perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Stroke a. Definisi Stroke didefiniskan sebagai keadaan dimana terjadi interupsi suplai darah ke otak, yang biasanya disebabkan karena bocornya pembuluh darah maupun adanya blokade akibat bekuan darah. Berhentinya suplai oksigen dan nutrisi ini menyebabkan kerusakan jaringan otak (WHO, 2014) Berdasarkan WHO (1988), stroke menunjukkan adanya gangguan fokal maupun global pada fungsi cerebral dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, bisa menyebabkan kematian, serta murni
disebabkan
oleh
faktor
neurovaskuler.
Manifestasi
yang
ditunjukkan dapat berupa mati rasa, kelemahan atau paralisis, gangguan bicara, penglihatan yang kabur, kebingungan, dan sakit kepala yang berat. Stroke menggambarkan sindrom hemiparesis atau hemiparalisis akibat lesi vaskular yang bisa bangkit dalam beberapa detik sampai hari, tergantung dari kausanya. Stroke mudah dikenal dibanding dengan penyakit neurologis lain karena manifestasinya yang timbul mendadak dan menimbulkan defisit neurologis yang berarti (Mardjono dan Sidharta, 2012).
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
b. Epidemiologi Setiap tahunnya, lima belas juta orang di dunia terserang stroke (WHO, 2014). Sebagai konsekuensinya, stroke menduduki peringkat kedua penyebab kematian tersering di seluruh dunia, menunjuk pada angka 6,2 juta (11% dari total jumlah kematian) (WHO, 2013). Stroke lebih sering tejadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, di mana laki-laki menduduki 57% dari jumlah total penderita stroke. Laki-laki juga memiliki laju insidensi stroke yang lebih besar daripada perempuan, kecuali pada kelompok usia 85 tahun ke atas (Goldstein et al., 2011) Selama dua dekade terakhir ini, angka kematian dan jumlah penderita stroke di negara berkembang meningkat setiap tahunnya (Feigin et al., 2014). Stroke juga menjadi salah satu penyebab kematian utama di Indonesia selama lima tahun terakhir ini. Stroke menyebabkan 15,4% dari total kematian pada semua kelompok umur, dengan laju kematianberdasar umur sebesar 99/100.000 populasi (Kusuma et al., 2009). Dari segi usia, 72% pasien stroke di Indonesia berumur di atas 65 tahun, namun seiring dengan perubahan gaya hidup maka kecenderungan pasien untuk mendapatkan stroke terjadi pada usia lebih muda. Prevalensi stroke di Indonesia tahun 2007 sebesar 8,3 per 1000 penduduk dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 6 per 1000 penduduk. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi dengan proporsi 26,8% pada kelompok umur 55-64 tahun, baik di pedesaan maupun di perkotaan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
dan kasus stroke termuda ditemukan pada kelompok umur 18-24 tahun. Provinsi dengan prevalansi stroke tertinggi dijumpai di NAD (16,6%) dan terendah di Papua (3,8%) . Pada tahun 2004, pasien stroke rawat inap mencapai 23.636 orang dan 26.195 orang menjalani rawat jalan di seluruh rumah sakit di Indonesia. Pada tahun 2005, terjadi peningkatan pasien stroke rawat jalan dan mencapai angka 96.095. (Depkes RI, 2013). Prevalensi stroke hemoragik di Jawa Tengah tahun 2012 adalah 0,07 lebih tinggi dari tahun 2011 (0,03%). Prevalensi tertinggi tahun 2012 adalah Kabupaten Kudus sebesar 1,84%, sedangkan prevalensi stroke iskemik pada tahun 2012 sebesar 0,07 lebih rendah dibanding tahun 2011 (0,09%). Prevalensi tertinggi ada di Kota Salatiga sebesar 1,16% (Dinas Kesehatan Jawa Tengah, 2012). Untuk Wilayah Surakarta, stroke menyebabkan 27%
dari total kematian dan merupakan penyebab
kematian tertinggi bila dibandingkan dengan penyakit lain (Rao et al., 2010) c. Faktor risiko Stroke merupakan penyakit vaskuler yang memiliki faktor risiko yang mirip dengan penyakit kardiovaskuler. Faktor risiko stroke dibedakan menjadi dua yaitu, modifiable risk factors dan non-modifiable risk factors (Goldstein et al., 2006). Non-modifiable risk factors adalah faktor risiko yang tidak dapat diubah oleh pasien, contohnya adalah umur, ras, faktor genetik, riwayat keluarga, dan jenis kelamin. Modifiable risk factors bisa dibedakan menjadi faktor tingkat satu dan faktor tingkat dua. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
Yang termasuk faktor tingkat satu adalah hipertensi, Diabetes Mellitus, dan riwayat merokok. Ketiga faktor ini menjadi area terpenting dalam pencegahan stroke. Faktor tingkat dua meliputi hiperlipidemia, stenosis carotis asimtomatis, penyakit sickle cell, obesitas,
diet, alkohol, dan
terapi penggantian estrogen (Williams et al.,2010). Berikut beberapa faktor risiko penting yang memicu terjadinya stroke : 1) Non-modifiable risk factors a) Usia Risiko terjadinya stroke meningkat hingga dua kali lipat setelah umur 55 tahun (WHO,2004), begitupun angka kematian akibat stroke meningkat seiring bertambahnya usia. Stroke paling sering terjadi pada usia lebih dari 65 tahun, tetapi jarang terjadi pada usia di bawah 40 tahun (Japardi, 2002). b) Riwayat keluarga Risiko stroke meningkat bila terdapat keluarga dengan satu tingkatan darah di atasnya menderita stroke sebelum usia 55 tahun untuk laki-laki dan sebelum 65 tahun untuk perempuan (WHO,2004). c) Jenis kelamin Risiko terjadinya stroke antara pria dan wanita hampir mirip (WHO, 2004). Insidensi stroke 1,25 kali lebih besar pada laki-laki dibanding perempuan. Namun, karena perempuan cenderung commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
