BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Fungsi Pajak 1. Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut R. Santoso Brotodihardjo, S.H dalam bukunya Pangantar Ilmu Hukum Pajak adalah sebagai berikut : “Pajak merupakan iuran kepada negara ( yang dapat dipaksakan ) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang lansung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluan umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip oleh Siti Resmi: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasar undangundang (yang dapat langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (2008:1).
Kemudian Soeparman Soemahamidjaja menyatakan bahwa: “pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahtera umum”(2008:1).
Sedangkan menurut Djajadiningrat : “Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan suatu hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan secara umum” (2008:1). Dari 3(tiga) pengertian pajak diatas, dapat disimpulkan bahwa ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak, yaitu : 1 . Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang. 2. Sifatnya dapat dipaksakan. 3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh si pembayar pajak. 4. Pemungutan pajak dilakukan oleh Negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta). 5.
Pajak
digunakan
untuk
membiayai
pengeluaran-pengeluaran
pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum. Dari kelima unsur yang harus dipenuhi dalam pengertian pajak di atas dan
sesuai dengan perundang-undangan yang mendukung
berlakunya pemungutan pajak di Indonesia serta fungsi dalam mencapai sasaran di bidang sosial ekonomi, maka definisi pajak yang berlaku secara umum adalah: Iuran rakyat kepada negara, berdasarkan undang-undang yang dapat dipaksakan dengan imbalan yang diberikan secara tidak langsung (umum) oleh pemerintah, gunanya untuk membiayai kebutuhan pemerintah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah negara dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengatur di bidang sosial ekonomi.
2.
Fungsi Pajak Ada dua fungsi pajak, Yaitu : 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin atau pembangunan dan juga pemerintah berusaha memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara. 2. Fungsi Mengatur (Regulerend) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, ekonomi selain itu juga untuk mencapai tujuan tujuan tertentu di luar bidang keuangan.. Contoh fungsi pajak sebagai alat pengatur adalah :
a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi
masyarakat terhadap minuman keras.
b. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% untuk mendorong ekspor produk Indonesia di pasaran dunia sehigga memperbesar devisa negara. c. Kebijakan pengenaan tarif bea masuk yang tinggi atas barangbarang impor untuk melindungi produk dalam negeri. d. Pajak yang cukup tinggi atas penjualan barang-barang mewah untuk menekan gaya hidup konsumtif masyarakat. e. Pemberlakuan tax holiday (pembebasan pajak) untuk menarik pemilik modal asing untuk berinvestasi di Indonesia.
3. Pajak Pertambahan Nilai 1. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Indonesia adalah Undang – undang Nomor 8 Tahun 1983. Lebih kurang 10 tahun kemudian undang – undang ini dirubah dengan undang – undang Nomor 11 Tahun 1994, yang berlaku sejak 1 Januari 1995 dan 5 tahun berikutnya dirubah lagi dengan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000 berlaku sejak 1 Januari 2001 sampai dengan September 2009, kemudian pada tanggal 15 Oktober 2009 Perubahan atas UU nomor 8 Tahun 1983 dirubah dengan Undang – Undang No. 42 tahun 2009 yang mulai berlaku mulai 1 April 2010
tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas Barang Mewah (PPnBM) .
2. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai a. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai 1) Pajak
Pertambahan
Nilai
merupakan
Pajak
Tidak
Langsung. Pajak Tidak Langsung yaitu beban Pajak yang dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi obyek pajak, sedangkan tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara berada ditangan pihak yang memikul beban pajak. Contoh : Negara
PPN
BKP/JKP Penjual/ Pengusaha Jasa (PKP)
Pembeli/ Penerima Jasa PPN
Pemikul Beban
2) Pajak Obyektif Pajak Obyektif
yaitu suatu jenis pajak yang saat
timbulnya kewajiban
pajak ditentukan oleh
faktor
obyektif, yaitu adanya keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama obyek pajak. 3) Multi Stage Tax Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur distribusi. Contoh : Pabrik Benanng
Benang
Pabrik Tekstil
Pabrik Garmen
Garmen
Pedagang Besar Garmen
Pedagang Eceran
Garmen
Tekstil
Garme n
Konsumen
4) PPN Terutang untuk dibayar ke Kas Negara dihitung menggunakan Indirect Subtraction Yaitu Pajak yang dipungut oleh PKP Penjual atau Pengusaha Jasa yang tidak secara otomatis wajib dibayar ke Kas Negara. PPN terutang yang wajib dibayar ke kas
Negara merupakan hasil perhitungan pengurangan PPN yang dibayar kepada PKP lain yang dinamakan Pajak Masukan dengan PPN yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa yang dinamakan Pajak keluaran. 5) PPN adalah konsumsi umum dalam Negeri Sebagai Pajak atas konsumsi umum dalam negeri Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak ( BKP ) atau Jasa Kena Pajak ( JKP ) di dilakukan di dalam negeri. 6) Pajak Pertambahan Nilai bersifat Netral Netralitas PPN dibentuk oleh 2 faktor : a. PPN dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa. b. Dalam pemungutannya, PPN menganut prinsip tempat tujuan. 7) Tidak menimbulkan Dampak Pengenaan Pajak Berganda. Kemungkinan pengenaan pajak berganda seperti yang dialami dalam era UU pajak Penjualan ( PPn) 1951 dapat dihindari sebanyak mungkin karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai tambah saja. Keadaan ini berbeda dengan situasi dalam era UU PPn 1951, yang dalam pelaksanaannya, pengusaha tidak diberi hak untuk memperoleh kembali PPn yang dibayar atas perolehan
bahan baku / pembantu atau barang modal, akibatnya Pajak Penjualan yang terutang sepenuhnya merupakan hasil perkalian tarif PPn dengan peredaran bruto.
b. Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai Mekanisme PPN kelompok khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 16A UU PPN diatur sebagai berikut : a) Instansi pemerintah, badan, atau orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemungut PPN b) PKP yang menyerahkan BKP atau JKP kepada pemungut PPN, wajib membuat bukti pemungutan, yaitu faktur pajak. c) Disaat pemungut PPN melakukan pembayaran harga jual atas BKP dan atau penggantian JKP “memungut” pajak terutang kemudian menyetorkan dengan menggunakan SSP ( Surat Setoran Pajak ) atas nama PKP rekanan pemasok dan melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak. d) SSP
tersebut
lalu
diserahkan
kepada
PKP
yang
berkepentingan.
c. Tipe Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan perlakuan terhadap perolehan barang modal, menurut buku “ Pajak Pertambahan Nilai “ Pajak Pertambahan
Nilai ( value Added Tax ) dapat dibedakan kedalam tiga kategori, yakni : 1) Consumption Type VAT Dalam tipe ini, semua pembelian yang digunakan untuk produksi termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari perhitungan nilai tambah, sehingga dasar pengenaan pajaknya
terbatas
pada
pembelian
untuk
keperluan
konsumsi, sedangkan pembelian barang – barang produksi dan barang modal dikeluarkan. 2) Net Income Type VAT Menurut type ini pengurangan pembelian barang modal dari dasar pengenaan pajak tidak dimungkinkan. Pembelian barang modal hanya boleh dikurangkan sebesar prosentase penyusutan yang ditentukan pada waktu menghitung mesin bersih dalam rangka perhitungan Pajak Penghasilan. 3) Gross Product Type VAT Dalam type ini pembelian barang modal sama sekali tidak boleh dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Hal ini mengakibatkan barang modal dikenakan Pajak dua kali yaitu pada saat beli, kemudian pemanjakan yang kedua dilakukan melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.
