini :
12
Tabel. 01. Periodisasi Perkembangan Berdasarkan Umur (Sugianto et al, 2007:105). Fase perkembangan Fase sebelum lahir Awal Embrio Janin Bayi Neonatal Anak kecil Anak besar Perempuan Anak besar Laki-laki Adolesensi perempuan Adolesensi laki-laki Dewasa muda Dewasa madya Dewasa tua (usia lanjut)
Batasan usia Selama 9 bulan 10 hari Saat pembuahan sampai 2 mingu 2 sampai 8 minggu 8 minggu sampai menjelang lahir bayi Saat lahir sampai 1 atau 2 bulan Saat lahir sampai 4 minggu 1 atau 2 sampai 6 tahun 6 sampai 10 tahun 6 sampai 12 tahun 10 sampai 18 tahun 12 sampai 20 tahun 18/20 sampai 40 tahun 40 sampai 60 tahun Lebih dari 60 tahun
2. Kemampuan Kapasitas Aerobik Kapasitas aerobik adalah banyaknya energi yang tersedia untuk melakukan kerja pada sistem aerob (Doewes, M, 2008; Sugiyanto dan Sudjarwo, 1993). Kapasitas aerobik cenderung diterjemahkan sebagai kemampuan tubuh dalam mengambil, mengedarkan dan menggunakan oksigen untuk membentuk ATP. Kapasitas ini dapat diketahui dengan melakukan uji terhadap kemampuan tubuh dalam kerja secara aerob semaksimal mungkin. O2 max juga dapat didefinisikan sebagai jumlah maksimal oksigen yang dapat dihirup dari udara kemudian diangkut dan digunakan dalam jaringan untuk menghasilkan ATP. Energi yang dibutuhkan pada saat aktifitas atau berolahraga merupakan energi yang dihasilkan melalui sistem aerobik. “Pada saat melakukan pengerahan tenaga maksimum (melakukan aktifitas fisik atau latihan fisik dengan intensitas tinggi yang cukup lama hingga lelah), maka energi yang dikeluarkan per satuan waktu merupakan energi maksimum yang dikenal sebagai keluaran energi maksimal” (Fox, 1988; McArdle, 1986; Bowers, 1992).
13
Berdasarkan hasil penelitian, maka ternyata bahwa pada atlet yang berprestasi pada olahraga dengan daya tahan tinggi, ditemukan 02 Maxnya juga tinggi, yaitu sebesar di atas 50 cc O2/kgBB/ menit atau superior. Kapasitas aerobik maksimal biasanya dinyatakan sebagai "Maksimal Oksigen Uptake", dan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang prestasi kerja atau ketahanan fisik seseorang (Rushall dan Pyke, 1990). 02 Max merupakan faktor yang dominan terhadap kemampuan tubuh seseorang. Kapasitas aerobik pada hakekatnya merupakan gambaran besarnya kemampuan motorik (motoric power) dari proses aerobik seseorang. Dengan demikian, seseorang akan besar kemampuannya untuk memikul beban kerja yang berat dan lebih cepat pulih kesegaran fisiknya sesudah kerja. Penggunaan oksigen maksimal merupakan faktor yang menentukan penampilan daya tahan, yaitu “pengangkutan dan penggunaan oksigen maksimal oleh otot. Pada titik dimana pemakaian oksigen maksimal dicapai, maka konsumsi oksigen tidak meningkat lagi, walaupun beban diperberat. Ini disebut konsumsi oksigen maksimal/penggunaan oksigen maksimal ( 02 Max)” (McArdle, 1986). Penyediaan ATP saat kerja tubuh yang bersifat aerobik, dilakukan melalui suatu metabolisme yang khas. Dilihat dari ketersediaan oksigen (O2) maka jenis metabolisme untuk menunjang aktivitas aerob adalah metabolisme aerob. Berikut ini akan dijelaskan tentang metabolisme aerob dalam tubuh:
a. Metabolisme Aerobik Sistem energi utama yang bekerja dalam tubuh dalam proses resintesis ATP
adalah dengan oksidasi karbohidrat, lemak, dan protein yang disimpan
dalam sel. Disebut sebagai oksidasi karena dalam reaksinya menggunakan oksigen sehingga metabolisme jenis ini disebut sebagai metabolisme aerobik. Tidak seperti dalam metabolisme anaerobik, proses resintesis ATP secara aerobik tidak menghasilkan asam laktat. Sumber utama dalam metabolisme ini adalah oksigen dan tiga bahan makanan utama: karbohidrat, lemak dan protein.
14
“Walaupun protein bisa menjadi sumber tenaga tetapi ini jarang terjadi selama karbohidrat dan lemak masih tersimpan dalam tubuh. Dalam aktivitas fisik dan olahraga dengan intensitas rendah dan sedang, karbohidrat dan lemak merupakan bahan utama dalam penyediaan tenaga” (Klein, S., Coyle, E.F., and Wolfe. R.R., 1994). Bagaimana urutan tubuh dalam menggunakan bahan-bahan makanan tersebut dapat dilihat pada gambar 01.
Gambar 01. Urutan Penggunaan Bahan Makanan Secara Aerobik, dikutip dari Melvin H. William, 1991. Nutrition for Fitness and Sport, Iowa: Wm. C. Brown Publishers. Selain tidak menimbulkan kelelahan karena tidak menghasilkan asam laktat, metabolisme aerobik juga sangat efisien dalam pembentukan ATP. Ini bias dilihat dari besarnya jumlah unit ATP yang dihasilkan selama proses metabolisme aerobik yaitu sejumlah 36 ATP. Sebaliknya jumlah ATP yang dihasilkan dalam proses metabolisme anaerobik hanya sejumlah 2 ATP. Namun untuk mendapatkan ATP sebesar itu, diperlukan beberapa reaksi kimia yang terjadi yaitu glikolisis aerobik serta reaksi yang terjadi di dalam mitokondria berupa siklus krebs (Tricarboxyclic acid) dan sistem transpor elektron (Electron Transport System).
15
1) Glikolisis aerobik Reaksi pertama adalah pemecahan glikogen menjadi CO2 dan H2O disebut glikolisis. “Pada dasarnya, hanya terdapat satu perbedaan antara proses glikolisis anaerobik dengan aerobik, yaitu pada glikolisis aerobik tidak terjadi akumulasi asam laktat” (Coyle, 1984). Dengan kata lain, terdapatnya oksigen menghambat terbentuknya asam laktat, tetapi tidak terjadi proses pembentukan kembali ATP. Dalam glikolisis, hasil akhinya berupa dua molekul asam piruvat, dua ATP dan 4H. Secara singkat dapat dituliskan dalam rumus kimia berikut: Glukosa + 2 ADP + 2PO4 à 2 Asam piruvat + 2 ATP + 2ATP dan 4H Asam piruvat yang terbentuk kemudian dikonversi menjadi molekul asetikoenzim A (asetil KoA). Dalam proses konversi ini, tidak terbentuk ATP, tetapi 4 atom hydrogen yang dilepaskan akan membentuk 6 molekul ATP jika keempat atom hydrogen tersebut dioksidasi, seperti yang akan dibahas dalam siklus asam sitrat atau siklus Krebs.
2) Siklus krebs (Tricarboxyclic acid) Tahap selanjutnya dalam degradasi molekul glukosa dalam mitokondria disebut siklus asam sitrat (juga disebut sebagai siklus asam trikarbosilat atau siklus krebs) (Foss, 1998; Fox dan Bowers, 1993; Armstrong, 1995; Guyton dan Hall, 1999; Ganong, 1999). Siklus ini merupakan suatu urutan reaksi kimia dimana gugus asetil dari asetil-KoA dipecah menjadi karbondioksida dan atom hydrogen. Reaksi ini terjadi di dalam matrik mitokondria.
3) Sistem transpor elektron (Electron Transport System) Kelanjutan dalam pemecahan glikogen adalah hasil akhir berupa H2O yang dibentuk dari H+ dan elektron-elektron yang diambil dari siklus krebs dan oksigen yang dihirup. Reaksi khusus dalam proses pembentukan H2O ini disebut sistem transpor elektron (Electron Transport System) atau respiratory chain. Yang terpenting diketahui adalah apa yang terjadi ketika ion-ion hidrogen dan elektronelektron memasuki ETS melalui FADH2 dan NADH dan ditransporkan ke oksigen melalui elektron pengangkut di dalam beberapa reaksi ezimatik yang
16
berurutan, dan produk akhirnya adalah air. Lebih singkat di tuliskan sebagai berikut: 4H+ + 4e- + O2 à 2H2O dimana, 4 ion hidrogen (4H+) ditambah 4 elektron (4e-) ditambah 1 mol oksigen (O2) menghasilkan 2 mol air (2H2O). Setelah itu, reaksi berlanjut ke fosorilasi oksidatif (oxidatife phosphorylation).
b. Daya Tahan Cardiovascular Daya tahan (endurance) dalam dunia olahraga dikenal sebagai suatu kemampuan organisme melawan kelelahan dalam penampilan yang berlangsung lama. Namun demikian arti penampilan yang berlangsung lama, tidak sederhanan salah satu contohnya pada atlet lari 100 meter, memerlukan daya tahan tertentu (Furqon, 1995:74). “Daya tahan adalah kemampuan melakukan kerja yang ditentukan intensitasnya dalam waktu tertentu, tanpa mengalami kelelahan dan kadang-kadang disebut juga dengan stamina”. “Daya tahan (endurance) adalah kemampuan organ atlet untuk melawan kelelahan yang timbul selama menjalan aktivitas olahraga dalam jangka waktu yang lama” (Suharno,1993:42). Daya tahan (endurance) menurut Nurhasan (2005:19) “secara garis besar dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu :1). daya tahan cardiovascular atau daya tahan jantung dan paru-paru yang diartikan sebagai kesanggupan jantung (sistem predaran darah) dan paru-paru (sistem pernapasan) untuk berfungsi secara optimal saat melakukan aktivitas sehari-hari, dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami kelelahan yang berarti. Daya tahan ini sangat penting untuk menunjang kerja otot, yakni dengan mengambil oksigen (O2) melalui pernapasan dan mengirimnya ke otot-otot yang sedang aktif atau berkontraksi melalui predaran darah dan 2). daya tahan otot merupakan kapasitas otot untuk melakukan kontraksi secara terus menerus pada tingkat intensitas submaksimal. Daya tahan otot ini diperlukan untuk mempertahankan kegiatan yang berlangsung lama, sehingga dalam hal ini melibatkan sistem cardiovascular”. Istilah ketahanan atau daya tahan menurut Sukadiyanto (2005:57) adalah “kemampuan peralatan organ tubuh olahragawan untuk melawan kelelahan selama berlangsungnya aktivitas kerja”. Ketahanan atau daya tahan selalu berkaitan dengan lamanya kerja (durasi) dan intensitas kerja, semakin lama durasi
17
latihan maka semakin tinggi intensitas kerja yang dapat dilakukan maka ia memiliki ketahanan atau daya tahan yang baik. Menurut Sharkey (2003:74) ”kebugaran atau daya tahan cardiovascular adalah kemampuan jantung dan paru-paru atau kesanggupan jantung (sistem predaran darah) dan paru-paru (sistem pernapasan) untuk berfungsi secara maksimal, untuk menghirup, menyalurkan dan menggunakan oksigen (O2) secara maksimal (VO2max)”. Daya tahan cardiovascular dapat diartikan sebagai kesanggupan jantung (sistem peredaran darah) dan paru-paru (sistem pernapasan) untuk berfungsi secara optimal saat melakukan aktivitas sehari-hari dalam waktu yang cukup lama tanpa mengalami kelelahan yang berarti. Aktivitas fisik memerlukan bantuan oksigen (O2) dalam melakukan pembentukan energi, oleh karena itu daya tahan cardiovascular erat kaitannya dengan kapasitas maksimal untuk menghirup, menyalurkan dan menggunakan oksigen yang disebut maksimal pemasukan oksigen oksigen (VO2max). Dalam penelitian ini akan diukur kemapuan cardiovascular dengan tes harvard step up yang identik dengan daya tahan sistem pernafasan, dan kapasitas ambilan oksigen (O2) ke paru-paru atau biasa disebut Vo2 Max pada anak-anak tingkatan usia 6 sampai dengan 12 tahun yang dilahirkan dan tinggal di dataran tinggi maupun di dataran rendah. 1) Sistem Pernapasan (Respirasi) Prestasi olahraga tidak bisa terlepas dari faktor-faktor seperti : 1). kualitas fisik, 2). teknik dan 3).strategi. Salah satu aspek fisik yang diperlukan adalah aspek fisiologis diantaranya adalah sistem pernapasan (respiratory). Meurut Gayton (1983: 24) mengatkan bahwa ”seluruh aktivitas sistem pernapasan (respiratory) diperlukan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, meningkatkan ventilasi paru-paru untuk memenuhi kebutuhan oksigen (O2) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2)”. Menurut (Syaifuddin, 1997:87) Pernapasan atau respirasi adalah ”peristiwa penghirupan udara dari luar yang mengadung oksigen (O2) ke dalam
18
tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi ke luar dari tubuh”. Sedangkan menurut Jusunul Hairy (1989:118), ”bernapas atau respirasi merupakan pertukaran gas yang terjadi antara organisme dengan lingkungan sekitarnya. Proses respirasi dapat dibagi menjadi 3 bagian yakni : pernapasan luar (external respiration), pernapasan dalam (internal respiration) dan pernapasan seluler (seluler respiration). Pernapasaan luar artinya oksigen (O2) dari udara luar masuk ke alveoli kemudian masuk ke darah. Pernapasan dalam artinya oksigen (O2) dari darah masuk ke jaringan-jaringan dan pernapasan seluler adalah oksidasi biologis dimana oksigen (O2) digunakan oleh sel-sel tubuh untuk menghasilkan energi, air dan karbon dioksida (CO2). Pendapat (Setijono Hari, 2001:26) mengatakan ”pada saat bernapas maka terjadi peristiwa penghirupan oksigen (O2) (inspirasi) dan mengeluarkan karbondioksida (CO2) disebut (ekspirasi), yang sangat berperan penting dalam proses ini adalah paru-paru”. Dalam paru-paru terjadi pertukan zat antara oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2), oksigen (O2) ditarik dari udara dan masuk kedalam darah dan kemudian karbondioksida (CO2) dikeluarkan dari dalam darah secara osmosis. Sedangkan menurut Guyton (1983), proses pernapasan berlansung menjadi empat golongan utama antara lain : 1. Ventilasi paru-paru, yang berarti pemasukan dan pengeluaran udara diantara atmosfir dan alveolus, 2. Difusi oksigen dan karbondioksida diantara alveolus dan darah, 3. Transfer oksigen dan karbondioksida di dalam darah dan cairan tubuh dari dan ke dalam sel 4. Pengaturan respirasi dan segi-segi respirasi yang lain. Pada perinsipnya bernapas atau respirasi adalah terjadinya pertukaran gas dan pengeluaran uap air melaui ekspirasi. Bernapas menggambarkan suatu proses, yang terdiri dari: mengambil atau menghirup oksigen (O2) kemudian masuk kedalam paru-paru dan dikeluarkan dalam bentuk karbondioksida (CO2).
