BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Kecemasan a. Definisi Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik (Maramis dan Maramis, 2009). Menurut Kaplan dan Sadock (1997), kecemasan adalah suatu sinyal yang menyadarkan dan memperingatkan tentang adanya bahaya yang mengancam sehingga memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman tersebut. Ansietas merupakan suatu keadaan yang ditandai oleh rasa khawatir disertai dengan gejala somatik yang menandakan suatu kegiatan berlebihan dari susunan saraf autonomik. Kecemasan adalah suatu perasaan yang sifatnya umum, bentuknya dapat berupa seseorang merasa ketakutan atau kehilangan kepercayaan diri yang tidak jelas asal maupun wujudnya (Mottaghi, 2011). Barlow dan Durand (2006) menyebutkan bahwa kecemasan adalah keadaan suasana hati yang berorientasi pada masa yang akan datang, yang ditandai oleh adanya kekhawatiran karena seseorang tidak dapat memprediksi atau mengontrol kejadian yang akan datang.
5
6
Banyak hal yang dapat menimbulkan kecemasan, misalnya, kesehatan, relasi sosial, ujian, karier, relasi internasional, dan kondisi lingkungan.
Beberapa
hal
tersebut
dapat
menjadi
sumber
kekhawatiran. Kecemasan adalah respon yang tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman atau bila datang tanpa ada penyebabnya (Nevid et al., 2005). b. Patofisiologi Sistem kecemasan manusia terdiri dari hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) axis dan sistem saraf simpatik (Tsatsoulis et al., 2006). Kedua sistem ini bekerja secara koordinasi untuk memberi respon "fight or flight" terhadap anggapan ancaman. Respon tersebut dapat mengajukan peningkatan tekanan arteri, perpindahan darah dari visceral ke otot aktif dan otak, peningkatan kadar metabolisme selular, peningkatan glikolisis, peningkatan kekuatan otot, peningkatan aktivasi mental dan peningkatan kadar koagulasi darah (Guyton, 2006). Tubuh manusia memberi respon-respon tersebut karena terjadinya pembebasan neurotransmiter dan hormon-hormon yang khusus. HPA axis bertanggung jawab untuk mengaktivasi pelepasan glucocoticoids, di mana 95% dalam bentuk kortisol (juga dikenali sebagai hydrocortisone) dari korteks adrenal (Guyton, 2006). Efek dari kortisol adalah mobilisasi protein dari otot dan asam lemak yang
7
berasal dari adipose, peningkatan lemak di hepar, dan juga sebagai suatu respon anti-inflamasi (Guyton, 2006). Sistem saraf simpatis bertanggung jawab untuk menstimulasi simpatis baik secara langsung ataupun tidak langsung yaitu dengan aktivasi pelepasan catecholamines dari medula adrenal (Guyton, 2006). Seperti epinefrin dan nonepinefrin, hormon ini juga memberi efek kepada organ target dengan cara yang sama yaitu peningkatan nadi jantung, inhibisi fungsi sistem pencernaan, dilatasi pupil dan respon lain yang berkaitan dengan aktivasi simpatis (Guyton, 2006). Kedua cabang simpatis dan parasimpatis sistem saraf otonom diaktivasi secara terus-menerus dan kronis akan menyebabkan terjadinya degenerasi dan disfungsi. Jika kecemasan tersebut bersifat kronis, bahan kimia termasuk neurotransmiter dan hormon akan menetap di aliran darah. Kecemasan yang berkepanjangan boleh menyebabkan nyeri kepala, penurunan fungsi system imun, lelah, kelainan jantung, depresi dan gangguan mental emosional yang lain (Carruthers, 2006).
8
Gambar 2.1 Skema Kortisol (Guyton dan Hall, 2008) c. Faktor yang Memengaruhi Kecemasan Menurut Ramaiah dalam Rahman (2014) ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecemasan, di antaranya : 1) Lingkungan Lingkungan atau sekitar tempat tinggal mempengaruhi cara berpikir individu tentang diri sendiri maupun orang lain. Hal ini disebabkan
karena adanya pengalaman yang tidak menyenangkan
pada individu dengan keluarga, sahabat, ataupun dengan rekan kerja. Kondisi ini mengakibatkan individu tersebut merasa tidak aman terhadap lingkungannya.
9
2) Emosi Kecemasan bisa terjadi jika individu tidak mampu menemukan jalan keluar untuk perasaannya sendiri dalam hubungan personal, terutama jika dirinya menekan rasa marah atau frustasi dalam jangka waktu yang sangat lama. 3) Fisik Pikiran dan tubuh senantiasa saling berinteraksi dan dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Hal ini terlihat dalam kondisi seperti kehamilan, semasa remaja, dan sewaktu pulih dari suatu penyakit. Selama ditimpa kondisi-kondisi ini, perubahan-perubahan perasaan lazim muncul, dan ini dapat menyebabkan timbulnya kecemasan. Menurut Kaplan dan Saddock (2010), kecemasan juga dapat timbul karena regulasi yang buruk norepinefrin, turunnya serotonin dan Gamma-aminobutyric acid (GABA). Menurut Fricchione (2004) dan Schneier (2006) hipertiroidisme dan alkoholisme juga disinyalir dapat memunculkan kecemasan. Maramis
dan
Maramis
(2009)
menyimpulkan
bahwa
kecemasan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. 1) Internal
:
genetik, mental, dan hormonal.
2) Eksternal
:
berkaitan
dengan
peristiwa
menyenangkan, lingkungan dan penyakit.
yang
tidak
10
d. Gejala Kecemasan Menurut Maramis (2005), gejala kecemasan meliputi : 1) Gejala-gejala somatik Gejala-gejala ini dapat berupa napas sesak, dada tertekan, kepala enteng seperti mengambang, linu-linu, epigastrium nyeri, lekas lelah, palpitasi, keringat dingin. Macam gejala yang lain mungkin mengenai motorik, pencernaan (diare, lambung terganggu, perut kembung, nausea), pernapasan (nafas pendek), sistem kardiovaskuler (hipertensi, takikardi), genitourinaria (poliuria), atau susunan saraf pusat (pusing, tremor, gelisah). 2) Gejala-gejala psikologik Gejala ini mungkin timbul sebagai rasa was-was, khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan, khawatir dengan pemikiran orang mengenai dirinya. Penderita tegang terus-menerus dan tak mampu berlaku santai. Pemikirannya penuh dengan kekhawatiran, kadang-kadang bicaranya cepat tapi terputus-putus. Selain itu, kecemasan dapat pula disertai dengan gejala lain seperti depresi, amarah, mudah lelah, sulit berkonsentrasi, perasaan tidak mampu, otot tegang, syncope, gangguan psikosomatik, dan gangguan tidur seperti sulit masuk tidur, mimpi yang menakutkan, sering terkejut saat bangun, dan tidur tidak nyenyak (Maramis, 2005).
11
e. Tingkat Kecemasan Kartini (2006) membagi kecemasan menjadi 2 tingkat: 1) Kecemasan Ringan Kecemasan ringan dibagi menjadi dua kategori yaitu ringan sebentar dan ringan lama. Kecemasan ini sangat bermanfaat bagi perkembangan kepribadian seseorang, karena kecemasan ini dapat menjadi suatu tantangan bagi individu untuk mengatasinya. 2) Kecemasan Berat Kecemasan berat adalah kecemasan yang terlalu berat dan berakar secara mendalam dalam diri seseorang. Apabila seseorang mengalami kecemasan semacam ini maka biasanya orang tersebut tidak dapat mengatasinya. Kecemasan ini mempunyai akibat menghambat atau merugikan perkembangan kepribadian seseorang. f. Kecemasan pada Ujian Salah satu komponen yang perlu dipenuhi untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah dengan menyelenggarakan tes atau ujian (Dick dan Carey, 2005). Shadily (2002) menyatakan ujian merupakan suatu pemeriksaan mengenai pengetahuan, keahlian atau kecerdasan seseorang untuk diperkenankan atau tidak dalam mengikuti pendidikan tingkat tertentu. Mahasiswa program profesi dokter adalah salah satu kelompok masyarakat yang rentan mengalami kecemasan dan stres (Bineshian et al., 2009). Hal ini disebabkan oleh karena tuntutan akademik yang
12
harus mereka hadapi (Mahajan, 2010). Kecemasan dalam menghadapi ujian didefinisikan sebagai perasaan was-was, gelisah, dan tidak bersemangat dalam menghadapi ujian. Dalam keadaan cemas, seseorang akan merasa tidak berdaya, sulit berkonsentrasi, dan melakukan aktivitas dengan baik sehingga keberhasilan sulit dicapai (Aulia, 2014). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hasan (2009) dan Christian (2005), dinyatakan bahwa semakin besar peran sebuah ujian maka semakin besar pula tingkat kecemasan dan stress yang ditimbulkannya
terhadap
peserta
ujian.
Ujian
yang
berperan
menentukan lulus atau tidak lulusnya seseorang menuju jenjang pendidikan tertentu berpotensi besar menimbulkan cemas dan stress pada peserta yang mengikutinya (Hashmat et al., 2008). Kecemasan pada saat ujian menjadi persoalan yang penting karena memiliki akibat luas, baik dalam area akademik maupun personal siswa. Kecemasan ini dapat mengakibatkan kegagalan akademik, kebingungan dan distorsi persepsi. Kondisi tersebut dapat menurunkan
konsentrasi,
daya
ingat,
serta
kemampuan
menghubungkan satu hal dengan yang lain (asosiasi) sehingga proses pembelajaran dapat terganggu (Kaplan dan Sadock, 2010 ; Baker, 2003).
