BAB II LANDASAN TEORI
II.1
Corporate Social Responsibility ( CSR ) Menurut Fred, kekuatan eksternal utama perusahaan dapat dibagi menjadi 5
kategori, salah satunya adalah “ kekuatan sosial, budaya, demografi, dan lingkungan” (h. 118). Dalam Global Perception of the Role of Corporation suatu survei di tahun 1999 terhadap ribuan responden di dunia (23 negara di 6 benua), hasilnya adalah: (a)
separuh
responden
“care
about
the
social
behaviour
of
companies”;
(b) duapertiga responden ingin perusahaan meninggalkan peranan perusahaan yang hanya menekankan pada: membuat keuntungan, membayar pajak, dan menggunakan tenaga kerja. Mereka minta agar fokus perusahaan adalah juga bagaimana menyumbang pada tujuan-tujuan masyarakat secara lebih luas (broader societal goals); dan (c) perhatian masyarakat sekarang lebih pada “corporate citizenship”, ketimbang hanya pada “brand reputation” dan “financial factors”. (p. 7) Keterkaitan CSR dengan akuntansi diungkapkan oleh Godfrey dalam Accounting Theory dimana diungkapkan perkembangan teori akuntansi (p. 10) : Pre – 1400s
Practice development
1450 – 1750
Pre-theory period (continued development of predice)
1750 – 1920s
Formalisation of practice
1800s to 1955
General scientific period (explanation of practice & development of explanatory framework)
7
1956 – 1970s
Normative period (statement of ideal practices and basis for archieving such practices)
1970s to 2000
Positive accounting theory ( a framework to explain and predict behavior)
2000 to present
mixed development (positive and behavioural theories)
“Accounting exist as a direct function of the activities of individuals or groups of individuals (defined as accounting entities) consideration needs to be given to the complex environment in which ccountants operate the competing demands for and of accounting information. That accounting is a function of human behaviourand activity”(p.360)“. Disclosing environmental information and the likely cost of an environmental clean-up by an organization may lead to support from environmental lobby groups; however, it may also attract a very different response from shareholder groups who may take the view that the company is expending excessive resources to appease marginal interest groups.(p. 362)” Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Hill et. al (2007) memberikan gambaran yang mendukung pelaksanaan CSR sebagai bagian dari strategi bisnis perusahaan. Ia meneliti beberapa perusahaan di Amerika Serikat, Eropa dan Asia yang melakukan praktik CSR lalu menghubungkannya dengan value perusahaan yang diukur dari nilai saham perusahaan-perusahaan tersebut. Kesimpulannya adalah, CSR dalam jangka pendek memang tidak memberikan value yang memadai bagi pemegang saham, karena biaya CSR justru mengurangi keuntungan yang bisa dicapai perusahaan. Namun demikian, dalam jangka panjang, perusahaan yang memiliki komitmen kuat di CSR ternyata kinerjanya melampaui perusahan-perusahaan yang tidak memiliki komitmen terhadap CSR. 8
Menurut Business News, ada beberapa alasan yang mendorong perusahaan mengungkapkan kegiatan sosial ekonominya (30 Juni 2007): Internal decision-making (sebagai informasi dalam pengambilan keputusan intern), Product differentiation (untuk tampil beda dengan perusahaan lain yang tidak memperhatikan aspek sosial perusahaan), Enlightened self-interest (membantu menghilangkan stigma masyarakat bahwa perusahaan tidak peduli terhadap komunitasnya). Dalam artikel “How Should Civil Society (and The Government) Respond to ‘Corporate Social Responsibility’?”, Hamann dan Acult (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR: 1. Akomodasi : kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik dan parsial. CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Sehingga, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya. 2. Legitimasi : motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi wacana. Motivasi ini berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih khusus, kiprah para korporasi raksasa. Sedangkan menurut penelitian Monica I. Winn yang dikutip oleh A.B Susanto dalam majalah Ozon edisi No. 2 (2002), berjudul Corporate Greening, ia membagi 4 jenis motivasi perusahaan untuk corporate greening, yaitu : 1. Deliberate reactive : komitmen rendah terhadap kelestarian lingkungan dan pendekatan implementasinya juga buruk. Biayalah yang menjadi prioritas utama. 2. Unrealized greening : komitmen tinggi dalam kebijakannya terhadap lingkungan, tapi implementasinya pasif sehingga terkesan “no action talking only” . 9
3. Emergent
active
:
komitmen
rendah
tetapi
implementasinya
bagus.
Implementasinya didorong karena untuk manfaat kepada perusahaan, bukan karena kesadaran terhadap lingkungan. 4. Deliberate proactive greening : komitmen tinggi yang tertuang dalam kebijakan perusahaan dan benar-benar dilakukan dalam operasinya.