19
c. VO2 Max “Maximal oxygen uptake” umunya sering disingkat sebabagai VO2 max, dimana V pada oksigen dan max menyatakan kondisi maksimal. VO2 max adalah volume oksigen (O2) maksimal yang digunakan oleh tubuh permenit (Fox 1984). Kemampuan transpor oksigen (O2) secara maksimal dikenal sebagai VO2 max. Pate (1993:255) mendifinisikan “VO2 max sebagai tempo tercepat dimana seseorang dapat menggunakan oksigen (O2) selama berolahraga, VO2 max mengacu pada kecepatan pemakian oksigen (O2), bukan sekedar banyaknya oksigen (O2) yang dipakai”. Sedangkan menurut (Kathleen Liwijaya Kuntaraf, 1992:34) “VO2 max berarti voluma oksigen (O2) yang dapat digunakan oleh tubuh saat bekerja sekeras mungkin”. Dari difinisi yang telah disebutkan dapat disimpulkan bahwa VO2 max adalah jumlah oksigen (O2) maksimum yang dapat dipergunakan persatuan waktu. Menurut pendapat (Fox 1998) ”VO2 max meningkat disebabkan karena peningkatan aktivitas otot rangka pada saat latihan dan berdampak pada meningkatnya sebagian konsumsi oksigen (O2), maka otot besar harus dipergunakan apabila konsumsi oksigen (O2) maksimal ingin dicapai. Hal ini juga akan berpengaruh pada peningkatan kemapuan sistem sirkulasi darah dari bagian tidak aktif kebagian yang aktif dan kemampuan jaringan untuk menyerap darah. Dan ini juga berakibat terjadinya perbedaan kandungan oksigen (O2) antara darah di vena dan di arteri, sebagian besar darah yang mengandung oksigen (O2) akan mengalir ke otot yang yang sedang bekerja”. Adapun faktor-faktor yang menentukan, konsumsi oksigen (O2) maksimal (VO2 max) adalah : (1) Jantung, paru-paru dan pembuluh darah harus berfungsi dengan baik, (2) Proses penyampaian oksigen (O2) ke jaringan oleh sel darah merah harus normal, (3) Jaringan otot harus memiliki kapasitas yang normal untuk mempergunakan oksigen (O2) atau memiliki metabolisme yang normal, fungsi mitokondria harus normal (Fox 1998).
d. Faktor yang Mempengaruhi VO2 Max VO2 max yang baik merupakan indikasi kebugaran fisik seseorang itu baik. Unsur yang paling penting dalam kebugaran jasmani adalah daya tahan
20
cardiorespirasi atau cardiovascular. Daya tahan cardiorespirasi ini dipengaruhi oleh berapa faktor fisiologis antara lain : 1) Keturunan, diketahui bahwa 93,4% VO2 max diitentukan oleh faktor genetik. 2) Usia, daya tahan cardiorespirasi meningkat pada usia anak-anak dan kemudian mencapai puncaknya pada usia 18-20 tahun. Anak-anak yang masih tumbuh dan berkembang ( 13 tahun)
bila berlatih akan
meningkatkan VO2 max 10-20% lebih besar dari yang tidak terlatih (Faisal Yunus, 1997). 3) Jenis kelamin selama akil baliq tidak ada perbedaan antara VO2 max antara anak laki-laki dan perempuan. Setelah usia ini VO2 max perempuan hanya kira-kira 70-75% laki-laki. 4) Aktivitas fisik, laju pemakian oksigen (O2) meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas kerja tergantung sampai tingkat maksimal. Pemakian oksigen (O2) maksimal atau kerja, aerobik maksimal sangat bervariasi bagi masing-masing individu dan meningkat dengan pelatihan yang sesuai (Pate, 1993).
Selain itu, menurut Lamb (1984)
beberapa faktor yang menentukan
konsumsi oksigen (O2) maksimal adalah : 1). Usia. Usia sangat berpengaruh terhadap cardiac out-put dari jantung, sehingga berpengaruh terhadap pengambilan oksigen (O2) dari alam bebas, antara usia yang muda dan usia yang tua tidak menunjukkan perbedaan yang tajam. Lamb (1984) menyatakan”pada usia 10-15 tahun dapat mencapai persentase peningkatan VO2max yang sama dengan dewasa, tetapi kurang dari usia tersebut cendrung lebih kecil persentase peningkatanya”. 2). Jenis kelamin. Nilai VO2max dari laki-laki lebih besar dari perempuan, ini disebabkan karena perubahan komposisi tubuh dan kandungan kadar hemoglobin (Hb) pada laki-laki dan perempuan. Perempuan dewasa tidak terlatih memiliki lemak tubuh
21
26%, sedangkan laki-laki dewasa yang tidak terlatih memiliki lemak tubuh 15%, perbedaan ini mengakibatkan transpor oksigen (O2) pada laki-laki lebih besar dari pada perempuan. Perbedaan VO2max dari laki-laki dan perempuan adalah sebesar 15%-30%. 3). Kebiasaan Merokok. Rokok sangat berpengaruh terhadap daya tahan cardiovaculer dan VO2 max. Karena dalam asap rokok saja mengandung 4% karbon monoksida (CO). Sedangkan afinitas karbon monoksida (CO) pada hemoglobin (Hb) sebesar 200300 lebih kuat dari pada oksigen O2. Ini berarti karbon monoksida (CO) lebih cepat mengikat hemoglobin (Hb) dibandingkan oksigen (O2). Tubuh saat beraktivitas sangat memerlukan oksigen (O2), jadi karbon monoksida (CO) akan menghambat pengangkutan oksigen (O2) kejaringan tubuh. Bila orang merokok sehari 10-12 maka hemoglobinya (Hb) mengandung 4,9% karbon monoksida (CO), sedangkan kadar oksigen (O2) ke jaringan akan menurun sekitar 5%. 4). Genetika. Faktor genetika ini adalah sifat bawaan dari kedua orang tuannya. Pengaruh keturunan ini kadang dilihat dari banyaknya serabut otot, yang berpengaruh terhadap daya tahan dan ketahanan otot. Seseorang yang memiliki serabut otot merah yang banyak akan lebih baik pada cabang olahraga yang sifatnya aerobik, sedangkan seseorang yang memiliki serabut otot putih yang banyak akan lebih baik pada cabang olahraga yang sifatnya anerobik. Jadi besarnya VO2max pada seseorang bisa diketahui dari faktor bawaaan baik itu dilihat dari banyaknya serabut otot dan tife serabut otot.
3. Kemampuan Kapasitas Anaerobik Kapasitas anaerobik adalah banyaknya energi yang diperoleh melalui metabolisme secara anaerobik dengan sistem fosfagen (ATP-PC) dan system glikolisis anaerobik (lactacid) (Doewes, 2008). Sedangkan Bouchard, C., Taylor, A.W., & Dulac, S., (1982) ) dalam Mc Dougal, dkk. (1982) mengartikan bahwa kapasitas anaerobik adalah jumlah keseluruhan energi yang perlukan untuk melakukan suatu kerja yang diperoleh dari sistem energi alactacid dan lactacid.
22
Dengan demikian, beberapa pengertian tersebut di atas ssesuai dengan pendapat yang dikemukakan sebelumnya oleh Katch & Weltman, (1979) dalam Mc Dougal, dkk. (1982) yaitu kapasitas anaerobik adalah gabungan dari kapasitas system energy alactacid dan kapasitas sistem energi lactacid. Dalam upaya tubuh menyediakan ATP melalui proses metabolisme anaerobik, berikut ini akan dijelaskan tentang proses metabolisme anaerobik dalam tubuh dan faktor-faktor yang mempengaruhi kapasitas metabolismenya:
a. Metabolisme Anaerobik Arti dari metabolisme anaerobik adalah metabolime yang terjadi tanpa oksigen. Sumber tenaga yang diperoleh melalui metabolisme anaerobik merupakan konsekuensi dari aktivitas tubuh pada intensitas tinggi yang membutuhkan pasokan energi segera. Walaupun tersedia oksigen dalam darah dan di udara, tetapi metabolisme secara aerobik terlalu lama waktunya sehingga tubuh menggunakan jalur anaerobik sebagai cara meresintesis ATP. Ini dilakukan karena dalam proses metabolisme anaerobik ATP dapat dihasil lebih cepat dibandingkan dengan proses aerobik. Dalam metabolisme anarobik juga terdapat dua sistem energi yang berkerja, yaitu sistem ATP-PC (Alactic) dan Sistem glikolisis anaerobik (lactasid).
1) Sistem ATP-PC (Creatine Phosphate Splitting) Sistem ATP-PC berguna untuk kontraksi otot dengan durasi waktu antara 3 sampai 8 detik (Fox dan Bowers, 1993, Foss, 1998). Ketika ATP pecah menjadi Adenosine diphosphate dan phosphate inorganic (Pi), dihasilkan energi yang dapat digunakan untuk kontraksi otot skelet selama exercise. Tiap molekul ATP yang terurai diestimasikan sebanyak 7 – 12 kalori. Disamping ATP, otot skelet juga mempunyai energi phosphate yang tinggi yaitu creatine phosphate (CP), yang dapat dipakai untuk menghasilkan ATP. ATP dan CP yang dapat digunakan segera, sangat sedikit tersedia di dalam tubuh. Kreatin fosfat (CP) merupakan ikatan fosfagen yang mengandung energi yang sangat besar sebagaimana ATP. Dalam otot, kreatin fosfat terdapat tiga sampai lima kali lipat lebih besar
23
dibandingkan ATP (Green, 1982). Salah satu fungsinya adalah melakukan resintesis ATP yang telah terpakai untuk kontraksi otot dalam intensitas yang tinggi.
2) Sistem glikolisis anaerobik (lactacid) Sistem asam laktat adalah sistim anaerobik dimana ATP dihasilkan pada otot skelet melalui glikolisis. Sistim asam laktat penting untuk olahraga intensitas tinggi yang lamanya 20 detik – 2 menit seperti sprint 200 – 800 m, renang gaya bebas 100 m. Glukosa dari glikogen otot dipecah menjadi ATP dengan hasil sampingnya berupa asam laktat. Cara pengadaan energy anaerobik tersebut di atas untuk membentuk ATP adalah melalui glikolisis anaerobik, dalam sistem ini terjadinya proses pemecahan glikogen didalam sel tanpa memerlukan oksigen. Karena insufisiensi oksigen maka asam piruvat tidak dapat menjadi asetil Co A melainkan menjadi asam laktat. Sistem ini penting untuk exercise anaerobik dengan intensitas tinggi yang berguna untuk melakukan kontraksi otot. Setelah 1,5 – 2 menit melakukan exercise anaerobik, penumpukan laktat yang terjadi akan menghambat glikolisis, sehingga timbul kelelahan otot (Tesch, dkk. 1978, dalam Pate, dkk. 1984). Melalui sistem ini dari 1 mol (180 gram) glikogen otot dihasil 3 molekul ATP (Fox dan Bowers, 1993; Foss, 1998, Guytan dan Hall, 1999; Ganong, 1999).
b. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kapasitas Anaerobik Didalam kerja tubuh dalam menyediakan energi secara anaerobik, dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain; 1) Keterbatasan tubuh dalam menghasilkan ATP secara cepat. 2) Jumlah awal glikogen yang tersimpan di otot 3) Kemampuan tubuh dalam bertoleransi terhadap akumulasi asam laktat: 25- 26 mM.l-1 dalan darah arteri, dan 20-30 mM.l-1 di otot. 4) Kemampuan tubuh untuk betoleransi terhadap kadar pH yang rendah: 6.8 dalam darah arteri, dan 6.4 di dalam otot.
