BAB II LANDASAN TEORI A. Landasan Teori Penelitian 1.
Teori Sinyal (Signaling Theory) Teori sinyal menjelaskan mengapa perusahaan mempunyai dorongan untuk memberikan informasi laporan keuangan pada pihak eksternal. Dorongan perusahaan untuk memberikan informasi karena terdapat asimetri informasi antara perusahaan dan pihak luar karena perusahaan mengetahui lebih banyak mengenai perusahaan dan prospek yang akan datang daripada pihak luar (investor, kreditor). Kurangnya
informasi
bagi
pihak
luar
mengenai
perusahaan
menyebabkan mereka melindingi diri mereka dengan memberikan harga yang rendah untuk perusahaan. Perusahaan dapat meningkatkan nilai perusahaan dengan mengurangi informasi asimetri. Salah satu cara untuk mengurangi informasi asimetri adalah dengan memberikan sinyal pada pihak luar, salah satunya berupa informasi keuangan yang dapat dipercaya dan akan mengurangi ketidakpastian mengenai prospek perusahaan yang akan datang (Wolk et al, 2000). Teori sinyal mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa promosi atau informasi lain yang menyatakan 15
16
bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain (Sari dan Zuhrohtun, 2006). Teori signal juga dapat membantu pihak perusahaan (agent), pemilik (prinsipal), dan pihak luar perusahaan mengurangi asimetri informasi dengan menghasilkan kualitas atau integritas informasi laporan
keuangan.
Untuk
memastikan
pihak-pihak
yang
berkepentingan meyakini keandalan informasi keuangan yang disampaikan pihak perusahaan (agent), perlu mendapatkan opini dari pihak lain yang bebas memberikan pendapat tentang laporan keuangan (Jama‟an, 2008). Signalling theory (teori sinyal) digunakan untuk menjelaskan bahwa pada dasarnya suatu informasi dimanfaatkan perusahaan untuk memberi sinyal positif maupun negatif kepada pemakainya. Teori sinyal (Leland dan Pyle dalam Scott, 2012:475) menyatakan bahwa pihak eksekutif perusahaan yang memiliki informasi lebih baik mengenai perusahaannya akan terdorong untuk menyampaikan informasi tersebut kepada calon investor dimana perusahaan pelaporannya
dapat
meningkatkan
dengan
mengirimkan
nilai
perusahaan
sinyal
melalui
melalui laporan
tahunannya. Manajemen tidak sepenuhnya menyampaikan seluruh informasi yang diperolehnya tentang semua hal yang dapat mempengaruhi nilai perusahaan ke pasar modal, sehingga jika majemen menyampaikan suatu informasi ke pasar, maka umumnya pasar akan bereaksi terhadap informasi tersebut sebagai suatu sinyal.
17
Pengungkapan CSR dalam annual report diharapkan mampu dijadikan sinyal oleh perusahaan ketika menarik minat investor untuk menanamkan dana pada saham perusahaan. Investor akan bereaksi positif apabila melihat perusahaan mengimplementasikan CSR. Hal inilah yang memotivasi perusahaan mencoba memberikan sinyal positif ketika mengungkapkan CSR.
2.
Teori Agensi (Principal-Agency Theory) Jensen
dan
Meckling
(1976)
dalam
Sugiri
(2003)
mendefinisikan hubungan keagenan sebagai sebuah kontrak yang menyatakan bahwa seorang atau lebih (prinsipal) meminta kepada orang lain (agen) untuk melakukan jasa tertentu demi kepentingan prinsipal, dengan mendelegasikan otoritas kepadanya. Pendelegasian otoritas memang menjadi sebuah keharusan dalam hubungan keagenan ini untuk memungkinkan agen mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada prinsipal. Dalam setiap hubungan keagenan, timbul agency cost yang ditanggung baik oleh prinsipal maupun oleh agen. Konsep Agency theory menurut Anthony dan Govindarajan (1995:569) dalam Widyaningdyah (2001) adalah hubungan atau kontrak antara principal dan agent. Principal mempekerjakan agent untuk melakukan tugas untuk kepentingan principal, termasuk pendelegasian otoritas pengambilan keputusan dari principal kepada agent. Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang
18
saham bertindak sebagai principal, dan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agent mereka. Pemegang saham mempekerjakan CEO untuk bertindak sesuai dengan kepentingan principal. Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak antara principal dengan agent. Menurut Darmawati et al. (2005), inti dari hubungan keagenan
adalah
adanya
pemisahan
antara
kepemilikan
(principal/investor) dan pengendalian (agent/manajer). Kepemilikan diwakili oleh investor yang mendelegasikan kewenangan kepada agen dalam hal ini manajer untuk mengelola kekayaan investor. Investor mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut, mereka akan memperoleh keuntungan dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor. Setyapurnama dan Norpratiwi (2004) menyatakan hubungan keagenan dapat menimbulkan masalah pada saat pihak-pihak yang bersangkutan mempunyai tujuan yang berbeda. Pemilik modal menghendaki bertambahnya kekayaan dan kemakmuran para pemilik modal,
sedangkan manajer juga menginginkan bertambahnya
kesejahteraan bagi para manajer. Dengan demikian muncullah konflik kepentingan antara pemilik (investor) dengan manajer (agen). Pemilik lebih tertarik untuk memaksimumkan return dan harga sekuritas dari investasinya, sedangkan manajer mempunyai kebutuhan psikologis dan ekonomi yang luas, termasuk memaksimumkan kompensasinya. Kontrak yang dibuat antara pemilik dengan manajer diharapkan dapat
19
meminimumkan konflik antar kedua kepentingan tersebut. Alijoyo dan Zaini (2004) beranggapan bahwa pemisahan fungsi eksekutif dan fungsi pengawasan pada teori keagenan menciptakan “checks and balances”, sehingga terjadi independensi yang sehat bagi para manajer untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang maksimum dan return yang memadahi bagi para pemegang saham.
3.
Teori Kontingensi (Contingency Theory) Teori kontingensi mula-mula diperkenalkan oleh Lawrence dan Lorsch (1967) kemudian dipakai oleh Kazt dan Rosenzweig (1973) yang menyatakan bahwa tidak ada cara terbaik dalam mencapai kesesuaian antara faktor organisasi dan lingkungan untuk memperoleh prestasi yang baik bagi suatu organisasi. Menurut Sari (2006) dalan Azli dan Azizi (2009), teori kontingensi merupakan suatu teori yang cocok digunakan dalam hal yang mengkaji reka bentuk, perancangan, prestasi dan kelakuan organisasi serta kajian yang berkaitan dengan pengaturan strategik. Menurut Raybun dan Thomas (1991) dalam Azli dan Azizi (2009), teori kontingensi menyatakan pemilihan sistem akuntansi oleh pihak manajemen adalah tergantung pada perbedaan desakan lingkungan perusahaan. Teori ini penting sebagai media untuk menerangkan perbedaan dalam struktur organisasi. Variabel yang sering dipakai dalam bidang ini adalah organisasi, lingkungan, teknologi, cara pembuatan keputusan, ukuran perusahan, struktur,
20
strategi, dan budaya organisasi (Raybun dan Thomas, 1991), serta ketidakpastian, teknologi, industri, misi dan strategi kompetitif, observabilitas (Fisher, 1999). Dalam konteks penelitian ini akan digunakan variabel kontingen CSR dan GCG untuk melihat pengaruhnya terhadap nilai perusahaan. CSR merupakan strategi yang digunakan oleh perusahaan sebagai akibat dari desakan lingkungan di sekitar perusahaan. Dalam UU No. 40, 2007, dinyatakan bahwa perusahaan yang aktifitasnya dalam sektor atau yang berhubungan dengan sumber daya alam harus menerapkan CSR. Tuntutan dari para stakeholder dan lingkungan telah „memaksa‟ perusahaan agar keberadaan perusahaan diapresiasi secara positif oleh stakeholder sehingga tercapai tingginya nilai perusahaan. Menurut IICG (2010), GCG dapat didefinisikan sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebagai upaya untuk memberikan nilai tambah perusahaan secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Menurut Daniri (2008), GCG dipicu oleh krisis ekonomi yang melanda dunia, agar krisis tidak terulang kembali maka dikembangkan sistem dan struktur pengelolaan perusahaan yang lebih baik. Penerapan GCG mewajibkan suatu perusahaan menerapkan struktur dan sistem tertentu. Dalam kaitannya dengan struktur, perusahaan diwajibkan menciptakan perangkat organisasi tertentu (seperti komisaris independen, komite
21
audit, komite remunerasi) untuk menjalankan fungsi spesifik, sedangkan dalam hal sistem, manajemen perusahaan diwajibkan mengikuti proses atau aturan tertentu dalam pengambilan keputusan dan dalam menjalankan kegiatannya secara umum.
B. Nilai Perusahaan Nilai
perusahaan
merupakan
persepsi
investor
terhadap
perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Tujuan utama perusahaan menurut theory of the firm adalah untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai perusahaan (value of the firm) (Salvatore, 2005). Memaksimalkan nilai perusahaan sangat penting artinya bagi suatu perusahaan, karena dengan memaksimalkan nilai perusahaan berarti juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang merupakan tujuan utama perusahaan. Menurut Husnan (2000) nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Sedangkan menurut Keown (2004) nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar. Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Nilai perusahaan yang tinggi akan membuat pasar percaya tidak hanya
22
pada kinerja perusahaan saat ini namun juga pada prospek perusahaan di masa depan. Menurut Christiawan dan Tarigan (2007), terdapat beberapa konsep nilai yang menjelaskan nilai suatu perusahaan antara lain: a.
Nilai nominal yaitu nilai yang tercantum secara formal dalam anggaran dasar perseroan, disebutkan secara eksplisit dalam neraca perusahaan, dan juga ditulis jelas dalam surat saham kolektif.
b.
Nilai pasar, sering disebut kurs adalah harga yang terjadi dari proses tawar-menawar di pasar saham. Nilai ini hanya bisa ditentukan jika saham perusahaan dijual di pasar saham.
c.
Nilai intrinsik merupakan nilai yang mengacu pada perkiraan nilai riil suatu perusahaan. Nilai perusahaan dalam konsep nilai intrinsik ini bukan sekadar harga dari sekumpulan aset, melainkan nilai perusahaan sebagai entitas bisnis yang memiliki kemampuan menghasilkan keuntungan di kemudian hari.
d.
Nilai buku, adalah nilai perusahaan yang dihitung dengan dasar konsep akuntansi.
e.
Nilai likuidasi itu adalah nilai jual seluruh aset perusahaan setelah dikurangi semua kewajiban yang harus dipenuhi. Nilai sisa itu merupakan bagian para pemegang saham. Nilai likuidasi bisa dihitung berdasarkan neraca performa yang disiapkan ketika suatu perusahaan akan likuidasi.
23
Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi nilai perusahaan antara lain kepemilikan manajerial, kinerja keuangan suatu perusahaan, kebijakan deviden, corporate governance dan lain sebagainya. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Suranta dan Machfoedz (2003) mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa nilai perusahaan akan lebih tinggi ketika direktur memiliki bagian saham yang lebih besar. Minguez and Francisco (2000) yang melakukan penelitian tentang struktur kepemilikan terhadap perusahaan-perusahaan publik di Spanyol
mengungkapkan
bahwa
struktur
kepemilikan perusahaan
berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2006) menemukan bahwa kebijakan dividen memberikan pengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Hasil penelitian Siallagan (2006) juga menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Nilai perusahaan menggambarkan seberapa baik atau buruk manajemen mengelola kekayaannya, hal ini bisa dilihat dari pengukuran kinerja keuangan yang diperoleh. Suatu perusahaan akan berusaha untuk memaksimalkan nilai perusahaannya. Peningkatan nilai perusahaan biasanya ditandai dengan naiknya harga saham di pasar. Rasio-rasio keuangan digunakan investor untuk mengetahui nilai pasar perusahaan. Rasio tersebut dapat memberikan indikasi bagi manajemen mengenai penilaian investor terhadap kinerja perusahaan dimasa lampau dan prospeknya dimasa depan. Ada beberapa rasio untuk
24
mengukur nilai pasar perusahaan, salah satunya Tobin‟s Q. Pengukuran kinerja dengan menggunakan Tobin‟s Q tidak hanya memberikan gambaran pada aspek fundamental saja, tetapi juga sejauh mana pasar menilai perusahaan dari berbagai aspek yang dilihat oleh pihak luar termasuk investor. Tobin‟s Q mewakili sejumlah variabel yang penting dalam pengukuran kinerja, antara lain aktiva tercatat perusahaan, kecenderungan pasar yang memadai seperti pandangan – pandangan analis mengenai prospek perusahaan, dan variabel modal intelektual atau intangible asset. Jadi semakin besar nilai Tobin‟s Q menunjukkan bahwa perusahaan memiliki prospek pertumbuhan yang baik. Hal ini dapat terjadi karena semakin besar nilai pasar asset perusahaan dibandingkan dengan nilai buku asset perusahaan maka semakin besar kerelaan investor untuk mengeluarkan pengorbanan yang lebih untuk memiliki perusahaan tersebut (Sukamulja, 2004). Jadi, Tobin‟s Q merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa efektif manajemen memanfaatkan sumber dayasumber daya ekonomis dalam kekuasaannya. Nilai perusahaan merupakan variabel dependen yang diukur dengan menggunakan Tobin‟s Q yang dihitung dengan menggunakan rumus:
Q=
(EMV + D) TA
Keterangan:
25
EMV ( Nilai Pasar Ekuitas) = P (Closing Price) x Qshares (Jumlah saham yang beredar) D ( Debt )
= Nilai buku dari total hutang
TA
= Total Asset
C. Kinerja Keuangan Kinerja adalah suatu gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan perusahaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu perusahaan. Sedangkan kinerja keuangan adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh perusahaan dalam suatu periode tertentu dan tertuang pada laporan keuangan perusahaan yang bersangkutan (Munawir, 1998). Tujuan manajemen adalah untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Untuk mencapai tujuan ini, perusahaan harus memanfaatkan keunggulan dari kekuatan perusahaan dan secara terus menerus memperbaiki kelemahan – kelemahan yang ada. Salah satu caranya adalah mengukur kinerja keuangan dengan menganalisa laporan keuangan menggunakan rasio-rasio keuangan. Hasil pengukuran terhadap percapaian kinerja dijadikan dasar bagi manajemen atau pengelola perusahaan untuk perbaikan kinerja pada periode berikutnya dan dijadikan landasan pemberian reward and punishment terhadap manajer dan anggota organisasi. Pengukuran kinerja yang dilakukan setiap periode waktu tertentu sangat bermanfaat untuk menilai kemajuan yang telah dicapai perusahaan dan menghasilkan informasi yang sangat bermanfaat untuk
26
pengambilan keputusan manajemen serta mampu menciptakan nilai perusahaan itu sendiri kepada para stakeholder. Menurut Putri (2009), ada dua macam kinerja yang diukur dalam berbagai penelitian, yaitu kinerja operasi perusahaan dan kinerja pasar. Kinerja operasi perusahaan diukur dengan melihat kemampuan perusahaan yang tampak pada laporan keuangannya. Untuk mengukur kinerja operasi perusahaan biasanya digunakan rasio profitabilitas. Rasio profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuangan pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu, rasio yang sering digunakan adalah ROE, yaitu rasio keuangan yang berfungsi untuk mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan dengan modal tertentu. Rasio ini merupakan ukuran profitabilitas dari sudut pemegang saham (Hanafi & Halim, 1996). ROE merupakan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri yang dimiliki, sehingga ROE ini ada yang menyebut rentabilitas modal sendiri (Sutrisno, 2000:267). Salah satu alasan utama perusahaan beroperasi adalah menghasilkan laba yang bermanfaat bagi para pemegang saham, ukuran yang digunakan dalam pencapaian alasan ini adalah tinggi rendahnya angka ROE yang berhasil dicapai. Semakin tinggi ROE, maka semakin tinggi pula kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba untuk para pemegang saham. Return On Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan
27
atas keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktivitas yang digunakan untuk aktivitas operasi perusahaan dengan tujuan menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Return On Asset (ROA) merupakan rasio yang terpenting di antara rasio profitabilitas yang ada (Ang, 2007:29). ROA yang negatif disebabkan laba perusahaan dalam kondisi negatif pula atau rugi. Hal ini menunjukkan kemampuan dari modal yang diinvestasikan secara keseluruhan belum mampu untuk menghasilkan laba. Menurut Brigham (2006:109) Return On Asset (ROA) diperoleh dengan cara membandingkan net income terhadap total asset. 1.
