6
BAB II LANDASAN TEORI
A. Dasar –Dasar Pajak 1. Definisi Pajak Definisi pajak yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro yang dikutip Siti Resmi (2009 :1) : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi pajak yang dikemukakan oleh Djajadiningrat yang dikutip Siti Resmi (2009 :1) : Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagia kekayaan ke kas Negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum. Pajak menurut Pasal 1 UU No. 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah : Kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersufat memaksaberdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
7
2. Fungsi pajak Menurut Siti Resmi (2009:3) terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan Negara) dan fungsi regulared (pengatur). a. Fungsi Budgetir (sumber keuangan Negara) Pajak mempunyai fungsi budgetair, artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintahuntuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan Negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas Negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak seperti pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan lain-lain. b. Fungsi Regulared (pengatur) Pajak mempnyai fungsi pengatur, artinya pajak sebagai alat ukur mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang social dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan. Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi pengatur adalah : 1) Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi jual beli barang mewah. Semakin mewah suatu barang maka tariff pajaknya semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal harganya. Pengenaan pajak ini dimaksudkan agar rakyat tidak berlomba-lomba untuk mengkonsumsi barang mewah (mengurangi gaya hidup mewah). 2) Tarif pajak progresif dikenakan atas penghasilan, dimaksudkan agar pihak yang memperoleh penghasilan tinggi memberikan kontribusi (membayar pajak) yang tinggi pula, sehingga terjadi pemerataan pendapatan. 3) Tarif pajak eksport sebesar 0%, dimaksudkan agar para pengusaha terdorong mengekspor hasil produksinya di pasar dunia sehingga dapat memperbesar devisa Negara. 4) Pajak penghasilan dikenakan atas penyerahan barang hasil industry tertentu seperti industry semen, industry rokok, industry baja, dimaksudkan agar terdapat penekanan produksi terhadap industry tersebut karena dapat mengganggu lingkungan atau polusi (membahayakan kesehatan).
8
5) Pembebasan pajak penghasilan atas sisa hasil usaha koperasi, dimaksudkan untuk mendorong perkembangan koperasi Indonesia 6) Pemberlakuan tax holiday, dimaksudkan untuk menarik investor asing agar menanamkan modalnya di Indonesia.
3. Jenis Pajak Menurut Siti Resmi (2009:7) terdapat berbagai jenis pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokkan menurut golongan, menurut sifat, dan menurut lembaga pemungutnya. a. Menurut Golongan Pajak dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1) Pajak Langsung : pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Pajak harus menjadi beban wajib pajak yang bersangkutan. Contoh : pajak penghasilan (PPh). 2) Pajak Tidak Langsung : pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Contoh : pajak pertambahan nilai (PPN). b. Menurut Sifat Pajak dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu : 1) Pajak Subjektif : pajak yang pengenaannya memerhatikan keadaan pribadi wajib pajak atau pengenaan pajak yang memerhatikan keadaan subjeknya. Contoh : pajak penghasilan (PPh). Dalam PPh terdapat subjek pajak (wajib pajak) orang pribadi. Pengenaan PPh untuk orang pribadi tersebut memerhatikan keadaan pribadi wajib pajak (status perkawinan, banyaknya anak, dan tanggungan lainnya). Keadaan wajib pajak tersebut selanjutnya digunakan untuk menentukan besarnya penghasilan tidak kena pajak. 2) Pajak Objektif : pajak yang pengenaannnya memerhatikan objeknya baik berupa benda, keadaan, perbuatan, atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar pajak, tanpa memerhatikan keadaan pribadi subjek pajak (wajib pajak) maupun tempat tinggal. Contoh : pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), serta pajak bumi dan bangunan (PBB).
9
c. Menurut Lembaga Pemungut Pajak dikelompokkn menjadi dua, yaitu : 1) Pajak Negara (pajak pusat) : pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara pada umummnya. Contoh : PPh, PPN dan PPnBM, PBB, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). 2) Pajak Daerah : pajak yang dipungutoleh pemerintah daerah baik daerah tingkat I (pajak provinsi) maupun pajak tingkat II (pajak kabupaten/kota) dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Contoh : pajak provinsi meliputi pajak kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air, bea balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan diatas air, pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Pajak kabupaten/kota meliputi pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, dan pajak penerangan jalan.
