11
BAB II LANDASAN TEORI
A. SIKAP TERHADAP COMPETITIVE INTELLIGENCE 1. Pengertian Sikap Sikap merupakan derajat afek positif atau negatif terhadap suatu objek psikologis (Thurstone dalam Azwar, 2010). Sikap selalu berkaitan dengan suatu objek. Tidak ada sikap tanpa adanya objek (Gerungan dalam Azwar, 2010). Sikap merupakan afek atau penilaian positif atau negatif terhadap suatu objek (Fishbein dan Ajzen dalam Azwar, 2010). Sikap meliputi rasa suka atau tidak suka terhadap situasi, benda, orang, kelompok, dan aspek lingkungan (Deaux dalam Azwar, 2010). Cattel (dalam Azwar, 2010) mengartikan sikap sebagai ketertarikan emosi dan perilaku seseorang terhadap beberapa orang, objek, dan kejadian. Allport (dalam Azwar, 2010) mengatakan bahwa sikap merupakan sesuatu yang mengarahkan perilaku kita terhadap objek tertentu, dapat bersifat positif atau negatif dan melibatkan penilaian atau evaluasi. Sikap merupakan komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi didalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek (Secord & Backman dalam Azwar, 2010). Jadi dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.
12
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sikap Efek suatu komunikasi merupakan bagian perubahan sikap, yakni sejauhmana komunikasi itu diperhatikan, dipahami, dan diterima (Hovland, Janis, & Kelley dalam Azwar, 2010). Ada tiga faktor yang mempengaruhi efek suatu komunikasi, antara lain: 1. Karakteristik komunikator, meliputi: keahlian, dapat dipercaya, disukai, status, ras, dan agama. 2. Karakteristik pesan, meliputi: daya tarik bahasa, kemudahan bahasa dimengerti, atau situasi saat pesan tersebut disampaikan. 3. Karakteristik
penerima pesan, meliputi: kemudahan dibujuk, inteligensi,
harga diri, dan kepribadian.
3.
Pengertian Competitive Intelligence Prescott (dalam Fleisher, 2003) mengatakan bahwa competitive intelligence
adalah proses dimana organisasi mengumpulkan informasi tentang kompetitor dan lingkungan kompetitif, dan mengaplikasikannya ke dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan sehingga dapat memperbaiki kinerja mereka. Shaker dan Gembicki (dalam Strauss, 2008) mendefenisikan competitive intelligence sebagai proses
bisnis
yang
sistematis,
berkelanjutan,
dan etis
dalam
mengumpulkan informasi dari target, seperti: pelanggan, kompetitor, personalia, ahli teknologi, maupun keseluruhan lingkungan bisnis. Competitive intelligence merupakan proses menganalisis informasi yang berhubungan
dengan
pasar
dan
kompetitor,
lalu
mengumpulkan
dan
13
mentransformasikannya
menjadi intelligence yang sangat berguna
sehingga
mempengaruhi kegunaannya dalam pengambilan keputusan (Hopper dalam Strauss, 2008). Johnson (dalam Strauss, 2008) mendefenisikan competitive intelligence dengan proses monitoring yang terkoordinasi terhadap kompetitor sehingga dapat berkompetisi dalam area pemasaran. Competitive intelligence digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang rencana kompetitor dan merencanakan strategi untuk bisnis yang dimiliki agar dapat bersaing dengan rencana kompetitor (Johnson dalam Strauss, 2008). Rouach dan Santi (2001) menyatakan bahwa competitive intelligence sebagai tindakan dalam mengumpulkan informasi, memprosesnya dan menyimpannya supaya bisa tersedia bagi semua orang di dalam organisasi, dengan tujuan menjadi bisnis yang lebih baik kelaknya dan dapat melindungi bisnis ancaman
kompetitif.
