BAB II LANDASAN TEORI
Dalam dunia bisnis akhir-akhir ini semakin sering digunakannya istilah supply chain. Supply chain ini muncul seiring dengan perkembangan dunia usaha yang dituntut untuk semakin efisien dan responsif terhadap perubahan yang terjadi, terutama dalam hal memenuhi kebutuhan konsumen. Efisien dalam arti meminimalkan biaya dalam rangka pengadaan barang maupun jasa. Sedangkan responsif maksudnya adalah cepat dan tanggap dalam menyediakan barang dan jasa tersebut, sehingga pelanggan dapat memperolehnya tepat di saat mereka membutuhkannya atau sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan sebelumnya. Dalam kenyataannya, untuk dapat melakukan efisiensi dan sekaligus responsif itu tidak mudah, seringkali keduanya justru bertentangan. Sebagai contoh, untuk dapat efisien, maka suatu perusahaan harus mempunyai tingkat persediaan (inventory level) yang serendah mungkin. Hal ini dimaksudkan untuk menekan biaya persediaan seperti sewa gudang dan pekerja. Sedangkan untuk dapat bersikap responsif, perusahaan tersebut harus mampu memenuhi kebutuhan pelanggannya secara cepat. Salah satu caranya adalah dengan mempunyai jumlah persediaan barang yang cukup sehingga perusahaan tersebut akan dapat memenuhi permintaan pelanggannya tanpa harus menunggu proses produksi ataupun pemesanan dari supplier lainnya. Seringkali suatu perusahaan menimbun jumlah persediaan yang cukup besar, karena permintaan
6
7
dari pelanggan seringkali yang tidak menentu dan tidak sesuai dengan prediksi (forecasting) yang telah dilakukan sebelumnya. Contoh lainnya adalah dalam hal distribusi barang dari gudang utama (central warehouse) ke gudang-gudang lebih kecil yang tersebar di daerah-daerah. Suatu perusahaan dapat melakukan efisiensi biaya transportasi dengan cara melakukan pengiriman yang seminim mungkin. Barang dalam kuantitas yang kecil disimpan terlebih dulu di gudang utama sambil menunggu kedatangan barang-barang lainnya untuk selanjutnya dikirimkan secara bersamaan ke gudang-gudang di daerah. Dengan cara ini maka perusahaan tersebut dapat menghemat biaya transportasi karena tidak perlu melakukan pengiriman barang secara berkali-kali untuk kuantitas yang kecil. Namun di lain pihak, untuk dapat bersikap responsif terhadap kebutuhan para pelanggannya, perusahaan tersebut dituntut untuk melakukan pengiriman barang sesegera mungkin, walaupun barang yang akan dikirim itu hanya dalam kuantitas yang sedikit. Hal ini tentunya akan meningkatkan biaya transportasi bagi perusahaan tersebut. Dari kedua contoh di atas, dapat terlihat bahwa untuk melakukan efisiensi sekaligus bersikap responsif seringkali bertolak belakang. Strategi supply chain (forecasting)yang akan dibahas kemudian dapat menjadi sebuah kerangka kerja (framework) untuk memberikan solusi yang terbaik dalam mengatasi masalah tersebut.
8
2.1. Supply Chain Supply chain yang juga berarti sebagai jaringan logistik (logistics networks) seperti yang ditulis oleh Chopra dan Meindl (2006) dalam bukunya Supply Chain Management, pada dasarnya melibatkan semua pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan kebutuhan pelanggan. Supply chain tidak hanya meliputi principal (manufacturers) dan supplier saja, tetapi juga penyedia jasa transportasi, gudang, distributor, agen, pengecer, dan pelanggan itu sendiri. Dalam setiap organisasi, seperti principal, supply chain meliputi semua proses dan fungsi yang terlibat dalam hal menerima pesanan dan memenuhi kebutuhan pelanggannya. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: pengadaan produk baru, marketing, operasional, distribusi, keuangan, dan pelayanan pelanggan. Namun juga tidak hanya terbatas pada hal-hal tersebut. Dalam sistem supply chain yang kompleks, produk yang sudah dibeli oleh end user dapat masuk kembali kedalam supply chain. Contoh dari suatu supply chain terlihat pada gambar dibawah ini.
