BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Sejarah Bursa Efek Indonesia Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC. Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Pada tahun 1988-1990, pintu BEJ terbuka untuk asing sehingga aktivitas bursa mulai terlihat mengalami peningkatan. Pada tahun 1989, Bursa Efek Surabaya (BES) mulai
8
9
beroperasi dan pada 1995, Bursa Paralel Indonesia merger dengan BES, hingga akhirnya pada tahun 2007, BES merger dengan BEJ dan menjadi BEI.
2.2. LQ45 LQ45 (berasal dari kata liquid 45) adalah deretan 45 saham yang merupakan saham-saham dengan transaksi perdagangan terbanyak di BEI. Saham-saham ini biasa juga disebut sebagai saham-saham blue-chip. Saham-saham pada indeks LQ 45 harus memenuhi kriteria dan melewati seleksi utama sebagai berikut (www.idx.co.id): 1. Masuk dalam top 60 dari total transaksi saham di pasar reguler (rata-rata nilai transaksi selama 12 bulan terakhir). 2. Masuk dalam ranking yang didasarkan pada nilai kapitalisasi pasar (ratarata Telah tercatat di BEI sekurang-kurangnya 3 bulan. 3. Telah tercatat di BEJ minimum 3 bulan. 4. Memiliki kondisi keuangan perusahaan, prospek pertumbuhan perusahaan, frekuensi dan jumlah transaksi yang baik di pasar reguler. Saham-saham yang termasuk didalam LQ45 terus dipantau dan setiap 6 bulan akan diadakan review (awal Februari, dan Agustus). Bila ada satu saham yang tidak memenuhi kriteria, saham tersebut akan dikeluarkan dari perhitungan indeks dan digantikan dengan saham yang memenuhi kriteria. Saham-saham yang masuk dalam kriteria ranking 1-35 dikalkulasikan dengan cepat dalam perhitungan indeks. Sedangkan saham yang masuk pada ranking 36-45 tidak perlu dimasukkan dalam perhitungan indeks.
10
Karena saham-saham di indeks LQ45 merupakan saham-saham teraktif dengan volume perdagangan harian yang besar, maka pergerakan indeks LQ45 sangat mempengaruhi pergerakan IHSG.
2.3. Saham Saham adalah surat tanda kepemilikan terhadap sebuah perusahaan. Saham ditransaksikan di sebuah bursa efek. Sebuah perusahaan go public dengan menerbitkan saham melalui proses Initial Public Offering (IPO). Dengan menerbitkan saham, yang berarti menjual sebagian kepemilikan perusahaan kepada publik, perusahaan mendapatkan dana segar yang dapat digunakan untuk tujuan ekspansi, operasional, atau yang lainnya. Dengan menerbitkan saham, nilai sebuah perusahaan menjadi lebih mudah untuk di ukur (www.mahadananews.com). Saham termasuk instrumen investasi yang memiliki resiko tinggi karena pergerakan harganya yang cepat. Pergerakan harga dari sebuah saham dapat dipengaruhi oleh banyak hal seperti kinerja perusahaan, laporan keuangan perusahaan, estimasi bisnis perusahaan di masa yang akan datang, kondisi ekonomi, harga-harga komoditas dunia, dan banyak lainnya.
2.4. Resiko dan Return Investor memiliki dua buah resiko, yang pertama adalah non-systematic risk dan systematic risk. Non-systematic risk adalah bagian dari resiko portofolio yang dapat dihilangkan dengan cara memperbesar ukuran / diversifikasi portofolio, resiko
11
ini terkait dengan sekuritas-sekuritas individual seperti business atau financial risk. Sementara itu, systematic risk adalah berkaitan dengan keseluruhan pasar atau ekonomi secara umum, biasa juga disebut dengan market risk (resiko pasar). Market risk ini adalah bagian daripada total risk dan tidak dapat dieliminasi dengan diversifikasi portofolio. CAPM yang dibuat oleh Sharpe (Journal of Finance, 1964) dan Lintner (Review of Economics and Statistics, 1965) mengukur resiko yang berkaitan dengan systematic risk. Dengan berinvestasi pada saham, investor mengharapkan return dari dua hal berikut ini(www.idx.co.id): 1. Dividen Dividen
merupakan
pembagian
keuntungan
yang
diberikan
perusahaan dan berasal dari keuntungan yang dihasilkan perusahaan. Dividen diberikan setelah mendapat persetujuan dari pemegang saham dalam RUPS. Jika seorang pemodal ingin mendapatkan dividen, maka pemodal tersebut harus memegang saham tersebut dalam kurun waktu yang relatif lama yaitu hingga kepemilikan saham tersebut berada dalam periode
dimana
diakui
sebagai
pemegang
saham
yang
berhak
mendapatkan dividen. Dividen yang dibagikan perusahaan dapat berupa dividen tunai – artinya kepada setiap pemegang saham diberikan dividen berupa uang tunai dalam jumlah rupiah tertentu untuk setiap saham - atau dapat pula berupa dividen saham yang berarti kepada setiap pemegang saham diberikan dividen sejumlah saham sehingga jumlah saham yang dimiliki
12
seorang pemodal akan bertambah dengan adanya pembagian dividen saham tersebut. 2. Capital Gain Capital gain merupakan selisih antara harga beli dan harga jual. Capital gain terbentuk dengan adanya aktivitas perdagangan saham di pasar sekunder. Misalnya Investor membeli saham ABC dengan harga per saham Rp 3.000 kemudian menjualnya dengan harga Rp 3.500 per saham yang berarti pemodal tersebut mendapatkan capital gain sebesar Rp 500 untuk setiap saham yang dijualnya. Resiko (resiko yang dimaksud disini adalah systematic risk) sangat berkaitan dengan return, sebab pada investasi saham ada prinsip “high-risk, high-return”. Cara terbaik untuk mengimbangi return dan risk adalah dengan diversifikasi portofolio.
2.5. Capital Asset Pricing Model (CAPM) Menurut Bodie, Kane, Marcus (2008): “The capital asset pricing model is a set of prediction concerning equilibrium expected returns on risky assets”
Sementara menurut McClure (investopedia), CAPM adalah: “Sebuah model yang menggambarkan hubungan antara resiko dengan expected return pada instrument investasi yang beresiko”
13
Berikut ini adalah perumusan CAPM: E(R ) = R + β ⎡R − R ⎤ i f im ⎢⎣ m f ⎥⎦
dimana:
E ( R ) = Expected return dari investasi pada sekuritas i R
β
= Tingkat suku bunga risk-free
f
im
R m
= Koefisien korelasi antara sekuritas dengan indeks pasar = Tingkat return indeks pasar
dan
β
im
=
Cov( Ri , Rm ) Var ( Rm )
Pada rumus CAPM diatas, dapat dilihat bahwa E(Ri) adalah predict value, sementara variabel yang terletak disebelah kanan yakni Rf + Bim [Rm – Rf] adalah
explanatory variabel, maksudnya adalah jika kita memiliki data Rf, Bim, dan Rm maka kita akan dapat memprediksi nilai E(Ri).