24
5) Tingkat keterlatihan dari seseorang, dimana semakin terlatih seseorang akan memiliki tolransi terhadap akumulasi asamlaktat dan pH yang lebih baik dari pada orang yang tak terlatih. 6) Distribusi jenis otot rangka, serta enzyme-enzim yang bekerja pada masingmasing jenis serabut otot rangka baik ST maupun FT. 7) Efisiensi dari sistem kardiorespirasi dalam mengedarkan dan menggunakan oksigen (Astrand & Rodahl, 1986). Walaupun demikian, ketika seseorang melakukan aktivitas fisik atau olahraga tidak harus hanya bekerja hanya metabolisme anaerobik saja atau aerobik saja, melainkan yang terjadi adalah kombinasi antara keduanya. Yang membedakan pada tiap cabang olahraga adalah perbandingan persentase sistem energi yang bekerja sebagaimana dalam tabel 1 dan 2. Sistem sistem energi yang bekerja dengan persentase lebih besar disebut sistem energi utama (MacArdle, 1986; Coyle, E.F., 1990). Perbedaan energi predominan dalam setiap cabang olahraga ini bergantung pada karakteristik waktu gerak, serta intensitas yang harus dilakukan dalam cabang olahraga tersebut.
Tabel 02. Perkiraan Durasi Waktu dan Klasifikasi Sistem Energi yang Bekerja Menurut Fox dan Bower, 1993. Durasi (detik)
Klasifikasi
Energy Supplied By
1-4
Anaerobik
ATP (dalam otot)
4 – 20
Anaerobik
ATP + PC
20 – 45
Anaerobik
ATP + PC + Glikogen Otot
45 – 120
Anaerobik, Lactic
Glikogen Otot
120 – 240
Aerobik + Anaerobik
Glikogen Otot + asam Laktat
240- 600
Aerobik
Glikogen Otot + asam lemak
c.
Loncat Jauh Tanpa Awalan Perkembangan kemampuan gerak pada anak-anak bisa diketahui, misalnya
dengan menggunakan pengetesan atau pengukuran kemampuan berlari, meloncat
25
atau melempar. Kemampuan meloncat bisa digunakan sebagai prediktor kekuatan tubuh dan bisa merupakan tes dalam hal koordinasi gerak. Perkembangan kemampuan meloncat berkaitan erat dengan peningkatan kekuatan dan koordinasi tubuh. Koordinasi tubuh berkembang dengan baik akan menghasilkan kemampuan meloncat yang baik pula (Sugiyanto, 2000:428). Selain itu perkembangan kemapuan meloncat yang baik, akan terlihat pada anak yang memiliki power otot tungkai yang baik pula. Pada anak-anak terutama masa anak besar
terjadi
perkembangan
kemampuan
meloncat
yang
cukup
cepat.
Perkembangan berbentuk peningkatan daya loncat (makin jauh dan makin tinggi) dan berbentuk peningkatan kualitas bentuk gerakan. Bentuk gerakan semakin baik atau semakin efisien ditinjau secara mekanika. Salah satu loncatan yang baik perkembanganya pada anak-anak adalah loncat jauh tanpa awalan. Adapun tahap perkembangan kemampuan loncat jauh tanpa awalan, menurut Gallahue dan Ozmun (1998:238-239) adalah sebagai berikut : ”Loncat jauh tanpa awalan merupakan sebuah gerakan ledakan ke depan (horisontal) yang memerlukan performa yang terkoordinir dari semua anggota badan. Ini merupakan sebuah pola gerakan yang rumit apa bila dilakukan dengan satu kaki. Sebagai gantinya pada saat tinggal landas dan mendarat harus dilakukan dengan kedua kaki. Urutan perkembangan loncat jauh tanpa awalan dapat diketahui dari tabel dan gambar berikut ini”. Tabel 03. Urutan Perkembangan untuk loncat Jauh Tanpa Awalan (Gallahue dan Ozmun 1998 : 238) Loncat Jauh Tanpa Awalan Tahap Awal 1. Ayunan lengan terbatas. 2. Pada saat terbang, lengan bergerak kesamping dan ke bawah atau kebelakang-keatas untuk mempertahankan keseimbangan 3. Tubuh bergerak dengan arah vertikal, sedikit penekanan pada panjang loncatan. 4. Kesulitan dalam menggunakan kedua kaki 5. Berat badan jatuh kebelakang saat mendarat Tahap Dasar
26
1. Lengan mengawali loncatan 2. Lengan tetap kearah bagian depan tubuh. 3. Lengan bergerak keluar menyamping untuk memelihara keseimbangan saat terbang 4. Penjuluran lutut dan pinggul lebih sempurna saat tinggal landas 5. Pinggul dilenturkan saat terbang, paha dibiarkan pada posisi lentur Tahap Dewasa 1. Lengan bergerak tinggi dan kebelakang selama persiapan 2. Saat tinggal landas, ayunan lengan kedepan dengan gaya dan mencapai ketinggian 3. Lengan ditahan tetap tinggi selama gerkan meloncat 4. Batang tubuh mendorong pada sudut kira-kira 45 derajat 5. Penekanan utama terhadap jarak horizontal 6. Penjuluran pergelangan kaki, lutut dan pinggul saat tinggal landas 7. Paha sejajar dengan tanah saat terbang, kaki menggantung secara vertikal 8. Berat badan kedepan pada saat mendarat
Gambar 02. Urutan Tahapan Perkembangan Loncat Horisontal.(Gallahue dan Ozmun 1998 : 239).
27
Sedangkan menurut Haywood Kathleen M. (1986:113-115), Loncatan horisontal memberikan uraian tentang loncatan bagi pemula dan loncatan tingkat tinggi adalah sebagai berikut :
Gambar 03. Tahapan Loncatan Horisontal bagi Pemula (Haywood Kathleen M. 1986:113). Loncatan pemula dapat digambarkan sebagai berikut : gerakan kaki pada saat tinggal landas, kaki meninggalkan tanah secara bersama-sama tetapi kaki dan pangkal paha masih kendur. Lutut dan kaki mengendor bersama saat terbang dan lutut selanjut menjulur sebelum mendarat Gerakan tubuh berada pada saat tinggal landas, tubuh dimiringkan 30o. Tubuh terlalu menjulur saat terbang, kemudian mengendor untuk pendaratan. Gerakan lengan sedikit ditahan.
Gambar 04. Sebuah Loncat jauh tingkat tinggi (Haywood Kathleen M. 1986:115)
Loncatan tingkat tinggi dapat digambarkan sebagai berikut: kaki meninggalkan tanah bersama-sama dan menyentuh tanah besama-sama. Kaki terjulur sempurna saat tinggal landas, lutut selanjutnya kendor saat terbang yang
28
diikuti dengan pengendoran pangkal paha dan yang terakhir penjuluran lutut untuk menjangkau ke depan untuk pendaratan. Tubuh miring lebih dari 30o saat tinggal landas dan kemiringan ini dipertahankan saat terbang hingga tubuh mengendor untuk pendaratan. Lengan memimpin loncatan dan menggapai di atas kepala saat tinggal landas. Lengan selanjutnya turun untuk menggapai kedepan untuk pendaratan. Peloncat yang efisien, sesudah tahapan persiapan, akan mengarahkan gaya ke arah yang tepat untuk loncat horizontal dengan menjulur sempurna saat tinggal landas. Lengan mereka digunakan secara luas dan mengawali rangkaian gerakan dalam loncatan. Dengan berlatih, perbaikan dalam pola loncatan dapat dicapai pada masa kanak-kanak. Pertumbuhan yang terus menerus pada ukuran dan kekuatan tubuh juga turut mempengaruhi perbaikan kuantitatif dalam jarak maksimal yang diloncati. Pada masa sekolah dasar, rata-rata peningkatan anakanak sebesar 3 sampai 5 inci per tahun pada jarak yang diloncati secara horizontal dan sekitar 2 inchi per tahun pada loncat tinggi vertikal. Perbaikan kualitatif dalam loncatan selama masa kanak-kanak bervariasi pada anak-anak. Jelas bahwa semua orang tidak menguasai loncatan saat masa kanak-kakan atau pada masa remaja. Ciri-ciri loncatan yang tidak efisien menggambarkan ayunan lengan yang terbatas dan juluran kaki yang tak sempurna saat tinggal landas. Untuk memperbaiki gerakan loncat diharapkan agar anak-anak dan remaja menerima bimbingan dari instruktur mereka dalam menyempurnakan pola Loncatan tingkat tinggi, maka para instruktur harus mampu mengamati dan menganalisa performa loncatan secara kritis. Seperti halnya dengan keterampilanketerampilan yang dibahas sebelumnya penting sekali untuk melatih proses pengamatan ini. Kebanyakan aspek loncatan mudah diamati dari samping yaitu: ayunan lengan, juluran kaki saat tinggal landas, sudut tubuh, gerakan kaki saat terbang, dan gerakan kaki saat mendarat. Gerakan lengan kesamping paling baik jika dilihat dari depan atau belakang. Loncatan pada masa anak-anak dapat dinilai dengan beberapa cara: 1). norma-norma usia dimana jenis-jenis loncatan tertentu dapat dilakukan dan dapat dinilai berdasarkan usia anak, 2). jarak atau ketinggian sebuah loncatan (hasil),
29
atau kematangan pola loncatan (proses). Sehingga dengan nilai yang diperoleh, nantinya dapat digunakan sebagai gambaran, untuk mengetahui kecepatan perkembangan kemampuan loncat jauh. Adapun cara untuk mengetahui perkembangan kemampuan loncat jauh adalah dengan menggunakan istrumen atau alat ukur berupa : tes loncat jauh tanpa awalan (Kirkendall, Gruber dan Jhonson 1986: 153). Dengan mengetahui perkembangan kemapuan loncat jauh tanpa awalan, perkembangan power pada anak-anak usia 6 sampai dengan 12 tahun juga bisa diamati. Selanjutnya untuk mengetahui, kemampuan loncat jauh tanpa awalan antara anak laki-laki dan perempuan, dapat dilihat dari tabel kemampuan loncat jauh tanpa awalan berikut ini : Tabel 04. Kemapuan Loncat Jauh Tanpa Awalan Anak Laki-Laki dan Perempuan Usia 9-17 Tahun (Kirkendall DR, Gruber J.J, Jhonson R.R 1986: 159).
d. Komponen Otot Tungkai Pelatihan terhadap power otot tungkai akan berpengaruh terhadap perkembangan otot tungkai. Otot tungkai adalah merupakan bagian dari otot anggota gerak bawah. Otot anggota gerak bawah dapat dibedakan atas otot
30
pangkal paha, otot tungkai atas, otot tungkai bawah, dan otot kaki. Menurut Satimin Hadiwijaya (1992:80 ) bahwa, “ Tungkai pada manusia terdiri dari dua yaitu tungkai bawah dan tungkai atas. Tungkai bawah (ekstrimitas inperior) digunakan sebagai penahan dan digunakan untuk segala aktivitas. Tungkai dibentuk oleh tungkai atas atau paha (os femoris/femur). Tulang tungkai bawah yang terdiri dari tulang kering (os tibia) dan tulang betis (os fibula) dan tulang kaki (ossa pedis/foot bones)”. Secara rinci, otot - otot yang terdapat pada tungkai manusia, adalah sebagai berikut : 1). Otot-otot tungkai atas (otot paha) (a) Otot tensor fasialata, (b) Otot abductor dari paha, (c) Otot vastus laterae, (d) Otot rektus femoris, (e) Otot satrorius, (f) Otot vastus medialis, (g) Otot abductor, (h) Otot gluteus maxsimus, (i) Otot paha leteral dan medial. 2). Otot tungkai bawah (a) Otot tibialis anterior, (b) Otot ektensor digitorum longus, (c) Otot gastroknemius, (d) Otot tendon aciles, (e) Otot soleus, (f) Otot maleolus medialis, (g) Otot retinakula bawah. Power otot tungkai sangat diperlukan pada saat meLoncat dan meloncat. Otot tungkai yang berfungsi dalam melontarkan tubuh ke arah horisontal, yaitu : Fleksi : m. semimmbranosus, m biseps femoris, m. semitendineosus, m. grasilis , m. sartorius, m. popliteus, m. gastroknemius. Extensi: m. rektus femoris, m. vestus medialis, m. vastus laturalis, m.vastusintermidialis, m. tensor fasiselatae.
31
Gluteus maksmus Gracili s Semi tendinosus Biseps femoris
Semi membranosus
Soleu s Tendon achiles kalkane us
Gastroknemiu s Proneus brevis
Gambar 05 . Susunan Otot Tungkai dilihat dari Belakang (Raven, 2000: 13)
Sartorius
Rektus femoris
Vastus latralis Vastus medialis Patela
Tibalis anterior
Gambar 06. Susunan Otot Tungkai dilihat dari Depan (Raven, 2000: 13).