9
Gambar 2.1 Supply Chain Network (Sumber: http://www.logistics-consultants.co.uk/images/examplesupply-chain.gif)
Bagian paling penting dari supply chain sering sekali tidak diperhatikan.
Bagian
tersebut
adalah
pelanggan
(customer).
Pada
kenyataannya, pelanggan merupakan komponen paling utama dalam suatu supply chain. Tujuan paling utama dari supply chain adalah pemenuhan demand. Dengan kata lain supply chain harus memenuhi kebutuhan pelanggan. Aktivitas suatu supply chain berawal dari pelanggan (pesanan pelanggan), berlanjut ke proses produksi, distribusi dan berakhir pada pelanggan. Pada proses pelaksanaan supply chain, tidak hanya barang saja yang mengalir, pada kenyataannya ada 4 arus yang mengalir bersamaan, yaitu arus barang, arus jasa, arus uang, dan arus informasi.
2.2. Forecasting Forecasting adalah suatu proses estimasi/perkiraan dari suatu situasi yang tidak diketahui. Estimasi yang dilakukan bisa berdasarkan time-series, crosssectional, atau longitudinal data. Yang dimaksud dengan data time-series adalah data-data yang diperoleh dari kejadian masa lampau, sebagai contoh data penjualan, data produksi, dll. Data cross sectional merupakan data yang dikumpulkan dengan melakukan observasi pada waktu yang sama. Sebagai
10
contoh, kita ingin mengetahui tingkat obesitas pada suatu wilayah dengan cara menyebarkan angket kepada beberapa orang sampel. Data yang diperoleh merupakan data pada saat itu, kita tidak tahu apakah data tersebut naik atau turun jumlahnya. Data longitudinal adalah data observasi yang dilakukan pada rentang waktu yang lebih panjang. Berbeda dengan cross sectional, data longitudinal memakai sampel yang sama pada rentang waktu tersebut.
2.2.1. Karakteristik Forecasting Perusahaan harus berhati-hati terhadap beberapa karakteristik dari forecasting berikut ini: 1. Forecast selalu salah. Oleh karena itu untuk meminimalkan angka kesalahan yang terjadi perlu dimasukkan dalam perhitungannya angka yang ingin dicapai pada forecast dan presentase kesalahan dari forecast.
2. Long term forecast (forecast untuk jangka waktu yang lebih lama) biasanya lebih tidak akurat dibandingkan short term forecast. Hal ini dikarenakan long-term forecast memiliki standard deviation error yang lebih lebar.
11
2.2.2. Komponen dan Metode Dalam Melakukan Forecasting Pengetahuan yang dibutuhkan dalam melakukan demand forecast : 1. Demand pada masa lampau 2. Lead time dari proses produksi 3. Planned advertising 4. Keadaan ekonomi 5. Plan Price discount 6. Hal/aksi yang dilakukan oleh kompetitor
Klasifikasi dari metode Forecasting : 1. Qualitative Biasa disebut juga Judgemental Menthod. Pada metode ini forecasting dilakukan berdastkan pendapat subjektif atau berdasarkan
keputusan
dari
seseorang
yang
memiliki
pengetahuan tentang pasar.
2. Time Series Pada metode ini forecasting didasari dari data hasil permintaan dan penjualan pada tahun-tahun sebelumnya, metode ini memiliki asumsi kalau data terdahulu merupakan indikator penentu yang baik untuk forecast masa yang akan datang.
12
3. Casual Pada metode ini forecast terhadap permintaan dihubungkan dengan faktor yang ada pada saat ini seperti keadaan ekonomi suatu negara saat ini, tingkat suku bunga, dll.