untuk hidup lebih lama, risiko kematian akibat stroke pada perempuan lebih tinggi setiap tahunnya (Sacco et al, 1997). Diperkirakan bahwa insidensi stroke pada wanita lebih rendah dibandingkan pria, akibat adanya estrogen yang berfungsi sebagai proteksi pada proses aterosklerosis (Japardi, 2002). d) Etnis dan ras Risiko stroke meningkat pada etnis atau ras tertentu, seperti pada ras Negro, Hispanik, Cina, dan Jepang (WHO,2004). 2) Modifiable risk factors a) Hipertensi Hipertensi adalah faktor risko terpenting pada stroke. Peningkatan risiko berbanding lurus dengan semakin tingginya tekanan darah dan terlihat sangat jelas ketika tekanan darah di atas 160/95 mmHg. Hipertensi meningkatkan risiko untuk beberapa jenis stroke, temasuk stroke iskemik, lakunar, dan hemoragik. Pengobatan jangka panjang hipertensi menunjukkan hasil yang cukup baik untuk mengurangi risiko (Geyer dan Gomez, 2009). Penurunan tekanan darah sistolik 10 mmHg atau diastolik 5 mmHg akan mengurangi risiko terjadinya stroke sekitar 40% (Law et al.,2009). Penurunan tekanan darah telah terbukti mencegah terjadinya stroke iskemik dan dan hemoragik, sehingga hal ini sangat penting sebagai upaya preventif sekunder (Psaty et al.,2003).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
b) Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus adalah faktor risiko bebas yang meningkatkan dua kali risiko terserang stroke. Hanya dengan kontrol gula darah saja tidak dapat memperlambat progresi penyakit serebrovaskuler. Diabetes Mellitus menjadi faktor risiko stroke yang poten pada pasien berumur di bawah 65 tahun (Geyer dan Gomez, 2009). c) Merokok Merokok meningkatkan risiko stroke sebesar satu setengah kali, 1,9 kali untuk infark cerebri (Geyer dan Gomez, 2009). Merokok dapat merusak pembuluh darah, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya stroke. Nikotin meningkatkan tekanan darah. Paparan rokok pada perokok pasif juga meningkatkan risiko terjadinya stroke karena rokok dapat membuat darah menjadi lebih mudah membeku dan meningkatkan pembentukan plak pada dinding pembuluh darah (CDC, 2014). d) Hiperlipidemia Hiperlipidemia adalah salah satu faktor risiko tambahan, terutama untuk pasien di bawah 55 tahun. Meningkatnya kadar LDL dalam darah merupakan faktor risiko yang penting untuk stroke. Kadar kolesterol yang tinggi merupakan faktor risiko penting tejadinya stroke iskemik primer (Geyer dan Gomez, 2009). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
e) Penyakit jantung Penyakit jantung juga menjadi salah satu faktor risiko penting untuk stroke. Risiko stroke dua kali lebih besar pada pasien dengan penyakit arteri koroner (Geyer dan Gomez, 2009). Penyakit arteri koroner meningkatkan risiko terjadinya stroke karena menyebabkan terbentuknya plak dalam arteri yang nantinya dapat memblok aliran darah kaya oksigen ke otak (CDC, 2014). f) Fibrilasi atrium Fibrilasi atrium dan penyakit katup jantung meningkatkan risiko infark cerebral sekunder akibat terjadinya cerebral emboli. Fibrilasi atrium kronis meningkatkan faktor risiko menjadi lima kali lipat. Apabila fibrilasi atrium disertai penyakit jantung rematik, maka risiko meningkat menjadi tujuh belas kali lipat (Geyer dan Gomez, 2009). Hampir setengah kejadian stroke kardioemboli terjadi karena fibrilasi atrium (Sacco et al.,1997). g) Faktor hematologi Peningkatan kadar fibrinogen berhubungan dengan meningkatnya faktor risiko stroke. Pasien merokok dan hiperlipidemia memiliki akan memiliki kadar fibrinogen yang lebih tinggi. Peningkatan hematokrit juga memicu terjadinya stroke karena hal ini meningkatkan viskositas darah. Peningkatan homositein dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
serum dihubungkan dengan terjadinya atherosklerosis prematur dan stroke (Geyer dan Gomez, 2009). d. Klasifikasi Price dan Wilson (2006), sistem klasifikasi lama biasanya membagi stroke menjadi tiga kategori berdasarkan penyebabnya, yaitu trombotik, embolik, dan hemoragik. Kategori ini sering didiagnosisis berdasarkan riwayat perkembangan dan evolusi gejala. Perbedaan antara trombus dan embolus sebagai penyebab suatu stroke iskemik masih belum tegas, sehingga keduanya digolongkan ke dalam kelompok yang sama, yaitu stroke iskemik. Dengan demikian, dua kategori besar stroke adalah stroke iskemik dan stroke perdarahan. Sedangkan menurut Mardjono dan Sidharta (2012), stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskular serebral, dapat dibagi dalam : 1) Transient Ischemic Attack, sering disebut mini stroke dan hanya terjadi sementara 2) Stroke in evolution 3) Completed stroke, yang bisa dibagi lagi menjadi a) Hemorrhagic completed stroke, yang terjadi akibat rupturnya pembuluh darah, baik karena aneurisma maupun malformasi arterivenosus b) Non-hemorrhagic completed stroke, yang disebabkan karena obstruksi suplai darah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
2. Stroke iskemik a. Etiologi Sekitar 80-85% stroke adalah stroke iskemik yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh darah otak atau pembuluh darah organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat terlepas, dan kemudian dibawa melalui sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus (Price dan Wilson, 2006). Menurut Jauch (2014), terdapat beberapa etiologi terjadinya stroke iskemik, yaitu: 1) Trombosis Faktor trombogenik bisa disebabkan karena trauma dan hilangnya sel endotel. Kedua kejadian ini menyebabkan pengaktifan platelet dan kaskade pembekuan, inhibisi fibrinolisis, dan stasis darah. Stroke trombosis
umumnya
dihubungkan
dengan
rupturnya
plak
atherosklerosis. Stenosis arteri menyebabkan aliran darah turbulen, yang
selanjutnya
memicu
pembentukan
trombus.
Status
hiperkoagulasi, penyakit sickle cell, displasia fribromuskuler, dan diseksi arteri juga memicu terjadinya stroke trombotik. 2) Emboli Emboli dapat berasal dari jantung dan arteri ekstrakranial. Emboli kardiogenik
mencakup 20% penyebab commit to user
stroke
akut.
Emboli
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
kardiogenik dapat disebabkan karena fibrilasi atrium, infark miokard, penyakit jantung rematik, penyakit katup jantung, dan kardiomiopati iskemik. Bila sumber berasal dari arteri ekstrakranial, biasanya emboli bersumber dari arteri vertebralis distal dan bifukarsio karotis komunis. Stroke emboli cenderung terjadi secara tiba-tiba. Pada neuroimaging didapatkan gambaran infark sebelumnya pada beberapa teritori vaskuler dan mungkin ada gambaran emboli dengan kalsifikasi 3) Gangguan aliran darah serebral Stroke bisa disebabkan karena ketidakcukupan aliran darah serebral karena penurunan tekanan perfusi serebral dan hiperviskositas darah. Hiperviskositas ini bisa disebabkan karena multiple myeloma dan polistemia
vera.
Vasospasme
serebrum
setelah
perdarahan
subarachnoid juga menyebabkan gangguan alirand arah serebral. Pada etiologi ini, cedera serebral biasanya disertai dengan kerusakan pada sistem organ yang lain. b. Klasifikasi Berdasarkan klasifikasi TOAST, stroke iskemik dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan penyebabnya, yaitu : 1) Atheroskeloris arteri besar, baik embolus maupun trombosis 2) Kardioemboli, dengan risiko tinggi maupun risiko sedang 3) Oklusi pembuluh darah kecil (lakuner) 4) Stroke akibat penyebab lain yang dapat ditentukan 5) Stroke akibat penyebab lain yang tidak dapat ditentukan, yaitu: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
a) Dua atau lebih penyebab teridentifikasi b) Evaluasi negatif c) Evaluasi tak lengkap (Adams et al, 1993) c. Patofisiologi Stroke iskemik terjadi karena berhentinya suplai darah ke otak. Ketergantungan
yang
besar
pada
metabolisme
anaerob
karena
berkurangnya suplai oksigen ke otak, sehingga menyebabkan jaringan otak menjadi rentan terhadap efek iskemik. Patofisiologi stroke sangatlah kompleks, meliputi mekanisme eksitotoksisitas, jalur inflamasi, kerusakan oksidatif,
ketidakseimbangan
ion,
apoptosis,
angiogenesis,
dan
neuroproteksi (Deb et al, 2010). Iskemia menyebabkan kerusakan otak karena aktifnya kaskade iskemik, yang selanjutnya menyebabkan berkurangnya suplai oksigen, glukosa, dan menyebabkan kegagalan dalam pembuatan Adenine Triphospate (ATP). Hal yang paling tampak dari kaskade iskemik adalah kematian neuron otak dan hilangnya fungsi neuronal otak secara ireversibel. Kerusakan akan semakin parah tergantung pada durasi dan lokasi iskemia (Deb et al, 2010). Beberapa mekanisme menyebabkan cederanya jaringan. Kegagalan mitokondria menyebabkan menurunnya simpanan energi, sehingga hal ini memicu terjadinya apoptosis. Apoptosis terjadi pada neuron periferal, sedangkan nekrosis terjadi di pusat iskemik. Kegagalan suplai energi dapat menyebabkan kematian sel otak ireversibel jika oklusi sudah terjadi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
selama 5-10 menit. Iskemia menyebabkan kegagalan dalam fungsi gradien ion, yang pada akhirnya akan menyebabkan pembengkakan neuron dan glia (edema sitotoksik). Hal ini juga diperparah dengan proses eksitotoksistas yaitu sel-sel otak melepaskan neurotransmiter glutamat berlebihan. Glutamat berikatan dengan N-metil-D-aspartat (NMDA), yang nantinya akan mengaktifkan Nitrat Oksidase Sintase (NOS). NOS ini memicu terbentuknya nitrat oksida (NO), yang menyebabkan penguraian dan kerusakan struktur sel yang vital. Produksi radikal bebas meningkatkan kerusakan sel dan elemen ekstraseluler (Deb et al, 2010). Sel-sel otak mati akibat kerja berbagai protease dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang iskemik. Jaringan otak yang infark membengkak dan dapat menimbulkan tekanan dan distorsi (Price dan Wilson, 2006). Faktor kimiawi dan mekanis menyebabkan kerusakan sekunder. Faktor yang paling banyak menimbulkan cedera adalah rusaknya sawar darah otak, edema intersisium, zona hiperperfusi yang mengelilingi jaringan iskemik dapat mengalihkan aliran darah, dan hilangnya autoregulasi. Hilangnya autoregulasi bisa memicu lingkaran setan, berupa peningkatan edema otak, tekanan intrakranial meningkat nyata, dan kerusakan neuron makin luas. Kegagalan autoregulasi membuat arteriol gagal mengendalikan aliran darah otak (Price dan Wilson, 2006). d. Gejala klinis Serangan stroke akan menimbulkan defisit neurologi yang bersifat akut. Contoh anda dan gejala stroke adalah hemidefisit motorik, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