Fleisher
dan
Bensoussan
(dalam
Strauss,
dari 2008)
mendefenisikan competitive intelligence sebagai produk/ hasil yang mempunyai nilai, berasal dari proses pengumpulan data, evaluasi, analisis, integrasi, dan interpretasi dari semua informasi yang tersedia, serta secara langsung atau berpotensi signifikan dalam proses pembuatan keputusan. Muller (dalam Strauss, 2008) menyatakan bahwa competitive intelligence merupakan proses sistematis untuk menghasilkan rekomendasi tentang hal-hal yang dapat dilakukan, dimana proses
sistematis
tersebut
terdiri
dari
proses
perencanaan
(planning),
pengumpulan informasi (gathering), analisis (analyzing), dan penyebaran informasi (disseminating)
supaya adanya kemajuan dan pengembangan yang
berpotensi mempengaruhi situasi kompetitif suatu perusahaan.
14
Maka dapat disimpulkan bahwa competitive intelligence adalah proses dimana organisasi mencari tahu kondisi lingkungan kompetitif dan kompetitor, sehingga organisasi tersebut dapat mengambil keputusan yang berguna untuk lingkungan bisnisnya.
4. Aspek-Aspek Competitive Intelligence Rouach dan Santi (2001) menyatakan aspek-aspek dari competitive intelligence terdiri atas 4 (empat) bagian, yakni: 1. Commercial & marketing intelligence Hal yang mencakup aspek ini adalah pemahaman dan strategi tentang tentang aspek-aspek komersial dan pemasaran. Hal ini mencakup trend yang sedang terjadi pelanggan, apa yang disukai dan dibutuhkan pelanggan, segmentasi pasar yang baru, inovatif, dan memberi peluang; serta perubahan-perubahan dan distribusi yang sedang terjadi di pasar. Biasanya, informasi dari pelanggan, pembeli, pemasok, dan distributor dikumpulkan dan dianalisis. Aspek pemasaran
mencakup perencanaan produk, kebijakan harga,
melakukan promosi, distribusi, penjualan, pelayanan, dan membuat strategi pemasaran. Aspek komersial mencakup ekspor dan impor barang.
2. Competitor intelligence Hal yang mencakup aspek ini merupakan pemahaman dan strategi tentang aspek-aspek kompetitor. Hal ini mencakup proses mengevaluasi strategi kompetitif dari saingan supaya dapat mengatasi perubahan-perubahan pada
15
kompetitor (misal: adanya perubahan struktur, produk baru) dan kompetitor baru dalam industri tersebut. Aspek kompetitor mencakup tujuan, strategi, kekuatan, kelemahan dan reaksi pesaing.
3. Technological intelligence Hal yang mencakup aspek ini merupakan pemahaman dan strategi tentang aspek-aspek teknologi. Hal ini mencakup evaluasi biaya dan manfaat dari penggunaan teknologi untuk saat ini ataupun ke depannya bagi bisnis, serta mengevaluasi perubahan-perubahan teknologi ke depannya. Proses ini juga berhubungan dengan adanya para peneliti, pabrik-pabrik, proses dan aturan yang terstandardisasi, serta hak paten.
4. Strategic & social intelligence Hal yang mencakup aspek ini merupakan pemahaman dan strategi tentang aspek-aspek sosial dan strategis. Hal ini mencakup yakni
pengetahuan
individu tentang isu-isu hukum, keuangan, politik, ekonomi, sumber sosial dan juga sumber daya manusia yang tersedia.
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Competitive Intelligence Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi competitive intelligence (Jaworski, 2002), antara lain: 1. Network Jika mempunyai asosiasi yang memiliki basis informasi yang beraneka ragam, maka informasi yang akan didapatkan lebih berkembang dan lebih komprehensif.
16
Selain itu, jika ada organisasi yang sama-sama berkompetisi saling bertukar informasi tentang pihak ketiga atau kompetitor lain, maka semakin komprehensif pula informasi yang diperoleh dan kecerdasan kompetitif akan tinggi. Network juga perlu sama-sama memiliki kesadaran untuk mencari informasi tentang isu-isu kompetitif. Network juga akan berkembang jika ada hubungan timbal balik (individu yang telah memberikan informasi dapat menerima informasi kembali)
2. Lingkungan Bisnis (Business environtment) Individu akan cenderung membagikan kecerdasan kompetitifnya, jika individu dalam
organisasi
akan
diberi
reward,
insentif,
atau
rekognisi
untuk
melakukannya. Pengalokasian waktu yang terbatas juga dapat mengurangi ketelitian dalam mengumpulkan informasi yang ada.