13
2. Alquran a. Definisi Menurut asal katanya yakni qara’a-yaqra’u-quranan, Alquran memiliki arti mengumpulkan atau merangkai. Merangkai satu kata dengan kata yang lainnya, kalimat dengan kalimat, kisah-kisah, hukum-hukum atau hal lain yang terdapat di dalamnya sehingga menjadi bentuk yang teratur sempurna. Secara istilah, Alquran memiliki arti sebagai kitab khusus yang diturunkan kepada nabi Muhammad yang berperan sebagai petunjuk hidup bagi manusia yang jika dibaca maka manusia akan mendapatkan pahala (Al-Qaththan, 2004). b. Intensitas Membaca Alquran Intensitas dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (2011) diartikan sebagai keadaan tingkatan atau intensnya. Sussiyanti (2010) dan Lestari (2012) menjelaskan bahwa tingkatan seseorang dalam membaca Alquran dapat diukur berdasarkan beberapa indikator: 1) Frekuensi dalam membaca 2) Durasi dalam membaca 3) Jumlah banyaknya bacaan 4) Kefasihan dalam membaca 5) Menghayati kandungan Alquran, termasuk memperhatikan bacaan dengan sungguh-sungguh, mengkaji, dan memahami Alquran
14
6) Waktu membaca 7) Mengikuti kajian tentang Alquran c. Alquran dan Kecemasan Penelitian tentang hubungan Alquran dan ilmu kesehatan akhirakhir ini sangat marak dilakukan, terutama di bidang ilmu kesehatan jiwa (Az-Zahra, 2014). Alquran memiliki nama sebutan lain selain Alquran di antaranya yakni Asy-Syifa atau penyembuh (Quthb, 2000). Dalam surat Al Isra’ ayat 82, Allah SWT berfirman, “Dan Kami telah menurunkan dari Alquran, suatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”. Dalam surat Yunus ayat 57, Alquran
juga dikatakan
sebagai penyembuh, “Wahai manusia! Sungguh telah datang kepadamu pelajaran (Alquran) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.”. Dalam kitab tafsir Fi Zhilalil Quran karya Sayyid Quthb (2000), kata Asy-Syifa, seperti yang tertulis dalam surat Al Isra’ ayat 82, yang diterjemahkan sebagai obat atau penawar memiliki makna yang berbeda dengan obat-obat kimia yang selama ini biasanya diberikan untuk penyembuhan pasien. Alquran di sini hadir sebagai penyembuh dengan titik tekan ketentraman hati. Allah berfirman dalam surat Ar-Ra’d ayat 28, “(Yaitu) orang-orang yang beriman
15
dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram.”. Dalam pelbagai penelitian tentang hubungan Alquran dengan ilmu kesehatan jiwa, seperti yang dilakukan oleh Aghamohammadi et al. (2011) terbukti bahwa mendengarkan Alquran dapat menurunkan kadar ACTH (Adrenocorticotropin Hormone) dan kortisol yang muncul karena kegelisahan. Martinez et al. (2007) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa banyak pasien dengan keluhan-keluhan semacam anxiety disoder, depresi, dan stress management dapat terbantu dengan terapi-terapi spiritual semacam: berdoa, berdzikir, dan membaca Alquran bagi pasien muslim. Di samping itu, Hasanpoor (2001) dalam penelitiannya juga membuktikan bahwa membaca Alquran dapat menurunkan tingkat stres dan kecemasan pada masyarakat. Begitupula penelitian yang dilakukan oleh Jahanmiri et al. (2001), Moghadam dan Maghsoodi (2004), Mosavi et al. (1997) membuktikan bahwa membaca Alquran memberikan efek positif bagi depresi, kecemasan, dan stres yang dialami oleh pasien. Pouralkhas et al. (2012) yang meneliti tingkat kecemasan mahasiswa di Iran menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara mahasiswa yang membaca Alquran secara teratur dengan yang tidak.
16
B. Kerangka Pemikiran Faktor Eksternal
Mahasiswa Program Profesi Dokter
Saraf Simpatis
ACTH Kortisol
Ujian (OSCE UKMPPD)
Peristiwa tidak menyenangkan Lingkungan Penyakit
Faktor Internal Genetik Mental Hormonal Pengalaman masa lalu
Intensitas Membaca Alquran Manifestasi Kecemasan
Keterangan:
: mempengaruhi
: yang tidak diteliti : yang diteliti
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran