BAB II LANDASAN TEORI
A. Ginjal Manusia memiliki sepasang ginjal yang terletak di belakang pinggul. Ginjal tersusun dari jutaan glomerulus yang berfungsi sebagai penyaring zat sisa metabolisme dan air yang larut dalam darah. Ginjal berfungsi menjaga keseimbangan zat-zat kimia dalam tubuh (homeostatis) yaitu mengatur keseimbangan jumlah dan konsentrasi cairan tubuh dan menyaring zat sisa metabolisme (seperti kreatinin dan urea). Dalam
sehari ginjal mampu
menghasilkan urin sebanyak 1,5 - 2,5 liter. Ginjal juga membantu pembentukan sel darah merah, memelihara kesehatan tulang, dan membantu mengontrol tekanan darah (Stein & Wild, 2002; Falvo, 2005). Kerusakan ginjal baik secara struktural
maupun fungsional dapat
menganggu fungsi ginjal. Salah satu jenis kerusakan ginjal adalah gagal ginjal. Gagal ginjal terbagi dua, yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis. Gagal ginjal akut mengakibatkan gangguan ginjal temporer dan dapat terjadi k arena komplikasi penyakit, operasi, atau trauma. Gagal ginjal kronis mengakibatkan kerusakan ginjal permanen dimana gangguan terjadi tanpa disertai gejala fisik. Kondisi ini dapat terjadi karena glomerulonephritis, pyelonephritis, polycytic kidney disease atau akibat penyakit sistemik yang diderita pasien seperti diabetes dan hipertensi (Suwitra, 2009).
Universitas Sumatera Utara
1. Gagal Ginjal Terminal Gagal ginjal terminal merupakan kondisi kerusakan ginjal akibat gagal ginjal kronis yang menyebabkan kapasitas fungsi ginjal yang tersisa hanya 15% atau bahkan lebih kecil. Penderita gagal ginjal terminal tidak memiliki opsi lain selain melakukan terapi pengganti ginjal, yaitu dialisa dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2009). Transplantasi ginjal merupakan proses operasi dimana ginjal yang diperoleh dari donor “ditanam” dalam tubuh pasien penderita gagal ginjal terminal. Transplantasi ginjal memungkinkan pasien memperoleh fungsi ginjalnya kembali sehingga pasien tidak perlu melakukan anjuran me dis. Meski begitu, untuk dapat melakukan operasi ini pasien harus mencari donor ginjal yang benar benar sesuai dengan kondisi fisik pasien. Bila tidak, tubuh akan memberi reaksi penolakan terhadap donor ginjal sehingga transplantasi gagal dilakukan. Mencar i donor ginjal yang sesuai juga sangat sulit. Terlebih lagi, transplantasi ginjal juga membutuhkan biaya yang cukup banyak (Falvo, 2005). Terapi dialisa dapat membantu mengganti fungsi ginjal pasien meski tidak dapat mengobati kerusakan ginjal pasien. Ada dua pilihan teknik dialisa yang umum digunakan yaitu hemodialisa (HD) dan dialisa peritonial (DP). Teknik DP menggunakan selaput peritonium pada perut pasien sebagai membran penyaring zat sisa metabolisme dalam darah. Terdapat dua bentuk DP, yakni acute peritoneal dialysis, yang diberikan pada pasien yang membutuhkan dialisa temporer, dan continous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD), yang diberikan pada pasien gagal ginjal terminal (Thye, 1998).