Rasio Kinerja Keuangan Pada umumnya berbagai rasio uang dihitung bisa dikelompokkan kedalam 4 (empat) tipe dasar (Munawir, 2004:194). yaitu: a.
Rasio Likuditas yang menunjukkan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban finansial yang berjangka pendek tepat pada waktunya.
b.
Rasio Solvabilitas yang menunjukkan kapasitas perusahaan untuk memenuhi kewajiban baik itu jangka pendek maupun jangka panjang.
c.
Rasio Aktivitas yang menunjukkan sejauh mana efisiensi perusahaan dalam menggunakan asset untuk memperoleh penjualan.
28
d.
Rasio Profitabilitas, rasio yang dapat mengukut seberapa besar kemampuan perusahaan memperoleh laba baik dalam hubungan dengan penjualan, asset maupun laba bagi modal sendiri Adapun klasifikasi dari masing-masing tipe rasio tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Rasio Likuiditas Pengertian rasio Likuiditas menurut Munawir (2004:31) adalah “rasio yang menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban pada saat ditagih”. Rasio-rasio likuiditas yaitu: a) Current Ratio Rasio
ini
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk
melunasi kewajiban jangka pendeknya dari aktivitas lancarnya. Rasio ini dihitung dengan membagi aktiva lancarnya dengan kewajiban jangka pendek. Aktiva Lancar Rasio Lancar = Hutang Lancar
b) Quick Ratio atau Acid-Test Ratio Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan melunasi kewajiban jangka pendeknya dari aktiva cepat (quick asset). Rasio ini dihitung dengan membagi jumlah kas, surat berharga, da piutang dagang bersih dengan kewajiban jangka pendeknya.
29
Aktiva – Persediaan Quick Ratio = Hutang Lancar c) Ratio Kas (Cash Ratio) Rasio ini digunakan untuk menentukkan tinggi rendahnya likuiditas perusahaan,
rasio
ini digunakan karena
kas
merupakan pos yang paling likuid yang dimiliki perusahaan guna melunasi kewajiban-kewajiban jangka pendeknya. Kas Rasio Kas = Hutang Lancar
2) Rasio Solvabilitas Rasio
Solvabilitas
merupakan
suatu
indikator
untuk
mengukur perbandingan dana yang disediakan oleh pemilik perusahaan dengan dana yang berasal dari kreditor perusahaan (dibelanjai dari hutang). a) Rasio Hutang Terhadap Modal (Total Debt to Equity Ratio). Rasio ini menunjukkan proporsi dari hutang jangka panjang terhadap dana pemegang saham. Hutang Jangka Panjang Hutang Terhadap Modal = Dana Pemegang Saham
30
b) Rasio Hutang Total Terhadap Aktiva Tetap (Total Debt to Total Asset). Rasio ini menunjukkan tingkat total hutang sebagai persentase dari total aktiva. Total Hutang Total Hutang Terhadap Modal = Total Aktiva
c) Ratio terhadap Aliran Kas (Debt to Operating Cash Flow). Rasio ini menunjukkan hubungan antara hutang jangka pendek dan jangka panjang dan aliran kas operasi perusahaan. Dalam hal ini aliran kas operasi terdiri dari laba setelah pajak dan penyusutan. Hutang / Aliran Kas Operasi =
Total Hutang Aliran Kas Operasi
d) Rasio Modal Sendiri dengan Total Aktiva (Stockholders Equity Ratio). Merupakan ratio yang menunjukkan tingkat solvabilitas perusahaan (likuiditas jangka panjang) dengan anggapan bahwa semua aktiva akan dapat direalisir sesuai dengan apa yang dilaporkan dengan neraca Stockholders Equity Ratio =
e) Rasio
Kemampuan
Converage
Ratio).