3. Lingkungan Informasi (Information Environtment) Informasi yang terlalu banyak tetapi kurang beraneka ragam akan berdampak negatif,
karena
informasi tersebut
masih
kurang
comparability
(dapat
membedakan/ membandingkan). Individu yang mempunyai akses informasi dapat saja menyembunyikannya dari orang lain. Individu akan memberikan informasi nya atau tidak tergantung pada relative value dari informasi tersebut. Relative value merupakan perbandingan apakah informasi yang diberikan dalam proses pertukaran informasi memiliki value yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada informasi yang diterima.
17
4. Karakteristik Analist (Analyst Characteristic) Kontinuitas pekerjaan merupakan lamanya waktu yang telah dilalui individu dalam bekerja sehingga individu tersebut lebih ahli dalam mencari informasi yang komprehensif, cepat, dan efisien. Orang yang lebih ahli dan sudah lama bekerja akan lebih peka dan selektif
tentang informasi-informasi yang
diperlukan dan cara memperoleh informasi daripada orang yang masih baru bekerja.
6. Ciri-ciri individu yang memiliki Competitive Intelligence Adapun ciri-ciri individu yang memiliki competitive intelligence (McLellan & Muller dalam Strauss, 2008), antara lain: 1. Traits, antara lain: kreatif, tekun, kemampuan berkomunikasi, kemampuan analitis, dan kemampuan belajar secara independen. 2. Teachable skill, antara lain: berpikir strategis, pemahaman tentang istilahistilah bisnis, kemampuan mempresentasikan tentang informasi pasar, kemampuan analitis, kemampuan mewawancarai/ jurnalistik, dan pemahaman tentang metode penelitian. 3. Pengalaman profesional, antara lain: pemahaman tentang struktur perusahaan dan proses pembuatan keputusan, pemahaman tentang industri, dan kemampuan penelitian, memiliki pemahaman tentang bisnis.
18
7. Tipe-tipe Sikap terhadap Competitive Intelligence Rouach dan Santi (2001) membedakan 5 (lima) tipe sikap dalam competitive intelligence, antara lain: 1. Sikap sleeper dikarakteristikkan dengan sikap yang tidak takut persaingan, tidak tertarik dengan competitive intelligence, dan sering menganggap bahwa proses competitive intelligence hanya membuang-buang waktu saja. Hal ini dikarenakan pengusaha berpikir bahwa
usaha lain juga tidak mau
tahu
tentang persaingan. Sikap sleeper biasanya dimiliki oleh manajemen yang pasif yang meyakini bahwa mereka benar-benar sudah mengetahui yang mereka butuhkan untuk menjalankan bisnis dan tidak mempelajari tentang dunia luar. 2. Sikap reactive
dikarakteristikkan dengan sikap yang reaktif jika merasa
terancam dengan posisi pesaing. Sikap ini hanya lebih bersifat bertahan dengan ancaman daripada menyerang saingan. Pemimpin bisnis
belum
percaya akan manfaat dari competitive intelligence. 3. Sikap active dikarakteristikkan dengan sikap yang aktif dalam memahami, menganalisis, dan menginterpretasikan persaingan meskipun sumber daya yang dimiliki terbatas, mulai membentuk orang yang dipekerjakan secara khusus untuk mengkoordinir competitive intelligence). Pemilik usaha sudah dapat melihat bahwa proses competitive intelligence bermanfaat untuk meningkatkan keuntungan, akan tetapi belum melihat adanya tujuan jangka panjang untuk melakukannya.
19
4. Sikap assault dikarakteristikkan dengan sikap yang gencar dalam berburu informasi secara strategis, prosedural, dan dengan perencanaan yang matang. Perusahaan dengan sikap ini biasanya memiliki
prosedur yang
sudah
terintegrasi dan perencanaan dalam memonitor setiap kemajuan kompetitor. Perusahaan ini juga memiliki sumber
signifikan mendukung competitive
inteligence, serta adanya penghargaan terhadap orang-orang yang terlibat dalam competitive intelligence. 5. Sikap warrior ditunjukkan dengan adanya suatu sikap atau pendirian untuk menyerang saingannya, berjuang, dan rela berkorban untuk memenangkan persaingan, sangat proaktif (inisiatif mengawali adanya perubahan/tidak menunggu sampai perubahan terjadi). Usaha yang memiliki sikap demikian didukung oleh alat yang canggih ataupun ahli yang berpengalaman dalam memperlancar proses competitive intelligence, serta adanya sumber yang tidak terbatas, dan adanya proses pembuatan keputusan
B. USAHA MIKRO DAN KECIL (UMK) GARMEN 1. Pengertian Usaha Mikro dan Kecil (UMK) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ada beberapa kriteria yang digunakan untuk mendefinisikan pengertian dan kriteria Usaha Mikro dan Usaha Kecil. Kriteria kelompok Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang
20
berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
b. Kriteria Usaha Mikro dan Usaha Kecil Kriteria Usaha Mikro dan Usaha Kecil menurut UU No 20 Tahun 2008 digolongkan berdasarkan jumlah aset dan omset yang dimiliki oleh sebuah usaha. Menurut UU No 20 Tahun 2008, kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih maksimal Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha b. memiliki omzet maksimal Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) Menurut UU No 20 Tahun 2008, kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut: a. memiliki kekayaan bersih
lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan maksimal Rp 2.500.000.000,00 (dua koma lima milliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha b. memiliki omzet lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan maksimal Rp 2.500.000.000,00 (dua koma lima milliar rupiah)
21
c. Masalah-masalah dalam Usaha Mikro dan Kecil (UKM) Menurut Anoraga & Sudantoko (2002), masalah yang dihadapi UKM, antara lain: A. Faktor Internal a. Kurangnya permodalan. UKM mengalami masalah permodalan dikarenakan UKM merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang jumlahnya sangat terbatas. b. Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas. Keterbatasan SDM pada UKM dapat dilihat dari segi pendidikan formal, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tentu sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, serta kemampuan pengusaha dalam meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya. c. Lemahnya jaringan usaha dan kemampuan pasar oleh karena produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif.
B. Faktor Eksternal a. Kebijaksanaan
pemerintah
yang
masih
belum
kondusif
dalam
menumbuhkembangkan UKM, misalnya masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dengan pengusaha-pengusaha besar. b. Terbatasnya sarana dan prasarana dikarenakan kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
22
c. Implikasi perdagangan bebas sebagaimana diketahui AFTA yang mulai berlaku tahun 2003 dan APEC tahun 2020 yang berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan bebas. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dituntut untuk melakukan proses produksi dengan produktif dan efisien, serta mampu menghasilkan produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dan kualitas yang standar d. Sifat produk dengan jangka waktu pendek. Sebagian besar produk industri kecil memiliki ciri dan karakteristik sebagai produk-produk fashion dan kerajinan dengan jangka waktu yang pendek. e. Terbatasnya akses pasar menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.
4. Usaha Garmen Usaha garmen adalah usaha yang memproduksi pakaian jadi dan perlengkapan pakaian (Hulme, 2012). Pakaian jadi adalah segala macam pakaian dari bahan tekstil untuk laki-laki, wanita, anak-anak, dan bayi. Bahan bakunya adalah kain tenun atau kain rajutan. Produknya yakni berupa kemeja (shirts), blus (blouses), dan rok (skirts). Kaus (t-shirts, polo shirt, sportswear), pakaian dalam (underwear), dan lain-lain.
23
C. GAMBARAN
TIPE
SIKAP
TERHADAP
COMPETITIVE
INTELLIGENCE PADA PENGUSAHA USAHA MIKRO DAN USAHA KECIL Kotler dan Susanto (2004) mengatakan bahwa keberhasilan dan kegagalan suatu usaha tergantung dengan strategi dalam memposisikan usaha yang dimiliki dalam persaingan pasar dan perdagangan bebas yang sangat kompetitif, serta kemampuan suatu usaha dalam melaksanakan strateginya secara bertahap dalam menapaki ruang lingkup persaingan usaha, mulai dari skala lokal, skala nasional, sampai berkembang menjadi usaha yang berskala internasional. Pengembangan potensi kewirausahaan (khususnya usaha mikro dan kecil) diarahkan untuk menjadi pelaku ekonomi yang berdaya saing tinggi di tengah-tengah adanya perdagangan bebas tersebut (Badan Perencanaan dan Pengembangan Nasional, 2005). Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang dapat berkompetisi secara efektif merupakan usaha yang dapat mengetahui lingkungan bisnis, menemukan apa yang akan dilakukan kompetitor, dan mengantisipasi ancaman-ancaman kompetitor. Hal inilah yang disebut competitive intelligence (Smith, 2008). Rouach dan Santi (2001) menyatakan bahwa competitive intelligence sebagai tindakan dalam mengumpulkan informasi, memprosesnya dan menyimpannya supaya bisa tersedia bagi semua orang di dalam organisasi, dengan tujuan
menjadi bisnis
yang lebih baik kelaknya dan dapat melindungi bisnis dari ancaman kompetitif. Calof (dalam Strauss, 2008) menyatakan competitive intelligence ini sangat bermanfaat dalam memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
24
pelanggan, kebijakan, kompetitor, dan dapat memprediksikan perubahanperubahan
serta
mengambil
kesempatan
dari
situasi-situasi
kompetitif.
Competitive intelligence juga mampu membangun profil informasi yang dapat membantu
perusahaan
untuk
mengidentifikasikan
kekuatan
kompetitor,
kelemahannya, strateginya, tujuannya, strategi pemasarannya (Bose dalam Nasrie, 2011). Berner (dalam Nasrie, 2011) juga menambahkan fungsi dari competitive intelligence yakni untuk menantisipasi situasi-situasi mengejutkan dan yang dapat menghancurkan bisnis, untuk mengidentifikasikan peluang bagi organisasi, dan untuk memperbaiki perencanaan jangka panjang maupun pendek. Beberapa studi tentang competitive intelligence hanya fokus pada fungsi, aktivitas atau proses competitive intelligence di dalam suatu lingkungan bisnis. Hanya sedikit penelitian yang mempelajari seberapa besar persepsi dan sikap terhadap lingkungan bisnis tersebut sangat mempengaruhi proses aktivitas dari competitive intelligence itu sendiri (dalam Tarraf & Molz, 2006). Beberapa studi dan survey tentang competitive intelligence hanya fokus pada perusahaan besar saja sendiri (dalam Tarraf & Molz, 2006). Groom & David (dalam Tarraf & Molz, 2006) menemukan dalam studinya bahwa perusahaan kecil kurang tertarik dengan proses competitive intelligence. Ada beberapa perbedaan yang cukup nyata di antara banyak perusahaan berhubungan dengan sumber-sumber
yang
dialokasikan untuk
aktivitas
competitive intelligence. Perusahaan dengan jumlah pekerja yang lebih banyak akan mempercayakan aktivitas competitive intelligence tersebut kepada pekerja nya (Groom & David dalam Tarraf & Molz, 2006). Oubrich (dalam Smith, 2010)
25
menemukan bahwa Usaha Kecil dan Menengah sangat terbatas dalam mengawasi pasar dan persaingan sedangkan perusahaan besar sudah terintegrasi dengan program competitive intelligence sebagai pengembangan strategi. Salah satu perbedaan utama antara usaha kecil dan usaha besar yakni strategi pada usaha kecil lebih dipengaruhi karakter dari pemilik usaha yang sangat berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan (Burke, Jarrat, dan McCarthy dalam Tarraf & Molz, 2006). Sikap, persepsi, dan kepribadian dari pembuat keputusan tersebut sangat berpengaruh dalam usaha kecil. Wright et al. (dalam Smith, Wright, & Pickton 2010) dalam studinya tentang competitive intelligence di U.K. menemukan bahwa
sikap manager mempunyai pengaruh langsung
terhadap aktivitas competitive intelligence. Sikap merupakan hal yang utama bagi pengusaha Usaha Mikro dan Kecil untuk melakukan competitive intelligence (dalam Smith et al, 2010). Keinginan pengusaha
dalam menyikapi atau meresponi informasi lebih penting
dibandingkan dengan isi informasi itu sendiri. Competitive intelligence di dalam Usaha Mikro dan Kecil (UMK) lebih
ditentukan faktor karakter, kesadaran
(awareness), dan sikap (attitude) dari pengusahanya sendiri sebagai pembuat keputusan. Competitive intelligence tidak akan dilakukan jika individu belum memiliki sikap yang positif akan pentingnya competitive intelligence (dalam Smith, et al 2010). Setiap usaha memerlukan adanya kesadaran organisasi akan pentingnya budaya kompetitif dan competitive intelligence. Tanpa adanya kesadaran dan sikap yang mengawali sangat sulit untuk mengembangkan budaya kompetitif dan competitive intelligence di perusahaan.