B. Pemungutan Pajak Pemungutan pajak merupakan suatu pengorbanan yang diberikan oleh masyarakat (taxation) erat kaitannya dengan rasa terwakili (representation) (Safri Nurmantu:2005). 1. Tata Cara Pemungutan Pajak Dalam hukum pajak dikenal tiga macam yang memungut pajak atas suatu penghasilan atau kekayaan, yaitu dinamakan sistem nyata, sistem fiktif, dan sistem campuran. Sistem tersebut harus dengan nyata-nyata disebutkan dalam undang-undang masing-masing pajak. Fiskus dan wajib pajak harus mentaatinya dan tidak dibenarkan memilih cara yang menyimpang.
10
a) Stelsel nyata (riil) Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan) yang nyata, sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak, yakni setelah penghasilan yang sesungguhnya telah dapat diketahui. Kelebihan dari stelsel ini adalah pajak yang dikenakan lebih realistis. Kelemahannya adalah pajak baru dapat dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui). b) Stelsel anggapan (fiktif) Pengenaan pajak didasarkan pada suatau anggapan yang diatur oleh undang-undang, sebagai contoh; penghasilan suatu tahun dianggap sama dengan tahun sebelumnya sehingga pada awal tahun pajak telah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kelebihan stelsel ini adalah pajak yang dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu akhir tahun. Kelemahannya adalah pajak
yang
dibayar
tidak
berdasarkan
pada
keadaan
yang
sesungguhnya. c) Stelsel campuran Umumnya mendasarkan pengenaan pajaknya atas kedua stelsel diatas, yaitu nyata dan fiktif. Mula-mula mendasarkan pengenaan pajak atas suatu anggapan bahwa penghasilan seseorang dalam tahun pajak dianggap sama besarnya dengan penghasilan sesungguhnya dalam tahun yang lalu. Kemudian setelah tahun pajak berakhir, maka
11
anggapan
yang
semula
dipakai
fiskus
disesuaikan
dengan
kenyataannya dengan jalan mengadakan pembetulan-pembetulan, sehingga dengan demikian beralihnya pungutan pajak dari sistem fiktif ke sistem nyata. Fiskus dapat menaikkan atau menurunkan pajak yang semula telah dihitung berdasarkan sistem anggapan itu.
2. Sistem Pemungutan Pajak Dalam sistem perpajakan dikenal self assessment system, official assessment system, dan withholding tax system. Menurut Soni Devano (2006:80) Indonesia mempunyai beberapa sistem pemungutan pajak yang pernah dilaksanakan, yaitu : a) self assessment system Wewenang sepenuhnya untuk menentukan besar pajak ada pada wajib pajak, wajib pajak aktif menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak ikut campur tangan dalam penentuan besarnya pajak terutang selama wajib pajak tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Dilaksanakan secara efektif pada tahun 1984 atas dasar perombakan perundang-undangan perpajakan tahun 1983. Jadi, self assessment system adalah suatu sistem perpajakan yang member kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal dengan : 1. Mendaftarkan diri di kantor pelayanan pajak 2. Menghitung/memperhitungkan sendiri jumlah pajak yang terutang 3. Menyetor pajak tersebut ke bank persepsi/kantor pos 4. Melaporkan penyetoran tersebut kepada direktur jendral pajak 5. Menetapkan sendiri jumlah pajak yang terutang melalui pengisian SPT (surat pemberitahuan) dengan baik dan benar.