hemidefisit sensorik, kelumpuhan nervus fascialis dan hypoglossus yang bersifat sentral, gangguan fungsi luhur, kesulitan berbahasa (afasia), gangguan fungsi kognitif dan intelektual, hemianopsia, disartria, diplopia, vertigo, dan , defisit batang otak (De Freitas et al., 2009). Manifestasi klinis juga tampak berbeda bergantung pada letak lesi. Apabila letak lesi stroke berada di hemisfer kanan, manifestasi yang timbul adalah defisit persepsi spasial, paralisis tubuh kiri, defisit memori, dan kecenderungan impulsif. Defisit verbal dan bahasa, kencenderungan bersikap lambat, kesulitan dalam pemecahan masalah, serta paralisis tubuh kanan adalah manifes yang tampak pada lesi stroke hemisfer kiri (Falvo, 2013). Menurut Chandra (1986), perbedaan manifestasi klinis antara stroke hemoragik dan iskemik dapat dilihat melalui tabel berikut :
Tabel 2.1 Perbedaan Manifestasi Klinis Stroke Hemoragik dan Stroke Iskemik Gejala Onset Saat onset Tanda awal “warning” Nyeri kepala Kejang-kejang Muntah Kesadaran menurun
Hemoragik Mendadak Sedang aktif -+++ + + +++
Iskemik Mendadak Istirahat + + (TIA) +/+/-
e. Diagnosis 1) Anamnesis Anamnesis merupakan langkah awal yang sangat berguna untuk commit to user menggali informasi penting. Pada anamnesis dapat ditanyakan waktu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
timbulnya serangan, mendadak atau tidak, saat beraktivitas atau beristirahat. Pada anamnesis juga bisa ditanyakan faktor-faktor risiko yang menyertai stroke, selanjutnya ditanyakan pula riwayat keluarga dan penyakit lainnya (Jauch, 2014). 2) Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik umum terdiri dari pemeriksaan tanda vital dan pemeriksaan keadaan kardiovaskuler. Jika ditemukan kesadaran yang menurun, dilakukan pengukuran skor dengan skala koma Glasgow. Apabila penderitanya sadar, tentukan berat kerusakan neurologis dengan melakukan pemeriksaan neurologis, yaitu evaluasi saraf-saraf kranial, fungsi motrik, fungsi sensorik, fungsi serebelum, cara berjalan, refleks tendon dalam, bahasa, dan status mental (Jauch, 2014). Penilaian klinis lainnya adalah melakukan penilaian beratnya stroke dengan menggunakan instrumen penilaian National Institute Health Stroke Scale (NIHSS). Penilaian ini dilakukan dua kali, yaitu saat pasien masuk dan pulang. Beda nilai saat masuk dan keluar dapat menjadi penilaian keberhasilan terapi. Selain itu, dilakukan juga penilaian Stroke Siriradj Score, untuk membedakan antara stroke iskemik dan stroke perdarahan. Penilaian ini biasa dilakukan untuk unit pelayanan kesehatan yang tidak memiliki CT-Scan (Soertidewi et al., 2009) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
3) Pemeriksaan penunjang Untuk menegakkan diagnosis yang lebih pasti, dilakukan pemeriksaan penunjang seperti tabel berikut : Tabel 2.2 Pemeriksaan Penunjang Untuk Stroke Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin Pemeriksaan kimia darah lengkap (gula darah sewaktu, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, profil lipid) Pemeriksaan hemostasis (waktu protrombin, APTT, kadar fibrinogen, D-dimer, INR, viskositas plasma) Pemeriksaan tambahan atas indikasi (protein S, protein C, AA, homosistein)
Kardiologi Radiologi
EKG, CK dan CK-MB (sesuai indikasi), ekokardiografi CT-Scan otak (gold standard), MRI, foto thoraks, USG Doopler, USG Duplex, angiografi (Soertidewi et al., 2009)
f. Tata laksana Menurut PERDOSSI (2007), tata laksana stroke dibagi menjadi stadium hiperakut, akut dan subakut. Pada stadium hiperakut, tindakan dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan resusitasi serebro-kardiopulmonal. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah kerusakan otak yang lebih luas. Pasien diberi oksigen 2l/menit dan cairan kristaloid/koloid. Pemberian cairan dekstrosa dan salin dihindari. Selain itu, dilakukan pemeriksaan CT-Scan otak, EKG, foto toraks, darah perifer lengkap, jumlah trombosit, protrombin commit to usertime, APTT, glukosa darah, kimia
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
darah, dan analisis gas darah (jika terjadi hipoksia). Tindakan lain yang harus dilakukan adalah pemberian dukungan mental ke pasien dan menenangkan keluarga. Pada stadium akut dilakukan penanganan faktor-faktor etiologi maupun penyulit. Selain penanganan tersebut, dilakukan juga terapi okupasi, terapi fisik, terapi wicara, dan psikologis serta telaah sosial untuk membantu pemulihan pasien. Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai dampak stroke dan tata cara perawatan yang dapat dilakukan. Tata laksana stadium akut dilakukan atas tujuan penetapan diagnosis secara pasti, meminimalisasi cedera otak, mencegah dan mengobati komplikasi, mencegah stroke berulang, dan memaksimalkan kualitas hidup (PERDOSSI, 2007). Pada stadium subakut, tindakan medis dapat berupa prevensi sekunder, edukasi keluarga, discharge planning, terapi lanjutan kondisi akut sebelumnya, tata laksana komplikasi, serta rehabilitasi (fisioterapi, terapi
wicara,
kognitif,
dan
okupasi).
Tujuan
penatalaksanaan
komprehensif ini adalah untuk mempercepat perbaikan fungsi neurologis dan meminimalkan kerusakan sel (PERDOSSI, 2007). g. Prognosis Prognosis setelah serangan stroke iskemik bervariasi, tergantung pada tingkat keparahan stroke dan kondisi premorbid pasien, usia, dan komplikasi pascastroke. Beberapa pasien stroke iskemik akan mengalami transformasi menjadi stroke hemoragik (Sacco, 2005). Berdasarkan studi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
Framingham dan Rochester mortalitas stroke iskemik setelah 30 hari adalah 19%. Semakin cepat terlihatnya infark pada CT-Scan, makin buruk prognosisnya (Jauch, 2014) 3. Jenis kelamin Jenis kelamin, yang dalam Bahasa Inggris disebut sex, merupakan seluruh karakteristik suatu organisme yang didasarkan pada fungsi reproduksi, di mana terdapat dua kategori, yaitu laki-laki dan perempuan (Collins, 2011). Menurut Hungu (2007), jenis kelamin merupakan perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis sejak seseorang lahir, dimana lakilaki memproduksi sprema dan perempuan memproduksi sel telur. Terdapat perbedaan antara jenis kelamin (seks) dengan gender. Jenis kelamin lebih mengacu pada karakter biologis dan fisiologi yang menentukan seseorang tersebut laki-laki atau perempuan, sedangkan gender lebih menunjuk pada peran sosial, kepribadian, aktifitas, dan atribut yang diberikan oleh masyarakat terhadap orang tersebut. Laki-laki dan perempuan adalah kategori jenis kelamin, sedangkan maskulin dan feminin adalah kategori gender. Aspek seks tidak berubah di antara lingkungan masyarakat yang berbeda, sedangkan aspek gender bisa bervariasi berdasarkan kondisi sosial sekitarnya. Contoh karakteristik jenis kelamin adalah perempuan mengalami menstruasi, laki-laki tidak; laki-laki memiliki testis, perempuan memiliki ovarium; perempuan mengalami perkembangan payudara dan memiliki kemampuan laktasi; serta laki-laki biasanya memiliki tulang yang lebih besar daripada perempuan (WHO, 2014). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
Penetapan jenis kelamin merupakan fungsi kromosom kelamin. Satu pasang kromosom adalah kromosom yang menentukan jenis kelamin, yang menentukan jenis kelamin wanita disebut XX dan yang menetukan jenis kelamin pria disebut XY. Dengan demikian, jenis kelamin tergantung dari bagaimana caranya kromosom membelah pada saat meiosis dan bergabung lagi pada saat fertilisasi (Ester, 2003). Perbedaan seks biasanya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor lingkungan, yang biasanya ditentukan oleh keadaan fisiologis. Apabila kadar hormon kelamin dalam tubuh tidak seimbang penghasilan atau peredarannya, maka pernyataan fenotip mengenai kelaminnya dapat berubah. Faktor genetik ditentukan oleh komposisi kromosom karena bahan genetik terdapatnya di dalam kromosom (Suryo, 2010). Pada wanita, kromosom kelamin ini berupa dua buah kromosom X, sedang pada pria berupa sebuah kromosom X dan kromosom Y. Berhubung dengan itu wanita dikatakan bersifat homogametik dan pria bersifat heterogametik. Apabila spermatozoa pembawa kromosom X (disebut juga ginospermium) membuahi sel telur (membawa kromosom X) akan dihasilkan jenis kelamin perempuan, sedangkan apabila spermatozoa pembawa kromosom Y (disebut juga androspermium) yang membuahi sel telur akan dihasilkan jenis kelamin laki-laki (Suryo, 2010). Berdasarkan statistik CIA (2014), jumlah total populasi di dunia tahun 2013 adalah sekitar tujuh milyar orang, dengan rasio jenis kelamin antara commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
laki-laki dan perempuan pada semua populasi adalah 1,01. Menurut BPS (2012), persentase penduduk laki-laki pada tahun 2012 di Indonesia adalah 50,35% dari total penduduk. Di Surakarta, jumlah penduduk laki-laki pada tahun 2012 adalah 266.724 orang, sedangkan penduduk perempuan berjumlah 278.929 orang. Hasil statistik menunjukkan sex ratio di Kota Surakarta adalah 95,62 , yang berarti bahwa dari setiap 100 perempuan terdapat 95-96 laki-laki (Dispendukcapil Kota Surakarta, 2012). 4. Kualitas hidup terkait kesehatan Konsep kualitas hidup terkait kesehatan sudah ada sejak tahun 1980an dan terus berevolusi. Konsep ini mencakup seluruh aspek kualitas hidup yang secara jelas bisa memengaruhi kesehatan, baik mental maupun fisik. Pada tingkat individu, kualitas hidup tekait kesehatan mencakup persepsi kesehatan fisik dan mental, yang berkorelasi dengan risiko dan kondisi kesehatan, status fungsional, dukungan sosial, dan status sosial ekonomi.