Saat melakukan Loncatan pada dasarnya terdiri dari dua kelompok otot yang bekerja secara berlawanan atau antagonis, yaitu fleksi dan ektensi. Pada saat melakukan gerakan menekuk atau fleksi maka kelompok otot yang bekerja adalah otot fleksio, sedangkan otot-otot extensi hanya bekerja meluruskan. Demikian sebaliknya kelompok otot ektensi memenjang dan fleksi memendek. Kekuatan pada otot tungkai merupakan sumbangan yang tidak dapat dipisahkan dalam menciptakan power pada otot tungkai. Demikian pula kecepatan merupakan kemampuan gerak yang ditimbulkan atas dasar proses system syaraf dan perangkat otot.
32
Kecepatan juga merupakan unsur yang memiliki kontribusi besar untuk terciptanya power. Untuk meningkatkan kemampuan power otot tungkai dalam memacu peningkatan prestasi belajar ketrampilan gerak, maka tidak dapat dipilahpilah dalam melatih kecepatan dan kekuatan dikarenakan kedua unsur tersebut merupakan faktor yang membantu terciptanya kemampuan power. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa power adalah perpaduan antara unsur kondisi fisik antara kekuatan dan kecepatan secara maksimal. e. Power Power merupakan salah satu komponen biomotorik yang memiliki peranan yang besar, untuk meningkatkan prestasi olahraga dan sangat diperlukan dalam berbagai cabang olahraga. Seorang atlet yang ingin berprestasi harus memilik power yang baik. Beberapa pendapat tentang power disampaikan oleh banyak ahli sebagai berikut : Fox dan Bower (1993:68) mendifinisikan ”power sebagai kemampuan seseorang untuk menampilkan kerja maksimal persatuan unit waktu”. Suharno Hp. ( 1993:33) mengartikan power sebagai “Kemampuan otot atau sekelompok otot dalam mengatasi tahanan beban dengan kecepatan tinggi dalam satu gerakan yang utuh, yang dilakukan secara explosive dengan memadukan antara kekuatan dan kontraksi otot”. Menurut M. Sajoto (1995:17) ”Power otot atau muscular power
adalah kemampuan seseorang untuk melakukan kekuatan maksimum,
dengan usahanya yang dikerjakan dalam waktu sependek-pendeknya”. Dalam hal ini telah dinyatakan bahwa power otot merupakan hasil perkalian antara kekuatan dan kecepatan. Menurut Bompa (1998:273) dan Groppel (1989:139) menyatakan ”power adalah kombinasi dari kekuatan dan kecepatan gerak. Moeloek Dangsina (1984:7) mendifinisikan power adalah kempuan otot atau sekelompok otot dalam melakukan kerja secara eksplosif. Power ini sering disebut kekuatan eksplosif, ditandai dengan adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat, dimana tubuh terdorong ke atas atau vertikal (melompat = satu kaki menapak atau meloncat = dua kaki menapak) atau kedepan (horisontal, lari cepat, Loncat jauh) dengan mengerahkan kekuatan otot
33
maksimal. Power termasuk pula gerakan tiba-tiba dan cepat dari lengan ketika memukul atau menyemes bola serta tungkai tatkala menyepak. Hampir semua cabang olahraga memerlukan komponen fisik berupa ekplosif power. Seperti dikemukakan oleh Harsono, (1988:176) power adalah “kekuatan dan kecepatan”. Dimana power adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan cepat dengan mengerahkan kekuatan yang singkat, power adalah kemampuan otot untuk menggerakan kekuatan maksimal dalam waktu yang sangat cepat. Batasan ini sangat jelas power otot tungkai dalam situasi yang serentak untuk menghasilkan tenaga yang meledak. Dua komponen itu adalah kekuatan dan kecepatan. Semakin kuat dan cepat tenaga seseorang maka semakin besar daya yang dihasilkan. Untuk mengetahui kemapuan power seseorang, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan rumus sebagai berikut : FxD P = --------t
atau
W P = -------t
atau
P=FxV
Keterangan : P = Power (power)
t
= Time (waktu).
W = Work (kerja).
D = Distance (jarak)
F = Force (kekuatan)
V = Velocity (kecepatan)
Dalam penelitian ini akan dilakukan pengukuran terhadap kemampuan loncat jauh tanpa awalan, dan tes loncat jauh tanpa awalan ini adalah salah satu tes untuk mengukur power otot tungkai pada anak-anak usia 6 sampai dengan 12 tahun. f. Faktor yang Mempengaruhi Power Ada beberapa hal yang dapat menentukan kemampuan power seseorang. Untuk menghasilkan power, seseorang harus memiliki kecepatan dan kekuatan yang baik. Suharno (1985:59) faktor-faktor penentu power adalah: 1) 2)
Banyak sedikitnya macam fibril otot putih dari atlet Kekuatan otot dan kecepatan otot
34
3) 4) 5)
Waktu rangsangan dibatasi secara kongkrit lamanya Koordinasi gerakan harmonis Tergantung banyak sedikitnya zat kimia dalam otot (ATP)
Dengan demikian diketahui bahwa pada dasarnya faktor utama power otot tungkai adalah kekuatan dan kecepatan, disamping juga dipengaruhi oleh teknik dan koordinasi gerakan. power otot tungkai dapat ditingkatkan dengan memberikan latihan kecepatan dan koordinasi dari gerakan-gerakan yang dilakukan. Power juga dipengaruhi oleh serabut otot yang dimiliki. Jenis serabut otot cepat dan serabut lambat. Menurut Sadoso Sumorsardjono (1994:15) “Serabut otot cepat merupakan serabut otot putih sedangkan serabut otot lambat merupakan serabut otot merah. Jika jenis serabut otot yang dimiliki atlet cenderung memiliki serabut otot putih maka atlet tersebut berbakat untuk gerakan-gerakan yang memerlukan kemampuan fisik dengan waktu kontraksi pendek separti kecepatan dan kekuatan sedangkan otot yang dimiliki atlet cenderung serabut merah atlet tersebut berbakat untuk gerakan yang memerlukan kemampuan fisik dengan waktu kontraksi lama seperti daya tahan (endurance)”. g. Pengaruh Tempat Tinggal Terhadap Power Otot Tungkai Menurut Gallahue dan Ozmun (1998 : 204-205) ”lingkungan tempat tinggal seperti temperatur, iklim, ketinggian tempat tinggal, akan berdampak terhadap perubahan fisiologis seseorang, lingkungan tempat tingggal akan berdampak pada terjadinya adaptasi fisiologis seseorang”. Faktor lingkungan dan tempat tinggal sangat berperan terhadap pembinaan dan peningkatan prestasi olahraga, karena kondisi lingkungan dan tempat tinggal berpengaruh kepada kondisi fisik baik itu secara fisiologis dan anatomis manusia. Faktor lingkungan ini berkaitan dengan letak topografi tempat tinggal, seperti ketinggian suatu tempat (dataran rendah dan dataran tinggi), suhu atau temperatur suatu tempat, cuaca dan iklim. Maka dalam penelitian ini, akan menganalisis secara ilmiah mengenai letak topografi tempat tinggal, baik itu dataran rendah yang erat kaitanya dengan daerah pesisir atau pantai dibandingkan dengan daerah dataran tinggi berupa daerah pegunugan dan perbukitan. Daerah pesisir pantai dan daerah pegunungan dilihat dari kondisi lingkungan dan letak
35
topografi jelas berbeda, dimana kedua daerah tersebut diketahui memiliki ketinggian tempat dan tingkat perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda. Daerah pesisir pantai menjadikan masyarakatnya beradaptasi dengan lingkungan yang berpasir begitu juga dengan daerah pegunungan dengan ketinggian tempatnya menjadikaan masyarakatnya beradaptasi dengan lingkungan daerah pegunungan yang cendrung berbukit-bukit. Perbedaan nyata yang dapat digambarkan antara daerah pesisir pantai dan daerah pegunungan, bisa di lihat dari pola aktivitas yang dilakukan oleh masyarakatnya. Derah pesisir pantai yang mayoritas penduduknya adalah sebagai nelayan, menangkap ikan dan mengayuh perahu sampai ketengah lautan, harus dibarengi dengan kondisi fisik yang baik, aktivitas lain yang dapat dilihat pada anak-anak pesisir adalah berenang, menangkap ikan, menyelam dan bermain di atas pasir, kesemua aktivitas tersebut akan memberikan kesempatan untuk melatih kempuan fisik mereka. Begitu juga akktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan dengan medan yang berbukit, tidak datar, tanjakan dan turunan yang curam serta suhu yang dingin menuntut masyarakatnya, untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan seperti itu, salah satu aktivitas atau keseharian yang sering dilakukan di daerah pegunungan adalah berkebun atau bertani. Mayoritas penduduk pegunungan memiliki mata pencaharian bertani, dan kalau dilihat dari letak perkebunan mereka, kebanyakan berada di kaki gunung. Keseharian yang bisa dilihat lagi di daerah pegunungan adalah aktivitas berburu, menyusuri semak belukar pegunungan, memanjat pohon dan mendaki tebingtebing perbukitan, untuk mendapat hewan buruan. Begitu juga dengan aktivitas anak-anak daerah pegunungan mereka lebih suka aktivitas yang berhubungan dengan petualangan yang telah diwariskan oleh keluarga mereka. Aktivitas ke sekolahpun harus mereka tempuh dengan berjalan kaki melewati perbukitan dan jalan setapak yang memiliki medan yang cukup berat, semua itu menuntut kesiapan fisik yang baik. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa letak topografi tempat tinggal yaitu di daerah pesisir pantai dan daerah pegunungan akan memepengaruhi
36
aktivitas fisik dan kehidupan masyarakatnya, serta akan berpengaruh pada komponen biomotorik, berupa power. Power sangat diperlukan untuk aktivitas dan keseharian dari pada anak-anak yang tinggal di daerah pesisir pantai dan di daerah pegunungan. Untuk mengetahui kemampuan power, identik dengan kemampuan loncat jauh tanpa awalan. Dalam penelitian ini akan diukur kemampuan loncat jauh tanpa awalan, anak-anak usia 6 sampai dengan 12 tahun yang dilahirkan dan tinggal di daerah pesisir pantai dan daerah pegunungan di Kabupaten Trenggalek.
4. Anak-anak Usia 6-12 Tahun a. Pertumbuhan dan Perkembangan Masa Anak-anak Pada anak-anak sudah terjadi perkembangan, perkembangan dapat diartikan sebagai peningkatan kapasitas fungsi atau kemampuan kerja organ-organ tubuh, peningkatan bisa berbentuk daya fisik, koordinasi dan kontrol tubuh. Misalnya peningkatan fungsi-fungsi otot, otak syaraf, jantung, paru-paru dan lain sebagainya (Sugiyanto, 1993:2). Dari segi perkembangan fisik, pada masa ini sudah terjadi perkembangan komponen biomotorik diantaranya: kekuatan, fleksibilitas, daya tahan, power dan kemampuan biomotorik lainnya (Gallahue dan Ozmun 1998:267-292). Banyak hal yang bisa dilihat pada saat anak-anak, dan jika dihubungkan dengan jenjang pendidikan anak-anak (6-12 tahun) adalah masa anak menempuh jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD). Sesuai dengan pemaparan di atas maka dapat disimpulkan nantinya usia yang digunakan untuk penelitian ini adalah usia 6 sampai dengan 12 tahun yang duduk dijenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD), baik itu anak laki-laki dan perempuan, yang akan peneliti amati perkembangan kemampuan loncat jauh tanpa awalan untuk mengetahui kemampuan power otot tungkai anak tingkatan usia 6 sampai dengan 12 tahun dan perkembangan kemapuan cardiovascular untuk mengetahui kemampuan daya tahan sistem pernafasan. Serta perbedaan kemampuan loncat jauh tanpa awalan dan kemampuan cardiovascular antara anak laki-laki dan perempuan kelompok usia 6 sampai dengan 12 tahun.