3. Subyek Pajak Pertambahan Nilai Subyek Pajak Pertambahan Nilai dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Pengusaha Kena Pajak “ Pengusaha kena pajak adalah pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak (BKP) / Jasa Kena Pajak (JKP) termasuk pengusaha
yang sejak
semula bermaksud
melakukan
penyerahan BKP/JKP. Pengusaha sendiri bisa terdiri dari orang pribadi dan badan usaha yang dalam lingkungan usaha pekerjaan
menghasilkan
barang,
mengimpor
barang,
melakukan usaha jasa, usaha perdagangan, memanfaatkan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar daerah pabean, melakukan penyerahan BKP/JKP yang dikenakan pajak kecuali sebagai pengusaha kecil dan/atau sejak semula bermaksud menyerahkan BKP/JKP adalah Pengusaha Kena Pajak.
b. Bukan pengusaha Kena Pajak Yang termasuk kedalam Bukan Pengusaha Kena Pajak adalah : 1. Siapapun yang mengimpor Barang Kena Pajak ( Pasal 4 huruf b UU PPN 1984)
2. Siapapun yang memanfatkan barang kena pajak tidak berwujud dan atau jasa kena Pajak dari luar daerah Pabean ( pasal 4 huruf e UU PPN 1984) 3. Siapapun yang membangun sendiri tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya ( pasal 16c UU PPN 1984) Untuk lebih lanjut pembahasan tentang terminologi Pengusaha dengan Pengusaha Kena Pajak selaku PPN dapat dijelaskan sebagai berikut : 1.
Usaha Kerja Sama Operasi ( Joint Operation ) Dalam hal Joint Operation menunjuk “ leader” maka apabila atas jasa yang diberikan oleh “leader” kepada anggota diterima pembayaran, maka atas pembayaran itu terutang PPN.
2.
Pengusaha Kecil Pengusaha Kecil adalah pengusaha yang menyerahkan BKP dan atau JKP dalam satu tahun buku memperoleh jumlah peredaran bruto atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,-. ( enam ratus juta rupiah ).
3.
Hubungan Istimewa Karena adanya factor kepemilikan atau penyertaan dimana pengusaha memiliki peryertaan modal 25% atau lebih baik baik langsung maupun tidak lansung.
Pengusaha dari segi manajemen dan teknologi dimana pengusaha yang satu menguasai lainnya atau dua/lebih perubahaan di bawah pengusaha yang sama baik lansung maupun tidak langsung. Hubungan keluarga baik sedarah maupun tidak sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan atau kesamping juga satu derajat.
c. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak wajib : a. Melaporkan
usahanya
untuk
dikukuhkan
sebagai
Pengusaha Kena Pajak b. Memungut PPN dan PPnBM yang terutang c. Menyetor PPN dan PPnBM yang terutang d. Melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang
4. Obyek Pajak Pertambahan Nilai a. Barang Kena Pajak BKP menurut Lukman Hakim Nasution & Tony Marsyahrul dalam bukunya yang berjudul : Pajak Pertambahan Nilai ( 2008 : 7) adalah sebagai berikut:
“Barang kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak maupun barang tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan Undang – undang PPN”.
Unsur barang kena pajak : 1) penyerahan Barang Kena Pajak 2) daerah Pabean 3) dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan 4) yang melakukan harus Pengusaha Kena Pajak.
b. Jenis - Jenis Barang tidak Kena PPN 1) barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil lansung dari sumbernya. 2) barang – barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. 3) makan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung dan sejenisnya yang dikomsumsi ditempat maupun tidak, dan tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh jasa boga atau catering. 4) listrik, kecuali listrik untuk perumahan dengan daya diatas 6.600 watt
5) uang, emas batangan, dan surat – surat berharga 6) air bersih yang disalurkan melalui pipa.
c. Jasa Kena Pajak Berdasarkan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1944 dan Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2000, definisi Jasa Kena Pajak tidak mengalami perubahan, yaitu Jasa Kena Pajak adalah : setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang – Undang ini.