II.1.1 Pengertian CSR Dalam perkembangannya, CSR tidak memiliki definisi tunggal. Mengacu pada CSR-Asia (www.csr-asia.com), pengertian corporate social responsibility adalah komitmen perusahaan untuk beroperasi dengan cara yang terus-menerus secara ekonomi, sosial dan lingkungan dengan seimbang menurut berbagai kepentingan dari stakeholder. Sedangkan menurut CSR-Indonesia (www.csrindonesia.com), corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) adalah upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasarkan 3 pilar utama, yaitu keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif tiap pilar. Definisi umum menurut World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) (2002), corporate social responsibility adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, keluarga karyawan dan masyarakat lokal dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan. Menurut World Commision on Environment and Development (WCED) yang diterjemahkan dalam Character Building IV (2005), “pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk
10
pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang memenuhi kebutuhannya” (h. 106). Pada intinya tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) adalah kewajiban organisasi bisnis untuk mengambil bagian dalam kegiatan yang bertujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Jeneiro Brazillia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi menjadi pembangunan yang berkelanjutan. Chonko dan Hunt (Sulistiyo, 2003) mengklasifikasikan tanggungjawab sosial perusahaan menjadi 3 sudut pandang yaitu : 1. The Classsical View, menyatakan bahwa tanggungjawab utama perusahaan adalah kepada para pemegang saham atas return dari investasi mereka. 2. The Activist Contrainer View, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan tidak efektif lagi dikendalikan oleh kekuatan pasar. Oleh karena itu harus diatur berbagai peraturan yang bertujuan menghindari kekuatan mereka yang sewenang-wenang. 3. The Mangerial View, meyatakan bahwa para eksekutif perusahaan-perusahaan besar harus tanggap pada berbagai pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan agar kelangsungan hidup terjamin. Menurut penelitian PIRAC (Public Interest Research and Advocacy) tahun 2001, mengenai potensi kedermawanan sosial 226 perusahaan yang tersebar di Indonesia (Medan, Pekanbaru, Jakarta, Semarang, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, Makasar, Manado dan Tangerang), dengan komposisi 36% perusahaan lokal, 17% perusahaan multinasional dan sisanya adalah perusahaan nasional. Hasil survey mereka menyebutkan bahwa sumbangan terbesar diberikan dalam bentuk tunai umtuk alokasi 11
pelayanan sosial, khususnya sumbangan bencana 82%, kegiatan keagamaan 61%, pendidikan 57%, lingkungan 38%, ekonomi 33%, kesehatan 33%, seni budaya 30%, hukum dan advokasi 3%. Padahal, CSR tidak hanya sebatas pada filantropy, yaitu sumbangan atau amal yang biasa dilakukan perusahaan dalam perayaan hari besar tertentu. Menurut Hopkins (2007), CSR dan filantropy bukanlah istilah yang sama. Karena filantropy hanyalah bagian dari CSR. CSR bersifat before profit (dianggap sebagai investasi jangka panjang perusahaan) dan kegiatannya berkelanjutan. Sementara kebanyakan filantropy diperhitungkan belakangan dari keuntungan perusahaan dan tidak secara sungguh-sungguh ditujukan sebagai upaya yang berkelanjutan, dan berdasarkan konsep “giving back to society”. Karenanya, filantropy hanya dapat dipertahankan manakala ia sungguh-sungguh menjadi bagian dari kerangka CSR dan pembangunan berkelanjutan. (h. 116)
II.1.2 Hal-hal Terkait CSR Hal-hal yang terkait dengan kegiatan CSR adalah sebagai berikut: 1. Protokol Kyoto : merupakan hasil pertemuan di Kyoto, Jepang pada Desember 1997, yang terbuka untuk ditandatangani dari tanggal 16 Maret 1998 sampai 15 Maret 1999 di markas besar PBB, New York. Menurut Joseph E. Stiglitz yang diterjemahkan oleh Edrijani, protokol ini tidak menghasilkan permintaan yang harus segera dilakukan negara berkembang, tetapi mengharuskan setiap negara maju agar pada tahun 2012 sudah bisa mengurangi emisi gas, dengan rincian : Eropa 8%, Amerika Serikat 7% dan Jepang 6%. 2. Global Compact
12
Global Compact adalah program yang disponsori Sekjen PBB Kofi Annan saat dilangsungkannya World Economic Forum di Davos pada Januari 1999. Konsep ini bertujuan untuk menyediakan insentive bagi kerjasama international yang menerima dan secara aktif mempromosikan
nilai-nilai dan prinsip yang ditetapkan oleh
Persatuan Bangsa-Bangsa (United Nations) di bidang standar perburuhan, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup dan diluncurkan pada tgl 26 Juli 2000 di kantor pusat PBB di New York . 10 prinsip pelaporan tersebut terdiri dari : 2 prinsip hak asasi manusia, 4 prinsip standar tenaga kerja, 3 prinsip lingkungan, 1 prinsip anti-korupsi 3. Sullivan Principle : Non-diskriminasi ras, Equal and fair employment process, Equal payment compansable work, program training untuk mempersiapkan kulit hitam dan non kulit putih lain sebagai supervisor, administrasi, klerk dan teknisi dalam jumlah yang substansial, memperbanyak kulit hitam dan non kulit putih lain dalam profesi manajemen dan supervisor, memperbaiki tempat hidup pekerja diluar lingkungan kerja 4. Dow Jones Sustainability Index a. Economic
Indicators
:
Code
of
Conduct/Compliance/Corruption
and
Bribery/Ethics, Corporate Governance, Customer Relationship Management, Investor/shareholders
relations,
Suppliers
relations,
Risk
and
Crisis
Management b. Environmental Indicators : Environmental Policy/Management, Environmental Performance, Environmental Reporting c. Social
Indicators
:
Corporate
Citizenship/Philanthropy,
Stakeholder
Engagement; any type of commitment to stakeholders, Labour Practices, Human
13
Capital Development, Social Reporting : figures about the employees, Talent attraction and Retention Sumber : http://www.sustainabilty-index.com 5. ISO 14000 Environmental Management Standard Standar yang digunakan untuk menyediakan kerangka dalam pengembangan sistem manajemen lingkungan dan mendukung program audit.