Universitas Sumatera Utara
Pasien dapat melakukan CAPD secara manual dengan peralatan yang sederhana. Keuntungannya pasien dapat beraktivitas normal sembari menjalani dialisa. Meski begitu, pasien CAPD rentan terkena infeksi akibat kelalaian pasien menjaga sterilnya proses dialisa atau infeksi akibat rusaknya selaput peritonium akibat CAPD yang berlangsung dalam waktu lama. Komplikasi lain yang dialami pasien CAPD berupa hernia dan rasa sakit selama dialisa berlangsung (Thye,1998; Falvo, 2005). Berbeda dengan PD, proses penyaringan darah pada HD dilakukan oleh mesin. Darah pasien yang berca mpur dengan zat sisa dialirkan menuju mesin HD untuk disaring. Darah yang telah ‘dibersihkan’ kemudian dialirkan kembali menuju tubuh (Thye, 1998). a) Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Menjalani Terapi Hemodialisa (Pasien HD) Terapi HD di Indonesia biasa dil akukan dua kali seminggu dengan durasi lima jam setiap sesi. Beberapa klinik atau rumah sakit tertentu menetapkan jadwal terapi tiga kali seminggu dengan durasi empat jam setiap sesi. Di Indonesia terapi HD pertama kali dilakukan pada 1970. Kualitas hidup pasien dinilai cukup baik, panjang usia pasien bahkan dapat mencapai 14 tahun. Komplikasi pasien HD biasanya terjadi ketika HD berlangsung. Pasien HD biasanya berpotensi terkena hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggun g, gatal, demam, dan menggigil (Suwitra, 2009). Besarnya biaya HD menjadi salah satu kendala bagi pasien HD. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan menggunakan dialiser daur ulang (reuse). Setelah digunakan, dialiser segera dicuci dengan cairan dialisa t dan disimpan
Universitas Sumatera Utara
dalam cairan antiseptik. Ketika akan digunakan, dialiser dicuci kembali untuk menghilangkan sisa cairan antiseptik yang menempel. Penggunaan dialiser daur ulang memperhatikan aspek tertentu. Agar dapat digunakan kembali, dialiser harus diperiksa seksama untuk memastikan tidak ada cacat pada tabung. Volume dialiser harus mencapai 80% agar dapat digunakan kembali. Pasien yang menggunakan dialiser daur ulang berisiko terkontaminasi cairan antiseptik yang tertinggal sehingga dapat menimbulkan gangguan tubuh (Rahardjo, Susalit, dan Suhardjono, 2009). a. Anjuran Medis Pasien HD Anjuran medis pasien HD terbagi empat, yaitu keteraturan menjalani terapi HD, keteraturan meminum obat, pembatasan konsumsi cairan, dan pengawasan pola makan seha ri-hari (Denhaeynck, dkk., 2007). Sangat disarankan pasien HD tidak ‘mangkir’ dari jadwal terapi yang sebelumnya ditetapkan serta mengikuti sesi terapi sesuai durasi yang ditetapkan tenaga medis pada awal sesi. ‘Mangkir’ dari jadwal terapi setidaknya sekali dalam sebulan dapat memperbesar risiko kematian sebanyak 25-30%. Mempersingkat durasi HD menurunkan efektivitas terapi dan menurunkan jumlah dosis dialisa yang disalurkan ke dalam tubuh. Kondisi ini dapat memperbesar risiko kematian dan tekanan darah tin ggi pada pasien. Mempersingkat durasi HD lebih dari 10 menit dan dilakukan lebih dari
satu
kali
juga
dapat
memperbesar
risiko
kematian
pasien
(Denhaerynck, dkk., 2007).
Universitas Sumatera Utara
Karena pasien HD dianjurkan untuk menghindari konsumsi susu dan hasil olahannya, pasien rentan mengalami kekurangan kalsium. Karenanya pasien HD dianjurkan meminum obat untuk menambah kalsium dan vitamin D yang dibutuhkan tubuh. Obat antihipertensif juga diberikan untuk membantu
menjaga
stabilitas
tekanan
darah.
Tenaga
medis
j uga
menganjurkan obat-obatan lain sebagai suplemen vitamin dan mineral tertentu yang tidak lagi diproduksi oleh ginjal (Falvo, 2005). Pasien HD dianjurkan untuk membatasi konsumsi cairan dalam sehari (Thye, 1998). Pasien HD mengeluarkan urin tak lebih dar i 200-300 ml setiap hari. Karenanya pasien disarankan mengkonsumsi cairan tidak lebih dari 500 ml sehari. Anjuran ini bersama anjuran membatasi konsumsi garam menjadi hal tersulit bagi pasien HD. Nyatanya konsumsi air dan garam berlebih menyebabkan pulonary oedema yaitu kondisi dimana cairan memasuki paru paru, hipertensi, sesak nafas, menggigil, kecemasan, panik, kejang otot dan bahkan kematian mendadak (Denhaerynck, dkk., 2007). Pasien HD harus mengawasi jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Pasien masih dapat mengonsumsi makanan yang mengandung karbohidrat dan protein hewani dalam jumlah normal untuk menjaga kecukupan gizi yang diperlukan. Kekurangan gizi dapat menjadi prediktor kematian pada pasien HD (Rahardjo, Susalit, & Suhardjono, 2009). Pasien dianjurkan untuk membatasi makanan yang mengandung kalium, air, dan garam (Thye, 1998). Buah -buahan dan sayur-sayuran biasanya mengandung kalium sehingga pasien disarankan untuk tidak
Universitas Sumatera Utara
mengonsumsi hampir semua jenis buah serta makanan yang diolah dar i buah, seperti selai. Membatasi konsumsi makanan yang mengandung garam dilakukan agar pasien tidak merasa haus. Rasa haus mendorong pasien untuk minum
sehingga dapat menimbulkan kenaikan berat badan yang besar
selama periode di antara dialisis (Rahardjo, Susalit, dan Suhardjono, 2009).