26
Survey yang dilakukan oleh Pricewaterhouse-Coopers (dalam Amenta, Brownlie, dan Su, 2008) menemukan bahwa 84% pengusaha mengemukakan pengumpulan informasi tentang kompetitor merupakan kunci pertumbuhan usaha mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat 32% pengusaha Usaha Mikro dan Kecil yang sudah aktif mempraktekkan competitive intelligence. Beberapa Usaha Mikro dan Kecil (UMK) belum aktif berpartisipasi dalam aktivitas competitive intelligence dikarenakan pengusaha yakin bahwa mereka sudah mengenal pasar mereka sendiri dan menganggap hanya sedikit manfaatnya. Rouach dan Santi (2001) menyatakan terdapat
tipologi sikap yang
dimiliki oleh terhadap competitive intelligence. Adapun tipe-tipe sikap tersebut, antara lain: sikap sleeper, sikap reactive, sikap active, sikap assault, dan sikap warrior. Sikap yang dimiliki oleh Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pada umumnya adalah sikap sleeper, reactive, active sedangkan sikap assault dan warrior umumnya dimiliki oleh perusahaan besar (Rouach dan Santi, 2001). Rouach
dan
Santi
(2001)
menyatakan
bahwa
sikap
sleeper
dikarakteristikkan dengan sikap yang tidak takut persaingan, tidak tertarik dengan competitive intelligence, dan sering menganggap bahwa proses competitive intelligence hanya membuang-buang waktu saja. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Pricewaterhouse- Coopers (dalam Amenta, Brownlie, dan Su, 2008) yang menunjukkan bahwa pengusaha Usaha Mikro dan Kecil juga menganggap bahwa manfaat dari competitive intelligence tidak sebanding dengan banyak sumber daya yang harus dikeluarkan, misalnya: uang, waktu, dan orangorang yang juga masih terbatas dimiliki dalam usaha kecil. Hal ini dikarenakan
27
pengusaha berpikir bahwa usaha lain juga tidak mau tahu tentang persaingan. Sikap sleeper biasanya dimiliki oleh manajemen yang pasif yang meyakini bahwa mereka benar-benar sudah mengetahui yang mereka butuhkan untuk menjalankan bisnis dan tidak perlu mempelajari tentang lingkungan eksternal. Sikap demikian banyak dimiliki oleh usaha kecil. Hal ini dikarenakan usaha kecil masih lemah di dalam hal manajemen dan sumber keuangan (Anoraga & Sudantoko, 2002). Rouach
dan
Santi
(2001)
menyatakan
bahwa
sikap
reactive
dikarakteristikkan dengan sikap yang akan merespon hanya jika merasa terancam dengan posisi pesaing. Sikap ini hanya lebih bersifat bertahan dengan ancaman daripada menyerang saingan. Pemimpin bisnis belum percaya akan manfaat dari competitive intelligence. Rouach dan Santi (2001) menyatakan bahwa sikap active dikarakteristikkan dengan sikap yang aktif dalam memahami, menganalisis, dan menginterpretasikan persaingan meskipun sumber daya yang dimiliki terbatas, mulai membentuk orang yang dipekerjakan secara khusus untuk mengkoordinir competitive intelligence). Pemilik usaha sudah dapat melihat bahwa proses competitive intelligence bermanfaat untuk meningkatkan keuntungan, akan tetapi belum melihat adanya tujuan jangka panjang untuk melakukannya. Wright et al (dalam
Smith, Wright, dan Pickton, 2010) juga
menambahkan sikap active yang dimiliki Usaha Mikro Kecil membuat usaha tersebut kurang memiliki proses yang terintegrasi antara hasil dari competitive intelligence untuk digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Pengusaha Usaha Mikro dan
Kecil (UMK) cenderung menggunakannya hanya untuk
keputusan jangka pendek dan operasional sehari-harinya, yakni setelah menerima
28
informasi tersebut, langsung bertindak, tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu. 43% menyampaikan bahwa mereka menggunakan informasi kompetitif untuk membantu mereka membuat keputusan tentang perubahan harga dan usaha promosi. Rouach
dan
Santi
(2001)
menyatakan
bahwa
sikap
assault
dikarakteristikkan dengan sikap yang gencar dalam berburu informasi secara strategis, prosedural, dan dengan perencanaan yang matang. Perusahaan dengan sikap ini biasanya memiliki prosedur yang sudah terintegrasi dan perencanaan dalam memonitor setiap kemajuan kompetitor. Perusahaan ini juga memiliki sumber signifikan mendukung competitive inteligence, serta adanya penghargaan terhadap orang-orang yang terlibat dalam competitive intelligence. Perusahaan dengan sikap assault sudah memiliki bagian unit tertentu yang khusus melakukan aktivitas competitive intelligence beserta adanya manajemen yang sudah baik. Rouach dan Santi (2001) menyatakan bahwa sikap warrior ditunjukkan dengan adanya suatu sikap atau pendirian yang berjuang untuk memenangkan persaingan, sangat proaktif (inisiatif mengawali adanya perubahan/tidak menunggu sampai perubahan terjadi). Usaha yang memiliki sikap demikian didukung oleh
alat yang canggih ataupun ahli yang berpengalaman dalam
memperlancar proses competitive intelligence, serta adanya sumber yang tidak terbatas, dan adanya proses pembuatan keputusan Hasil penelitian Wright, et al (dalam Smith, Wright, & Pickton 2010) di Turki
menanyakan
berbagai perusahaan kecil tentang seberapa sering
perusahaan tersebut mengumpulkan informasi tentang kompetitor, teknologi, dan
29
pelanggan (dalam Smith, et al 2010). Mereka meresponi dengan berkata, “tidak teratur melakukannya”. Hanya 16,4 persen yang melaporkan bahwa perusahaan mereka mempunyai proses yang tertulis dan sistem yang didedikasikan untuk competitive intelligence. Hampir 8% mengatakan bahwa mereka tidak tahu. 26,8 % menyatakan bahwa perusahaan mereka memberikan komitmen yang penuh supaya dapat memahami kompetitor dan sangat merasakan manfaatnya. 44, 7 % menyatakan bahwa “kami terlalu sibuk memikirkan apa yang dikerjakan hari ini dan tidak sempat melakukannya” dan ada yang menyatakan bahwa “competitive intelligence hanya menghabiskan waktu yang begitu berharga”. Tidak seorangpun yang menyatakan dan mengindikasikan bahwa mereka mempunyai proses untuk mengolah informasi kompetitif secara terintegrasi, memonitor kompetitor mereka, dan
merumuskan
rencana-rencana
untuk
mengantisipasi
perkembangan
kompetitor. Keterbatasan Sumber Daya Manusia pada Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang dapat dilihat dari segi pendidikan formal, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki tentu sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, serta kemampuan pengusaha dalam meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya (Anoraga & Sudantoko, 2002). Hal tersebut mempengaruhi sikap yang dimiliki oleh pengusaha kecil masih terbatas pada tipe active, reactive, dan active.
30
KERANGKA BERPIKIR Pengembangan Kewirausahaan (UMKM)
Perdagangan bebas
Kompetisi
Kondisi yang seharusnya
Kondisi yang sebenarnya
UKM dapat bersaing dan berkembang mulai dari skala lokal, nasional, dan internasional
UKM tidak dapat bersaing dan mengalami kebangkrutan
Faktor yang menghambat UKM dapat bersaing
Masalah kompetisi pasar dan produk
Masalah akses terhadap informasi pasar
Masalah Kemitraan
Perlunya competitive intelligence Peranan sikap dalam competitive intelligence
Bagaimanakah gambaran sikap terhadap competitive intelligence pada pengusaha UKM di Medan? Keterangan : Keterangan Menyebabkan