4. Simulation Metode ini dapat dikatakan sebagai gabungan dari metode time series dengan metode casual.
2.2.3. Pendekatan Dasar Dalam Melakukan Demand Forecasting 6 langkah pendekatan yang membatu perusahaan dalam melakukan forecasting yang efektif : 1. Mengerti objective dari forecasting Setiap keputusan pendukung forecast harus berdasarkan forecast, maka keputusan yang dibuat harus benar-benar jelas.
2. Mengintegrasikan
demang
planning
dan
forecasting
disepanjang supply chain. Suatu perusahaan harus menghubungkan forecast mereka ke seluruh aktivitas mereka sepanjang jalur supply chain. Jalur ini meliputi capacity planning, production planning, promotion planning dan juga purchasing.
13
Untuk melakukan integrasi ini, alangkah baiknya untuk suatu perusahaan melakukan cross-functional team, dengan anggota yang berasal dari seluruh fungsi yang berhubungan dengan forecasting demand.
3. Mengerti dan mengidentifikasi segmen pelanggan Perusahaan harus mengerti segmentasi pelanggan. Pelanggan dapat dikelompokkan berdasarkan kesamaan pada service, volume
demand,
frekuensi
order,
demand
volatility,
seasonality, dan lain-lain. Pengelompokan-pengelompokan ini menyebabkan berbedanya metode dalam melakukan forecasting demand.
4. Mengidentifikasi faktor utama yang mempengaruhi demand forecast Pada saat menentukan atau membuat suatu demand forecast, ada banyak factor yang mempengaruhi yaitu demand, supply dan product-related. •
Demand Pada sisi demand perusahaan harus mengetahui dengan pasti apakah demand bertambah atau berkurang atau memiliki pola seasonal. Hal yang paling penting adalah estimasi harus berdasarkan demand, bukan sales data.
14
•
Supply Pada sisi supply perusahaan harus mempertimbangkan sumber-sumber supply yang ada untuk meningkatkan akurasi dari forecasting. Ketersediaan supply ini berkaitan erat dengan lead-time. Jika memiliki supplier yang mampu memberikan lead-time yang pendek maka tingkat keakurasian forecast tidak terlalu dipentingkan. Namun jika perushaan hanya memiliki 1 supplier maka akurasi dari forecast amat sangat diperlukan.
•
Product related Pada sisi produk, perusahaan harus mengetahui jumlah variasi produk yang dijual, apakah produk ini produk substitusi atau komplemen.
5. Menentukan teknik forecasting yang tepat Dalam menentukan teknik forecasting yang tepat , perusahaan harus mengerti dimensi yang paling relevan untuk forecast. Dimensi yang dimaksud termasuk area geografis, grup produk, dan grup customer. Setiap dimensi memiliki karakteristiknya sendiri-sendiri sehingga melakukan forecasting untuk seluruh
15
area tersebut dan menggabungkannya merupakan pilihan yang baik. Ada 4 metode untuk melakukan forecast yaitu qualitative, time series, casual atau simulation
6. Membuat pengukuran terhadap keakuratan dan eror dari forecast. Perushaan harus membuat suatu kebijakan untuk mengukur akurasi dari forecast. Kebijakan ini harus berkaitan dengan tujuan bisnis perusahan.
2.2.4. Metode Time Series Forecasting Tujuan dari metode forecasting adalah untuk memperkirakan komponen demand yang sistematik dan memperkirakan random komponen. Pada umumnya komponen sistematik dari demand terdiri dari level, trend dan seasonal factor. Rumus untuk menghitung systematic component berbeda-beda, antara lain: o Multiplicative: Systematic component = level x trend x seasonal factor o Additive: Systematic component = level + trend + seasonal factor o Mixed: Systematic component = (level + trend) x seasonal factor
16
2.2.4.1.
Metode Static Forecasting Metode static menggunakan asumsi bahwa estimasi level, trend dan seasonality pada systematic component tidak berubah sepanjang demand. Metode ini menggunakan historical data dan menggunakan data tersebut untuk melakuakan forecast. Pada forecasting menggunakan metode static, forecast pada periode t untuk demand pada periode t+l adalah:
Dimana:
2.2.4.2.
Metode Adaptive Forecasting Pada metode adaptive estimasi level, trend dan seasonality terus di ubah seiring dengan pengamatan demand yang ada.
17
Diasumsikan bahwa kita memiliki historical data untuk periode n dan demannya seasonal dengan periodicity p. pada metode adaptive, forecast untuk periode t+l pada periode t adalah:
Dimana:
4 langkah pada metode forecasting adaptive: 1. Initialize Lakukan perhitungan awal untuk Level, trend dan seasonal factor dari data yang ada.
2. Forecast Lakukan perhitungan forecast untuk periode t+1 dengan menggunakan rumus diatas.
3. Estimate Error
18
Catat demand aktual Dt+1 untuk periode t+1 dan lakukan perhitungan error Et+1 pada forecast untuk periode t+1. Perbedaan antara forecast dan demand aktual akan menyebabkan error. Error tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
4. Modify Estimates
Ada 4 metoda perhitungan forecast untuk Adaptive forecasting yaitu: •
Moving Average Metoda ini digunakan ketika demand tidak memiliki trend ataupun kecenderungan pada musim tertentu (seasonality) Pada model ini, level pada perioda t di estimasikan sebagai rata-rata demand pada perioda N.
19
Forecast untuk perioda selanjutnya adalah sama dan berdasarkan pada estimasi level pada saat ini. Seperti pada rumus dibawah ini dan Sehingga rumus pada persamaan diatas menjadi
•
Simple Exponential Smoothing Metoda ini sangat cocok digunakan ketika demand tidak memiliki trend maupun kecenderungan musim (seasonality) Nilai Level pertama, L0, didapat dari rata-rata dari seluruh data historis. Sehingga dapat ditulis, L0 untuk data demand dari period 1 sampai n adalah:
Forecast untuk perioda selanjutnya adalah sama dan berdasarkan pada estimasi level pada saat ini. Seperti pada rumus dibawah ini dan Setelah melihat Demand ,
, untuk period t+1,
maka rumus diatas dapat diturunkan menjadi
20
•
Trend-Corrected Exponential Smoothing (Holt’s Model) Holt’s Model cocok digunakan ketika demand diasumsikan untuk memiliki level dan trend pada komponen yang sistematis, namun tanpa seasonality. Kita dapat mencari estimasi nilai awal dari level dan trend dengan mengunakan regresi linear antara demand Dt dan perioda waktu t dengan bentuk
Konstanta b mengukur estimasi dari demand pada period t=0 dan estimasi untuk level 0. Slope a mengukur nilai perubahan pada deman per period dan estimasi untuk trend 0. Forecast untuk perioda selanjutnya adalah sama dan berdasarkan pada estimasi level pada saat ini. Seperti pada rumus dibawah ini dan
21
•
Trend- and Seasonality-Corrected Exponential Smoothing (Winter’s Model) Metoda ini cocok ketika komponen dari demand memiliki level, trend dan faktor seasonal. Untuk mencari estimasi Level, trend dan seasonal awal kita perlu mencari dengan menggunakan pendekatan static method seperti dibawah ini.
Forecast selanjutnya pada perioda t, jika diketahui level, Lt , trend, Tt, dan faktor seasonal, St,…,St+p1 adalah dan
2.2.5. Pengukuran Kesalahan dalam Forecasting Forecasting harus mengandung 2 komponen: systematic dan random. Komponen random dalam hal ini biasa dinyatakan dengan forecast error. Forecast error pada kenyataannya perlu dilakukan analisa lebih lanjut untuk 2 tujuan:
22
1. Untuk menentukan apakah forecasting yang digunakan benarbenar menunjukkan komponen systematic dengan akurat. Sebagai contoh jika hasil forecasting terus menunjukkan positive error, berarti forecast yang dilakukan terlalu tinggi dan harus diperbaiki.