37
Masa anak-anak ditandai oleh keteraturan pertumbuhan pada tinggi badan, berat badan, dan masa otot. Masa anak-anak disini dibagi menjadi masa anak-anak awal dengan usia 2 sampai 6 tahun, dan masa anak-anak akhir dari usia 6 sampai dengan 10 tahun. Menurut (Gallahue dan Ozmun 1998:267-292) ”Pada anak-anak masa pertumbuhan dan perkembangan anak dibagi menjadi dua tahapan yaitu : 1). Pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak awal pada usia (2-6 tahun) dan 2). Pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak akhir pada usia (6-10 tahun)”. Sedangakan menurut Sugiyanto (1993:8) ”masa anak-anak dibagi menjadi : 1).Masa anak kecil (usia 1 atau 2 tahun sampai 6 tahun) dan 2). Masa anak besar (usia 6 sampai dengan 12 tahun)”.
b. Perkembangan Kondisi Gerakan Pada Anak-Anak Menurut Sugiyanto (1993: 4) perkembangan individu mencakup beberapa aspek dalam dirinya. Perkembangan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor bersifat internal dan faktor bersifat eksternal. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang yang merupakan faktor keturunan atau bakat. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar diri seseorang, yaitu berupa pengaruh kondisi lingkungan. Keterlatihan atau perkembangan kondisi gerak di pengaruhi oleh faktor-faktor di atas, baik itu faktor internal dan faktor lingkungan. Teori genetik atau kematangan merupakan faktor internal. Teori keperilakuan (lingkungan) dan teori kognitif (aktivitas) merupakan faktor eksternal. 1). Teori Kematangan (Genetika) Menurut Arnold Gasell (1954) dalam Sugiyanto (1993:5) studi mengenai perkembangan yang menggunakan pendekatan teori kematangan atau genetika di pengaruhi oleh (Teori Rekapitulasi) yang didalamnya terdapat pandangan bahwa perkembangan individu mencerminkan perkembangan umum pada sepeciesnya. Sepecies adalah rumpun mahluk hidup. Sesuai dengan pandangan Gasell, bisa dikatakan bahwa ”perubahan biologis yang terjadi pada diri manusia menunjukkan perkembangan yang teratur dan mengikuti tahapan-tahapan yang urut, dimana kecepatan perkembangan pada
38
setiap tahap perkembangan tidak sama untuk setiap individu”. Dengan kata lain dapat dijelaskan bahwa setiap individu berkembang dengan kecepatan atau iramanya masing-masing, namun dengan mengikuti pola urutan perkembangan yang relatif sama pada semua individu. Gasell juga menjelaskan bahwa ”kematangan atau genetika sebagai suatu proses dikontrol oleh faktor internal”. Dengan demikian, perkembangan idividu yang erat kaitanya dengan masalah kematangan lebih dipengaruhi oleh faktor keturunan. 2). Teori Keperilakuan (Lingkungan) Teori keperilakuan disebut juga (teori lingkungan) ada beberapa ahli psikologis yang mengembangkan teori ini yang terkenal : Ivan Polvop, Jhon Watson, Edward Thordike, B.F Skiner, dan Sidney bijou dengan Don Baer. Teori keperilakuan merupan kebalikan dari teori kematangan atau genetika. Apabila dalam teori kematangan dianggap bahwa faktor internal yang lebih berpengaruh, maka dalam teori keperilakuan maka faktor eksternal lebih berpengaruh terhadap perkembangan individu. Menurut teori keperilakuan dipandang dari perspektif prilaku, individu dianggap bersifat pasif dan reaktif. Artinya bahwa individu akan berbuat apa bila ada rangsangan dari lingkungannya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hubungan antara rangsangan (stimulus) dengan tanggapan (respon) merupan bagian-bagian dasar prilaku. 3). Teori Kognitif (Aktifitas) Teori kognitif dikembangkan oleh Piaget (1952). Piaget mengemukkan teori bahwa ”individu dapat mempengaruhi lingkungan dan sebaliknya lingkungan dapat mempengaruhi individu”. Atau dapat dikatakan bahwa individu dan lingkungan saling berinteraksi. Menurut teori ini dikatakan bahwa proses perkembangan individu dipengaruhi oleh pertumbuhan biologis, pengalaman, hubungan sosial terutama sikap orang dewasa terutama orang tuanya, serta sikap yang ada pada diri manusia pada umunya cendrung mencari keseimbangan dengan lingkungan dan dalam dirinya sendiri.
39
Selain itu menurut Gallahue dan Ozmun (1998 : 209-214) ”perkembangan gerakan dasar telah diteliti secara luas dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar setuju bahwa fase ini mengikuti perkembangan berurutan yang dapat dibagi menjadi tahap-tahap. Perkembangan anak yang normal secara fisik maupun kognitif dari satu tahap ke tahap yang lain secara berurutan yang dipengaruhi oleh kedewasaan dan pengalaman. Anak-anak tidak hanya dapat mengandalkan kedewasaan untuk memperoleh tahap pendewasaan dalam kemampuan gerakan dasar mereka. Kondisi lingkungan yang melibatkan peluangpeluang untuk praktek, dorongan, dan instruksi adalah penting bagi perkembangan pola gerakan dasar dewasa”. Miller (1978) mendorong fasilitasi pembelajaran keterampilan dasar pada anak-anak usia 3 sampai 5 tahun. Ia menemukan bahwa ”program-program pengajaran dapat meningkatkan perkembangan pola gerakan dasar diluar tingkatan yang diperoleh hanya melalui pendewasaan”. Ia juga menemukan bahwa ”sebuah program pengajaran dalam perkembangan keterampilan labih efektif dari pada program bermainan bebas dan bahwa orang tua yang bekerja dibawah bimbingan seorang spesialis yang ahli dapat seefektif guru pendidikan jasmani sendiri dalam mengembangkan keterampilan gerakan dasar”. Interaksi antara lingkungan dengan mover (pelaku gerak), dan tujuan gerak dengan mover (pelaku gerak) memiliki dampak dramatis terhadap kematangan perkembangan yang diamati dari sebuah tugas perkembangan dasar.
Gambar 07.
Interaksi Lingkungan Dengan Pelaku Gerak Dan Tujuan Gerak Dengan Pelaku Gerak. (Gallahue dan Ozmun 1998 : 209-214)
Interaksi antara lingkungan dengan mover (pelaku gerak), dan tujuan gerak dengan mover (pelaku gerak) memiliki dampak dramatis terhadap
40
kematangan perkembangan yang diamati dari sebuah tugas perkembangan dasar. Perkembangan menuju tahap kematangan pola gerakan dasar tergantung kepada berbagai faktor pengalaman, termasuk peluang untuk praktek, dukungan dan pengajaran dalam sebuah lingkungan yang kondusif bagi pembelajaran. Kondisi alami didalam lingkungan itu sendiri seperti suhu, pencahayaan, daerah permukaan dan gravitasi dapat mempengaruhi aspek kuantitatif serta aspek kualitatif suatu tugas gerakan. Demikian halnya, kondisi-kondisi buatan seperti ukuran, bentuk, warna dan tekstur obyek dapat sangat mempengaruhi performa. Selanjutnya, kondisi-kondisi seperti kecepatan, lintasan, dan beban dapat mempengaruhi kesuksesan dalam intersepsi. Tujuan dari tugas itu sendiri merupakan pengaruh lain yang penting dari status perkembangan yang diamati dari sebuah tugas gerakan dasar. Sebagai contoh, jika fokusnya adalah terhadap keakurasian dalam sebuah tugas melempar, seperti permainan anak panah, maka sudah selayaknya untuk berasumsi bahwa pola gerakan tersebut akan berbeda dengan apabila tujuan tugas adala melempar untuk jarak jauh. Langendorfer (1988) mengamati dua kelompok subyek (anak-anak dan orang dewasa) yang menjalankan pola melempar diatas tangan dibawah dua kondisi tujuan yang berbeda
(gaya/kekuatan
dan
keakurasian).
Hasil
dari
penelitiannya
mengindikasikan bahwa pola motornya tidak mutlak dibawah semua keadaan lingkungan. Beberapa individu dapat mengakomodasi gerakan mereka pada pergeseran hambatan-hambatan lingkungan, tetapi beberapa individu tidak bisa. Derajat dimana seorang mover mampu melakukan penyesuaian diri terhadap sebuah tujuan yang berubah-ubah dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor didalam mover serta derajat dimana tuntutan tugas telah berubah. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki kemampuan untuk menambah kecepatan lemparan (karena mekanika yang tidak efisien atau kurangnya kekuatan) hanya akan mampu untuk melakukan sedikit penyesuaiaan saat beralih dari tugas lemparan keakurasian ke tugas melempar jarak jauh. Hubungan diantara mover, kondisi lingkungan dan tuntutan tugas itu sendiri belum dipahami secara lengkap. Adalah hal yang menarik untuk menyatakan bahwa beberapa penjelasan perkembangan tentang pola gerakan
41
dasar berikut ini dihasilkan di laboratorium, yaitu: mereka adalah urutan perkembangan yang dihipotesiskan yang merupakan produk penelitian dalam lingkungan buatan sangat tidak mirip dengan dunia nyata dimana anak-anak bergerak. Baru sedikit yang diketahui tentang konteks lingkungan yang berubahubah dan pengaruhnya terhadap status gerakan perkembangan pada anak-anak. Ketika kita beralih kepada metode untuk menganalisa gerakan anak-anak, dalam lingkungan yang lebih alami, kita dapat menemukan tahap-tahap perkembangan yang dihipotesiskan sebagai sesuatu yang sedikit berbeda.
c. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan dan Pertumbuhan Anak Secara umum, faktor-faktor yang memepengaruhi dari perkembangan dan pertumbuhan dapat dibagi menjadi dua jenis yakni : 1) Faktor instrinsik (faktor dari dalam) dan 2). Faktor ekstrinsik (faktor dari luar seperti lingkungan). Nutrisi, latihan, dan aktivitas fisik adalah faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan. antara lain : 1). Nutrisi Efek berbahaya yang potensial untuk bisa terjadi karena gizi buruk selama masa
prenatal
(masa
sebelum
kelahiran)
akan
berpengaruh
terhadap
perkembangan fisik selama masa prenatal, nutrisi adalah yang paling penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Berbagai investigasi telah dapat membuktikan dengan jelas bahwa kekurangan makanan dapat memberikan efek yang berbahaya dalam pertumbuhan selama masa bayi dan masa anak-anak. Terhambatnya pertumbuhan adalah salah satu dampak dari kekurangan nutrisi. Sebagai contohnya jika malnutrisi kronik yang hebat terjadi pada anak, yang berusia 4 tahun, akan mempengaruhi perkembangan mental, karena masa pertumbuhan otak terjadi saat ini. Proses pertumbuhan fisik dapat terganggu oleh malnutrisi (kekurangan gizi) sesetiap saat antara masa bayi sampai masa remaja. Malnutrisi dapat dianggap sebagai kondisi pemicu suatu penyakit, yang mempengaruhi pertumbuhan fisik. Contohnya kekurangan vitamin D dapat menyebabkan penyakit rakhitis, pelunakan dan deformasi pada tulang yang terjadi karena
42
kekurangan kapur pada pembentukan tulang yang baru. Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan pellagra, yang ditandai dengan luka-luka pada kulit, gejala gastrointestinal, mitosal, dan neurologic. Kekurangan vitamin C kronis dapat menyebabkan scurvy, penyakit yang ditandai oleh hilangnya tenaga, sakit pada persendian, anemia, dan kecenderungan pada keretakan epiphyseal. Kekurangan asupan nutrisi sering dikenal dengan istilah kwashiorkor. Anak kecil yang menderita kwashiorkor, ciri-ciri dari penyakit ini adalah: terhambatnya pertumbuhan anak, perut yang membesar, luka-luka pada tubuh, dan diare. 2). Latihan dan Cedera Salah satu dari prinsip dasar dari aktivitas fisik adalah konsep digunakan dan tidak digunakan. Mengacu pada prinsip ini, otot yang digunakan akan membesar (hypertrophy) dan otot yang tidak digunakan akan mengecil (atrophy). Pada anak anak aktivitas sangat meningkatkan perkembangan otot. Walaupun jumlah serat otot tidak bertambah, tetapi ukuran otot bertambah. Otot tanggap dan beradaptasi terhadap tekanan yang lebih besar. Anak yang aktif melakukan latihan mempunyai lemak yang lebih sedikit dan berat serat per otot lebih besar dibandingkan dangan mereka yang tidak aktif. Walaupun aktivitas fisik pada umumnya menghasilkan efek yang positif pada pertumbuhan anak-anak, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan efek negatif jika aktivitas fisik tersebut terlalu berat dan ekstrem. Penggunaan berlebih pada bagian tubuh dapat menyebabkan cedera epiphyseal dan gangguan pertumbuhan lapisan. Aktivitas yang berat dapat menyebabkan cedera pada otot dan jaringan tulang anak-anak. Cedera pada bahu perenang, siku petenis, lutut pelari, dan keretakan pada tulang adalah beberapa akibat yang ditimbulkan oleh anak-anak yang melakukan kegiatan melebihi batas perkembangannya. Program latihan dan aktivitas anak-anak harus diperhatikan secara hati-hati. 3). Penyakit Penyakit yang sering terjangkit pada anak-anak adalah : cacar air, flu, campak, dan gondong. Tingkat suatu penyakit dapat menghambat pertumbuhan tergantung pada durasi, tingkat keparahan, dan waktu terjadinya. Seringkali interaksi dari malnutrisi dan penyakit pada anak-anak menimbulkan kendala untuk
43
menentukan secara akurat penyebab spesifik adanya penghambatan pertumbuhan pada anak-anak. 4). Iklim Iklim
merupakan
faktor
lingkungan
yang
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan anak-anak. Pengaruh iklim tampak nyata pada bentuk tubuh atau komposisi jaringan tubuh. Contohnya adalah orang-orang yang tinggal di daerah tropis cendrung suhunya panas, pada umunya berbadan lebih langsing dibandingkan dengan orang-orang yang tinggal di daerah yang bersuhu dingin. Orang di daerah bersuhu dingin cendrung lebih berlemak, dengan lingkar dada yang lebih besar, hal ini disebabkan karena proses aklimatisasi yang terjadi pada orang yang ada pada dataran tinggi atau orang di daerah yang dingin. 5). Tren Sekuler Kecendrungan sekuler adalah kecendrungan dunia yang terus mengalami perubahan dari waktu kewaktu. Perubahan kehidupan manusia yang termasuk salah satu prubahan dunia yang terjadi, berpengaruh terhadap kecendrungan pertumbuhan fisik manusia. Bentuk dan ukuran tubuh manusia mengalami perubahan seiring dengan perubahan kehidupan. Perkembangan kehidupan yang semakin baik mengakibatkan pertumbuhan fisik manusia semakin baik. Salah satu contoh akibat tren sekuler adalah dirasakan oleh penduduk Negara Jepang yang dulu penduduknya postur tubuhnya pendek-pendek, sekarang penduduk Negara Jepang postur tubuhnya sudah tinggi-tinggi.
d. Perkembangan Fisik pada Anak-anak Perkembangan kemampuan fisik sejalan dengan pertumbuhan fisik. Tubuh yang makin tinggi dan makin besar bisa meningkatkan kemampuan fisiknya. Perkembangan fisik pada anak-anak erat kaitanya dengan kebugaran kesehatan pada anak-anak. Kebugaran fisik pada anak-anak dapat dibagi menjadi dua yaitu : 1). Kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan pada anak-anak dan 2). Kebugaran motor pada anak-anak. Kebugaran fisik ini haruslah menjadi perhatian yang paling utama bagi semua orang, tidak hanya dibebankan pada guru olahraga, pelatih (Gallahue dan Ozmun 1998 : 265-293).