Rm − R f biasa disebut dengan risk premium, selisih antara market return dikurangi dengan risk-free rate. Beta mengelompokkan saham ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1. Kelompok saham yang memiliki beta > 1 disebut Saham Agresif, karena saham tersebut mengalami kenaikan lebih cepat dari pada pasar secara keseluruhan dimana situasi pasar sedang menunjukkan gejala bullish (meningkat) dan saham tersebut mengalami penurunan lebih cepat
14
dibandingkan dengan pasar secara keseluruhan dimana pasar dalam keadaan bearish (menurun). 2. Kelompok saham yang memiliki beta < 1 disebut saham lemah, yaitu saham yang mempunyai fluktuasi return lebih kecil dari pada return pasar secara keseluruhan. Saham seperti ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pasar secara saham secara keseluruhan, bila nilai beta nya mendekati nol makan saham ini merupakan saham yang perlu diperhatikan sebab pergerakan saham ini sangat bergantung terhadap non-systematic risk seperti faktor internal dari perusahaan itu, hal ini berarti perusahaan ini belum transparan terhadap pihak luar. 3. Kelompok saham yang mempunyai beta = 1 disebut saham netral, yaitu saham yang mempunyai fluktuasi return secara rata-rata sama dengan return pasar. Perumusan CAPM ini menyatakan bahwa expected return dari sekuritas atau portofolio sama dengan risk-free rate ditambah dengan beta dikalikan risk-premium. Apabila nilai expected return tidak sesuai dengan return yang diperlukan maka seharusnya investor tidak berinvestasi di sekuritas atau portofolio tersebut. CAPM menghasilkan. CAPM ini menghasilkan efficient frontier dari kombinasi saham pada portofolio yang dimiliki investor, garis temu antara efficient frontier dan Capital
Allocation Line (CAL) menghasilkan titik optimal dimana resiko portofolio adalah paling minimal dengan nilai expected return tertentu.
15
Gambar 1: Capital Allocation Line dan Effective frontier pada CAPM CAPM memiliki asumsi-asumsi mendasar agar CAPM dapat terpenuhi, asumsi-asumsi tersebut adalah: 1. Investor adalah pengambil resiko. 2. Investasi hanya berlangsung dalam satu periode, dengan kata lain investor bermain saham dalam jangka waktu pendek, bukan sistem buy and hold. 3. Investasi terbatas pada aset keuangan. 4. Tidak ada pajak dan biaya transaksi dari perdagangan saham 5. Investor mengoptimasi rata-rata variance secara rasional 6. Informasi terbuka sama bagi semua investor 7. Ada ekspektasi yang sama di antara investor 8. Bisa meminjam dan meminjamkan uang dengan satu suku bunga yang tidak beresiko
16
2.6. Challenges terhadap CAPM Pada awal tahun 1980-an, beberapa penelitian dilakukan dan hasil dari penelitian-penelitian tersebut adalah adanya deviasi dari garis linear CAPM antara hubungan risk dan return berkaitan dengan faktor-faktor luar yang mempengaruhi dua hal ini. Tujuan dari penelitian-penelitian tersebut adalah untuk menemukan komponen yang terhilang dari rumus CAPM untuk menjelaskan faktor-faktor luar itu. Banz (1981) melakukan ujicoba terhadap CAPM dengan melakukan apakah ukuran dari perusahaan dapat menjelaskan nilai pengaruh residual variance terhadap return saham dimana nilai residual variance ini tidak dapat dijelaskan oleh beta CAPM. Banz mencoba untuk men-challenge CAPM dengan menunjukkan bahwa ukuran size perusahaan lebih berpengaruh daripada beta, kesimpulan dari penelitiannya adalah return rata-rata pada saham yang memiliki nilai ekuitas rendah lebih tinggi daripada return rata-rata pada saham yang memiliki nilai ekuitas tinggi. Hasil daripada penelitian ini sering dikenal dengan istilah “size effect”. Reaksi terhadap hasil penelitian Banz ini tidak lain adalah besar penyimpangan antara CAPM dan penelitian Banz ini bukanlah angka yang signifikan, sehingga hasil penelitian Banz belum cukup untuk menyatakan bahwa teori CAPM itu salah. Pembelaan dari CAPM ini ternyata memicu pertentangan lagi, kali ini Fama dan French (1973) melakukan penelitian untuk membuktikan validitas CAPM. Fama dan French menunjukkan bahwa hasil penelitian Banz cukup penting sehingga menimbulkan pertanyaan penting berkaitan dengan validitas CAPM. Fama-French
17
menggunakan cara pengujian yang sama seperti Fama-MacBeth (1973) namun hasil yang didapat sangat berbeda. Sementara Fama-MacBeth menemukan ada relasi positif antara return dan risk, Fama-French menemukan bahwa tidak ada relasi sama sekali antar return dan risk.