II.1.3 Konsep CSR Artikel Alexander Dahlsrud di jurnal Corporate Social Responsibility and Environmental Management No. 15 (2008) yang diterjemahkan oleh Jalal dengan tegas menyimpulkan bahwa ragam definisi yang kini ada sebenarnya konsisten menyebutkan 5 aspek : ekonomi, sosial, lingkungan, pemangku kepentingan dan voluntarisme. 3 aspek pertama diturunkan dari konsep pembangunan berkelanjutan, sehingga kaitan diantara 2 konsep itu tak lagi terbantah. CSR hanya akan dianggap substansial manakala ia ditujukan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Aspek keempat menegaskan bahwa CSR ditujukan untuk seluruh pemangku kepentingan perusahaan, internal dan eksternal, bukan hanya sebagiannya saja. Ini berkonsekuensi kepada keharusan perusahaan untuk memastikan bahwa mereka memang mengetahui siapa saja pemangku kepentingannya, dan memastikan bahwa setiap kepentingan yang valid akan terlayani. Aspek kelima, menegaskan bahwa perusahaan akan dianggap serius dalam CSR nya manakala ia terlebih dahulu memastikan bahwa tidak ada ketentuan legal yang ia langgar, kemudian ia berupaya melampaui ketentuan legal itu. Semakin jauh perusahaan melampaui batas-batas legal, kinerja CSR nya bisa dianggap semakin baik.
14
Sedangkan, konsep CSR menurut CSR Asia terdiri dari 3 “bottom line”. Istilah ini dipopulerkan oleh John Elkington dalam bukunya Cannibals with Forks: The triple bottom-line of 21st Century Business, yaitu: 1. Evironmental ( lingkungan ) Aspek lingkungan dinilai sangat penting, apalagi dengan semakin gencarnya pembicaraan mengenai Global Warming diseluruh dunia. Salah satu faktor penyebab kerusakan
lingkungan
adalah
dampak
dari
perusahaan-perusahaan
yang
mengabaikan lingkungan dalam operasi mereka. Padahal dengan menjaga kelestarian lingkungan, perusahaan akan mendapatkan ketersediaan sumberdaya yang lebih terjamin kelangsungannya. 2. Social (sosial) Di Indonesia wujud CSR yang dilakukan perusahaan sebagian besar melalui Community Development. Tanggung jawab sosial perusahaan digambarkan melalui kondisi, hak asasi, masyarakat dan tanggung jawab terhadap produk dan jasa. Tanggung jawab sosial yang dilakukan perusahaan sebagian besar terkait dengan kepentingan masyarakat dan pegawai. Menurut Bambang Rudito (2007), community development mempunyai tujuan untuk pemberdayaan masyarakat (empowerment), bagaimana anggota masyarakat dapat mengaktualisasikan diri mereka dalam pengelolaan lingkungan yang ada di sekitarnya dan memenuhi kebutuhannya secara mandiri tanpa ketergantungan dengan pihak lain. (h.66) Secara umum, ruang lingkup program-program community development dapat dibagi berdasarkan 3 kategori yang secara keseluruhan akan bergerak secara bersama-sama, yaitu : 15
•
Community relation : kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Seperti seringnya pihak korporat dengan anggota komuniti lokal melakukan pertemuan-pertemuan.
•
Community Service : pelayanan korporat untuk memenuhi kepentingan masyarakat ataupun kepentingan umum. Contohnya : pembangunan secara fisik sektor-sektor kesehatan keagamaan, pendidikan, transportasi, sumber air minum dan sebagainya.