Pada tingkat
komunitas, kualitas hidup terkait kesehatan ini mengacu pada sumber daya, kondisi, kebijakan, dan praktik-praktik yang memengaruhi persepsi kesehatan populasi (CDC, 2011). Kualitas hidup terkait kesehatan menunjukkan hubungan antara kesehatan fisik, mental, dan emosional dengan status fungsional. Evaluasi kualitas hidup terkait kesehatan adalah indikator penting untuk mengevaluasi outcome beberapa penyakit (Larsen dan Lubkin, 2009). Domain-domain yang memengaruhi kualitas hidup terkait kesehatan mencakup beberapa aspek spesifik, misalnya rasa kegunaan dirinya untuk orang lain, ketergantungan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
fisik, tanggung jawab, stres, jangka waktu hidup yang lama, aktivitas saat waktu luang, kehidupan seks, pelayanan kesehatan yang didapat, dan nyeri. Kualitas
hidup
terkait
kesehatan
bisa dikatakan
bersifat
subjektif,
multidimensional, dan temporal (Peterson dan Bredow, 2009). Menurut Haan et al. (1995), kualitas hidup terkait kesehatan harus memiliki dimensi sebagai berikut: a. Dimensi fisik, yang menunjuk pada gejala – gejala yang terkait riwayat penyakit dan pengobatan b. Dimensi fungsional, yang terdiri dari perawatan diri, mobilitas, serta level aktivitas
fisik seperti kapasitas untuk dapat berperan dalam keluarga
maupun sosial. c. Dimensi psikologis, meliputi fungsi kognitif, status emosi, serta persepsi terhadap kesehatan, kepuasan hidup, dan kebahagiaan. d. Dimensi sosial Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan penting dilakukan untuk menentukan seberapa beratnya suatu penyakit, cedera, dan disabilitas, serta memberi gambaran tentang hubungan kualitas hidup tekait kesehatan dengan faktor-faktor risikonya (CDC, 2011). Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehatan karena bisa digunakan sebagai indikator outcome kesehatan dan ukuran kualitas pelayanan kesehatan rutin. Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan ini sudah diterapkan pada beberapa bidang kesehatan, contohnya bidang penelitian dan praktik klinis, bidang uji klinis obat, serta bidang prediksi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
faktor dan manajemen penyakit (Chen et al., 2005). Pengukuran ini penting sebagai indikator yang merefleksikan status kesehatan populasi dan bisa berguna untuk mengukur performa sistem kesehatan yang berjalan (Romero et al., 2013). Kualitas hidup terkait kesehatan dapat dinilai dengan berbagai tipe pengukuran, yaitu pengukuran secara umum; pengukuran spesifik terhadap penyakit, kondisi, dan tata laksana; pengukuran terhadap gejala; pengukuran kualitatif; serta pengukuran dengan penyesuaian umur kehidupan. Penentuan tipe pengukuran ini didasarkan pada populasi target. Pengukuran kualitas hidup terkait kesehatan harus dievaluasi secara kualitatif dan kuantitatif dengan elemen fungsional, fisik, psikologis, dan sosial dari pasien (Peterson dan Bredow, 2009). 5. Hubungan jenis kelamin, stroke, dan kualitas hidup terkait kesehatan Hubungan antara jenis kelamin dan stroke sangatlah erat dan telah diobservasi pada studi terkait epidemiologi, patofisiologi, tatalaksana, dan outcome. Jenis kelamin merupakan salah satu implikasi untuk menentukan upaya preventif dan tata laksana yang efektif. Beberapa studi epidemiologi menerangkan interaksi yang jelas antara jenis kelamin dengan prevalensi, insidensi, dan mortalitas stroke (Haast et al., 2012). Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko stroke yang tidak dapat dimodifikasi. Insidensi stroke memang lebih tinggi pada laki-laki, tetapi recovery pasca stroke pada wanita diperkirakan lebih buruk (Persky et al., 2010). Sudah banyak investigasi keterkaitan jenis kelamin dengan commit gejala, to user manajemen, dan outcome pada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
penyakit jantung, namun penelitian serupa mengenai jenis kelamin dalam penyakit serebrovaskuler masih sedikit (Gargano dan Reeves, 2007). Dalam suatu studi, dikatakan bahwa pasien stroke wanita memiliki status fungsional dalam Activities of Daily Living (ADL) yang lebih buruk dan institusionalisasi yang lebih lama (Kapral et al., 2005). Pasien stroke perempuan diperkirakan memiliki outcome yang lebih buruk karena perempuan memiliki jangka waktu hidup yang lebih lama, sehingga durasi stroke juga akan lebih lama, serta usia insidensi strokenya lebih tua dibandingkan laki-laki (Haast et al.,2012). Perempuan juga mengalami stroke yang lebih parah dibanding laki-laki, berhubungan dengan usia, penyakit komorbid, dan disabilitas prastroke (Appelros, 2009). Pasien stroke perempuan mengalami disabilitas yang lebih besar dibanding laki-laki, sehingga dirinya mengalami keterbatasan dalam aktivitas fungsional (makan, berpakaian, berjalan, dan berpindah dari tempat tidur ke kursi). Berdasarkan pengukuran menggunakan Barthel Index, didapatkan hasil bahwa pasien stroke perempuan memiliki ketergantungan yang lebih tinggi dalam menjalankan aktivitas sehari-harinya. Pasien stroke perempuan juga diduga membutuhkan perawatan instutisional yang lebih lama dan kebutuhan akan fasilitas assisted-living-nya besar. Dilaporkan juga bahwa pasien perempuan cenderung mengalami depresi (Persky et al., 2010). Respon terhadap terapi trombolitik, pembedahan, dan rehabilitasi; efek manfaat unit pelayanan stroke; perpsepsi dan adaptasi terhadap kondisi kesehatan ; dan pemulihan fungsional menunjukkan perbedaan yang nyata commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
antara pasien stroke perempuan dan laki-laki, di mana perempuan cenderung lebih buruk (Haast et al, 2012). Kesadaran akan pentingnya hubungan jenis kelamin dalam status fungsional dan kualitas hidup terkait kesehatan pada stroke iskemik akan memberi gambaran target yang lebih baik dalam prevensi, intervensi, dan pelayanan rehabilitasi (Gargano dan Reeves, 2007). Selain jenis kelamin, terdapat beberapa masalah yang memengaruhi kualitas hidup pasien stroke iskemik, yaitu nyeri, kesulitan mobilitas, perawatan diri, fungsi sosial, masalah psikologikal, dan masalah kognitif (Smeltzer dan
Bare, 2008).
Tingkat
pendidikan, dukungan
sosial,
ketergantungan, tingkat depresi, dan penyakit komorbid diduga juga berpengaruh (Abubakar dan Iseuzo, 2012). Stroke iskemik memengaruhi
fisik, mental, emosional, dan
kehidupan sosial pasien atau kombinasi keempatnya. Pasien stroke yang selamat dari serangan stroke mengalami impairment yang akan mengganggu aktivitas hidup sehari-harinya. Oleh karena itu, stroke iskemik dapat menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan secara signifikan (Dhammon et al., 2010). Haan (1995) menyatakan bahwa pasien dengan stroke iskemik ataupun hemoragik akan memiliki skor kualitas hidup terkait kesehatan yang cenderung seimbang 6. Hubungan usia, stroke, dan kualitas hidup terkait kesehatan Seiring dengan bertambahnya usia manusia, terjadi penurunan user intima akibat suatu proses elastisitas pembuluh darahcommit karenato tunika
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
aterosklerosis dan penebalan tunika media sebagai akibat suatu proses fisiologis menua. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah menuju ke otak. Penurunan Cerebral Blood Flow (CBF) regional mengakibatkan suatu daerah otak tidak memperoleh aliran darah yang mengangkut oksigen dan glukosa secara adekuat. Ini adalah salah stau patofisiologi dari stroke iskemik. Oksigen dan glukosa merupakan substansi penting dalam metabolisme oksidatif serebral, sehingga bila kebutuhan substansi tersebut pada daerah di otak tidak terpenuhi secara adekuat akan menyebabkan daerah otak tersebut tidak berfungsi dan timbullah manifestasi defisit neurologik (Darmojo, 2009). Darmojo (2009) juga menyatakan bahwa vaskularisasi yang menurun pada daerah hipotalamus menyebabkan gangguan saraf otonom, dan berkurangnya berbagai neurotransmitter. Perubahan patologik pada jaringan saraf juga sering disertai oleh berbagai penyakit metabolik, antara lain diabetes, hipotiroid ataupun hipertiroid yang juga menyebabkan gangguan pada susunan saraf tepi. Penilaian kualitas hidup terkait kesehatan pada pasien dengan faktorfaktor, seperti usia lanjut, warna kulit, riwayat penyakit penyerta, dan dengan fungsi motorik ekstremitas yang berkurang mempunyai skor yang lebih rendah, terutama pada dimensi fisik (Wilkinson dan Graham, 2005). Usia dinilai memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kualitas hidup pasien pascastroke, semakin tua semakin memburuk kualitas hidupnya (Abubakar dan Isezuo, 2012).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
Dengan bertambahnya umur, semakin lama juga seseorang hidup. Hal ini mengakibatkan orang tersebut menjadi semakin mungkin untuk terkena penyakit lebih banyak. Kejadian depresi dan disabilitas fisik menyebabkan penurunan dalam melakukan ADL dan peningkatan ketergantungan kepada orang lain (Brajkovic et al.,2009). Onset usia yang semakin lama akan menyebabkan gangguan yang lebih parah dan bisa memperburuk recovery dan status fungsional (Carod-Artal et al., 2000). 7. Hubungan dukungan keluarga, stroke, dan kualitas hidup terkait kesehatan Dukungan keluarga merupakan suatu sistem pendukung
yang