44
1). Kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan Kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan yaitu terdiri dari : a). ketahanan cardiovascular, b). kekuatan otot, c). ketahanan otot, d). fleksibilitas sendi, dan e). komposisi tubuh. a). Ketahanan cardiovascular Ketahanan cardiovascular merupakan aspek ketahanan otot, yang berfokus pada jantung, paru-paru, dan system vasculer. Ketahanan cardiovascular berarti kemampuan untuk melakukan pengulangan gerakan pada sebuah aktivitas fisik dengan tingkat stress yang tinggi dan membutuhkan penggunaan system sirkulasi dan system pernafasan dalam tingkat yang tinggi. Konsumsi oksigen maskimal (VO2 max) berarti tingkat seseorang untuk bisa mengkonsumsi oksigen selama melakukan aktivitas fisik. Ini merupakan penghitungan kemampuan maksimal seseorang dalam menyalurkan oksigen kepada jaringan tubuh. Peningkatan kapasitas cardiovascular seseorang merupakan indikasi yang bagus bagi peningkatan output energi yang lebih besar. Astrand (1952) menyebutkan ”peningkatan konsumsi sebanyak 20 persen bisa dan mungkin dilakukan. Warisan genetik seseorang juga mempengaruhi tingkat kapasitas konsumsi oksigen (O2). Konsumsi oksigen (O2) maksimal punya kecenderungan untuk naik selama bertambahnya usia hingga mencapai usia 18 hingga 20 tahun. Peningkatan selanjutnya setelah usia puncak yang diakibatkan karena latihan. Kapasitas konsumsi oksigen maskimal (VO2 max) yang dimiliki oleh kaum perempuan adalah 75 persen dari kapasitas pria” Berikut ini akan diberikan gambaran perbedaan ketahanan cardiovascular baik laki-laki maupun perempuan.
Gambar 08. Grafik Perbedaan Daya Tahan Cardiovascular Laki-Laki dan Perempuan pada Anak-anak Usia 6-9 Tahun. (Gallahue dan Ozmun 1998 : 271)
45
Gambar diatas menyediakan grafik nilai rata-rata untuk anak laki-laki dan perempuan usia 6 dan 7 tahun pada saat melakukan jalan selama setengah mil, dan nilai rata-rata anak usia 8 dan 9 tahun pada jalan dan lari sepanjang 1 mil. Analisis dari grafik ini menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih superior daripada anak perempuan pada hal waktu rata-rata baik saat jalan setengah mil maupun satu mil pada semua tingkatan usia. Lebih lanjut anak laki-laki kelihatannya mampu menjaga superiotas aerobiknya pada semua tingkatan usia. b). Kekuatan Otot Kekuatan otot adalah keampuan tubuh untuk mengeluarkan kekuatan atau kemampuan untuk mengerahkan usaha maksimal seseorang. Anak-anak yang terlibat dalam aktivitas bermain sehari-hari telah memperkuat kakinya denga cara berlari dan naik sepeda. Di laboratorium, kekuatan biasanya diukur menggunakan dynamometer atau tensimeter. Dynamometer adalah alat pengukur yang diperuntukkan untuk mengukur kekuatan genggaman, kekuatan kaki, dan kekuatan punggung. Tensiometer adalah alat yang lebih canggih dimana alat ini bisa mnegukur kinerja kelompok otot tertentu. Anak perempuan yang tidak dilatih akan terus mengalami penurunan pada usia ini, sedangkan anak laki-laki akan terus meningkat meskipun tanpa latihan. Ada kemungkinan bahwa kekuatan anak laki-laki dan perempuan sebelum masa sekolah adalah sama, dengan sedikit perbedaan bahwa anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan. c). Komposisi tubuh. Komposisi tubuh didefinisikan sebagai proporsi antara berat tubuh yang kurus pada berat tubuh yang tambun. Komposisi tubuh berhubungan dengan bentuk-bentuk atau tipe-tipe tubuh pada anak-anak. Ada tiga tipe-tipe tubuh pada anak-anak antara lain :1).mesomorph 2).endomorph dan 3).ectomorph ( Sugiyanto, 1993:23). Masalah yang sangat mempengaruhi komposisi tubuh ini adalah faktor kegemukan yang akan merusak komposis tubuh seorang anak. Untuk mengetahui apakah seseorang termasuk gemuk dapat diukur dengan berbagai cara. Teknik
46
Hydrostatic weighning (dibawah air), walaupun yang paling akurat, jarang dipergunakan untuk mempelajari komposisi tubuh anak-anak. Sebagai pengganti, kaliper skinfold (skinfold calipers), merupakan metode yang sering dipilih, walau akurasi dari pengukuran dengan alat ini seringkali dipertanyakan. Lokasi pengukuran termasuk trisep, bagian subscapular, dan batis bagian tengah. Pengukuran skinfold digunakan pada 3 bagian tubuh (trisep, subcapular, dan betis bagian tengah) dengan menggunakan Lange skinfold caliper pada anak usia 6-9 tahun. Menunjukkan tendensi yang pasti pada peningkatan kegemukan tubuh baik pada laki-laki dan perempuan saat mereka tumbuh dari usia 6 tahun hingga usia 9 tahun, dengan perempuan mempunyai posisi yang lebih tingi daripada anak lakilaki pada segala usia.
Gambar 09. Grafik Perbedaan Komposisi Tubuh Laki-Laki dan Perempuan pada Anak-Anak Usia 6-9 Tahun. (Gallahue dan Ozmun 1998 : 230)
5. Letak Topografi Tempat Tinggal Topografi adalah bentuk permukaan bumi yang menyuguhkan relief permukaan dan identifikasi jenis lahan. Objek dari topografi adalah mengenai posisi suatu bagian dan secara umum menunjuk pada koordinat secara horizontal seperti garis lintang dan garis bujur, dan secara vertikal yaitu ketinggian. Dalam penelitian ini menunjukkan daerah pegunungan dan daerah pesisir pantai. Tempat tinggal adalah tempat seseorang tinggal bersama-sama keluarganya. Dalam penelitian ini adalah tempat sampel tinggal dan menetap disuatu daerah.
47
a. Hubungan Ketinggian Tempat Tinggal Dengan Tekanan Parsial Oksigen (O2) Ketinggian tempat sangat berpengaruh tehadap tekanan parsial oksigen (O2), Tekanan barometer dan persentase oksigen (O2). Ini dapat dilihat dari tabel berikut ini : Tabel 05. Tingkat Tekanan Parsial Oksigen (O2), Tekanan Barometer dan Persentase Oksigen (O2) di Atmosfir Sesuai Ketinggiaan (Lumb, 2000).
Tabel diatas menunjukkan bahwa semakin tinggi ketinggian tempat suatu daerah, salah satu contoh dalam penelitian ini ialah untuk sampel di daerah pegunungan yaitu di Kecamatan pule yang memiliki ketinggian 500-690 m dari permukaan laut, maka semakin rendah juga tekanan barometer, tekanan oksigen (O2), dan kadar oksigen (O2). Dengan adanya keadaan seperti di atas akan menuntut penduduk yang ada di daerah pegunungan khususnya di Kecamatan pule melakukan adaptasi fisiologis (aklimatisasi).
b. Aklimatisasi Alamiah Penduduk Asli yang Tinggal di Tempat Tinggi Menurut Guyton (1983:73) ”banyak penduduk asli Andes dan Himalaya hidup pada ketinggian di atas 13.000 kaki, satu kelompok di Andes yang
48
ada di Peru, hidup pada ketinggian 19.000 kaki. Mereka yang dilahirkan dan tinggal di dataran tinggi memiliki keunggulan aklimatisasi terhadap orang yang dilahirkan di dataran rendah yang kemudian menetap lebih dari 10 tahun di dataran tinggi. Proses aklimatisasi pada penduduk asli dataran tinggi dimulai pada masa bayi”. Banyak hal yang dipengaruhi, jika seseorang mengalami aklimatisasi yang baik atau unggul, ini dapat dilihat dari ukuran dada, khususnya sangat meningkat, sedangkan ukuran tubuh agak berkurang, sehingga memberikan perbandingan kapasitas ventilasi dengan masa tubuh yang tinggi. Disamping itu jantung mereka lebih berkembang dibandingan dengan jantung yang dilahirkan dan tinggal di dataran rendah, ini dikarenakan jantung kanan yang mengadakan tekanan arteri pulmonalis yang tinggi, memompa darah melalui sistem kapiler paru-paru yang sangat berkembang. Penyerapan oksigen (O2) oleh darah ke jaringan juga sangat dipermudah dengan adanya peningkatan hemoglobin (Hb). Perbedaan yang juga terjadi antara orang yang dilahirkan di dataran tinggi atau pegunungan dibandingkan dengan orang yang dilahirkan di dataran rendah adalah tekanan oksigen (PO2) di arterial pada penduduk asli dataran tinggi lebih tinggi 40 mm Hg dibandingkan orang yang dilahirkan didataran rendah, tetapi karena jumlah homoglobin (Hb) darah lebih banyak jadi jumlah oksigen (O2) di dalam darah menjadi lebih banyak dari pada orang yang dilahirkan dan tinggal di dataran rendah. Demikian juga dengan tekanan oksigen (PO2) vena pada penduduk asli dataran tinggi hannya 10 mm Hg lebih kecil dari pada tekanan vena pendududuk dataran rendah, meskipun tekanan oksigen (O2) arterialnya rendah dan fakta sebenarnya bahwa konsumsi oksigen (O2) penduduk dataran tinggi sebenarnya lebih besar dari pada penduduk asli dataran rendah, yang menunjukan bahwa jaringan dan sel-sel tubuh penduduk asli dataran tinggi yang beraklimatisasi secara alami dapat menggunakan oksigen (O 2) dalam jumlah yang banyak. Menurut Guyton, (1983:73), hubungkan proses aklimatisasi dengan kapasitas kerja. “Orang yang mengalami aklimatisasi pada dataran tinggi memiliki kapasitas kerja yang lebih baik dibandingkan dengan orang yang tinggal dan dilahirkan di dataran rendah”. Ini dapat dilihat dari persentase kapasitas kerja dan
49
nilai maksimum setinggi permukaan laut untuk orang normal dan dengan orang pada ketinggian 17.000 kaki adalah sebagai berikut: orang yang belum beraklimatisasi memiliki kapsitas kerja sebesar 50%, orang yang mengalami aklimatisasi selama dua bulan memiliki kapasitas kerja sebesar 68%, dan penduduk asli yang hidup pada ketinggian 13.200 kaki tetapi bekerja pada ketinggian 17.000 kaki memiliki kapasitas kerja sebesar 87%. Penduduk asli yang beraklimatisasi secara alamiah dapat mencapai hasil kerja sehari-hari lebih baik dengan orang yang dilahirkan dan tinggal di dataran rendah, dan dengan orang asli dataran rendah yang pindah ke pegunungan dan kemudian mengalami aklimatisasi, masih dikalahkan kapasitas kerjanya dibandangkan dengan penduduk asli, yang lahir dan bertempat tinggal di dataran tinggi atau di daerah pegunungan.