B. Kepatuhan Terhadap Anjuran Medis 1. Definisi Kepatuhan terhadap Anjuran Medis Haynes, dkk. (dalam Rapoff, 1999) mendefinisikan kepatuhan pasien terhadap anjuran medis sebagai: “the extent to which a person’s behavior, in term of taking medications, following diets, or executing lifestyle changes, coincides with medical or health advices” Definisi ini juga digunakan oleh Kim, Evangelista, Phillips, Pavlish, & Kopple (2010) dalam mengkonstruksi alat ukur kepatuhan pasien hemodialisa terhadap anjuran medis. Sarafino & Smith (2011) juga mengungkapkan definisi kepatuhan yang serupa dengan definisi di atas, yakni: “the degree to which patients carry out the behaviors and treatments th eir practitioners recommended ”
Kedua definisi di atas menunjukkan bahwa definisi kepatuhan terhadap anjuran medis terfokus pada dua hal, yaitu anjuran medis yang direkomendasikan oleh staf medis pada pasien dan kesesuaian perilaku pasien dengan anjuran me dis
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Pasien dikatakan mematuhi anjuran medis yang direkomendasikan bila perilaku pasien sesuai dengan tuntutan yang tertera pada anjuran medis. Komponen kedua adalah proses kognitif. Cassell (dalam Rapoff, 1999) menjelaskan bahwa pada definisi ke patuhan Haynes, dkk. di atas proses kognitif atau pemahaman juga berkaitan dengan kepatuhan. Pasien akan melakukan anjuran medis yang diberikan bila pasien memahami anjuran medis tersebut dan menganggap bahwa anjuran medis penting dilakukan untuk menghinda ri konsekuensi negatif yang mungkin terjadi. Uraian di atas menunjukkan bahwa kepatuhan pasien terhadap anjuran medis didefinisikan sebagai kesesuaian perilaku pasien dengan tuntunan anjuran medis dan kualitas pemahaman pasien terhadap informasi mengenai a njuran medis yang diberikan. 2. Komponen Kepatuhan Pasien terhadap Anjuran Medis Kim, Evangelista, Phillips, Pavlish & Kopple (2010) menyatakan bahwa kepatuhan pasien terhadap anjuran medis dibagi dalam dua komponen, yakni komponen kognitif dan komponen psiko motor. a. Komponen Kognitif Kim, Evangelista, Phillips, Pavlish, & Kopple (2010) menjelaskan komponen kognitif dari kepatuhan dengan merujuk pada teori Ley, yaitu model kognitif kepatuhan. Ley (dalam Ogden, 2005) menyatakan bahwa secara
kognitif,
kepatuhan
pasien
melibatkan
adanya
pemahaman
(understanding) dan kemampuan mengingat ( memory) terhadap informasi mengenai anjuran medis.