Membayar Rasio
ini
Equity Total Aktiva Bunga
(Times
mengukur
Interest
jaminan
dari
31
penghasilan sebelum bunga dan pajak (Earning Before Interest and Taxes atau EBI). Kemampuan Membayar Bunga =
EBT Bunga
3) Rasio Aktivitas. Rasio Aktivitas merupakan indikator untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya yang dikelolanya. a)
Inventory Turn Over (Rasio Perputaran Persediaan). Rasio ini menunjukkan kecepatan perusahaan untuk menjual tingkat persediaan barang rata-rata. Makin tinggi rasio ini maka makin pendek waktu persediaan barang menunggu penjualan INTO =
Harga Pokok Barang yang Dijual Persediaan Awal + Persediaan Akhir
b) Periode Pengumpulan Piutang (Average Collection Period). Rasio ini menggambarkan kemampuan rata-rata perusahaan dalam menagih piutang yang dihitung dalam hari . Semakin tinggi rasio ini berarti semakin lama waktu yang diperlukan untuk menagih piutangnya. Average Collection Period =
Piutang Rata-rata 360 Penjualan Kredit
32
c)
Rasio Perputaran Piutang (Receivable Turn Over). Rasio ini mengukur efektifitas pemberian kredit perusahaan. Rasio perputaran piutang ini juga merupakan indikator efisiensi
perusahaan
dalam
menagih
piutangnya
dan
mengkonversikannya kembali menjadi kas. Perputaran Piutang =
Penjualan Piutang Rata-rata
4) Rasio Profitabilitas Rasio Profitabilitas merupakan alat yang digunakan untuk menganalisis
kinerja
keuangan,
tingkat
profitabilitas
akan
menggambarkan posisi laba keuangan. Menurut Harmono (2009:196) menyatakan bahwa: “Analisis profitabilitas ini menggambarkan kinerja fudamental perusahaan ditinjau dari tingkat efisiensi dan efektifitas perasi perusahaan dalam memperoleh laba. Adapun
jenis-jenis
rasio
profitabilitas
menurut
Sutrisno
(2009:222) adalah sebagai berikut: a. Return On Equity (ROE) ROE adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan dengan modal sendiri yang dimiliki. Laba Bersih ROE =
100 % Ekuitas Biasa
33
b. Return On Assets (ROA) ROA adalah salah satu bentuk dari salah satu profitabilitas yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan atas keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktivitas yang digunakan untuk aktivitas operasi perusahaan dengan tujuan menghasilkan
laba
dengan
memanfaatkan
aktiva
yang
perusahaan
untuk
dimilikinya. Beasley (2009:297) Laba Bersih ROA = Total Aktiva c. Net Profit Margin (NPM) Profit
Margin
merupakan
kemampuan
menghasilkan keuntungan dibandingkan dengan penjualan yang dicapai Net Profit Margin =
Laba bersih setelah pajak Penjualan
d. Gross Profit Margin. Rasio ini merupakan perimbangan antara gross profit (laba kotor) yag diperoleh perusahaan dengan tingkat penjualan yang dicapai pada periode yang sama. 𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑃𝑟𝑜𝑓𝑖𝑡 𝑀𝑎𝑟𝑔𝑖𝑛 =
Penjualan − Harga Pokok pejualan Penjualan
34
D. Corporate Social Responsibility (CSR) 1. Pengertian Corporate Social Responbility. Seperti dikemukakan oleh Robins (2005), definisi CSR yang mencerminkan maksud CSR dan digunakan oleh Uni Eropa adalah sebagai berikut: CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental
concerns in
their business
operations
and
stakeholder relations on a voluntary basis; it is about managing companies in a socially responsible manner (Holand, 2003). Definisi lain dari CSR adalah sebagai berikut: The obligation of the firm to use its resources in ways to benefit society, through commited participation as a member of society, taking into account the society at large, and improving welfare of society at large independently of direct gains of the company (Kok et al, 2001, p. 287). Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa CSR dijalankan terintegrasi dengan bisnis perusahaan, memperhatikan kepentingan stakeholders (pemangku kepentingan) dengan harapan memberikan manfaat/kesejahteraan bagi masyarakat. Menurut Daniri (2007), CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang biasanya selalu fokus untuk memaksimalkan laba, mensejahterakan para pemegang saham., dan mengabaikan
35
tanggung jawab sosial seperti perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, dan lain sebagainya. Pada intinya, keberadaan perusahaan berdiri secara berseberangan dengan kenyataan kehidupan sosial. Konsep dan praktik CSR saat ini bukan lagi dipandang sebagai suatu cost center tetapi juga sebagai suatu strategi perusahaan yang dapat memacu dan menstabilkan pertumbuhan usaha secara jangka panjang. Oleh karena itu penting untuk mengungkapkan CSR dalam perusahaan sebagai wujud pelaporan tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Pengungkapan tanggung jawab sosial atau sering disebut sebagai corporate social reporting adalah proses pengkomunikasian efek-efek sosial dan lingkungan atas tindakan-tindakan ekonomi perusahaan pada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat dan pada masyarakat secara keseluruhan (Gray et. al., 1987). Dampak negatif perusahaan terhadap lingkungan sekitar mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat. Untuk meminimalisir dampak negatif tersebut adalah dengan
mengungkapkan
informasi-informasi
mengenai
operasi
perusahaan sehubungan dengan lingkungan sebagai tanggung jawab perusahaan. 2. Konsep dan Praktik CSR. Konsep dan praktik CSR saat ini bukan lagi sebagai suatu cost center tetapi juga sebagai suatu strategi perusahaan yang dapat memacu dan menstabilkan pertumbuhan usaha secara jangka panjang. Oleh
36
karena itu penting untuk mengungkapkan CSR dalam perusahaan sebagai wujud pelaporan tanggung jawab kepada masyarakat. Menurut Elkington dalam Wibisono (2007) jika perusahaan ingin bertahan maka harus memperhatikan 3P yaitu bukan hanya profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif manjaga kelestarian lingkungan (planee). Ketiga prinsip tersebut saling mendukung dalam pelaksanaan program CSR. Berikut merupakan gambar dari 3P
Profit (Keuntungan Ekonomi)
Plane (Keberlanjutan Lingkungan Hidup)
People (Kesejahteraan Masyarakat)
Gambar 2.1 Tripple Bottom Lines CSR Menurut Wibisono (2007) perusahaan memperoleh beberapa keuntungan karena menerapkan tanggung jawab sosial antara lain: untuk mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan, layak mendapat ijin untuk beroperasi (social license to
37
operate), mereduksi risiko bisnis perusahaan, melebarkan akses ke sumber daya, membentangkan akses menuju market, mereduksi biaya, memperbaiki hubungan dengan stakeholder, memperbaiki hubungan dengan regulator, dan meningkatkan semangat dan produktifitas karyawan. 3. Aspek Pengungkapan CSR Menurut GRI. GRI (Global Reporting Intiative) merupakan sebuah jaringan berbasis organisasi yang telah mempelopori perkembangan dunia, paling banyak menggunakan kerangka laporan keberlanjutan dan berkomitmen untuk terus-menerus melakukan perbaikan dan penerapan di seluruh dunia. Pertanggungjawaban sosial perusahaan tersebut diungkapkan di dalam laporan yang disebut sustainability reporting. Namun, banyak perusahaan yang mengungkapkan aktivitas CSR di dalam laporan tahunan (annual report). Sustainability Reporting adalah pelaporan mengenai kebijakan ekonomi, lingkungan dan sosial, pengaruh dan kinerja organisasi dan produknya di dalam konteks pembangunan berkelanjutan
(sustainable
development).
Sustainability
report
membahas pelaporan perusahaan tentang tanggung jawabnya terhadap ekonomi, lingkungan, dan sosial yang akan mempengaruhi perusahaan secara keseluruhan.
38
Berdasarkan indikator kinerja GRI, pengungkapan CSR terdiri dari tiga indikator kinerja yaitu indikator kinerja ekonomi, lingkungan, dan sosial. Pada indikator kinerja sosial, dikategorikan lebih lanjut ke dalam tiga kategori yaitu tenaga kerja, hak asasi manusia, masyarakat, dan tanggung jawab produk. Sehingga total ada enam indikator. Indikator kinerja menghasilkan perbandingan informasi mengenai kinerja organisasi dalam hal ekonomi, lingkungan, dan sosial. Organisasi didorong untuk mengikuti struktur ini dalam mengkompilasi laporan mereka, namun demikian format lainnya tetap dapat dipilih. Berikut ini ke enam indikator: Tabel 2.1 Indikator Pengungkapan CSR Menurut GRI No. Indikator 1 Kinerja Ekonomi
2
Kinerja Lingkungan
3
Praktek Tenaga Kerja dan Pekerjaan yang Layak
a. b. c. a. b. c. d. e. f. g. h. a. b. c. d. e.