12
Rimsky (2004) mengatakan bahwa self assessment system diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebear-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya (Sony Devano, 2006:81). Konsekuensinya, masyarakat harus benar-benar mengetahui tata cara perhitungan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan peraturan pemenuhan perpajakan. Karena menuntut kepatuhan secara sukarela dari wajib pajak maka sistem ini juga akan menimbulkan peluang besar bagi wajib pajak untuk melakukan tindakan kecurangan, pemanipulasian perhitungan jumlah pajak, penggelapan jumlah pajak yang seharusnya dibayarkan. b) Official assessment system Dimana wewenang pemungutan pajak pada fiskus. Utang pajak timbul kalau ada surat ketetapan pajak ( SKP ) , dilaksanakan sampai tahun 1967. Official tax system merupakan sistem perpajakan dalam mana inisatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada pada pihak fiskus. Dalam sistem ini fiskuslah yang aktif sejak dari mencari wajib pajak untuk diberikan NPWP sampai pada penetapan jumlah pajak yang terutang melalui penerbitan SKP. Dalam sistem official assessment, besarnya kewajiban pajak ditentukan sepenuhnya oleh fiskus selaku pemungut pajak. Dalam UU KUP 2000 juga dikenal beberapa macam SKP. Yakni SKPKB, SKPKBT, SKPLB, dan SKPN. Wajib pajak yang menerima SKP-SKP tersebut ialah wajib pajak yang telah melalui proses pemeriksaan. c) With holding system Wewenang pemungutan ada pada pihak ketiga. Dilaksanakan secara efektif sejak 1984. Sistem ini merupakan sistem perpajakan dimana pihak ketiga baik wajib pajak orang pribadi maupun badan dalam negeri diberi kepercayaan oleh peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau memungut pajak penghasilan yang dibayarkan kepada penerima penghasilan. Pihak ketiga tersebut memiliki peran aktif dalam sistem ini, dan fiskus berperan dalam pemeriksaan pajak, penagihan, maupun tindakan penyitaan apabila ada indikasi pelanggaran perpajakan, seperti halnya pada self assessment system. Manfaat withholding tax system, antara lain: a) Dapat meningkakan kepatuhan secara sukarela karena pembayar pajak secara tidak langsung telah membayar pajaknya.
13
b) c) d)
Pengumpulan pajak secara otomatis bagi pemerintah tanpa mengeluarka biaya. Merupakan penerapan prinsip convenience of tax system. Meningkatkan penerimaan pajak.
C. Kepatuhan Wajib Pajak 1. Pengertian Kepatuhan Perpajakan Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak (Moh. Zain:2004), yang dikutip Sony Devano (2006:110) sebagai “ suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan” , tercermin dalam situasi dimana: a) Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c) Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. d) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Safri Nurmantu mengatakan bahwa “kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewjiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya” (Sony Devano dan Siti Kurnia R, 2006:110). Menurut Chaizi Nasucha yang dikutip Siti Resmi (2006:111), kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasikan dari :
14
a) Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri b) Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan c) Kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang d) Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan Wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi criteria atau persyaratan sebagai berikut (merujuk pada criteria menurut Keputusan Menteri Keuangan No: 544/KMK.04/2000). a) Tepat waktu dalam menyampaikan surat pemberitahuan untuk semua jenis pajak dalam 2 (dua) tahun terakhir. b) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. c) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir. d) Dalam 2 tahun pajak terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap wajib pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%. e) Wajib pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh akuntan public dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba-rugi fiskal.
15
2. Pentingnya Kepatuhan Perpajakan Masalah kepatuhan wajib pajak adalah masalah penting diseluruh dunia, baik bagi Negara maju maupun dinegara berkembang. Karena, jika wajib pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran , pengelapan, penyeludupan, dan pelalaian pajak. Yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak akan berkurang. Kesadaran dan kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan tidak hanya tergantung kepada masalah-masalah teknis saja yang menyangkut metode pemungutan, tarif pajak, teknis pemeriksaan,