•
Community Empowering : program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya, seperti pembentukan koperasi, usaha industri kecil lainnya yang secara natural anggota masyarakat sudah mempunyai pranata pendukungnya dan korporat memberikan akses kepada pranata sosial yang ada tersebut agar dapat berlanjut. (h. 67)
3. Economic ( Ekonomi ) Ekonomi dalam hal ini merujuk pada profit (keuntungan) yang merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Profit sendiri merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Sedangkan aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktifitas dan melakukan efisiensi biaya, sehingga perusahaan mempunyai keunggulan kompetitif yang dapat memberikan nilai tambah semaksimal mungkin. Peningkatan produktifitas dapat diperoleh dengan memperbaiki kinerja manajemen melalui penyederhanaan proses,
16
mengurangi aktifitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan pelayanan, termasuk menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya serendah mungkin. (h.33)
II.1.4 Stakeholders Perusahaan dan Pelaku CSR Definisi stakeholders menurut Rhenald Kasali yang dikutip oleh Yusuf (2007) adalah setiap kelompok yang berada di dalam maupun diluar perusahaan yang mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Ia memberikan ilustrasi keterkaitan antara perusahaan dan stakeholders. Ia membagi stakeholders menjadi 2 : 1. Stakeholders internal adalah stakeholders yang berada di dalam lingkungan perusahaan, sehingga bersifat controllable, terdiri dari : pemegang saham, direksi dan manajer profesional, karyawan dan keluarganya. 2. Stakeholders eksternal adalah pihak-pihak yang berada diluar kendali perusahaan (uncontrollable), terdiri dari : konsumen, penyalur dan pemasok, pemerintah, pers, pesaing, komunitas dan masyarakat.
Yusuf
Wibisono
mengkategorikan
perilaku
perusahaan
dalam
mengimplementasikan CSR menjadi 4 peringkat : 1. Hitam (oleh Elkington dianalogikan seperti ulat). Sistem ekonomi yang didominasi korporasi berperingkat hitam ini pasti akan menghabiskan kapital alam dan sosial. Mereka menjalankan bisnis semata-mata untuk kepentingannya sendiri dan tidak peduli pada aspek lingkungan dan sosial 17
sekelilingnya. Akhir dari aktivitas usahanya adalah kolaps atau tutup, contohnya adalah kasus Bojong. 2. Merah ( oleh Elkington dianalogikan sebagai belalang). Korporasi model ini mirip dengan peringkat hitam, mereka memiliki model bisnis yang bersifat degenaratif dan tidak sustainable. Mereka memiliki kecenderungan mengeksploitasi sumber daya melampaui daya dukung ekologi, sosial dan ekonomi serta secara kolektif menghasilkan dampak negatif di tingkat regional
bahkan
global. Mungkin mereka mulai mempraktekkan CSR, namun memandangnya hanya sebagai komponen biaya yang akan mengurangi keuntungannya. Perusahaan dalam kategori ini umumnya berasal dari peringkat hitam yang mengimplementasikan CSR setelah mendapat tekanan dari stakeholders-nya, misalnya masyarakat atau LSM, sehingga dengan terpaksa memperhatikan isu lingkungan dan sosial. Model ini hanya akan menancapkan stigma negatif pada perusahaan dan kurang berimbas pada pembentukan citra positif perusahaan. Praktek jenis ini tak akan mampu berkontribusi bagi pembangunan berkelanjutan. Misalnya, yang paling mirip dengan kasus ini adalah PT Freeport Indonesia.
3. Biru ( oleh Elkington dianalogikan sebagai kupu-kupu) Mereka adalah perusahaan yang menganggap praktek CSR akan memberi dampak positif terhadap usahanya, karena mereka menilai CSR sebagai investasi bukan biaya. Korporasi jenis ini memiliki komitmen kuat terhadap agenda-agenda CSR. Karenanya kelompok ini secara sukarela dan sungguh-sungguh mempraktekkan CSR karena meyakini bahwa investasi sosial ini akan berbuah pada lancarnya operasional 18
perusahaan, disamping citra dan reputasi yang positif juga layak mereka dapatkan. Beberapa perusahaan yang pernah memenangi CD/CSR Award adalah contoh dari kategori ini. 4. Hijau (oleh Elkington dianalogikan sebagai lebah madu) CSR ditempatkan pada strategi inti dan jantung bisnis mereka. Bagi mereka, CSR tidak dianggap sebagai suatu keharusan, namun merupakan suatu kebutuhan. CSR bukan lagi sebagi liabilities tetapi ekuitas. Mereka percaya, ada nilai tukar atas aspek lingkungan dan aspek sosial tehadap aspek ekonomi. Karenanya mereka meyakini bahwa usahanya hanya dapat sustain apabila disamping memiliki modal finansial mereka juga harus memiliki modal sosial. Korporasi ini merupakan korporasi yang menumbuhkan (regenerative), karena korporasi ini memiliki model bisnis berdasarkan inovasi terus menerus, menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis, manajemen pengelolaan sumber daya alam yang strategik dan sustainable, serta kapasitas untuk meneruskan keberlanjutan usaha. Hasilnya, perusahaan ini tidak hanya mendapat citra positif, tapi juga kepercayaan dan dukungan penuh dari masyarakat. Saat ini korporasi yang berperingkat hijau memang masih sangat langka.