Universitas Sumatera Utara
Ley (dalam Pitts, 2003) menyatakan bahwa pemahaman dan ingatan pasien terhadap informasi anjuran medis yang disampaikan memiliki pengaruh langsung terhadap anjuran medis. Pemahaman dan ingatan pasien juga berpengaruh terhadap kepuasan pasien dan kepuasan pasien juga secara langsung mempengaruhi kepatuhan pasien terhadap anjuran medis. Ley (dalam Pitts, 2003) juga menyatakan bahwa se makin pasien memahami dan mengingat (memori) informasi yang disampaikan tenaga medis, kepatuhan pasien terhadap anjuran medis akan semakin tinggi. Pasien yang memahami instruksi melakukan anjuran medis dapat meningkatkan perilaku patuh pasien sehingga meni ngkatkan kepatuhan pasien. Selain memahami instruksi yang disampaikan, kemampuan pasien mengingat instruksi yang disampaikan juga memiliki pengaruh terhadap anjuran medis. Ingatan diperlukan agar pasien mampu melakukan anjuran medis sesuai instruksi, terlebih bila pasien berada di luar lingkungan klinis (Ley, dalam Ogden, 2005). Sayangnya, Ley dan Spearman (dalam Pitts, 2003) menemukan bahwa sebanyak 40% dari informasi yang disampaikan tenaga medis tidak mampu diingat oleh pasien. Informasi mengenai in struksi melakukan anjuran medis merupakan informasi yang paling sulit diingat oleh pasien. Uraian di atas menunjukkan bahwa pasien yang memahami dan mengingat informasi mengenai anjuran medisnya dapat meningkatkan perilaku patuh pasien sehingga meningkatka n kepatuhan pasien.
Universitas Sumatera Utara
b. Komponen Psikomotor Rapoff (1999) menyatakan bahwa terdapat suatu standar perilaku untuk mengatakan bahwa seorang pasien mematuhi anjuran medis yang direkomendasikan padanya. Standar ini bervariasi dan bergantung pada jenis penyakit dan terapi yang dijalani serta bergantung pada hasil klinis ( clinical outcome) yang memiliki efek terhadap kondisi kesehatan pasien. Kim, Evangelista, Phillips, Pavlish, & Kopple (2010) merujuk pada hasil penelitian Leggat, dkk. (1998) dalam menguraikan standar perilaku anjuran medis pada pasien hemodialisa. Leggat, dkk. (1998) membagi perilaku patuh pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisa dalam empat bagian, yaitu: a. Perilaku menjalani terapi hemodialisa secara teratur, didefinisikan dengan tidak membolos sesi terapi (skipping HD) dan tidak mengakhiri sesi terapi sebelum durasi yang ditentukan ( shortening HD). b. Perilaku membatasi konsumsi cairan yang diukur melalui indeks kenaikan berat badan di antara dua sesi HD (IWG). c. Perilaku meminum obat secara teratur, diukur melalui tingkat serum fosfat (PO 4) dalam tubuh. d. Perilaku mengawasi pola makan, yang juga diukur melalui tingkat serum fosfat (PO 4) dalam tubuh. Pasien dianggap mematuhi keempat anjuran tersebut bila pasien tidak membolos sesi HD, tidak pernah mempersingkat durasi HD lebih dari 10 menit, indeks kenaikan berat badan (IWG) pasien tidak lebih dari 5,7% dari
Universitas Sumatera Utara
berat badan kering, dan tingkat serum fosfat tidak lebih dari 7,5 mg/dL (Leggat, dkk., 1998). Gordon, Leon, dan Sehgal (2003) menemukan lima alasan pasien HD membolos dan mempersingkat durasi sesi HD mereka, yaitu: masalah kesehatan (medical problems), seperti rendahnya tekanan darah, sakit punggung, ingin buang air kecil, pusing, dan mual; masalah teknis ( technical problems), seperti fistula yang tersumbat, keputusan tenaga medis, darah sukar membeku, dan keterbatasan mesin; life task, seperti urusan personal, janji dengan tenaga medis, dan pekerjaan; masalah transportasi; keputusan pasien seperti tidak ingin berlama -lama HD dan tidak menyetujui anjuran HD yang direkomendasikan; dan alasan lainnya. Uraian di atas menunjukkan bahwa perilaku patuh pasien, khususnya pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisa dilihat melalui perilaku pasien tidak membolos dan mempersingkat sesi HD, stabilnya indeks kenaikan berat badan, dan stabilnya kadar serum fosfat dalam darah.