c. Aklimatisasi Terhadap Tekanaan Oksigen (PO2) Yang Rendah Menurut Guyton (1983:69), “aklimatisasi juga dipengaruhi oleh tekanan barometer pada berbagai ketinggian. Perbedaan pada pemukaan laut menunjukkan tekanan oksigen (PO2) sebesar 760 mm Hg, sedangkan pada ketinggian 10.000 kaki hanya 523 mm Hg, dan pada ketinggian 50.000 kaki tekanan oksigen (PO2) mencapai 87 mm Hg. Disamping itu tekanan parisial oksigen (PO2) juga berbeda pada dataran rendah dan dataran tinggi. Pada dataran rendah atau permukaan laut, memperlihatkan tekanan parsial oksigen (PO2) adalah 159 mm Hg, sedangkan pada ketinggian 10.000 kaki kira-kira 110 mm Hg, dan pada ketinggian 50.000 kaki 18 mm Hg. Tekanan parsial oksigen
(PO2) pada alveolus mengalami penurunan,
bahkan lebih besar penurunanya dengan tekanan parsial oksigen (PO 2) pada atmosfir, ini disebabkan karena efek karbondiksida (CO2) dan uap air. Karbondioksida (CO2) akan diekskresikan dari darah pada paru-paru ke alveolus, juga air akan menguap kedalam rongga alveolus dari permukaan saluran pernapasan, oleh karena itu kedua gas ini akan mengencerkan kandungan oksigen (O2) sedangkan nitrogen yang terdapat pada alveolus, juga menurunkan konsentrasi oksigen (O2). Sedangkan pada tempat yang rendah tekanan parsial
50
oksigen (PO2) pada alveolus tidak mengalami penurunan sedemikian besar seperti tekanan parsial oksigen (PO2) pada atmosfir. Dengan adanya penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) rendah maka penduduk yang tinggal di dataran tinggi, akan mengalami penyesuaian diri (adaptasi) terhadap penurunan tekanan oksigen (PO2) yang rendah. Adapun cara tubuh menyesuaikan diri (aklimatisasi) menghadapi tekanan oksigen (PO 2) yang rendah pada tempat yang tinggi adalah : (a) meningkatkan pentilasi paru-paru, (b) meningkatnya hemoglobin (Hb) dalam darah, (c) meningkatnya difusi paru-paru, (d) meningkatnya vaskularisasi jaringan, dan (e) aklimatisasi sel untuk menggunakan oksigen (O2) meskipun tekanan parsial oksigen (PO2) rendah. a). Meningkatkan Ventilasi Paru-Paru. Meningkatnya ventilasi paru-paru, segera setelah mengalami tekanan parsial oksigen (PO2) rendah. Ini adalah merupakan kompensasi segera, jika seseorang berada pada tempat yang tinggi. Kemudian, jika ia tetap pada tempat yang tinggi ventilasinya akan meningkat lima sampai tujuh kali lipat. Peningkatan sebesar 65% ketika naik ke tempat yang tinggi, karena mengeluarkan sejumlah besar karbondioksida (CO2), menurunkan tekanan karbondioksida (PCO2) dan meningkatkan pH cairan tubuh. Kedua perubahan ini akan menghambat pusat pernapasan. Selama tiga sampai lima hari akan berangsur-angsur hilang. Akibat rangsangan kemoreseptor maka ventilasi paru-paru akan meningkat lima sampai tujuh kali dari keadaan normal. b). Meningkatnya Hemoglobin (Hb) dalam Sel Darah. Hemoglobin (Hb) akan meningkat selama penyesuaian diri pada tempat yang tinggi. Akibat rendahnya oksigen (O2) hemotokrit meningkat dari keadaan normal 40-45 kesuatu rata-rata 60-65, dengan kenaikan rata-rata konsentrasi hemoglobin (Hb) sebesar 22 gr/dl dari keadaan normal yaitu 15 gr/dl. Selain itu, volume darah juga bertambah 20-30 persen, menghasilkan peningkatan total hemoglobin (Hb) yang beredar menjadi 50 persen atau lebih. c). Meningkatnya Difusi Paru-Paru. Meningkatnya difusi paru-paru pada tempat yang tinggi disebabkan karena sangat meningkatnya kapiler darah ke paru-paru yakni sebesar 21ml/mm
51
Hg/menit, yang mengembangkan kapiler tersebut dan meningkatnya permukaan, akibat oksigen (O2) yang berdifusi kedalam darah. Selain itu disebabkan oleh suatu peningkatan tekanan arteri pulmonalis, sehingga memaksa darah mengalir ke kapiler alveolus yang jumlahnya lebih besar dari normal. d). Meningkatnya Vaskularisasi Jaringan. Meningkatnya vaskularisasi jaringan pada tempat yang tinggi disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen (O2) dari organ-organ tubuh seperti otot, jantung dan otak. Selain itu curah jantung akan meningkat sebesar 20 sampai 30 persen. e). Aklimatisasi Sel Mitocondria Untuk Menggunakan Oksigen (O2) Meskipun Tekanan Oksigen (PO2) Rendah. Aklimatisasi sel pada orang di tempat yang tinggi, yang ditunjukkan dengan mitikondria dan sistem ensim oksidatif sel lebih banyak dari orang di permukaan laut. Orang di tempat yang tinggi akan menggunakan oksigen (O2) lebih efektif dengan orang yang ada di permukaan laut atau dataran rendah. d. Respirasi Di Dataran Tinggi Tekanan barometer di berbagai ketinggian tempat berbeda. Pada ketinggian permukaan laut tekanan barometer 760 mmHg, sedangkan pada ketinggian 10.000 kaki di atas permukaan laut hanya 523 mmHg, dan pada 50.000 kaki adalah 87 mmHg. Penurunan tekanan barometer merupakan dasar penyebab semua persoalan hipoksia pada fisiologi manusia di tempat tinggi. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa seiring dengan penurunan tekanan barometer akan terjadi juga penurunan tekanan oksigen parsial yang sebanding, sehingga tekanan oksigen selalu tetap sedikit lebih rendah 20%-21% dibanding tekanan barometer total. Jadi pada ketinggian permukaan laut total tekanan atmosfer 760 mmHg, ketika di atas 12.000 kaki tekanan barometernya hanya 483mmHg Dalam hal ini terjadi penurunan total tekanan atmosfer, yang berarti lebih sedikit 40% molekul per pernapasan pada saat berada di tempat tinggi dibandingkan dengan permukaan laut (Anonim, 2008c). Apabila seseorang berada di tempat yang tinggi selama beberapa hari, minggu, atau tahun, menjadi semakin teraklimatisasi terhadap tekanan parsial oksigen yang rendah, sehingga efek buruknya terhadap tubuh makin lama semakin
52
berkurang.Proses aklimatisasi umumnya antara satu sampai tiga hari (Anonim, 2008c). Prinsip-prinsip utama yang terjadi pada aklimatisasi ialah peningkatan ventilasi paru yang cukup besar, sel darah merah bertambah banyak, kapasitas difusi paru meningkat, vaskularisasi jaringan meningkat, dan kemampuan sel dalam menggunakan oksigen meningkat, sekalipun tekanan parsial oksigennya rendah (Guyton, 1994). Aklimatisasi meliputi beberapa perubahan struktur dan fungsi tubuh, seperti mekanisme kemoreseptor meningkat, tekanan arteri pulmonalis meningkat. Selanjutnya tubuh memproduksi sel darah merah lebih banyak di dalam sumsum tulang untuk membawa oksigen, tubuh memproduksi lebih banyak enzim 2,3biphosphoglyserate yang memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin ke jaringan tubuh. Proses aklimatisasi secara perlahan menyebakan dehidrasi, urinasi, meningkatkan konsumsi alkohol dan obat-obatan. Dalam waktu yang lama dapat meingkatkan ukuran alveoli, menurunkan ketebalan membran alveoli, yang diikuti dengan perubahan pertukaran gas (Anonim, 2008b). Setelah mengalami aklimatisasi seseorang di tempat yang tinggi akan mengalami peningkatan kapasitas difusi oksigen. Kapasitas difusi normal oksigen ketika melalui membran paru kira-kira 21 ml/mmHg/menit. Kapasitas difusi tersebut dapat meningkat sebanyak tiga kali lipat selama olahraga. Sebagian dari peningkatan tersebut disebabkan oleh volume darah kapiler paru yang sangat meningkat. Sebagian lagi disebabkan oleh peningkatan volume paru yang mengakibatkan meluasnya permukaan membran alveolus. Terakhir disebabkan peningkatan tekanan arteri paru. Tekanan tersebut akan mendorong darah masuk lebih banyak ke kapiler alveolus (Guyton, 1994). Seorang atlete untuk kompetisi pada tempat dengan lokasi ketinggian yang bervariasi perlu melakukan proses aklimatisasi sebelum perlombaan. Seorang pemanjat gunung pada ketinggian sedang akan mengalami penurunan tekanan atmosfer 7-8%. Orang tersebut akan mengalami penurunan pemasukan oksigen sehingga diduga dapat menurunkan kekuatan otot 4-8% tergantung durasi kompetisi. Hal tersebut tidak menguntungkan untuk mencapai finis, apabila hal tersebut terjadi tanpa melakukan aklimatisasi terlebih dahulu (Anonim, 2008c). Meskipun seorang atlete yang melakukan persiapan (exercise) dan aklimatisasi dengan baik, tidak akan
53
sama dengan penduduk asli di pegunungan Andes, yang memiliki kapasitas dada yang besar, alveoli dan pembuluh kapiler besar dan jumlah sel darah merah lebih banyak (Anonim, 2008c). Aklimatisasi alami pada orang yang tinggal di tempat tinggi, seperti penduduk yang tinggal di pegunungan Andes dan Himalaya (ketinggian 13.000-19.000 kaki) mempunyai kemampuan yang sangat superior dalam hubungannya dengan sistem respirasi, dibandingkan dengan penduduk dari tempat rendah dengan kemampuan aklimatisasi yang terbaik tinggal di tempat tinggi. Proses aklimatisasi tersebut telah dimulai semenjak bayi. Terutama ukuran dadanya sangat besar, sedangkan ukuran tubuhnya sedikit lebih kecil, sehingga rasio kapasitas ventilasi terhadap massa tubuh menjadi besar. Selain itu, jantungnya terutama jantung kanan jauh lebih besar daripada jantung orang yang tinggal di tempat rendah. Jantung kanan yang besar tersebut menghasilkan tekanan yang tinggi dalam arteri pulmonalis sehingga dapat mendorong darah melalui kapiler paru yang telah sangat melebar (Guyton, 1994). Pengangkutan oksigen oleh darah ke jaringan lebih mudah pada orang yang telah teraklimatisasi di tempat tinggi. Tekanan parsial O2 pada orang-orang yang tinggal di tempat tinggi hanya 40 mmHg, tetapi karena jumlah haemoglobinnya lebih banyak, maka jumlah oksigen dalam darah arteri menjadi lebih banyak dibanding oksigen dalam darah pada penduduk yang tinggal di tempat yang rendah. Selanjutnya tekanan parsial O2 vena pada penduduk di tempat tinggi 15 mmHg lebih rendah daripada tekanan parsial O2 vena pada penduduk di tempat rendah, sekalipun tekanan parsial O2 nya rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengangkutan oksigen ke jaringan adalah lebih baik pada penduduk yang secara alami telah mengalami aklimatisasi (Guyton, 1994).
e. Geografis Kabupaten Trenggalek Kabupaten Trenggalek adalah salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur, secara geografis letaknya di pesisir pantai selatan dan mempunyai batas wilayah yang berbatasan di sebelah utara dengan Kabupaten Ponorogo, sebelah timur dengan Kabupaten Tulungagung, sebelah selatan dengan pantai selatan, dan sebelah barat dengan Kabupaten Pacitan. Wilayah Trenggalek terdiri dari daerah pegunungan dan bebukitan yang berarti termasuk dalam dataran
54
menengah dan tinggi. Kabupaten trenggalek mempunyai luas wilayah 126.140 Ha, dimana 2/3 bagiannya merupakan tanah daerah pegunungan, terbagi menjadi 14 kecamatan dan 157 desa. Kabupaten Trenggalek secara ketinggian tempat terdiri dari 2/3 wilayah daerah pegunungan dan 1/3 lainnya merupakan datara rendah dengan ketinggian sampai 0 sampai dengan 690 meter di atas permukaan laut. Dua pertiga wilayah Kabupaten Trenggalek yang merupakan kawasan daerah pegunungan dataran rendah memiliki ketinggian 100 meter di atas permukaan laut, dan ketinggian tersebut 53,8 % berketinggian 100-500 meter. Kabupaten Trenggalek sebagian besar bertopografi terjal lebih 40 % seluas kurang lebih 28.378 ha yang merupakan daerah rawan bencana. Kasawan ini tersebar di beberapa kecamatan yaitu kecamatan Bendungan, Pule, Dongko, Watulimo, Munjungan dan Kecamatan Panggul. Luas daerah dataran rendah dengan tingkat kemiringan antara 0-15% adalah kurang lebih 42.291 ha. Keadaan geografis Kabupaten Trenggalek yang berupa dataran rendah dengan keadaan pantai yang berpasir, dan daerah pegunungan dengan keadaan perbukitan maupun daerah pegunungan akan memeberikan suatu keadaan, dimana menuntut seseorang bisa menyesuaikan atau beradaptasi terhadap keadaan itu, dan salah satu dampak positif yang dapat dilihat dari pengaruh keadaan geografis tersebut, terhadap kemampuan fisiologis tubuh dan peningkatan kemampuan biomotorik seseorang seperti power dan daya tahan cardiovasculer. 1). Kecamatan Watulimo Watulimo berasal dari bahasa jawa yaitu Watu yang berarti Batu dan Limo yang berarti Lima. Jadi watulimo berarti batu yang berjumlah lima,singkat cerita karena menurut kepercayaan dulu ada seorang ksatria mataram yang bernama Raden Kromodiko dengan gelar Raden Tumenggung Yudho Negoro yang melakukan musyawarah untuk melaksanakan babat hutan dengan para kepercayaannya duduk diatas batu yang berjumlah 5 (lima) buah. Maka sebagai tetenger pada akhirnya
tempat tersebut dinamakan Watulimo. Kecamatan
Watulimo terletak di Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur, sebelah selatan tepatnya sebelah barat berbatasan dengan kecamatan munjungan dan kampak,
55
sebelah utara kecamatan kampak dan gandusari, sebelah timur kabupaten Tulungagung dan sebelah selatan Samudera Hindia. Kecamatan Watulimo terdiri atas 12 desa yaitu : 1. Desa Watuagung, 2. Desa Ngembel, 3. Desa Watulimo, 4. Desa Pakel, 5. Desa Dukuh, 6. Desa Gemaharjo, 7. Desa Slawe, 8. Desa Sawahan, 9.