2. Semua rencana harus dihubungkan dengan forecast error. Sebagai contoh: ada 2 supplier, lokal dan luar negeri. Supplier lokal memiliki harga yang lebih tinggi namun dengan lead time yang lebih pendek. Supplier luar negeri memilikki harga lebih rendah, dengan lead time yang lebih panjang. Perusahaan ingin melakukan kontrak dengan supplier lokal untuk digunakan pada saat demand melebihi jumlah yang disiapkan oleh supplier dalam negeri. Keputusan yang berhubungan dengan jumlah yang harus disiapkan oleh supplier lokal amat sangat berhubungan dengan nilai dari forecast error.
2.3. Aggregate Planning Aggregate planning adalah proses yang dilakukan perusahaan untuk menentukan level ideal dari kapsitas, produksi, sub-kontrak, inventori, stockout, dan bahkan harga untuk waktu tertentu. Tujuan dari aggregate planning adalah untuk memenuhi demand dan juga untuk memperbesar profit.
23
Secara tradisional, banyak dari aggregate planning fokus pada perusahaan dan banyak yang tidak melihat sebagai bagian dari supply chain management. Bagaimanapun juga aggregate planning adalah bagian dari supply chain. Tujuan utama dari aggregate palanning adalah untuk mengidentifikasi parameter operasional berikut ini pada satuan waktu tertentu: 1. Production Rate 2. Workforce 3. Overtime 4. Machine Capacity level 5. Subcontracting 6. Backlog 7. Inventory on Hand
Aggregate plan menyediakan blueprint yang jelas bagi operasi dan menciptakan parameter yang dibutuhkan untuk produksi dan distribusi. Aggregate plan juga memungkinkan supply chain untuk merubah alokasi kapasitas dan merubah kontrak supply.
2.3.1. Permasalahan Dalam Aggregate Planning Tujuan dari aggregate plan adalah untuk memenuhi demand dan juga memperbesar profit bagi perusahaan. Umumnya permsalahan dalam aggregate planning adalah:
24
Diberikan forecast dari demand untuk setiap periode pada planning horizon, menentukan level produksi, level inventory, dan level kapasitas (internal dan external) untuk setiap periode yang menambah profit perusahaan pada periode planning. Untuk membuat aggregate plan, perusahaan harus menetapkan planning horizon. Planning horizon adalah periode waktu dimana aggregate plan harus menghasilkan solusi – umumnya diantara 3 sampai 18 bulan. Perusahaan harus menetapkan durasi dari setiap periode dalam planning horizon (contoh: minggu, bulan atau 4 bulanan). Perusahaan juga menetapkan informasi utara yang dibutuhkan untuk menetapkan aggregate plan dan membuat keputusan dimana
atau
kapan
aggregate
planning
akan
menghasilkan
rekomendasi. Suatu aggregate planner membutuhkan informasi dibawah ini: 1. Forecast demand Ft untuk setiap Periode t pada planning horizon yang berada disepanjang periode T
2. Biaya Produksi a. gaji pegawai, regular time dan biaya overtime b. biaya untuk melakukan produksi diluar. c. biaya untuk merubah kapasitas d. pekerja/mesin jam dibutuhkan per unit e. biaya inventory
25
f. biaya stockout g. constrain ¾ limit overtime ¾ limit pemecatan ¾ limit
Dengan informasi-informasi diatas, perusahaan dapat menentukan: 1. Jumlah produksi dari regulat time, overtime dan subcontract. 2. Jumlah inventory 3. Jumlah backlog/stockout 4. Jumlah pekerja yang dibutuhkan atau dipecat. 5. Kapasitas mesin
2.3.2. Strategi Aggregate Planning 3 elemen penting dalam mengatur strategi aggregate planning adalah o Capacity o Inventory o Stock-out Dalam menciptakan aggregate planning umumnya perusahaan akan mencari gabungan dari ketiga elemen diatas yang biayanya paling sedikit. Strategi untuk mencari biaya paling sesuai ada 3: 1. Chase strategy
26
Angka produksi disesuaikan dengan angka demand dengan cara melakukan penyesuaian kapasitas mesin atau menambah dan memecat pekerja ketika angka demand berubah
2. Time flexibility Strategi ini digunakan juga ada kelebihan kapasitas mesin. Sebagai contoh adalah mesin yang tidak digunakan 24x7 hours.