penyidikan,
penerapan
sanksi,
sebagai
perwujudan
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dan pelayanan kepada wajib pajak selaku pihak pemberi dana bagi Negara dalam hal membayar pajak. Di samping itu juga tergantung pada kemauan wajib pajak juga, sampai sejauh mana wajib pajak tersebut akan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Membayar pajak bukanlah merupakan tindakan yang semudah dan sesederhana membayar untuk mendapatkan sesuatu (konsumsi) bagi masyarakat, tetapi didalam pelaksanaannya penuh dengan hal yang bersifat emosional. Pada dasarnya tidak seorang pun yang menikmati kegiatan membayar pajak seperti kegiatan berbelanja. Disamping itu,
16
potensi bertahan untuk tidak membayar pajak sudah menjadi taxpayers behavior. 3. Manfaat Predikat Patuh Wajib pajak yang berpredikat patuh dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya tentunya akan mendapat kemudahan dan fasilitas yang lebih dibandingkan dengan pemberian pelayanan pada wajib pajak yang belum atau tidak patuh. Fasilitas yang diberikan oleh dirjen pajak terhadap wajib pajak patuh adalah: a) Pemberian batas waktu penerbitan surat keputusan pengambilan pendahuluan kelebihan pajak ( SKPPKP ) paling lambat 3 bulan sejak permohonan kelebihan pembayaran pajak yang diajukan wajib pajak diterima untuk pajak penghasilan (PPh) dan satu bulan untuk pajak pertambahan nilai (PPN), tanpa melalui penelitian dan pemeriksaan oleh dirjen pajak. b) Adanya kebijakan percepatan penerbitan surat keputusan pengambilan pendahuluan kelebihan pajak ( SKPPKP ) menjadi paling lambat 2 bulan untuk PPh. Bagi wajib pajak yang belum atau tidak patuh, fasilitas tersebut tidak diberikan kepadanya, penerbitan SKPPKP harus menunggu penelitian dan pemeriksaan, yang memakan waktu, biaya, dan menjadi sumber terjadinya, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
17
D. Penghasilan Kena Pajak Penghasilan kena pajak (PKP) merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, yaitu Undang-undang pajak Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya. Yang membedakan antara laba secara komersial dengan laba fiskal adalah dilakukannya koreksi fiskal. Proses koreksi ini biasa disebut dengan rekonsiliasi fiskal. Penghasilan kena pajak dari wajib pajak badan dihitung hanya menggunakan pembukuan, yaitu dengan memperhitungkan penghasilan neto dengan koreksi fiskal. 1. Rekonsiliasi (koreksi) Fiskal Rekonsiliasi (koreksi) fiskal adalah proses penyesuaian atas laba komersial yang berbeda dengan ketentuan fiskal untuk menghasilkan penghasilan neto/laba yang sesuai dengan ketentuan perpajakan (Sukrisno Agoes dan Estralita Trisnawati, 2009 :218). Perbedaan-perbedaan antara akuntansi dan fiskal tersebut dapat dikelompokkan menjadi beda tetap/permanen (permanent differences) dan beda waktu/sementara (timing differences).
18
a. Beda Tetap/Permanen Beda tetap terjadi karena adanya perbedaan pengakuan penghasilan dan beban menurut akuntansi dengan pajak, yaitu adanya penghasilan dan beban yang diakui menurut akuntansi komersial namun tidak diakui menurut fiskal. Beda tetap mengakibatkan laba/rugi menurut akuntansi berbeda secara tetap dengan laba kena pajak menurut fiskal. Beda
tetap
biasanya
timbul
karena
hal-hal
berikut
dikeluarkan
mengharuskan
peraturan dari
perpajakan perhitungan
penghasilan kena pajak : 1) Penghasilan yang telah dikenakan PPh bersifat final ( pasal 4 ayat (2) UU PPh) 2) Penghasilan yang bukan objek pajak ( pasal 4 ayat (3) UU PPh) 3) Pengeluaran yang tak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha (pasal 9 ayat (1) UU PPh) b. Beda Waktu/Sementara Beda waktu merupakan perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan yang sifatnya temporer. Artinya, secara keseluruhan beban atau pendapatan akuntansi maupun perpajakan sebenarnya sama, tetapi tetap berbeda alokasi setiap tahunnya.
19
2. Teknik Rekonsiliasi Fiskal Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan cara mengurangkan sejumlah penghasilan tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi. b. Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akauntansi tetapi diakui menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi. c. Jika suatu biaya/pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui
sebagai
rekonsiliasi
pengurang penghasilan bruto
dilakukan
dengan
menurut
mengurangkan
fiskal,
sejumlah
biaya/pengeluaran tersebut dari biaya menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.
20
Kertas kerja rekonsiliasi fiskal dapat dibuat dengan format sebagai berikut: Wajib Pajak X Rekonsiliasi Fiskal Tahun 20XX Laba Bersih (menurut akuntansi)
XX
Koreksi Positif: -
XX
-
XX
-
XX
Total koreksi positif
XX
Koreksi Negatif: -
XX
-
XX
Total koreksi negatif
(XX)
Laba (penghasilan) kena pajak (fiskal)
XX
3. Koreksi Positif dan Negatif Dari Rekonsiliasi Fiskal Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh wajib pajak yang pembukuannya menggunakan
pendekatan
akuntansi
komersial,
yang
bertujuan
mempermudah mengisi surat pemberitahuan tahunan PPh, dan menyusun
21
laporan keuangan fiskal yang harus dilampirkan pada saat menyampaikan SPT tahunan PPh. Koreksi fiskal dapat berupa koreksi positif dan negatif. Koreksi positif terjadi apabila laba menurut fiskal bertambah. Koreksi positif biasanya dilakukan akibat adanya : a) Beban yang tidak diakui oleh pajak. b) Penyusutan komersial lebih besar dari penyusutan fiskal. c) Amortisasi komersial lebih besar dari amortisasi fiskal. d) Penyesuaian fiskal positif lainnya.
Koreksi negatif terjadi apabila laba menurut fiskal berkurang. Koreksi negative biasanya dilakukan akibat adanya : a) Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak. b) Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final. c) Penyusutan komersial lebih kecil dari pada penyusutan fiskal. d) Amortisasi komersial lebih kecil dari pada amortisasi fiskal. e) Penghasilan ditangguhkan pengakuannya. f) Penyesuaian fiskal negatif lainnya.
E. Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-Undang penghasilan (pasal 4 ayat 1):
No.36
Tahun
2008
tentang
pajak
22
Penghasilan adalah setiap tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun. Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam suatu tahun pajak (Siti Resmi, 2009 :80). 1. Subjek Pajak Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak (Waluyo, 2010 : 89). Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan (Siti Resmi, 2009 : 81). Undang-undang pajak penghasilan di Indonesia mengatur pengenaan pajak penghasilan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak akan dikenakan pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika subjek pajak telah memenuhi kewajiban pajak secara objektif maupun subjektif maka disebut wajib pajak.
23
Yang menjadi subjek pajak adalah: 1. a. Orang pribadi. b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2. Badan; dan 3. Bentuk usaha tetap. Berdasarkan pasal 2 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2008, subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan luar negeri. 1. Subjek pajak dalam negeri adalah: a. Subjek pajak orang pribadi. Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di indonesia lebih dari 183 (seratud delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b. Subjek pajak badan. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
24
masa, orgnisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak. 2. Subjek pajak luar negeri adalah: a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 2 (dua) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usah tetap di Indonesia. 3. Subjek pajak bentuk usaha tetap (BUT). Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang
25
berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
2. Objek Pajak Penghasilan Objek pajak merupakan segala sesuatu (barang, jasa, kegiatan, atau keadaan) yang dikenakan pajak (Siti Resmi, 2009 : 86). Objek pajak penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi : a) Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasila dari praktik dokter, notaries, akutuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya. b) Penghasilan dari usaha dan kegiatan. c) Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak maupun harta tak gerak seperti bunga, deviden, royalty sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha.
26
d) Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah. Dilihat dari penggunaannnya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan wajib pajak.
3. Tarif Pajak Tarif adalah pedoman dasar dalam menghitung besarnya pajak terutang (pajak yang harus dibayar), dimana besarnya tarif dinyatakan dalam presentase Waluyo (2005:17). Tarif PPh untuk wajib pajak badan dalam negeri adalah 28% (dua puluh delapan persen). Tarif tersebut menjadi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010. Contoh : a. Jumlah penghasilan kena pajak PT perdana pada tahun 2009 adalah Rp 800.000.000. Pajak penghasilan yang terutang adalah 28% x Rp 800.000.000 = Rp 224.000.000. b. Jumlah penghasilan kena pajak PT perdana pada tahun 2010 adalah Rp 800.000.000. Pajak penghasilan yang terutang adalah 25% x Rp 800.000.000 = Rp 200.000.000.