II.1.5 CSR di Indonesia Di Indonesia, Corporate Social Responsibility dianggap potensial karena dijumpai banyak indikasi positif, seperti : 1.
Adanya NCSR (National Center for Sustainability Reporting) yang didirikan tahun 2005 oleh 5 organisasi besar, yaitu : The Indonesian Accountants Institute Management Accounting Compartment (IAI-KAM), yang sekarang menjadi 19
IAMI, National Committee on Governance (KNKG), Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI), Indonesian Public Listed Companies Association (AEI) and the Indonesian-Netherlands Association (INA). 2. Penyelenggaraan PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) oleh Kementrian Lingkungan Hidup untuk mendorong penataan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui instrumen informasi. Adapun dasar hukum pelaksanaan PROPER dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No : 127 Tahun 2002 tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan (PROPER). Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) mengukur kinerja lingkungan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah hukum Indonesia, kemudian melaporkan hasilnya melalui konferensi pers maupun internet dalam bentuk laporan warna yang diberikan, yaitu hitam, merah, biru, hijau dan emas. 3. Penganugerahan CSR Award : ISRA (Indonesia Sustainability Reporting Award), yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen (IAI-KAM, kini IAMI). Ditujukan untuk korporat yang menerapkan Sustainability Report secara baik. 4. Forum BUMN untuk community development (comdev) 5.
Naiknya keanggotaan organisasi-organisasi perusahaan yang mempromosikan CSR. Pada tahun 2004, hanya ada 1 listed company yang menerbitkan Sustainability Report. Tahun 2005, meningkat menjadi 5 perusahaan. Dan tahun 2006, sudah terdapat 12 perusahaan yang menerbitkan laporan CSR secara terpisah dari annual report-nya.
6.
Maraknya seminar dan pelatihan CSR 20
7. Pembentukan divisi/departemen yang khusus menangani CSR di berbagai perusahaan, terutama korporasi. Karena sebelumnya, walaupun ada perusahaan yang telah menerapkan CSR, sebagian besar masuk dalam job description divisi General Affair atau divisi lainnya sehingga kurang memberikan kontribusi yang cukup untuk penerapan CSR. Praktek CSR di Indonesia mengambil 2 bentuk umum: •
tanggungjawab institusional perusahaan yang terikat peraturan perundang-undangan Misalnya ; BUMN disyaratkan memberikan sumbangan dari keuntungan tahunan, atau pengusaha HPH (Hak Pengusahaan Hutan) diwajibkan melaksanakan program pembinaan masyarakat desa hutan.
•
tanggungjawab sukarela yang tidak terikat oleh peraturan perundang-undangan, tetapi dianggap penting atau dikerjakan oleh perusahaan, baik oleh kebutuhan internal perusahaan maupun oleh pertimbangan moral, sosial dan kemanusiaan.
Kebijakan dan payung hukum CSR di Indonesia adalah : 1. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 yang menghendaki semua perusahaan untuk menyajikan laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah khususnya bagi industri dimana hukum lingkungan hidup memegang peranan penting bagi industri tersebut. 2. UU Perseroan Terbatas pasal 74 yang disahkan pada tanggal 20 Juli 2007. Esensinya : Perseroan yang memiliki bidang usaha dan atau terkait dengan SDA wajib melaksanakan tanggungjawab sosial dan lingkungan.
21
3. UU Perseroan Terbatas pasal 66 ayat 2c, yang menyatakan bahwa laporan tahunan juga harus memuat mengenai pelaksanaan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan. 4. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun pasal (5), (6), (7) menerangkan mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat atas lingkungan hidup. 5. PP RI No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup pasal (33) dan (34) tentang keterbukaan informasi dan peran masyarakat. 6. Keputusan Menteri BUMN No. KEP-236/MBU/ 2003 tertanggal 17 Juni 2003, yang diberikan kepada perusahaan ini dituangkan mengenai perusahaan memiliki kewajiban untuk bertanggungjawab akan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup mayarakat yang ada disekitar lokasi perusahaan. 7. Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/2/DPNP tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) Nomor 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Dalam ketentuan tersebut, upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan oleh debitur, khususnya debitur berskala besar dan memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup merupakan salah satu faktor pertimbangan dalam penilaian kualitas kredit. 8. Yang terbaru adalah ISO 26000 tentang Guidance on Social Responsibility, yang diperkirakan akan selesai pada akhir tahun 2009.
II.1.6 Manfaat Dan Keuntungan Pengungkapan CSR Manfaat CSR bagi perusahaan menurut A.B Susanto : 22
1. Mengurangi resiko dan tuduhan terhadap perlakuan tidak pantas yang dilakukan perusahaan. 2. Pelindung dan membantu perusahaan meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan suatu krisis. 3. Keterlibatan dan kebanggan karyawan yang akan menghasilkan loyalitas kepada perusahaan. 4. Memperbaiki dan mempererat hubungan antara perusahaan dengan stakeholders-nya 5. Meningkatnya penjualan Sedangkan, keuntungan dari pengungkapan CSR adalah : 1. Peningkatan citra perusahaan. Saat ini, perusahaan harus dapat menjaga dan memberi nilai tambah pada lingkungannya. Citra perusahaan yang baik menjadi sangat penting. Citra yang baik akan membuat perusahaan dapat mempertahankan konsumennya dan menarik konsumen-konsumen baru. Sedangkan, kalau citranya buruk, maka perusahaan akan ditinggalkan oleh konsumennya dan perusahaan tidak akan sustainable. 2. Diminati investor. Saat ini, investor tidak hanya mencari tingkat return yang besar tetapi juga mencari perusahaan yang ramah lingkungan dan menjalankan tanggungjwab social. Konsep ini dikenal dengan Socially Responsible Investment (SRI). Investor akan mempertimbangkan etika, moral dan fiannsial untuk pertimbangan investasinya, seperti masalah lingkungan hidup, hak asasi manusia dan corporate governance. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan screening positif dan screening negatif. Screening positif dilakukan untuk mendapatkan perusahaan dengan tingkat sustainability tinggi. Sedangkan screening negatif dilakukan untuk menghindari investasi di sektor-sektor tertentu, misalnya rokok, 23
minuman keras, senjata api dan perjudian. Calvert Social Investment Fund adalah salah satu investor yang tidak mau melakukan investasi pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri nuklir, peralatan perang, alkohol, perjudian dan tembakau. Investor ini hanya mencari perusahaan-perusahaan yang ramah lingkungan dan manajemennya dikelola secara terbuka. Di Indonesia sendiri, terdapat Jakarta Islamic Index (JII) yang merupakan indeks perdagangan saham yang memfasilitasi investor yang ingin berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan peraturan Islam. 3. Dipahami oleh stakeholders. Perusahaan harus selalu membangun komunikasi dengan
stakeholdersnya,
termasuk
lembaga
swadaya
masyarakat,
dengan
mengidentifikasi sifat stakeholders dan kebutuhan mereka. Sehingga hal ini akan membantu perusahaan dalam mengantisipasi berbagai isu yang mungkin terjadi, memenuhi kebutuhan stakeholders, dan membangun bisnis yang lebih baik. Selain itu, dengan keterbukaan perusahaan, stakeholders juga akan memperoleh informasi yang valid dan pemahaman yang lebih baik tentang kondisi serta resiko yang dihadapi oleh perusahaan.
II.1.7 Prinsip Pelaporan CSR Prinsip pelaporan CSR menurut AA1000 Assurance adalah : a. Materiality : Laporan disajikan dengan mengungkapkan elemen-elemen yang berpengaruh secara signifikan terhadap kegiatan operasi perusahaan.
24
b. Completeness : Informasi yang disajikan lengkap dan akurat dimana penampilan organisasi di segala area dapat ditaksir dan dipahami. c. Responsiveness : Organisasi merespon kepeduliannya dengan ikut berpartisispasi dalam menjaga dan merawat lingkungan, memberikan bantuan
kepada
masyarakat sekitar dan ikut berpatisipasi untuk membangun perekonomian negara. Prinsip-prinsip pelaporan sustainability reporting (SR) dalam www.menlh.go.id dapat dikelompokkan menjadi 4 (lihat gambar 2.1): 1. Kerangka kerja laporan Meliputi transparansi, inklusif dan dapat diaudit (auditable). Berdasarkan prinsip transparansi ini, kredibilitas perusahaan ditentukan oleh keterbukaan informasi yang disampaikan oleh perusahaan. Keterbukaan informasi yang disampaikan dalam SR meliputi proses, prosedur dan asumsi yang digunakan perusahaan. Contohnya, perusahaan harus mengungkapkan metode pengumpulan data dan informasi yang berkaitan dengan audit internal, serta asumsi ilmiah yang menjadi dasar penyajian informasi. Prinsip inklusif ini berarti bahwa pengorganisasian pelaporan harus sistematis melibatkan para stakeholders untuk membantu perusahaan dan secara kontinyu meningkatkan kualitas laporan. Aspek-aspek pelaporan yang dapat dikonsultasikan dengan stakeholders, antara lain, pemilihan indikator, format pelaporan dan pendekatan yang diambil untuk meningkatkan kredibilitas informasi pelaporan. Selanjutnya dengan prinsip dapat diaudit, data dan informasi yang dilaporkan harus dicatat, dikompilasi, dianalisa dan diungkapkan dengan suatu cara tertentu dimana auditor internal atau eksternal dapat menguji keandalan data dan informasi terseebut. 25
2. Informasi apa yang akan dilaporkan. Meliputi kelengkapan informasi, relevansi informasi yang disajikan dan keterkaitannya dengan konteks sustainability. Laporan harus menyajikan kinerja organisasi yang meliputi tantangan, resiko dan peluang yang dihadapi perusahaan dalam konteks sustainability. Selain itu, informasi yang disajikan juga lengkap, mempunyai ruang lingkup dan kerangka waktu yang jelas. 3. Kualitas dan keandalan informasi atau data. Meliputi prinsip akurasi, netralitas dan dapat dibandingkan. Laporan yang disajikan cukup akurat dan dapat diandalkan sebagai bahan yang digunakan dalam pengambilan keputusan. Selanjutnya informasi yang disajikan tidak boleh bias dan harus berimbang. Pelaporan juga harus dapat diperbandingkan dari waktu ke waktu dan antar perusahaan. 4. Akses atas informasi yang dilaporkan, meliputi kejelasan dan tepat waktu. Prinsip ini memberikan arah akses dan ketersediaan informasi. Sehingga stakeholders dapat memperoleh informasi secara mudah dan informasi tersebut tersedia dalam kurun waktu yang diperlukan. Pada akhirnya, prinsip dapat diaudit berkaitan dengan prinsip lainnya, seperti keakuratan, netralitas, kelengkapan dan dapat diperbandingkan. Secara khusus, prinsip dapat diaudit juga menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menyiapkan laporan dan dan informasi yang dilaporkan memenuhi standar kualitas, keandalan dan ekspektasi lainnya.
Transparency
Inclusiveness 26
INFORMS
INFORMS
INFORMS
Gambar 2.1 : Prinsip-prinsip pelaporan dalam Sustainability Reporting (SR)
II.2
Sustainability Reporting Dalam paradigma sustainability reporting, perusahaan harus melaporkan aspek
keuangan, aspek hukum dan aspek lingkungan yang terjadi di perusahaan. Bahkan lebih dari itu, perusahaan juga harus mampu menjaga sustainability-nya (keberlanjutan).
27
Menurut Sony Sukada, sustainability reporting adalah dokumen yang dibuat oleh perusahaan berkaitan dengan kinerja aspek ekonomi, sosial dan lingkungannya sebagai alat kontrol manajemen kepada pemangku kepentingan internal maupun alat akuntabilitas (terutama) kepada pemangku kepentingan eksternal. Laporan tersebut hanya dapat dikatakan sustainable manakala kinerja yang dilaporkannya dalam kurun waktu tertentu sudah berkelanjutan atau menujukkan kecenderungan membaik.
II.2.1 Pedoman G3 Global Reporting Initiative G3 Global Reporting Initiative Guideline (GRI) merupakan guideline yang paling banyak dijadikan rujukan dalam CSR Reporting. GRI dibentuk tahun 1997 oleh Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dan United Nation Environment Programme (UNEP). Saat ini tidak kurang dari 460 perusahaan dari 45 negara mengadopsi total atau sebagian dari GRI (Yusuf, 2007). GRI membuat Sustainability Reporting Guideline yang memberikan petunjuk pembuatan laporan dengan memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Pedoman sustainability report tersebut diterbitkan tahun 2000 dan kemudian direvisi pada tahun 2002. Prinsipprinsip laporan untuk menetapkan kualitas menurut GRI adalah :
Balance : mencerminkan aspek-aspek yang positif maupun negatif.
Comparability : isu dan informasi dipilih dan dilaporkan dengan konsisten hingga dapat dibandingkan antarwaktu.
Accuracy : informasi harus cukup detail agar bisa dinilai oleh pemangku kepentingan.
Timeliness : dilaporkan secara reguler, tersedia tepat waktu kepada pemangku kepentingan. 28
Clarity : informasi harus tersedia dalam bentuk yang mudah dipahami dan bisa diakses oleh pemangku kepentingan.
Reliability : informasi harus dikumpulkan, direkam, dianalisa dan disajikan berdasarkan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara kualitas dan materialitas.
Gambar 2.2 : Prinsip-prinsip untuk menjamin kualitas Sedangkan, prinsip pelaporan untuk menetapkan isi laporan adalah : 1. Materialitas : informasi yang dilaporkan dapat mempengaruhi penilaian dan kebijakan dari pemangku kepentingan secara substantif. 2. Pelibatan
pemangku
kepentingan
:
mengidentifikasi
para
pemangku
kepentingannya dan menjelaskan dalam laporan bagaimana organisasi telah merespon harapan dan kepentingan tersebut. 3. Konteks keberlanjutan : memperlihatkan kinerja organisasi dalam konteks keberlanjutan yang lebih luas. 4. Kelengkapan : Cakupan topik dan indikator material serta definisi batasan laporan harus dapat menggambarkan dampak ekonomi, lingkungan, dan sosial
29
yang signifikan dan memungkinkan pemangku kepentingan untuk menilai kinerja organisasi dalam periode laporan berjalan.
Gambar 2.3 : Prinsip dalam menetapkan isi laporan Menurut GRI, isi Sustainability Report terdiri dari 5 bagian : 1. Visi dan strategi Menjelaskan visi dan strategi perusahaan berkaitan dengan sustainability, dicantumkan juga pernyataan atau sambutan dari manajemen. 2. Profil perusahaan Merupakan overview struktur organisasi operasi perusahaan serta ruang lingkup pelaporan. 3. Sistem manajemen dan struktur penegelolaan Pengungkapan struktur organisasi, kebijakan-kebijakan yang diambil, dan sistem manajemen, termasuk usaha-usaha perusahaan dalam melibatkan stakeholder. 4. GRI content index Berisi tabel yang mengidentifikasikan letak setiap elemen isi laporan GRI berdasarkan bagian dan indikatornya. Tujuannya untuk memudahkan pengguna laporan agar dapat mengakases secara cepat informasi dan indikator yang terdapat dalam GRI.
30
5. Indikator kinerja Indikator ini mengukur efek atau dampak kegiatan perusahaan, meliputi : •
Ekonomi : dampak ekonomi secara langsung Aspeknya : pelanggan, pemasok, karyawan, sektor publik dan penyedia dana atau investor.
•
Sosial, terdiri dari 4 kategori : a. Pekerjaan dan tenaga kerja Hubungan perusahaan dengan tenaga kerja, kesehatan dan keselamatan kerja, serta penyebaran dan kesempatan tenaga kerja. b. Hak asasi manusia Tidak adanya diskriminasi pada tenaga kerja, adanya kebebasan karyawan membentuk serikat pekerja, tenaga kerja anak-anak dan penegakan disiplin. c. Masyarakat Pengembangan masyarakat sekitar perusahaan, perlakuan terhadap korupsi, kompetisi dan penentuan harga, serta pengaruh politik terhadap perusahaan. d. Tanggung jawab terhadap produk Keselamatan dan kesehatan konsumen, produk dan jasa yang dihasilkan, iklan yang ditawarkan, serta penghormatan terhadap privasi pelanggan.
•
Lingkungan : energi, air emisi, limbah, biodiversity, produk dan jasa, ketaatan terhadap peraturan, transportasi dan keseluruhan lingkungan.
31
Gambar 2.4 : Gambaran Standar pengungkapan G3 GRI (sumber : G3 GRI)
II.2.2 Kendala Penerapan Sustainability Reporting (SR) Kendala penerapan Sustainability Reporting di Indonesia (Media Akuntansi, edisi 47/Tahun XII/Juli 2005) : 1. Rendahnya political will Kemana arah perusahaan dituangkan dalam kebijakan perusahaan, yang ditentukan oleh manajemen tingkat atas. Kebijakan perusahaan ini menetapkan apakah hanya mencari keuntungan ekonomis dengan mengabaikan aspek lingkungan dan sosial. Hasil penilaian kinerja perusahaan di Indonesia dalam pengelolaan lingkungan menunjukkan bahwa 51% perusahaan belum mengelola lingkungannya dengan baik, yang menunjukkan rendahnya political will manajemen tingkat atas terhadap pengelolaan lingkungan. SR saat ini masih bersifat voluntary (sukarela) bukan mandatory (kewajiban). Untuk itu dalam penerapannya, diperlukan political will yang kuat dari manjemen tingkat atas sebagai faktor internal. Namun, apabila faktor internal ini lemah, maka diperlukan dorongan kuat dari faktor eksternal (dari pemerintah, media massa atau lembaga swadaya masyarakat). 2. Tidak adanya standar pelaporan
32
Sampai saat ini belum ada standar baku informasi apa yang perlu disampaikan dalam SR. Namun sejak tahun 2000, Global Reporting Initiative (GRI), suatu organisasi yang memiliki misi merancang, mengembangkan, dan menyebarluaskan pedoman penerapan SR yang direvisi pada tahun 2002 yang disebut sebagai G3 GRI Guidelines. 3. Tidak adanya pengukuran kinerja Kinerja keuangan perusahaan dapat diukur dengan menggunakan rasio-rasio keuangan. Rasio-rasio ini dapat secara langsung dihitung dari laporan keungan. Berbeda dengan kinerja keuangan, kinerja SR tidak dapat diukur secara langsung dari kegiatan perusahaan.
33