3. Level strategy Kapasitas mesin dan jumlah pekerja secara terus menerus dijaga jumlahnya agar selalu konstan. Stock-out dan overstock selalu berfluktuasi pada level inventory setiap saat. Pada strategi ini produksi tidak disesuaikan dengan demand.
2.3.3. Aggregate Planning Costs Aggregate planning cost digunakan untuk meminimalisir cost. Metode aggregate planning ini menganggap demand tetap (konstan). Elemen-elemen biaya pada aggregate planning terdiri atas: •
Biaya perekrutan dan pemberhentian pegawai Biaya
perekrutan
pegawai
meliputi
proses
rekrutment,
screening, dan biaya pelatihan yang dipakai untuk melakukan
27
prekrutan. Sedangkan biaya pemberhentian pegawai meliputi uang pesangon, dan lain-lain.
•
Biaya lembur Biaya lembur umumnya adalah upah dasar ditambah dengan biaya lembur yang besarnya 50 sampai 100 persen dari upah dasarnya.
•
Biaya subcontract Biaya subcontract adalah biaya yang ada apabila pekerjaan dalam memproduksi barang atau jasa diberikan kepada pihak lain untuk memproduksi barang atau jasa tersebut. Biaya subcontract ini bisa lebih tinggi atau bahkan lebih rendah daripada biaya jika dikerjakan sendiri.
•
Biaya pekerja paruh waktu Pada umumnya biaya untuk pekerja paruh ada sedikit perbedaan dengan pekerja regular atau tetap, selain itu juga pekerja paruh waktu tidak menerima benefit seperti pada pekerja tetap atau regular. Kecenderungan suatu perusahaan untuk menggunakan pekerja paruh waktu memang dimungkinkan, namun pekerja regular
28
tetap dibutuhkan untuk menjamin kelangsungan operasional perusahaan dan juga untuk memberikan pelatihan bagi pekerja paruh waktu.
•
Biaya inventory Nilai dari inventori carrying ini biasanya berkisar 15 – 35 % per tahun dari unit cost barang yang bersangkutan, cost ini merupakan bagian dari biaya perwatan terhadap suatu produk seperti cost penyimpanan, cost dari barang yang sudah kuno atau ketinggalan zaman dan juga merupakan biaya dari pembusukan suatu produk.
•
Biaya untuk barang kosong Cost yang diakibatkan karena penurunan dari pelayanan kepada pelanggan dan nilai dari cost ini paling sulit untuk diukur.
2.4. Managing Supply Untuk mengatasi masalah persediaan(supply) yang bervariasi kita dapat Mengontrol Kombinasi dari 2 faktor ini : 1. Kapasitas produksi 2. Inventori
29
Beberapa pendekatan yang spesifik dalam mengatur kapasitas dan inventori dalam memaksimalkan profit antara lain : 1. Managing Capacity a. Time flexibility from workforce : Maksudnya perusahaan menggunakan waktu yang flexibel dalam produksi dalam memenuhi permintaan. (intinya manfaatkan waktu yang ada sebaik mungkin dan jangan biarkan ada operasi yang idle, kalau permintaa terus meningkat perusahaan harus melakukan penambahan perkerja) b. Use
Of
Seasonal
Workforce,
maksudnya
perusahaan
menggunakan pekerja sementara untuk memenuhi permintaan yang sedang meningkat. c. Use of subcontracting (meng outsource) d. Use Dual Facilities – specialized & flexible e. Design Product flexibility into production processes (barang complementary)
2. Managing Inventory a. Using common components accros multiple produk (intinya satu mesin dapat dipakai untuk produksi beberapa produk) b. Build predictable demand product (buat produk yang mudah diprediksi penjualannya)
30
2.5. Managing Demand Supply chain dapat menjadi pendorong untuk demand dengan menggunakan pricing
dan bentuk lain dari promosi. Keputusan untuk berpromosi
umumnya dilakukan oleh retailer tanpa melihat dampak bagi supply chain. Ketika promosi berjalan dalam periode waktu tertentu, demand pada periode tersebut cenderung untuk naik sebagai kombinasi dari 3 faktor dibawah ini: 1. Market growth Kenaikan angka konsumsi dari suatu produk baik dari pelanggan baru maupun dari pelanggan lama.