diberikan oleh keluarga terhadap anggota keluarga, meliputi dukungan emosional, material, informasi, pelayanan, serta memfasilitasi anggota keluarga dalam melakukan perannya di masyarakat (Oxford, 1992). Dukungan keluarga juga mencakup dukungan dalam perawatan kesehatan, di antaranya mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga, merawat pasien yang sakit, menciptakan lingkungan yang mendukung, dan membawa anggota keluarga ke pelayanan kesehatan untuk memeriksakan diri (Friedman et al.,2003). Dukungan keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap kesehatan secara keseluruhan. Apabila dukungan keluarga besar, maka adaptasi pasien terhadap penyakit akan semakin baik (Reinhardt, 2001). Dukungan keluarga berpengaruh positif terhadap kualitas hidup. Hal ini dikarenakan adanya penurunan kadar katekolamin dan kortisol saliva yang dapat mengurangi kondisi stres pasien (Heinrichs et toal.,user 2003). Dengan dukungan keluarga commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
yang kuat, pasien akan lebih efektif menyesuaikan diri dan termotivasi untuk menjaga kesehatannya (Iskandar, 2008). Keluarga merupakan partner terbaik pasien stroke, yang diharapkan bisa memberikan dukungan pada pasien dan menemani selama menjalani perawatan. Pada level dukungan keluarga yang tinggi, baik instrumental dan emosional, pasien stroke akan mengalami perkembangan progresif dalam status fungsional dan psikososialnya. Hal ini bisa membantu pasien mempertahankan kualitas hidupnya (Tsouna-Hadjis et al., 2000). 8. Kuesioner Health Related Quality of Life (HR-QOL) SF-36 Kuesioner ini adalah salah satu instrumen yang banyak dipakai secara umum yang digunakan untuk penilaian kualitas hidup seseorang dan lebih berfokus pada aspek kesehatan. Kuesioner ini terdiri atas tiga puluh enam pertanyaan tertutup yaitu dengan memilih jawaban yang telah tersedia dan terbagi dalam delapan dimensi, yaitu fungsi fisik, keterbatasan peran sosial karena adanya kelemahan fisik, keterbatasan peran sosial karena masalah emosional, energi, kesehatan emosional, fungsi sosial, nyeri, dan kesehatan umum. Kuesioner ini terdiri dari dua kluster penilaian yaitu penilaian komponen fisik dan penilaian komponen mental (Killewo et al., 2010). Kuesioner HR-QOL SF-36 telah teruji validitas dan reliabilitasnya untuk pengukuran kesehatan fisik dan mental (Ware et al., 1992). Menurut RAND (2009), penilaian kuesioner ini menggunakan tabel pedoman sebagai berikut : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
Tabel 2.3 Skoring Pertanyaan Kuesioner Health Related Quality of Life (HR-QOL) SF-36 Nomor pertanyaan
Skala
Nilai
1,2,20,22,34,36
1
100
2
75
3
50
4
25
5
0
1
0
2
50
3
100
1
0
2
100
1
100
2
80
3
60
4
40
5
20
6
0
1
0
2
20
3
40
4
60
5
80
6
100
1
0
2
25
3
50
3,4,5,6,7,8,9,10,11,12
13,14,15,16,17,18,19
21,23,26,27,30
24,25,28,29,31
32,33,35
4 commit to5user
75 100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
Tabel 2.4. Distribusi Dimensi Penilaian Kuesioner Health Related Quality of Life (HR-QOL) SF-36 Dimensi
Jumlah
Nomor pertanyaan
pertanyaan Fungsi fisik Keterbatasan
10 peran
3,4,5,6,7,8,9,10,11,12
sosial 4
13,14,15,16
sosial 3
17,18,19
karena kelemahan fisik Ketebatasan
peran
karena masalah emosional Energi
4
23,27,29,31
Kesehatan emosional
5
24,25,26,28,30
Fungsi sosial
2
20,32
Nyeri
2
21,12
Kesehatan umum
5
1,33,34,35,36
RAND (2009)
merekomendasikan pendekatan langsung untuk
penilaian menggunakan kuesioner Health Related Quality of Life (HR-QOL) SF-36. Masing-masing pertanyaan diberi skor sesuai dengan tabel 2.3 dengan skala
dari
0 hingga
100.
Kemudian
masing-masing pertanyaan
dikelompokkan ke dalam 8 dimensi Health Related Quality of Life (HRQOL) SF-36. Setelah setiap nomor pertanyaan dikelompokkan dalam dimensinya masing-masing, skor dihitung secara total dengan pedoman scoring pada tabel 2.3 dan tabel 2.4. Selain mendapatkan skor kualitas hidup terkait kesehatan secara total, pengguna juga bisa mendapatkan skor berdasarkan dimensi-dimensi tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
B. Kerangka Pemikiran Stroke Iskemik Manifestasi defisit neurologis : 1. 2. 3. 4. 5.
Gangguan motorik Gangguan sensorik Gangguan kognitif Gangguan verbal Gangguan emosional Memasuki masa perawatan dan recovery
Kapasitas dan status fungsional; kemampuan ADL; individual independency; keadaan psikologis ; respon terhadap terapi medikamentosa dan rehabilitasi; masa institusionalisasi; persepsi dan adaptasi terhadap kondisi kesehatan Variabel perancu terkendali : 1.Usia 2.Dukungan keluarga
Perubahan kualitas hidup terkait kesehatan
Keterangan :
Jenis kelamin
Variabel perancu tak terkendali : penyakit komorbid, nyeri, tingkat kecemasan dan depresi, perawatan diri, riwayat pendidikan, pekerjaan, fungsi kognitif
: menyebabkan
: memengaruhi : variabel perancu Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran C. Hipotesis Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kualitas hidup terkait kesehatan pasien pascastroke iskemik, dimana pasien stroke iskemik laki-laki memiliki kualitas hidup terkait kesehatan yang lebih baik dibandingkan pasien stroke iskemik perempuan.
commit to user