d. Jenis – jenis Jasa tidak Kena Pajak Berdasarkan pasal 4A ayat 3 UU No. 8 PPN Tahun 1983 Juncto pasal 5 PP no. 144 Tahun 2000 jenis jasa yang tidak kena PPN adalah : 1) Jasa di bidang pelayanan Kesehatan Medik 2) Jasa di bidang pelayanan sosial 3) Jasa di bidang pengiriman surat dan perangko
4) Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan opsi 5) Jasa di bidang keagamaan 6) Jasa di bidang pendidikan 7) Jasa di bidang kesenian 8) Jasa di bidang penyiaran bukan iklan 9) Jasa di bidang angkutan umum 10) Jasa di bidang tenaga kerja 11) Jasa di bidang perhotelan 12) Jasa yang di sediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
5. Saat dan Tempat Pajak Terutang a. Saat Pajak Terutang Saat pajak terutang sebagaimana diatur dalam pasal 11 UU PPN 1984 adalah : 1) pada saat penyerahan BKP dan atau JKP 2) pada saat importir BKP ( termasuk daerah pabean ) 3) pada saat pembayaran dalam hal sebelum penyerahan BKP dan / atau JKP 4) pada saat dimulai pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
5) pada saat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
b. Tempat Pajak Terutang Tempat pajak terutang sebagaimana diatur di dalam pasal 12 UU PPN 1984 adalah : 1) tempat tinggal atau tempat kedudukan 2) tempat usaha dilakukan 3) tempat BKP dimasukan dalam impor 4) tempat orang pribadi dan/atau badan terdaftar sebagai WP dalam hal pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah. 5) tempat lain sebagaimana ditetapkan oleh direktur Jenderal Pajak 6) satu tempat atau lebih yang ditempatkan oleh Direktur Jenderal Pajak atas permohonan tertulis dari pengusaha kena pajak.
6. Pajak Keluaran, Pajak Masukan, dan Pengkreditan Pajak Pajak Pertambahan Nilai terutang adalah pajak Keluaran lebih besar dari pada pajak masukan, Kekurangan pajak masukan tersebut harus dilunasi Pengusaha Kena Pajak sesuai jangka waktu pembayaran dan pelaporannya. Jika pajak Masukan lebih besar dari pada Pajak keluaran maka pembayaran pajak lebih besar sehingga
Pengusaha Kena Pajak dapat memilih untuk meminta restitusi atau kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak tersebut. Dan jika selisih antara Pajak Keluaran sama besarnya dengan pajak masukan, maka muncul nihil atau tidak adanya pembayaran pajak. ( Gustian Juanda, 2006 : 92 ) a. Pajak Keluran (PK) Pajak Keluaran adalah PPN terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP, atau ekspor Barang Kena Pajak. Contoh : Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan harga Rp. 25.000.000,- PPN yang terutang adalah : 10% x Rp. 25.000.000,- = Rp. 2.500.000,PPN ini merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.
b. Pajak Masukan (PM) Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaaan Jasa Kena Pajak atau pemanfataaan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.
Perolehan BKP oleh pembeli (PKP) dari penjual PKP B, maka transaksi
tersebut dibuat dibuat faktur pajak, besar Pajak
masukan adalah 10 % x harga beli atau perolehan. Pajak masukan yang sebelumnya menganut “Cash Basis” diubah menjadi “Accrual Basis”. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang sama kepada PKP Penjual dan PKP Pembeli. Contoh : Pengusaha Kena Pajak A membeli tunai Barang Kena Pajak dari Pengusaha Kena Pajak C dengan harga Rp. 20.000.000,PPN yang terutang adalah : 10% x Rp. 20.000.000,- = Rp. 2.000.000,PPN ini merupakan Pajak masukan, yang dipeoleh dari Pengusaha Kena Pajak C.
c. Prinsip Dasar Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran Prinsip – prinsip pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran pada dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Berdasarkan pasal 9 ayat 2 UU PPN 1984 2) Pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah pajak masukan yang dibayar untuk memperoleh BKP/JKP yang
berhubungan lansung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak.
Berdasarkan pasal 9 ayat 2 UU PPN 1984 Pajak masukan dikreditan dengan pajak keluaran, namun karena banyak PKP yang tidak dapat melaksanakan tepat pada waktunya maka UU PPN 1984 memberikan kemudahan dengan pasal 9 UU PPN 1984 yang membolehkan pengkreditan pajak masukan dengan pajak keluaran tersebut sampai dengan paling lambat pada bulan ketiga setelah masa pajak bersangkutan dengan syarat : 1) pajak masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya 2) belum
diperiksa,
kecuali
telah
dicatat
dalam
pembukuan PKP yang berkepentingan Dalam hal setelah lewat bulan ketiga, pengkreditan dilakukan dengan cara pembetulan SPT masa PPN.
d. Pengkreditan Pajak Masukan dalam Kaitan dengan Fasilitas Perpajakan 1) Atas penyerahan dalam negeri usaha Industri dengan tarif PPN sebesar keluaran 10% yang terdiri antara lain : a. Perolehan bahan baku utama dan perolehan bahan baku lain ( pembantu ) dikenai PPN, maka Pajak Masukan bahan aku utama dan bahan baku lain dapat dikreditkan dengan pajak keluaran ( PPN keluaran ) b. Perolehan bahan baku utama ( dibebaskan PPN ) dan perolehan bakan baku lain dapat dikreditkan dengan pajak keluarannya dan bahan baku utama tidak dikenai PPN (tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran ). 2) Atas Penyerahan Ekspor, dengan tarif PPN Keluaran 0%. a. Pajak Masukan bahan baku utama dan Pajak Masukan bahan baku lain dikenakan PPN, maka Pajak masukan bahan baku utama dan bahan baku lain dapat dikreditkan Pajak Keluaran, dengan tariff 0%, maka terjadi restitusi. b. Pajak Masukan Bahan Baku Utama (dibebaskan PPN) dan Pajak Masukan bahan baku lain dapat dikreditkan dengan pajak keluaran, jika pajak masukan lebih besar daripada pajak keluaran maka bisa dimintakan restitusi.
Bahan Baku utama tidak terkena PPN dan tidak dapat dikreditkan dengan pajak Keluaran/PPN keluaran.
e. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan Pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP yang berhubungan lansung dengan kegiatan usaha dalam melakukan penyerahan BArang Kena Pajak. Kriteria PM yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan pasal 9 ayat 8 UU PPN 1984 terdiri dari : 1) PM yang dibayar sebelum dikukuhkan sebagai PKP, 2) PM yang bertentangan dengan pasal 9 ayat (5), yaitu PM yang tidak berhubungan lansung dengan kegiatan usaha, 3) PM untuk memperoleh dan pemeliharaan kendaraan bermotor tertentu, yaitu sedan, jeep, station wagon, van dan kombi kecuali digunakan sebagai barang dagangan atau disewakan, 4) PM yang diperoleh sebelum pengusaha melaporkan usahanya di kukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, 5) PM tidak mencantumkan secara lengkap hal – hal yang diatur dalam pasal 13 ayat 5 UU PPN, antara lain yang bukti pungutannya hanya berupa faktur pajak sederhana.
6) PM tidak mencantumkan faktur pajak sesuai ketentuan ( tidak di isi secara lengkap), 7) PM atas barang kena pajak tidak berwujud tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam 13 ayat 6 UU PPN (syarat dokumen tertentu diakui sebagai faktur pajak), 8) PM ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak (PPN dibayar atas ketetapan pajak), 9) PM tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan masa dan ditemukan pada saat pemeriksaan.
7. Faktur Pajak Pengertian Faktur Pajak yang dirumuskan dalam pasal 1 angka 23 UU PPN 1984 sebagai berikut : “Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP atau pemyerahan JKP, atau bukti pungutan pajak karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenseral Bea dan Cukai”.
Faktur Pajak masukan adalah faktur pajak yang diterbitkan oleh badan lain, sedangkan faktur pajak keluaran diterbitkan oleh yayasan atau lembaga Nirlaba sendiri.