Desa
Margomulyo, 10. Desa Prigi, 11. Desa Tasikmadu, 12. Desa Karanggandu. Kantor Camat Watulimo terletak di desa prigi tepatnya disamping koramil dan puskesmas prigi, kecamatan watulimo memiliki berbagai objek wisata untuk disinggahi yaitu pantai prigi di desa tasikmadu dengan pasir coklatnya, pantai pasir putih di desa tasikmadu dengan pasir putihnya, gunung sepikul di desa watuagung dengan panjat tebingnya,goa lowo di desa watuagung dengan panjang kurang lebih 800 m dan lebar 25 meternya, pantai damas di desa karanggandu dengan suasana sejuknya. Penduduk di kecamatan watulimo sebagian besar bekerja sebagai petani yang bekerja di sawah terutama didaerah dataran rendah yaitu di desa prigi, tasikmadu karena terletak di dekat pantai. Selain petani warga juga banyak yang bekerja sebagai pedagang, pegawai PNS maupun swasta, ada yang berkerja sebagai juru rawat, bidan dan dokter. Produk dari kecamatan Watulimo sangat banyak, tetapi mayoritas hasil perikanan dan pertanian, dari hasil perikanan yang diperoleh mulai dari ikan Tuna, Tengiri, Teropong, cumi, udang galah, cumi-cumi, kerang, ikan tongkol dan masih banyak lagi semua itu adalah berkat nelayan yang berkerja keras tanpa kenal waktu untuk mencari nafkah. 2). Kecamatan Pule Kecamatan Pule terletak di Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur, yang berbatasan sebelah utara berbatasan dengan kecamatan sawoo kabupaten Ponorogo, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Suruh,Karangan,dongko Kabupaten Trenggalek, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Panggul Kabupaten Trenggalek sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo. Kecamatan pule cukup dikenal di kawasan Kota Trenggalek karena di kecamatan kecil di bagian barat dari Trenggalek ini banyak perkebunan cengkeh
56
yang menjadi primadona dan di kembangkan oleh hampir seluruh masyarakat kecamatan pule,sampai ke pelosok desa. Seiring berjalannya waktu istilah roda terus berputar. Hingga saat ini masyarakat pule tetap membudayakan perkebunan cengkeh.
B. Penelitian yang Relevan Berdasarkan pada penelitian yang sebelumnya dari Abdul Aziz Hakim, yang berjudul ”Kapasitas Aerobik dan Anaerobik Pada Anak Laki-laki dan Perempuan Usia Dini ditinjau Dari Ketinggian Wilayah Tempat Tinggal di Provinsi Jawa Timur”. subyek penelitian 60 siswa, 30 orang siswa di dataran rendah, 30 orang siswa di dataran tinggi dengan taraf signifikansi 5% dari hasil penelitian itu menunjukkan kapasitas aerobik dan kapasitas anaerobik anak yang tinggal di dataran tinggi lebih bagus dengan anak yang tinggal di dataran rendah. Di samping itu dapat di tarik kesimpulan bahwa anak laki-laki lebih superior di bandingkan anak perempuan. Selain itu, penelitian dari Andhega Wijaya yang berjudul ”Perkembangan Fleksibilitas Persendian Pada Anak Usia 7-12 Tahun Ditinjau Dari Jenis Kelamin” Penelitian yang dilakukan di SD se-kabupaten karanganyar. Dengan hasil penelitian terdapat perkembangan presentase fleksibilitas anak besar 1) laki-laki pada a) persendian bahu usia 7 tahun 609.667%, usia 8 tahun 613.1667%, usia 9 tahun 572.916%, usia 10 tahun 588.66667%, usia 11 tahun 595.0833%, usia 12 tahun 580.9%, b) persendian pergelangan tagan usia 7 tahun 146.5%, usia 8 tahun 147.267%, usia 9 tahun 143.0833%, usia 10 tahun 143.4167%, usia 11 tahun 141.5%, usia 12 tahun 139.9167%, c) persendian punggung usia 7 tahun 97.85%, usia 8 tahun 92.4333%, usia 9 tahun 94.7%, usia 10 tahun 96.81667%, usia 11 tahun 99.6667%, usia 12 tahun 106.93333%, d) persendian pangkal paha usia 7 tahun 969.5%, usia 8 tahun 288.6167%, usia 9 tahun 273.0833%, usia 10 tahun 275.833%, usia 11 tahun 289.75%, dan usia 12 tahun 270.4167%, e) persendian pergelangan kaki usia 7 tahun 56.8333%, usia 8 tahun 65.5%, usia 9 tahun 59.08333%, usia 10 tahun 56.25%, usia 11 tahun 58.5% dan usia 12 tahun 58.16667%.
57
Sedangkan persentase anak besar 2) perempuan pada a) persendian bahu usia 7 tahun 612.25%, usia 8 tahun 607.75%, usia 9 tahun 591.0833%, usia 10 tahun 583.9667%, usia 11 tahun 577.25%, usia 12 tahun 588.88883%, b) persendian pergelangan tagan usia 7 tahun 146.667%, usia 8 tahun 146.6667%, usia 9 tahun 141.667%, usia 10 tahun 141%, usia 11 tahun 140.25%, usia 12 tahun 140.333%, c) persendian punggung usia 7 tahun 105.7167%, usia 8 tahun 92.4333%, usia 9 tahun 94.7%, usia 10 tahun 96.81667%, usia 11 tahun 99.6667%, usia 12 tahun 106.93333%, d) persendian pangkal paha usia 7 tahun 969.5%, usia 8 tahun 288.6167%, usia 9 tahun 273.0833%, usia 10 tahun 275.833%, usia 11 tahun 289.75%, dan usia 12 tahun 270.4167%, e) persendian pergelangan kaki usia 7 tahun 56.8333%, usia 8 tahun 65.5%, usia 9 tahun 59.08333%, usia 10 tahun 56.25%, usia 11 tahun 58.5% dan usia 12 tahun 58.16667%.
58
C. Kerangka Berfikir
Letak Topografi Tempat Tinggal
1. 2. 3. 4.
Daerah Pesisir Pantai Medan datar & berpasir. Tekanan O2 yang normal. Difusi normal Oksihemoglobin normal.
Tidak terjadi aklimatisasi
Laki-laki Dan Perempuan Usia 6-12 tahun Di Kabupaten Trenggalek
1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4. 5.
Daerah Pegunungan Medan berbukit. Tekanan O2 yang rendah. Difusi menurun Oksihemoglobin rendah
Aklimatisasi Ventilasi paru-paru meningkat. Hemoglobin (Hb) meningkat. Vaskularisasi jaringan meningkat. Difusi paru-paru meningkat. Mitohcondria meningkat
Laki-laki Dan Perempuan Usia 6-12 tahun Di Kabupaten Trenggalek
Perkembangan Kemampuan kapasitas aerobik dan anaerobik
Gambar 10. Bagan Kerangka Berfikir
59
1.
Perkembangan Kemampuan kapasitas Aerobik Dan Anaerobik Ditinjau Dari Letak Topografi Tempat Tinggal Faktor lingkungan ini erat kaitanya dengan letak topografi, ketinggian
suatu tempat (dataran rendah dan dataran tinggi), suhu atau temperatur suatu tempat, cuaca dan iklim. Kondisi lingkungan dan tempat tinggal berpengaruh kepada kondisi fisik baik itu secara fisiologis dan anatomis manusia dan ini dapat di lihat dengan adanya perbedaan kondisi lingkungan berupa letak topografi baik itu dataran rendah di daerah pesisir pantai dan dataran tinggi di daerah pegunungan. a. Kondisi Medan Daerah Pesisir Pantai dan Daerah Pegunungan Daerah pantai dan pegunungan dilihat dari kondisi lingkungan dan letak topografi jelas berbeda, dimana kedua daerah tersebut diketahui memiliki ketinggian tempat dan tingkat perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda. Daerah pesisir pantai menjadikan masyarakatnya beradaptasi dengan lingkungan yang berpasir, begitu juga daerah pegunungan dengan ketinggian tempatnya menjadikaan masyarakatnya beradaptasi dengan lingkungan daerah pegunungan yang cendrung berbukit-bukit. Perbedaan nyata yang dapat digambarkan antara daerah pesisir pantai dan daerah pegunungan, bisa di lihat dari pola aktivitas yang dilakukan oleh masyarakatnya. Derah pesisir pantai yang mayoritas penduduknya adalah sebagai nelayan, menangkap ikan dan mengayuh perahu sampai ketengah lautan, harus dibarengi dengan kondisi fisik yang baik, aktivitas lain yang dapat dilihat pada anak-anak pesisir adalah berenang, menangkap ikan, menyelam dan bermain di atas pasir. Dimana kesemua aktivitas tersebut secara tidak sadar karena sudah terbiasa akan memberikan kesempatan, untuk melatih kemampuan fisik mereka secara alami. Dibandingkan dengan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di Daerah pegunungan dengan medan yang berbukit, tidak datar, tanjakan dan turunan yang curam serta suhu yang dingin menuntut masyarakatnya, untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan seperti itu, salah satu aktivitas atau keseharian
60
yang sering dilakukan di daerah pegunungan adalah berkebun atau bertani. Mayoritas penduduk pegunungan memiliki mata pencaharian bertani, dan kalau dilihat dari letak perkebunan mereka, kebanyakan berada di kaki gunung. Begitu juga dengan aktivitas anak-anak daerah pegunungan mereka lebih suka aktivitas yang berhubungan dengan petualangan yang telah diwariskan oleh keluarga mereka. Aktivitas ke sekolahpun harus mereka tempuh dengan berjalan kaki melewati perbukitan dan jalan setapak yang memiliki medan yang cukup berat, semua itu menuntut kesiapan fisik yang baik. b. Terjadinya Adaptasi Fisiologis. Letak topografi tempat tinggal yaitu di daerah pesisir pantai dan daerah pegunungan selain berpengaruh terhadap kemampuan fisik, berpengaruh juga tehadap keadan fisiologis anak. Hal ini terjadi bahwa anak yang tinggal di daerah pegunungan akan mengalami adaptasi fisiologis yang terjadi semenjak dilahirkan, ini diakibatkan karena tekanan parsial oksigen (PO2) yang ada di daerah pegunungan rendah karena dilihat dari ketinggian tempat tinggal dibandingkan di daerah pesisir pantai. Dengan adanya penurunan tekanan parsial oksigen (PO2) rendah maka penduduk yang tinggal di daerah pegunungan, akan mengalami penyesuaian diri (adaptasi) terhadap penurunan tekanan oksigen (PO2) yang rendah. Adapun cara tubuh menyesuaikan diri beradaptasi menghadapi tekanan oksigen (PO 2) yang rendah pada tempat yang tinggi adalah : 1) meningkatkan pentilasi paru-paru, 2) meningkatnya hemoglobin (Hb) dalam darah, 3) meningkatnya difusi paru-paru, 4) meningkatnya vaskularisasi jaringan, dan 5) bertambahnya jumlah mitokondria dan ensim oksidatif menggunakan oksigen (O2) meskipun tekanan parsial oksigen (PO2) rendah. Kondisi medan atau letak topografi tempat tinggal, baik di daerah pesisir pantai dan pegunungan akan berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan kapasitas aerobik dan anaerobik anak laki-laki dan perempuan tingkatan usia 6 sampai 12 tahun.
61
2. Perkembangan Kemampuan kapasitas Aerobik Dan Anaerobik Anak Tingkatan Usia 6-12 Tahun Ditinjau Dari Jenis Kelamin Perkembangan kemampuan kapasitas aerobik dan anaerobik antara anak laki-laki dan perempuan cendrung mengalami perbedaan. Ini dapat ditunjukkan dengan perbedaan antara pola pertumbuhan anak laki-laki dan perempuan dapat diketahui bahwa keduanya mempunyai pertumbuhan lengan dan tungkai yang cepat daripada pertumbuhan yang lainnya, tetapi anak laki-laki cenderung memiliki kaki dan lengan yang lebih panjang, dan lebih tinggi selama masa kanak-kanak. Seperti halnya, anak perempuan cenderung memiliki pinggul yang lebih lebar, dan paha yang besar selama periode ini. Perbedaan pola perkembangan anak seperti diatas antara anak laki-laki dan perempuan akan berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan kapasitas aerobik dan anaerobik. Selain itu kesempatan untuk mengasah keterampilan fisik anak laki-laki dan perempuan melalui permainan, kesempatan berolahraga atau aktivitas fisik yang lain mengalami ketimpangan, hal ini dapat dilihat dari pembagian tugas di lingkungan sosial masyarakat atau di lingkup keluarga dimana peran yang menuntut aktivitas fisik tinggi akan diambil dan dilaksanakan oleh laki-laki sedangkan tugas yang ringan yang kurang menuntut aktivitas fisik yang ringan akan dilaksanakan oleh kaum perempuan, keadaan ini akan berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan fisik secara umum, serta kemampuan kapasitas aerobik dan anaerobik secara khusus.