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien terhadap Anjuran Medis Faktor sosiodemografis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien terhadap anjuran medis. Usia, jenis kelamin, suku bangsa, pendapatan, tingkat pendidikan, dan faktor sosiodemografis lainnya memiliki pengaruh terhadap kepatuhan pasien (Sarafino & Smith, 2011). Pengaruh faktor ini terhadap kepatuhan pasien bersifat situasional, yakni dipengaruhi oleh jenis
Universitas Sumatera Utara
penyakit dan terapi yang dijalani oleh pasien (Berry, 2004; Sarafino & Smith, 2011). Beberapa faktor psikososial seperti keyakinan (belief) dan sikap (attiude) pasien terhadap anjuran medis juga memiliki pengaruh terhadap kepatuhan pasien (Sarafino & Smith, 2011). Pasien yang memiliki keyakinan dan sikap yang bertentangan (negatif) dengan anjuran medis yang direkomendasikan cenderung tidak melakukan anjuran medisnya sehingga menurunkan tingkat kepatuhan pasien (Berry, 2004). Faktor psikososial lain yang juga mempengaruhi kepatuhan pasien adalah keputusan pasien sendiri untuk tidak mematuhi anjuran medis (Sarafino & Smith, 2011). Wroe (2001) menyatakan kondisi ini sebagai bentuk ketidakpatuhan yang disengaja (intentional nonadherence ). Kondisi ini terjadi ketika pasien secara sadar memilih untuk menemukan alternatif selain melakukan anjuran medis atau memilih untuk sama sekali tidak melakukan anjuran medis (Hussey dan Giliand, dalam Pitts, 2003). Keputusan pasien untuk tidak melakukan anjuran me dis terjadi ketika pasien mempertimbangkan dampak positif -negatif bila tidak melakukan anjuran medis secara rasional terhadap suatu hal yang dianggap lebih penting pada saat itu (Wroe, 2001). Kondisi emosional pasien juga memiliki pengaruh terhadap anjura n medis. Kondisi distres, seperti cemas dan takut mempengaruhi kemampuan mengingat (retensi memori) pasien dimana semakin tinggi distres pasien, semakin rendah jumlah informasi yang mampu diingat pasien (Sarafino & Smith, 2011). Hal ini
Universitas Sumatera Utara
tentu dapat mempengaruhi pasien dalam melakukan anjuran medis sehingga perilaku patuh yang muncul bisa jadi tidak sesuai dengan instruksi yang diberikan. Locus of control, yakni keyakinan dan ekspektasi individu terhadap keberhasilan atau pencapaian yang diperoleh (Pitts, 20 03) juga memiliki pengaruh terhadap kepatuhan pasien terhadap anjuran medis. Locus of control dapat membantu pasien dalam mengatasi kecemasan dan distres yang dirasakan pasien selama menghadapi penyakit kronisnya. Locus of control pasien juga dapat membantu pasien dalam memanajemen perilaku -perilaku yang dapat menjaga stabilitas kondisi kesehatannya, termasuk melakukan anjuran medis (Kohli, Batra, & Aggarwal, 2011). Faktor psikososial lain yang turut mempengaruhi kepatuhan pasien adalah kepuasan pasien terhadap layanan medis yang diberikan oleh tenaga medis serta dukungan sosial yang dirasakan pasien dari lingkungannya (Kohli, Batra, & Aggarwal, 2011). Ley (dalam Ogden, 2005) juga menyatakan bahwa kepuasan pasien terhadap layanan medis dan konsultasi terape utik yang berlangsung dengan tenaga medis memiliki pengaruh yang langsung terhadap kepatuhan. Semakin puas pasien terhadap layanan medis yang diberikan tenaga medis, semakin tinggi tingkat kepatuhan pasien terhadap anjuran medis. Uraian di atas menunjukkan bahwa faktor psikososial memiliki pengaruh terhadap kepatuhan pasien, baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif. Faktor sosiodemografis juga memiliki pengaruh terhadap kepatuhan pasien, tetapi pengaruh yang diberikan bergantung pada jenis penyakit dan terapi yang dijalani pasien.