Aspek Kinerja Ekonomi Kehadiran Pasar Dampak Ekonomi Tidak Langsung Material Energi Air Biodiversitas Emisi, Efluen, dan Limbah Produk dan Jasa Kepatuhan Pengangkutan/Transportasi Pekerjaan Tenaga Kerja/Hubungan Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Jabatan Pelatihan dan Pendidikan Keberagaman dan Kesempatan Kesetaraan
39
4
Hak Asasi Manusia
5
Masyarakat/Sosial
6
Tanggung Produk
Jawab
a. b. c. d. e. f. a. b. c. d. e. a. b.
Praktek Investasi dan Pengadaan Nondiskriminasi Pekerja Anak Kerja Paksa dan Kerja Wajib Praktek/Tindakan Pengamanan Hak Penduduk Asli Komunitas Korupsi Kebijaksanaan Publik Kelakuan Tidak Bersaing Kepatuhan Kesehatan dan Keamanan Pelanggan Pemasangan Label bagi Produk dan Jasa c. Komunikasi Pemasaran d. Keleluasaan Pribadi (privacy) Pelanggan e. Kepatuhan
E. Good Corporate Governance (GCG) 1. Pengertian Good Corporate Governance Menurut Daniri (2004), dengan mengutip riset Berle dan Means pada tahun 1934, isu GCG muncul karena terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Pemisahan ini memberikan kewenangan kepada pengelola (manajer/direksi) untuk mengurus jalannya perusahaan, seperti mengelola dana dan mengambil keputusan perusahaan atas nama pemilik. Pemisahan ini didasarkan pada principal-agency theory yang dalam hal ini manajemen cenderung akan meningkatkan keuntungan pribadinya daripada tujuan perusahaan. Selain memiliki kinerja keuangan yang baik, perusahaan juga diharapkan memiliki tata kelola yang baik. Definisi dan prinsip CG
40
yang saat ini masih bertahan dan dapat diakomodasi serta diadaptasi oleh berbagai regulasi yang ada khususnya di negara Indonesia (Utama, 2004), yaitu: a.
Cadbury Committee Menurut Komite Cadburry (2004), yang kemudian dikutip oleh FCGI dalam publikasi pertamanya, corporate governance adalah seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak – hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Komite Cadburry dalam laporannya juga menyatakan bahwa GCG terdiri dari 3 prinsip utama yaitu, keterbukaan, integritas, dan akuntabilitas.
b.
OECD
(Organization
for
Economic
Cooperation
and
Development) Sebagaimana yang diuraikan oleh OECD (2004), yang dikutip oleh FCGI dalam terbitannya ada 4 unsur penting dalam CG yaitu: 1) Keadilan (Fairness), yaitu kepastian perlindungan atas hak seluruh pemegang dari penipuan (fraud) dan penyimpangan lainnya serta adanya pemahaman yang jelas mengenai
41
hubungan berdasarkan kontrak diantara penyedia sumber daya perusahaan dan pelanggan. 2) Transparansi (Transparancy), yaitu keterbukaan mengenai informasi kinerja perusahaan, baik ketepatan waktu maupun akurasinya. Hal ini berkaitan dengankualitas informasi akuntansi yang dihasilkan, 3) Akuntabilitas
(Accountability),
yaitu
penciptaan
sistem
pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian wewenang, peranan, hak dan tanggung jawab dari pemegang saham, manajer, dan auditor. 4) Pertanggungjawaban
(Responsibility),
yaitu
pertanggungjawaban perusahaan kepada stakeholders dan lingkungan dimana perusahaan itu berada. Ada beberapa definisi corporte governance yang digunakan oleh perusahaan menurut kissane seperti yang dikutip Ridwan dan Camellia (2007:63) adalah definisi corporate governance sebagai: The legal and participal system fot the exercise of power and control in the conductof the bussines of a corporation, including in particular the relantionship among the shareholders, the board directors, and its committes, the executive officers, and other constituencies (such us employees, local communities and major costomers and suppliers).
42
Dengan demikian definisi corporate governance yang umum digunakan adalah corporate governance sebagai sistem hukum dan praktik untuk menjalankan kewenangan dan kontrol dalam kegiatan bisnis perusahaan. Kegiatan itu meliputi hubungan khusus antara pemegang saham, komisaris dan komite-komitenya, direksi, pejabat eksekutif, dan komite lainnya (seperti pegawai, masyarakat lokal, dan pelanggan dan pihak supplier). Pengertian good corporate governance menurut Tumbull Report di Inggris yang dikutip oleh Tsuguoki Fujinuma dalam Arief Effendi (2009:1) adalah sebagai berikut: Corporate governance is a company’s system of internal control, which has as its principalalm the management of risk that are significant to the fulfillment of its bussines objectives, with a view to saveguarding the company’s assets and enhanching overtime the value of the shareholders investment. Berdasarkan
pengertian
diatas,
corporate
governance
didefinisikan sebagai suatu sistem pengendalian internal perusahaan yang memiliki tujuan utama mengelola risiko yang signifikan guna memenuhi tujuan bisnisnya melalui pengamanan aset perusahaan dan meningkatkan nilai investasi pemegang saham dalam jangka panjang. CG timbul karena kepentingan perusahaan untuk memastikan kepada pihak penyandang dana (principal/investor) bahwa dana yang
43
ditanamkan digunakan secara tepat dan efisien. Selain itu dengan CG, perusahaan memberikan kepastian bahwa manajemen (agent) bertindak yang terbaik demi kepentingan perusahaan (Setyapurnama dan Nor Pratiwi, 2004). Penerapan
good
corporate
governance
diyakini
mampu
menciptakan kondisi yang kondusif dan landasan yang kokoh untuk menjalankan
operasional
perusahaan
yang
baik,
efisien
dan
menguntungkan. Coombes dan Watson (2000) dalam Fachrurozi (2007) menyatakan bahwa pemegang saham saat ini sangat aktif dalam meninjau kinerja perusahaan karena mereka menganggap bahwa CG yang lebih baik akan memberikan imbal hasil yang lebih tinggi bagi mereka. Tujuh puluh lima persen dari investor mengatakan bahwa praktek CG paling tidak sama pentingnya dengan kinerja keuangan ketika mereka mengevaluasi perusahaan untuk tujuan investasi. Bahkan 80% dari investor mengatakan bahwa mereka akan membayar lebih mahal untuk saham perusahaan yang memiliki CG yang lebih baik (wellgoverned company atau WGC) dibandingkan perusahaan lain dengan kinerja keuangan relatif sama. Dey Report (1994) mengemukakan bahwa CG yang efektif dalam jangka
panjang
dapat
meningkatkan
kinerja
perusahaan
dan
menguntungkan para pemegang saham. Morck, Shleifer dan Vishny (1988) dalam Bernhart dan Rosenstein (1998) yang menguji hubungan antara kepemilikan manajerial dan komposisi dewan komisaris terhadap
44
nilai perusahaan menemukan bahwa nilai perusahaan meningkat sejalan dengan peningkatan kepemilikan manajerial sampai dengan 5%, kemudian menurun pada saat kepemilikan manajerial 5%-25%, dan kemudian meningkat kembali seiring dengan adanya peningkatan kepemilikan manajerial secara berkelanjutan. Black et al. (2003) berargumen bahwa pertama, perusahaan yang dikelola dengan lebih baik akan dapat lebih menguntungkan sehingga mendapat dividen yang lebih tinggi. Kedua, disebabkan oleh karena investor luar dapat menilai earnings atau dividen yang sama dengan lebih tinggi untuk perusahaan yang menerapkan CG yang lebih baik. Hasil menunjukkan bahwa tidak ditemukan bukti bahwa perusahaan dengan CG yang baik lebih menguntungkan atau membayar dividen yang lebih tinggi, tetapi ditemukan bukti bahwa investor menilai earnings atau arus dividen yang sama dengan lebih tinggi untuk perusahaan yang menerapkan CG yang lebih baik. 2. Manfaat Good Corporate Governance. GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-udangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Penerapan sistem GCG diharapkan dapat
45
meningkatkan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa tujuan berikut. a.
Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai, dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapai tantangan organisasi kedepan.
b.
Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil dan dapat dipertanggungjawabkan.
c.
Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para shareholders dan stakeholders.
3. Mekanisme Good Corporate Governance Mekanisme CG merupakan suatu aturan main, prosedur dan hubungan yang jelas antara pihak yang mengambil keputusan dengan pihak yang melakukan kontrol, pengawasan terhadap keputusan tersebut. Mekanisme CG diarahkan untuk menjamin dan mengawasi berjalannya sistem governance dalam sebuah organisasi (Walsh dan Schward, 1990 dalam Arifin, 2005). Menurut Barnhart dan Rosenstein (1998) dalam Lastanti (2004), mekanisme CG dibagi menjadi dua, yaitu internal mechanism (mekanisme internal), seperti komposisi dewan direksi/komisaris, kepemilikan manajerial, dan kompensasi eksekutif. Mekanisme yang
46
kedua yaitu external mechanism (mekanisme eksternal), seperti pengendalian oleh pasar dan level debt financing. Mekanisme CG yang digunakan dalam penelitian ini adalah dewan komisaris, karena keterbatasan data mekanisme yang lain. Dalam penelitian ini semakin tinggi dewan komisaris diharapkan pihak manajemen akan berusaha meningkatkan kemampuan monitoring perusahaan dan berkontribusi untuk meningkatkan kinerja keuangan. Hal ini disebabkan oleh pihak dewan komisaris
juga akan
meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan. a.
Kepemilikan Manajerial Salah satu elemen CG yang mempengaruhi insentif bagi manajemen untuk melaksanakan kepentingan terbaik dari pemegang saham adalah pemilikan saham oleh manajemen. Kepemilikan manajemen didefinisikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan yang meliputi komisaris dan direksi (Midiastuty dan Machfoedz, 2003). Kepemilikan manajerial adalah situasi dimana manajer memiliki saham perusahaan atau dengan kata lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham perusahaan. Dalam laporan keuangan, keadaan ini ditunjukkan dengan besarnya persentase kepemilikan saham perusahaan oleh manajer. Karena hal ini merupakan informasi penting bagi pengguna laporan
47
keuangan maka informasi ini akan diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan. Adanya kepemilikan manajerial menjadi hal yang menarik jika dikaitkan dengan agency theory. Dalam kerangka agency theory, hubungan antara manajer dan pemegang saham digambarkan sebagai hubungan antara agent dan principal (Schroeder et al. 2001). Agent diberi mandat oleh principal untuk menjalankan bisnis demi kepentingan principal. Manajer sebagai agent dan pemegang saham sebagai principal. Keputusan bisnis yang diambil manajer adalah keputusan untuk mamaksimalkan sumber daya (utilitas) perusahaan. Suatu ancaman bagi pemegang saham jikalau manajer bertindak untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kepentingan pemegang saham. Dalam konteks ini masing-masing pihak memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Inilah yang menjadi masalah dasar dalam agency theory yaitu adanya konflik kepentingan. Pemegang saham dan manajer masingmasing
berkepentingan
untuk
mamaksimalkan
tujuannya.
Masing-masing pihak memiliki risiko terkait dengan fungsinya, manajer memiliki resiko untuk tidak ditunjuk lagi sebagai manajer jika gagal menjalankan fungsinya, sementara pemegang saham memiliki resiko kehilangan modalnya jika salah memilih manajer. Kondisi ini merupakan konsekuensi adanya pemisahan fungsi pengelolaan dengan fungsi kepemilikan.
48
b. Dewan Komisaris. Struktur dewan dalam perusahaan di Indonesia menganut sistem dua tingkat (two tiers system) yang menganut sistem hukum kontinental Eropa. Disini perusahaan mempunyai dua badan terpisah yaitu dewan pengawas (dewan komisaris) dan dewan manajemen (dewan direksi). Dewan direksi mengelola dan mewakili perusahaan di bawah pengarahan dan pengawasan dewan komisaris. Dewan direksi juga harus memberikan informasi kepada dewan komisaris dan menjawab hal-hal yang diajukan oleh dewan komisaris, sehingga dewan komisaris bertanggungjawab untuk mengawasi tugas-tugas manajemen serta tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksi-transaksi dengan pihak ketiga. Anggota Dewan Komisaris diangkat dan diganti dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Negaranegara dengan Two Tiers System adalah Denmark, Jerman, Belanda, dan Jepang. Karena sistem hukum Indonesia berasal dari sistem hukum Belanda, maka hukum perusahaan Indonesia menganut Two Tiers System untuk struktur dewan dalam perusahaan.
49
Gambar 2.2 Struktur Dewan Komisaris dan Dewan Direksi dalam Two Tiers System yang diadopsi oleh Indonesia Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Dewan Komisaris
Sumber: FCGI
Dewan Direksi
Supervisi pengawasan
Dewan Komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan Good Corporate Governance. Menurut Egon Zehnder (www.cic-fcgi.org), Dewan Komisaris merupakan inti dari Corporate Governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Pada intinya, Dewan Komisaris
merupakan
suatu
mekanisme
mengawasi
dan
mekanisme untuk memberikan petunjuk dan arahan pada pengelola
perusahaan.
Mengingat
manajemen
yang
bertanggungjawab untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing perusahaan sedangkan Dewan Komisaris bertanggungjawab
50
untuk
mengawasi
manajemen,
maka
Dewan
Komisaris
merupakan pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan. Dewan komisaris ada dua jenis yaitu komisaris independen dan komisaris non-independen. Komisaris independen merupakan komisaris yang tidak berasal dari pihak terafiliasi, sedangkan komisaris non-independen merupakan komisaris yang terafiliasi. Yang dimaksusd dengan terafiliasi adalah pihak yang mempunyai hubungan bisnis dan kekeluargaan dengan pemegang saham pengendali, anggota Direksi dan Dewan Komisaris lain, serta dengan perusahaan itu sendiri. Mantan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang terafiliasi serta karyawan perusahaan, untuk jangka waktu tertentu termasuk dalam kategori terafiliasi (KNKG, 2006). c.
Komite Audit Komite audit adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih besar, untuk mengerjakan pekerjaan tertentu untuk melakukan tugas-tugas khusus. Di dalam perusahaan, komite ini sangat berguna untuk menangani masalah-masalah yang membutuhkan integrasi dan koordinasi sehingga dimungkinkan permasalahan – permasalahan yang signifikan atau penting dapat segera teratasi (Kusumaning, 2004). Secara definisional, dewan komisaris berwenang mamanage hal-hal bisnis. Komisaris dipilih oleh pemegang saham sehingga
51
mereka bertanggung jawab terhadap pemegang saham. Dewan komisaris
melakukan
pekerjaannya
sendiri
atau
dengan
memberikan otoritasnya kepada komite yang bertanggung jawab terhadap dewan. Sebagai pihak yang diberi otoritas oleh dewan komisaris, komite audit bertugas untuk mengawasi proses pelaporan keuangan dalam perusahaan, sehingga keberadaan komite audit dalam perusahaan akan memperkecil kemungkinan terjadinya manajemen laba. Komite audit bukan bersifat wajib (mandatory) dan tidak selalu ada pada perusahaan kecil. Tanggung jawab komite audit meliputi: mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal (termasuk audit internal). Dari ketiga tanggung jawab tersebut, pengawasan pada laporan keuangan dan pengawasan pada audit eksternal adalah yang berkaitan dengan aktivitas manajemen laba. Pengawasan pada laporan keuangan meliputi laporan keuangan dan kebijakan akuntansi. Adanya
kewajiban
dibentuknya
komite
audit
pada
perusahaan-perusahaan publik oleh Bursa Efek Indonesia dalam pengaturan pencatatan No I – A, dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahaan yang baik menunjukkan bahwa BEI ingin meningkatkan pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan sehingga dapat mengurangi aktivitas manajemen melalui akrual
52
diskrisioner. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Verschoor (1993) dalam Kusumaning (2004) mengenai pengawasan pada audit eksternal diharapkan dapat meningkatkan independensi auditor sehingga dapat memperbaiki efektivitas audit. Oleh karena itu, keberadaan komite audit yang cukup independen
dapat
membantu
dalam
mengurangi
aktivitas
manajemen laba. (Kusumaning, 2004). Proporsi anggota komite audit
independen
berpengaruh
negatif
terhadap
earning
management. Semakin tinggi persentase anggota independen maka semakin kecil
earning
management
yang
dilakukan oleh
perusahaan. (Chtourou, Bedard dan Chtourou, 2003).
F. Penelitian Terdahulu Penelitian yang berhubungan dengan kinerja keuangan, CSR, GCG dan nilai perusahaan telah dilakukan dengan peneliti sebelumnya, sehingga beberapa poin penting dari hasil penelitian sebelumnya dapat dijadikan dasar dalam penelitian ini. Berikut ini akan diuraikan beberapa penelitian terdahulu. 1. Klapper dan Love (2002) menemukan adanya hubungan positif antara corporate governance dengan kinerja perusahaan yang diukur dengan Return On Assets (ROA) dan Tobin‟s Q. Penemuan penting lainnya adalah bahwa penerapan corporate governance di tingkat perusahaan lebih memiliki arti dalam negara berkembang dibandingkan dalam
53
negara maju. Hal tersebut menunjukkan bahwa perusahaan yang menerapkan corporate governance yang baik akan memperoleh manfaat yang lebih besar di negara-negara yang lingkungan hukumnya buruk. 2. Siallagan dan Machfoedz (2006) meneliti hubungan mekanisme corporate governance, kualitas laba dan nilai perusahaan. Dalam penelitian
ini
mekanisme
corporate
governance
diproksi
oleh
kepemilikan manajerial, keberadaan komite audit, dan proporsi dewan komisaris independen. Hasil menunjukkan bahwa mekanisme corporate governance mempengaruhi nilai perusahaan (Tobin’s Q). 3. Yuniasih dan Wirakusuma (2007) meneliti pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan dengan mempertimbangkan CSR dan corporate governance sebagai variabel moderasi. Kinerja keuangan diproksikan dengan ROA, sedangkan corporate governance diproksikan dengan kepemilikan manajerial. Hasilnya mengindikasikan bahwa ROA berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, pengungkapan CSR dapat memoderasi hubungan antara ROA dengan nilai perusahaan, akan tetapi kepemilkan manajerial tidak dapat memoderasi hubungan antara ROA dengan nilai perusahaan. 4. Lastanti (2004) meneliti hubungan antara struktur corporate governance dengan kinerja dan reaksi pasar. Dalam penelitian tersebut digunakan struktur corporate governance berupa komposisi dewan komisaris independen, struktur kepemilikan terkonsentrasi dan kepemilikan institusional.
Sedangkan kinerja perusahaan diproksi oleh nilai
54
perusahaan (Tobin’s Q) dan kinerja keuangan (ROA & ROE). Hasil penelitian menyatakan terdapat hubungan positif signifikan antara independensi dewan komisaris dan Tobin’s Q. Sementara variabel lain tidak berpengaruh secara signifikan, baik terhadap Tobin’s Q, ROA dan ROE. 5. Hasil penelitian Harjoto dan Jo (2007) dalam Rustiarini (2010) menemukan bahwa pengungkapan Corporate Social Responsibility berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu No. Peneliti 1. Klapper dan Love (2002) dalam Daemawati, dkk (2005) 2. Siallagan dan Machfoedz (2006)
3.
Yuniasih dan Wirakusuma (2007)
Judul Penelitian Hubungan antara Corporate Governance dengan kinerja perusahaan Kepemilikan manajerial, komisaris independen, komite audit, leverage, firm size kualitas laba dan nilai perusahaan Pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan dengan mempertimbangankan CSR dan corporate governance sebagai variabel moderasi
Hasil penelitian Adanya hubungan positif antara corporate governance dengan kinerja perusahaan yang diukur dengan ROA dan Tobins Q Mekanisme CG mempengaruhi nilai perusahaan (Tobins Q)
ROA berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, pengungkapan CSR dapat memoderasi hubungan antara ROA dengan nilai perusahaan, akan tetapi kepemilikan manajerial tidak dapat memoderasi hubungan antara ROA dengan nilai perusahaan
55
4.
5.
Lastanti, 2004
komposisi dewan komisaris independen, struktur kepemilikan terkonsentrasi, kepemilikan institusional, dan Kinerja Keuangan Harjoto dan Corporate Sosial Jo, 2007 Responsibility dan Nilai perusahaan
hubungan positif signifikan antara independensi dewan komisaris dan Tobin‟s Q. Sementara variabel lain tidak berpengaruh secara signifikan, baik terhadap Tobin‟s Q, ROA dan ROE. Corporate Social Responsibility berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.
G. Kerangka Pemikiran Teoritis Perbedaan hasil penelitian yang meneliti pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan mengindikasikan terdapat variabel lain yang ikut mempengaruhi. Dalam hal ini penulis memasukkan variabel ROA, ROE, CSR, dan GCG yang nantinya akan dapat dilihat apakah variabel ini akan mempengaruhi terhadap nilai perusahaan atau tidak. Oleh karena itu dapat digambarkan suatu kerangka pemikiran sebagai berikut: Kinerja Keuangan (ROE dan ROA) Nilai Perusahaan CSR (Corporate Social Responsibility) GGC (Dewan Komisaris) Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Teoretis
(Tobin’s Q)
56
H. Perumusan Hipotesis 1.
Kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan Para investor melakukan overview suatu perusahaan dengan melihat rasio keuangan sebagai alat evaluasi investasi, karena rasio keuangan mencerminkan tinggi rendahnya nilai perusahaan. Jika investor ingin melihat seberapa besar perusahaan menghasilkan return atas investasi yang akan mereka tanamkan, yang akan dilihat pertama kali adalah rasio profitabilitas, terutama ROE, karena rasio ini mengukur seberapa efektif perusahaan menghasilkan return bagi para investor. Return On Asset (ROA) adalah salah satu bentuk dari rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk mengukur kemampuan perusahaan atas keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktivitas yang digunakan untuk aktivitas operasi perusahaan dengan tujuan menghasilkan laba dengan memanfaatkan aktiva yang dimilikinya. Semakin tinggi rasio ini, maka semakin besar nilai profitabilitas perusahaan, yang pada akhirnya dapat menjadi sinyal positif bagi investor dalam melakukan investasi untuk memperoleh return tertentu. Tingkat return yang diperoleh menggambarkan seberapa baik nilai perusahaan
di
mata
investor.
Apabila
perusahaan
berhasil
membukukan tingkat keuntungan yang besar, maka hal ini akan memotivasi para investor untuk menanamkan modalnya pada saham, sehingga harga saham dan permintaan akan saham pun akan meningkat. Harga saham dan jumlah saham yang beredar akan
57
mempengaruhi nilai Tobins Q sebagai proksi dari nilai perusahaan, jika harga saham dan jumlah saham yang beredar naik, maka nilai Tobins Q juga akan naik. Tobins Q yang bernilai lebih dari 1, menggambarkan bahwa perusahaan menghasilkan earning dengan tingkat return yang sesuai dengan harga perolehan asset-asetnya (Tobins dan Brainard, 1977). Hal ini selaras dengan penelitian Wahyuni (2005) yang menunjukkan bahwa rasio profitabilitas ROE berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham. Penelitian yang dilakukan Ulupui (2007) dan Makaryawati (2002), Carlson dan Bathala (1997) dalam Suranta dan Pratana (2004) menemukan bahwa ROA berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Suranta dan Pratana (2004) dan Kaaro (2002) dalam Suranta dan Pratana (2004) menemukan ROA berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut, H1 : Kinerja keuangan berpengaruh terhadap nilai perusahaan 2.
Corporate Social Responbility terhadap nilai perusahan Adanya ketidakkonsistenan hubungan terhadap nilai perusahaan, penelitian yang dilakukan oleh Yuniasih dan Wirakusuma (2007), bahwa terdapat berbagai hasil penelitian yang mengungkapkan ROE mempunyai pengaruh positif dan negatif terhadap nilai perusahaan, dan ROA berpengaruh positif statistis pada nilai perusahaan diduga
58
terdapat variabel kontingen yang turut menginteraksi. Dalam penelitian ini, variabel kontingen yang akan digunakan adalah pengungkapan CSR. Variabel kontingen CSR akan turut menginteraksi hubungan dengan nilai perusahaan pada suatu kondisi tertentu. Desakan lingkungan perusahaan menuntut perusahaan agar menerapkan strategi untuk memaksimalkan nilai perusahaan. Strategi perusahaan seperti CSR dapat dilakukan untuk memberikan image perusahaan yang baik kepada pihak eksternal. Perusahaan dapat memaksimalkan modal pemegang saham, reputasi perusahaan, dan kelangsungan hidup jangka panjang perusahaan dengan menerapkan CSR. Telah disebutkan
dalam
UU
bahwa
perusahaan
yang
aktivitasnya
berhubungan dengan lingkungan alam wajib menerapkan CSR. Perusahaan tidak hanya memandang laba sebagai satu-satunya tujuan dari perusahaan tetapi ada tujuan yang lainnya yaitu kepedulian perusahaan terhadap lingkungan, karena perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham (Gray et. al., 1987). Disamping kinerja keuangan yang akan dilihat investor sebelum memutuskan untuk berinvestasi dalam suatu perusahaan, adanya pengungkapan item CSR dalam laporan keuangan diharapkan akan menjadi nilai plus yang akan menambah kepercayaan para investor, bahwa perusahaan tersebut akan terus berkembang dan berkelanjutan
59
(sustainable). Para konsumen akan lebih mengapresiasi perusahaan yang mengungkapkan CSR dibandingkan dengan perusahaan yang tidak mengungkapkan CSR, mereka akan membeli produk yang sebagian laba dari produk tersebut disisihkan untuk kepentingan sosial lingkungan,
misalnya
untuk
beasiswa,
pembangunan
masyarakat, program pelestarian lingkungan, dan lain
fasilitas
sebagainya.
Hal ini akan berdampak positif terhadap perusahaan, selain membangun image yang baik di mata para stakeholder karena kepedulian perusahaan terhadap sosial lingkungan, juga akan menaikkan laba perusahaan melalui peningkatan penjualan. Dengan demikian nilai ROE akan tinggi, dan akan menarik perhatian para investor untuk berinvestasi serta berpengaruh bagi peningkatan kinerja saham di bursa efek. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis alternatif yang diajukan adalah sebagai berikut. H2 :Pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan. 3.
Good Corporate Governance terhadap nilai perusahaan. Peneliti juga memasukkan variabel kontingen GCG sebagai suatu struktur yang sistematis untuk memaksimalkan nilai perusahaan. GCG mensyaratkan adanya tata kelola perusahaan yang baik. Tata kelola perusahaan yang baik menggambarkan bagaimana usaha manajemen mengelola aset dan modalnya dengan baik agar menarik para investor. Pengelolaan aset dan modal suatu perusahaan dapat
60
dilihat dari kinerja keuangan yang ada. Jika pengelolaannya dilakukan dengan baik maka otomatis akan meningkatkan nilai perusahaan. Proksi dari GCG yang digunakan adalah Dewan komisaris yang bertugas melakukan pengawasan terhadap manajemen, tidak boleh melibatkan diri dalam tugas-tugas manajemen dan tidak boleh mewakili perusahaan dalam transaksitransaksi dengan pihak ketiga (FCGI, 2002). Dewan komisaris merupakan wakil para pemegang saham dalam mengawasi pengelolaan perusahaan dan mencegah pengendalian yang berlebihan oleh manajemen. Teori agensi menjelaskan bahwa ukuran dewan komisaris yang semakin besar akan memudahkan dilakukan pengendalian terhadap agen dan mencegah terjadinya penyimpangan. Pengawasan yang dilakukan dewan komisaris menjadikannya sebagai pusat ketahanan dan kesuksesan perusahaan (FCGI, 2002). Ukuran dewan komisaris yang besar akan meningkatkan kemampuan monitoring perusahaan dan berkontribusi untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Pfeffer dan Salancik, 2003). Oleh sebab itu, perusahaan yang memiliki ukuran dewan komisaris semakin besar akan memiliki kinerja perusahaan yang semakin baik. Anggota dewan komisaris yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu juga dapat memberikan nasihat yang bernilai dalam penyusunan strategi dan penyelenggaraan perusahaan (Fama dan
61
Jensen, 1983) dalam Darwis, (2009). Fungsi kontrol yang dilakukan oleh komisaris diambil dari teori agensi. Dari perspektif teori agensi, dewan komisaris mewakili mekanisme internal utama untuk mengontrol
perilaku
oportunistik
manajemen
sehingga
dapat
membantu menyelaraskan kepentingan pemegang saham dan manajer (Jensen, 1993) dalam Darwis, (2009). Dari kedua fungsi dewan tersebut, terlihat bahwa jumlah komisaris berpengaruh terhadap nilai/kinerja perusahaan. Penelitian yang dilakukan Siallagan dan Machfoedz (2006) menemukan bahwa dewan komisaris secara positif signifikan berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis alternatif yang diajukan adalah sebagai berikut. H3 : Good Corporate Governance berpengaruh terhadap nilai perusahaan.