27
F. Kerangka Pikir dan Model Konseptual 1. Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan dan Penghasilan Kena Pajak Terhadap Pajak Penghasilan Terutang Teori yang mendasari wajib pajak patuh dalam penelitian ini adalah Teori Motivasi. Teori Motivasi yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah Teori Pengharapan ( Victor Vroom, 1964 ) Dalam teori ini Vroom menyatakan bahwa dorongan atau kekuatan saja tidaklah cukup untuk mendorong seseorang melakukan suatu tindakan keyakinan bahwa usaha yang dilakukan seseorang akan menghasilkan prestasi yang diharapkan, justru faktor yang berpengaruh terhadap perlakuan seseorang. Semakin besar sebuah prestasi membuahkan hasil, semakin besar pula kemungkinan seseorang mencoba berprilaku untuk mencapai prestasi yang tinggi. Adapun 2 ( dua ) jenis penghargaan dalam teori ini yaitu Effort Performance Expectancy dan Performance Outcome Expectation. Effort Performance Expectancy adalah persepsi seseorang terhadap usaha untuk mencapai prestasi tertentu. Sedangkan Performance Outcome Expectation adalah setiap prestasi akan dihubungkan dengan konsekuensi tertentu baik positif (imbalan) maupun negatif (hukuman). Kepatuhan
memenuhi
kewajiban
perpajakan
secara
sukarela
merupakan tulang punggung self assessment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajaknnya dan
28
kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar serta melaporkan pajaknya tersebut. Pajak penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu kepatuhan subjek pajak sangat diperlukan. Surat pemberitahuna (SPT) merupakan dokumen yang menjadi alat kerjasama antara Wajib Pajak dan administrasi pajak, yang memuat datadata yang diperlukan untuk menetapkan secara tepat jumlah pajak yang terutang. Dalam prakteknya hampir semua sistem perpajakan di dunia mengatur kemungkinan dapat dilakukan pemeriksaan laporan perpajakan Wajib Pajak, yang nantinya akan dapat mengungkap seberapa besar kekeliruan maupun penyimpangan yang ada dengan kata lain untuk melihat apakah SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak sesuai dengan persyaratan yang berlaku. Besar kecilnya pajak penghasilan terutang yang diterima Kantor Pelayanan Pajak tergantung pada besar kecilnya penghasilan kena pajak yang dihitung dengan melakukan koreksi fiskal positif dan koreksi fiskal negative terhadap laba bersih sebelum pajak dari Wajib Pajak Badan yang bersangkutan.
29
Anita Fauziah (2006) Dalam penelitiannya yang berjudul “ pengaruh kepatuhan wajib pajak terhadap penerimaan pajak penghasilan pada kantor pelayanan pajak jakarta cilandak”. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana kepatuhan wajib pajak dapat mempengaruhi penerimaan pajak penghasilan dengan menggunakan simple random sampling. Dari hasil penelitian diketahui bahwa uji linear sederhana antara variabel independen (kepatuhan wajib pajak) dan variabel dependen (penerimaan pajak penghasilan) menunjukkan R Square sebesar 0,647 (64,7%). Hal ini dapat diartikan bahwa kepatuhan wajib pajak berpengaruh terhadap penerimaan pajak penghasilan sebesar 64,7% dan sisanya sebesar 35,3% dipengaruhi oleh faktor lain. Asri Fika Agusti dan Vinola Herawati (2009) Dalam penelitiannya yang berjudul “ pengaruh tingkat kepatuhan wajib pajak badan dan peningkatan penerimaan pajak yang dimoderasi oleh pemeriksaan pajak pada kantor pelayanan pajak jakarta grogol petamburan”. Teknik pengambilan sampel dengan cara purposive sampling. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa terdapat pengaruh positif antara tingkat kepatuhan wajib pajak terhadap peningkatan penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Grogol Petamburan. Penghasilan kena pajak sebagai variabel control mempunyai pengaruh yang signifikan positif terhadap peningkatan penerimaan pajak.
30
Koefisien regresi dalam pengujian ini adalah sebesar -0,008 menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak badan dan peningkatan penerimaan pajak semkin lemah dengan adanya pemeriksaan pajak.
2. Model Konseptual
Gambar 2.1
Variabel independent
Kepatuhan wajib pajak badan
Variabel dependent
( X1) Pajak penghasilan terutang Penghasilan kena pajak (X2)
(Y)