2. Stealing share Pelanggan berpindah dari suatu merek ke merek yang lain tanpa merubah total keseluruhan market.
3. Forward buying Akibat dari promosi ini, pelanggan yang seharusnya membeli produk beberapa bulan kedepan, membeli produk tersebut sekarang.
Melakukan promosi pada saat periode tinggi (peak period) mengakibatkan forward buying sehingga membuat demand semakin tinggi daripada sebelum promosi.
31
2.6. Bill of Materials (BOM) Bill of materials adalah suatu daftar lengkap bahan pembuat suatu produk, daftar BOM tidak hanya bahan pembuat, parts, dan komponen tetapi juga termasuk alur bagaimana produk tersebut dibuat. BOM biasa disebut sebagai product structure file atau product tree karena BOM menunjukkan bagaimana bahan-bahan terbsebut dapat menjadi suatu produk. BOM dapat dianalogikan sebagai buku resep yang digunakan sebagai acuan dalam memasak. Didalam buku masak dituliskan dengan jelas bahan-bahan pembuat dan juga komposisinya, selain itu juga dituliskan bagaimana memproses masakan tersebut menjadi masakan siap saji. Demikian pula dengan BOM. Sebagai contoh dalam pembuatan sebuah meja, dibutuhkan BOM seperti pada gambar 2.2 dibawah ini.
Gambar 2.2 BOM Meja (Sumber: Schroeder, Roger G., 2007, Operations Management: Contemporary Concepts and Cases, 3rd ed., McGraw-Hill, New York.)
32
Pada gambar BOM diatas, bagian paling atas adalah barang jadi, dalam hal ini adalah Table (Meja) meja disusun atas bagian Short Rails (2 buah), Long Rails (2 buah ) dan Legs (4 buah), masing-masing bagian membutuhkan waktu pengerjaan selama 1 minggu. Ketiga bagian itu akan disusun selama 1 minggu menjadi Leg Assembly. Selain itu bagian Top (1 buah) membutuhkan waktu 2 minggu pengerjaan, dan dibutuhkan waktu 1 minggu lagi untuk menggabungkan Leg Assembly dengan Top. Sehingga waktu yang dibutuhkan untuk membuat 1 meja adalah 7 minggu. Dengan demikian selain bahan baku yang dibutuhkan untuk pembuatan suatu produk, BOM juga dapat menampilkan bagaimana proses dan alur kegiatan produksi, dan juga lead-time yang dibutuhkan.
2.7. Inventory Cost Structures Inventory cost structures menggabungkan 4 tipe biaya: a. Item Cost Adalah biaya yang dibutuhkan untuk membeli atau memproduksi suatu barang inventory. Item cost umumnya dinyatakan dengan biaya per unit dikali dengan jumlah yang dibeli atau diproduksi.
33
b. Ordering (Setup) Cost Ordering cost adalah biaya yang timbul akibat kegiatan membeli 1 batch barang. Biaya ini meliputi penulisan purchase order, pengiriman order, biaya transportasi, biaya penerimaan dan lain-lain. Pada perusahaan yang memproduksi barang setup cost adalah biaya yang timbul akibat kegiatan memproduksi barang. Setup cost meliputi biaya penulisan PO dan lain-lain ditambah dengan biaya yang dibutuhkan untuk melakukan set-up mesin produksi.
c. Carrying (Holding) Cost Nilai dari inventori carrying ini biasanya berkisar 15 – 35 % per tahun dari unit cost barang yang bersangkutan. Pada umumnya carrying atau holding cost, terdiri atas 3 komponen, yaitu: ¾ Cost of Capital Ketika barang masuk kedalam inventory, modal yang diinvestasikan untuk barang tersebut tidak dapat digunakan untuk tujuan lain. Hal ini menggambarkan biaya dari membatalkan kesempatan untuk berinvestasi dilain tempat.
¾ Cost of Storage Biaya ini meliputi biaya tempat, asuransi, dan pajak.
34
¾ Cost of obsolescence, deterioration, and loss Biaya obsolescence adalah biaya yang harus ditambahkan kedalam barang yang memiliki resiko tinggi untuk menjadi using atau tidak bisa digunakan. Biaya deterioration adalah biaya yang harus ditambahkan kedalam produk yang memiliki resiko untuk mengalami kemunduran fungsi. Sebagai contoh: makanan dan darah. Biaya loss adalah biaya yang harus ditambahkan apabila barang tersebut memiliki kemungkinan untuk hilang pada saat berada pada inventory.
d. Stockout Cost Biaya stockout menggambarkan akibat ekonomis akibat kehabisan stok.
2.8. Activity Based Costing (ABC) Sebelum munculnya konsep Aactivity Based Costing (ABC) digunakan konsep Traditional costing dalam menentukan biaya suatu produk. Traditional costing menggunakan dasar biaya tenaga kerja untuk menentukan harga suatu barang. ABC didesain untuk tujuan penyediaan informasi bagi semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan dan pemberdayaan karyawan (informing and empowering) untuk membangun daya saing perusahaan melalui cost leadership strategy. cost objek adalah seluruh item
35
seperti produk, pelanggan, departemen, proyek, aktifitas, dan lain-lain dimana untuk itu biaya diukur dan dibebankan. ABC merupakan sebuah system yang dilandasi oleh empat paradigma manajemen berikut (Mulyadi, 1999) :
•
Pertama, Customer Value memfokuskan ABC pada penciptaan Value bagi pelanggan dengan proses yang cost effective. Cost effective merupakan sebuah kondisi dimana biaya yang timbul sedapat mungkin dikarenakan sebagai akibat dari proses yang mengandung nilai tambah.
•
Kedua, paradigma continuous improvement menjadikan ABC sebagai system informasi yang memacu personel melakukan peningkatan secara berkelanjutan para proses yang dilakukan oleh perusahaan dalam menciptakan value untuk pelanggan.
•
Ketiga, paradigma corss functional menjadikan ABC sebagai sebuah system informasi yang menunjang keterpaduan antara fungsi dalam menciptakan value bagi pelanggan. Paradigma ini mengisyaratkan bahwa perusahaan yang sesuai mengguanakan ABC adalah perusahaan yang menerapkan cross functional organization.
•
Keempat, paradigma employee empowerment menjadikan ABC sebagai sistem informasi yang memberdayakan para karyawan untuk
36
melakukan pengambilan keputusan atas pekerjaan yang menjadi tanggungjawab mereka.
2.9. Analysis of Variance Analysis of Variance biasa disingkat ANOVA. Teknik ANOVA pertama kali diperkenalkan oleh R. A. Fisher pada tahun 1920-an. ANOVA merupakan metode untuk melakukan pengujian hipotesis, biasanya digunakan untuk mengevaluasi perbedaan dua atau lebih rata-rata (mean) dari suatu group Ada beberapa jenis ANOVA: a. One-Way ANOVA, b. One-Way ANOVA for repeated Measure. c. Factorial ANOVA, d. Mixed-Design ANOVA, e. MANOVA Pada penelitian ini kami akan menggunakan One-Way ANOVA. One-Way ANOVA biasanya digunakan untuk menguji rata-rata/pengaruh perlakuan dari suatu percobaan yang menggunakan 1 faktor,dimana 1 faktor tersebut memiliki 2 atau lebih level. Disebut 1-arah (one-way) karena peneliti dalam penelitiannya hanya berkepentingan dengan 1 faktor saja.