Faktur Pajak sesuai dengan Undang – Undang PPN dan PPnBM UU No. 42 Tahun 2009. yang mulai berlaku mulai 1 April 2010 adalah sebagai berikut :
a. Faktur Pajak Faktur pajak yang dibuat Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang meliputi seluruh penyerahan barang kena pajak (PKP) atau jasa kena pajak (JKP). Faktur Pajak Standar sedikitnya memuat : 1) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak dan atau Penerima Jasa Kena Pajak, 2) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, 3) Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian dan potogan harga, 4) Pajak Pertambahan Nilai yang di pungut, 5) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut, 6) Kode, nomor seri,dan tanggal pembuatan Faktur Pajak dan 7) Nama
jabatan
serta
tanda
tangan
yang
berhak
menandatangani Faktur Pajak .
b. Faktur Pajak Standar Gabungan Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak yang cara pengunaannya diperkenankan kepada PKP yang memuat lebih dari satu transaksi dalam satu bulan takwin atas penyerahan BKP/JKP kepada pembeli atau penerima jasa yang sama, dan
harus dibuat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP/JKP.
Dalam hal terdapat pembayaran sebelum penyerahan BKP/JKP atau terdapat pembayaran sebelum faktur pajak gabungan tersebut dibuat maka untuk pembayaran tersebut dibuatkan faktur pajak tersendiri pada saat diterimanya pembayaran.
Faktur Pajak harus dibuat sekurang – kurangnya dalam 2 rangkap yaitu : Lembar ke - 1 : untuk pembeli BKP atu penerima JKP sebagai bukti pajak masukan Lembar ke – 2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak sebagai bukti Pajak Keluaran.
Faktur Pajak yang dapat digunakan untuk beberapa kali penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima jasa yang sama yang dilakukan dalam satu masa pajak.
c. Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana juga merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menampung kegiatan penyerahan BKP atau penyerahan JKP yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir. Faktur Pajak Sederhana bisa berupa bon kwitansi, bukti pembayaran dan dokumen lain yang sejenis. Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat keterangan : 1) Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak dan atau penerima Jasa Kena Pajak, 2) Jenis dan quantum Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan, 3) Jumlah harga jual atau penggantian yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan secara terpisah, 4) Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana.
d. Dokumen yang disamakan fungsinya dengan faktur pajak, yang diterbitkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap.
8. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Pengertian Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar perhitungan PPN yang harus dibayar setelah dikali dengan tarif PPN 10 % yang diharus dibayar. Berdasarkan jenis – jenis DPP 1) Harga Jual Harga Jual adalah nilai berupa mata uang, termasuk semua biaya yang diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk pajak yang di pungut menurut UU No. 88 Tahun 1983 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak. 2) Penggantian Penggantian adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya di minta kembali oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU No. 8 PPN Tahun 1983 dan potongan harga yang di cantumkan dalam faktur pajak. 3) Nilai Impor Nilai impor adalah nilai berupa uang, yang menjadi dasar penghitungan bea masuk di tambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam pengaturan perundang – undangan pabean untuk impor BKP, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut UU PPN Tahun 1983.
4) Nilai Ekspor Nilai Ekspor sebagai dasar pengenaan pajak dirumuskan sebagai nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. DPP atas ekspor BKP adalah Nilai Ekspor yang tercantum dalam PEB yang telah dimuat oleh DJBC. 5) Nilai Lain Nilai lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu.
9. Pemungutan PPN Pemungut PPN yang ditetapkan dengan keputusan menteri Keuangan RI Nomor 547/KMK.04/2000 adalah instalasi pemerin tah atau Badan – Badan tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
atau
Jasa
Kena
Pajak
(JKP)
kepada
instalasi
Pemerintah/Badan – Badan tertentu ( Waluyo : 2007 : 108) Menurut Undang – Undang PPN dan PPnBM UU No. 42 Tahun 2009 : Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah Bendaraan Pemerintah, Badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh menteri Keuangan untuk memungut, menyetor dan
melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak Kepada Bendaraha pemerintah, Badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
1. Saat Pemungutan PPN / PPnBM 1) Pemungutan
PPN
dan
PPnBM
dilakukan
saat
pembayaran oleh badan – badan tertentu kepada rekanan yang bersangkutan. 2) Pemungutan dan pencatatan, penyetoran PPN atau PPnBM
yang
pembayaran
dipungut,
oleh
KPKN
dilakukan kepada
pada
PKP
saat
rekanan
pemerintahan. 3) Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada saat pembayaran oleh pembendaraan Pemerintahan kepada Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintahan.
10. Surat Pemberitauan Pajak Pertambahan PPN Berdasarkan Undang – undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2000 perlu diperhatikan bahwa :
a. Setiap PKP wajib mengisi dan menyampaikan SPT Masa PPN dengan Benar, lengkap, jelas dan menandatanganinya. b. Setiap PKP yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Masa PPN atau menyampaikan SPT Masa PPN dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, di pidana dengan penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda 4 ( empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Dalam setiap sistem self assessment SPT masa PPn berfungsi
sebagai
sarana
bagi
PKP
untuk
mempertanggungjawabkan perhitungan jumah PPN atau PPnBM yang terutang dan melaporkan tentang : a. Pengkreditan Pajak Masukan (PM) terhadap pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pihak lain dalam suatu masa pajak. Berdasarkan Undang – undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang pajak Pertambahan Nilai dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2000, dan aturan pelaksanaannya terakhir diatur dalam peraturan Direktur 146/PJ./2006
tentang
Jenderal Pajak Nomor PER-
Bentuk,
Isi,
dan
Tata
Cara
Penyampaian Surat Pemberitauan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER 147/PJ.2006 tentang Bentuk, Isi dan Tata
Cara
Penyampaian
Surat
Pemberitauan
Pajak
Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi pemungut PPN, maka dikenal ada dua SPT Masa PPN, yaitu : a. SPT Masa PPN bentuk Formulir 1107, yang wajib digunakan bagi semua PKP dan mulai berlaku sejak Masa Pajak Januari 2007 b. SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN bentuk Formulir 1107 PUT, yang wajib digunakan bagi Pemungut PPN dan mulai berlaku sejak masa Pajak Januari 2007. Bentuk dan Isi Masa PPN Formulir 1107 SPT Masa PPN Bentuk Formulir 1107 terdiri dari : a. Induk SPT
Masa PPN dengan Kode Formulir
1107(F.1.2.32..01) meru pakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), b. Lampiran SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas ( hard copy) atau data elektronik dengan kode formulir 1107 A(D.1.2.32.01) merupakan Lampiran 1-Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM, c. Lampiran SPT Masa PPN dalam bentuk formulir kertas ( hard copy ) atau data elektronik dengan
kode formulir B(D.1.2.32.02) merupakan Lampiran 2-Daftar Pajak masukan dan PPnBM. Penyampaian
dapat
dilakukan
dengan
cara
menyerahkan lansung ke KPP atau Kapenpa, atau disampaikan melalui Kantor Pos secara tercatat dan tanggal
cap
pos
berfungsi
sebagai
tanggal
penerimaan SPT Masa PPN. SPT Masa PPN harus disampaiakan selambat – lambatnya pada dua puluh hari setelah akhir masa Pajak. Apabila hari kedua puluh jatuh pada hari libur, maka SPT Masa PPN harus disampaikan pada 52 hari kerja sebelum hari libur.
11. Perhitungan PPN Terutang Berikut contoh dari perhitungan Pajak Nilai Terutang : ( Siti Resmi, 2004 : 72) PT. Perdana adalah sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha industri saus. Perusahaan didirikan pada tahun 2000 dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan Indentitas lengkap sebagai berikut : Nama PKP
: PT. Perdana
Alamat
: Jl. Kaliurang NO. 49, Sleman - Yogyakarta
No. Telepon
: 0274 – 524901
Jenis Usaha
: Industri Saus
Merek Usaha
: Glatik
NPWP
: 01.222.333.0.542.000
NPPKP
: 01.222.333.0.542.000