Universitas Sumatera Utara
4. Dampak Kepatuhan terhadap Anjuran Medis Kepatuhan pasien terhadap anjuran medis memberikan efek maksimal dari terapi yang dijalani dan biaya pengobatan yang dikeluarkan. Kepatuhan pasien juga dapat mempertahankan stabilitas kondisi kesehatan pasien. Kepatuhan juga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dengan meminimalisir rasa bergantung pasien terhadap layanan medis dan memungkinkan pasien beraktivitas seperti biasa (Rappof, 1999). Pasien yang tidak mematuhi anjuran medis berpotensi mengalami komplikasi penyakit, meningkatnya risiko kematian, menurunnya efektivitas terapi, menyebabkan pasien memerlukan perawatan medis yang intensif, serta mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. Ketidakpatuhan juga dapat mengurangi efektvitas biaya pengobatan yang dikeluarkan. Pasien yang tidak melakukan anjuran medis berpotensi membutuhkan layanan medis tambahan dan bahkan perawatan yang intensif. Hal ini dapat memperbesar biaya pengobatan pasien (Rappof, 1999). Perilaku membolos atau mempersingkat sesi HD berkorelasi dengan meningkatnya risiko kematian pasien dan risiko pasien memerlukan layanan medis intensif. Perilaku pasien yang tidak mematuhi anjuran mengawasi pola makan dan membatasi konsumsi cairan juga berkorelasi dengan meningkatnya risiko kematian pasien (Saran, dkk., 2003).
Universitas Sumatera Utara
5. Kepatuhan Terhadap Anjuran Medis pada Pasien Gagal Ginjal Terminal yang Menjalani Terapi Hemodialisa Kepatuhan pasien gagal ginjal terminal yang menjalani terapi hemodialisa, atau yang lebih dikenal dengan pasien HD , dipengaruhi oleh beberapa faktor. Kim, Evangelista, Phillips, Pavlish, & Kopple (2010) menyatakan terdapat tiga faktor yang memiliki pengaruh pada kepatuhan pasien HD. Faktor kognitif, yakni pemahaman pasien terhadap anjuran medis menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien. Pasien yang mengetahui dan memahami anjuran medisnya cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi. Faktor kedua adalah faktor perilaku, yakni kesesuaian perilaku pasien dengan standar peril aku patuh menurut anjuran medis bagi pasien HD. Semakin tinggi frekuensi kesesuaian perilaku pasien dengan standar perilaku patuh, tingkat kepatuhan pasien juga akan semakin tinggi. Kutner, Zhang, McClellan, dan Cole (2002) menemukan prediktor ketidakpatuhan pasien HD terhadap anjuran medisnya dari sisi sosiodemografis dan psikososial. Pasien perokok, yang dihubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan , ternyata cenderung memiliki tingkat kepatuhan yang rendah. Persepsi terhadap ef ek disruptif yang diakibatkan penyakit gagal ginjal terminal juga berhubungan dengan perilaku membolos dan mempersingkat sesi terapi. Meningkatnya persepsi pasien bahwa penyakit gagal ginjal terminal berdampak negatif cenderung meningkatkan frekuensi membo los dan mempersingkat durasi HD.
Universitas Sumatera Utara
Rasa bergantung dengan mesin HD juga menjadi penyebab pasien sengaja membolos atau mempersingkat sesi terapi untuk dapat memiliki rasa independen itu kembali. Pasien yang memiliki locus of control eksternal juga cenderung tidak mematuhi anjuran membatasi cairan dan mengawasi pola makan . Berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Ley, Kutner, Zhang, McClellan, dan Cole (2002) tidak menemukan adanya efek kepuasan pasien terhadap layanan medis dan dukungan sosial yang dirasaka n pasien terhadap kepatuhan pasien HD dengan anjuran medis mereka. Secara demografis, usia ditemukan memiliki pengaruh terhadap kepatuhan anjuran medis pada pasien HD. Usia muda berkorelasi kuat dengan ketidakpatuhan. Pasien HD yang berusia lebih muda cen derung tidak melakukan anjuran medis dibanding pasien yang lebih tua. Hal ini disebabkan pasien yang berusia lebih muda mengalami stres akibat terapi HD yang dijalani dianggap mengurangi kebebasan dan maturitas pasien. Jenis kelamin, lamanya pasien telah menjalani terapi HD, dan penyebab penyakit gagal ginjal terminal ditemukan tidak mempengaruhi kepatuhan pasien HD terhadap anjuran medis (Leggat, dkk., 1998).
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1 Kerangka Berpikir Penelitian Ginjal
Kerusakan ginjal
Gagal ginjal terminal Bentuk terapi pengganti ginjal
Transplantasi ginjal
Hemodialisa
Dialisa Peritonial
Pasien gagal ginjal terminal yang menjalani terapi hemodialisa
direkomendasikan
Anjuran medis pasien HD
Kepatuhan pasien terhadap anjuran medis
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara