BAB II LANDASAN TEORI
II.1 Pengertian Pajak Definisi atau pengertian pajak menurut Soemitro dalam Mardiasmo (2003) adalah sebagai berikut : “Pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluran umum”(h.1). Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur : a. Iuran kepada Negara yang berhak memungut pajak adalah negara dan dibayarkan melalui kas negara. b. Pajak dapat dipungut berdasarkan Undang-undang sehingga memiliki kekuatan hukum. c. Tanpa jasa timbal balik/kontraprestasi dari negara secara langsung dapat ditunjuk. d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran yang bermanfaat bagi rakyat banyak.
7
II.1.1 Asas-asas Pemungutan Pajak Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam Smith yang disitir oleh Waluyo dan Ilyas (2000) menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada : 1. Equality Pemungutan pajak harus adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak atau ability top pay sesuai dengan manfaat yang diterima. Adil dimaksudkan bahwa setiap Wajib Pajak menyumbangkan uang untuk pengeluaran pemerintah sebanding dengan kepentingannya dan manfaat yang diminta. 2. Certainty Penetapan pajak itu tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. 3. Convenience Kapan Wajib Pajak itu harus membayar sebaiknya sesuai dengan saatsaat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak sebagai contoh pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. System pemungutan ini disebut Pay as You Earn. 4. Economy Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul Wajib Pajak (h.13). 8
II.1.2 Fungsi Pajak Menurut Siti Resmi (2008) pajak mempunyai dua fungsi, yaitu : a. Fungsi Budgeter (fungsi penerimaan) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntuhkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. b. Fungsi Reguler (fungsi mengatur) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan bidang sosial dan ekonomi (h.1).
II.1.3 Pengelompokan Pajak Menurut Mardiasmo (2003) , Pajak dapat dikelompokan menjadi a. Menurut golongannya : •
Pajak Langsung Pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak penghasilan
•
Pajak Tidak Langsung Pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak pertambahan nilai
b. Menurut sifatnya : •
Pajak Subjektif Pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperlihatkan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: pajak penghasilan.
9
•
Pajak Objektif Pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperlihatkan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh: pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
c. Menurut lembaga pemungutannya •
Pajak Pusat Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, dan biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan.
•
Pajak Daerah Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak daerah terdiri atas: pajak propinsi (pajak kendaraan bermotor dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor), pajak kabupaten (pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan) (h.5).
10
II.2 Tarif Pajak Tarif Pajak Penghasilan, sesuai Pasal 17 UU PPh tahun 2000, besarnya tarif pajak penghasilan bagi WP orang pribadi dalam negeri dan Badan Usaha Tetap, adalah sebagai berikut: Wajib Pajak orang pribadi: Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp.25.000.000,-
5%
Diatas Rp.25.000.000,- s/d Rp.0.000.000,-
10%
Diatas Rp.50.000.000,- s/d Rp.100.000.000,-
15%
Diatas Rp.100.000.000,- s/d Rp.200.000.000,-
25%
Diatas Rp.200.000.000,-
35%
Wajib Pajak Badan dalam negeri dan BUT Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp.50.000.000,-
10%
Diatas Rp.50.000.000,- s/d Rp.100.000.000,-
15%
Diatas Rp.100.000.000,-
30%
II.3 Pengertian Subjek dan Wajib Pajak Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Menurut ketentuan pasal 2 ayat 1 UU PPh yang menjadi subjek pajak adalah:
11
1. Orang pribadi atau individu. 2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan (untuk) menggantikan yang berhak. 3. Badan, mengacu pada UU KUP, badan adalah sekumpulan orang atau modal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan komanditer, perseroan lainnya, BUMN, BUMD, yayasan atau organisasi sejenis dalam bentuk usaha lainnya. 4. Bentuk usaha tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat tinggal di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Sedangkan Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Subjek pajak yang dalam suatu tahun pajak atau dalam bagian dari suatu tahun pajak memperoleh atau menerima penghasilan, disebut wajib pajak. Oleh karena itu, tidak setiap subjek pajak secara otomatis merupakan Wajib Pajak. Sebaiknya setiap Wajib Pajak senantiasa merupakan subjek pajak.
II.3.1 Subjek Pajak Dalam Negeri Dalam Undang-undang PPh Nomor 17 Tahun 2000 pasal 2 ayat (3) yang dikutip oleh Siti Resmi (2008) dalam bukunya, subjek pajak dalam negeri terdiri dari: 12
1. Subjek pajak orang pribadi, yaitu: orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia. 2. Subjek pajak badan, yaitu: badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. 3. Subjek pajak warisan, yaitu: warisan yang belum dibagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak (h.124).
II.3.2 Subjek Pajak Luar Negeri Dalam Undang-undang PPh Nomor 17 Tahun 2000 pasal 2 ayat (4) yang dikutip oleh Siti Resmi (2008), subjek pajak luar negeri terdiri dari: 1. Subjek pajak orang pribadi, yaitu: orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang : - Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. - Menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. 2. Subjek pajak badan, yaitu: badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat tingal di Indonesia yang:
13
- Menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia - Menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. (h.124).
II.3.3 Tidak termasuk Subjek Pajak Berdasarkan UU PPh No. 17 Tahun 2000 pasal 3 yang dikutip oleh Liberty (2000) tidak termasuk subjek pajak, antara lain: 1) Badan perwakilan Negara asing dengan asas timbal balik 2) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabatpejabat dari negara lain, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, serta Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbale balik. 3) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 574/KMK.04/2000 dengan syarat: a. Indonesia menjadi anggota Negara tersebut b. Tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota. 4) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan nomor 574/KMK.04/2000 dengan 14
syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia (h.166)
II.4 Objek Pajak Objek pajak dapat diartikan sebagai sasaran pengenaan pajak dan dasar untuk menghitung pajak terutang. Menurut UU PPh No.17 Tahun 2000 pasal 4 ayat (1) yang dikutip oleh Djoko Muljono (2006), yang dimaksud dengan penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia mupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun (h.27). Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada objek pajak, penghasilan dapat dikelompokkan menjadi : a) Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang Undang ini. b) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan. c) Laba Usaha. d) Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
15
2. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota. 3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha. 4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan kegiatan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. e) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya. f) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan dalam jaminan pengembalian hutang. g) Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. h) Royalti. i) Sewa dan penghasilan usaha lain sehubungan dengan penggunaan harta. j) Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala. k) Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. l) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing. m) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 16
n) Premi asuransi. o) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. p) Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak”(h.167)
II.5 Tidak Termasuk Objek Pajak Menurut Liberty (2000) dalam perubahan perundang-undangan Perpajakan era reformasi UU No. 17 tahun 2000 tentang PPh, pasal 4 ayat 1, “yang tidak termasuk penghasilan adalah : 1. a) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak. Sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. b) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasiyang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan pihak-pihak yang bersangkutan. 2. Warisan. 3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.
17
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah. 5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan astransi beasiswa. 6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan. b) bagi perseroan terbatas, BUMN dan
BUMD yang menerima deviden,
kepemilikan saham yang memberikan deviden paling rendah 25% dari jumlah usaha yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. 7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh menteri keuangan, baik yang dibayar oleh pemberikerja maupun pegawai. 8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidangbidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. 9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi.
18
10. Bunga obligasi yng diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha. 11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: a) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. b) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia (h.179).
II.6
Biaya Yang Dapat Diakui Untuk Mengurangi Biaya Penghasilan Kena
Pajak Biaya yang merupakan pengurang penghasilan kena pajak adalah biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan termasuk biaya pembelian bahan, biaya yang berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang diperkenaankan sesuai dengan peraturan perpajakan. Untuk diperkenaankan sebagian biaya, pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, memelihara, penghasilan yang merupakan objek pajak. Menurut UU PPh No. 17 tahun 2000 pasal 6 ayat (1) yang dijelaskan oleh Liberty (2000), besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi: a)
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalty, biaya perjalanan, 19
biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali pajak penghasilan. b)
Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 dan pasal 11A.
c)
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
d)
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam pengusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
e)
Kerugian dari selisih kurs mata uang asing
f)
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g)
Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan.
h)
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat: 1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersil. 2. Telah diserahkan perkara pengihan kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang, atau pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan. 3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus dan.
20
4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak(h.185).
II.7
Biaya Yang Tidak Dapat Mengurangi Penghasilan Kena Pajak Beban biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan, dalam akuntansi pajak dpat
berupa biaya yang bukan merupakan pengurang penghasilan kena pajak. Adapun biayabiaya tersebut antara lain diatur dalam UU PPh No. 17 Tahun 2000 pasal 9 ayat (1) yang dijelaskan oleh Liberty (2000) adalah sebagai berikut: a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yng dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota. c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, keculi jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai Penghasilan Wajib Pajak yang bersangkutan.
21
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disyahkan oleh pemerintah. h. Pajak Penghasilan. i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya(h.194).
II.8 Pengertian Penghasilan dan Biaya Menurut Ikatan Akuntan Indonesia Menurut IAI (2004), definisi penghasilan adalah “kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal”. (h.18) Menurut IAI (2004), mendefinisikan “beban adalah suatu penurunan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau 22
berkurangnya aktiva atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanaman modal” (h.18). Dari definisi beban tersebut, mencakup baik kerugian maupun beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan. Beban yang timbul dalam pelaksanaan aktivitas perusahaan meliputi, misalnya: beban pokok penjualan, gaji dan penyusutan.
II.9 Perbedaan Waktu dan Perbedaan Tetap Karena terdapat perbedaan pengakuan penghasilan dan biaya antara akuntansi dan fiscal, maka menimbulkan perbedaan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dalam menyusun laporan keuangan fiscal, Wajib Pajak mengacu pada peraturan perpajakan, sehingga laporan keuangan komersial yang dibuat berdasarkan PSAK harus dikoreksi fiscal lebih dahulu sebelum menghitung besarnya pengasilan kena pajak. Perbedaan antara laporan keuangan komersial dengan laporan keuangan fiscal dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : 1. Perbedaan waktu (timing difference) 2. Perbedaan tetap (permanent difference) Suandy (2003), mendefinisikan perbedaan waktu adalah “perbedaan yang bersifat sementara karena adanya ketidaksamaan waktu pengakuan penghasilan dan beban perpajakan antara peraturan perpajakan dengan PSAK” (h.89). Perbedaan waktu dapat dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Perbedaan waktu positif, yang terjadi apabila pengakuan beban untuk akuntansi lebih lambat dari pengakuan beban untuk pajak, atau pengakuan penghasilan 23
untuk tujuan pajak lebih lambat dari pengakuan penghasilan untuk tujuan akuntansi. 2. Perbedaan waktu negatif, terjadi jika pengakuan beban menurut ketentuan perpajakan lebih lambat dari pengakuan beban akuntansi komersial, atau pengakuan penghasilan untuk tujuan akuntansi lebih lambat dari pengakuan penghasilan menurut ketentuan pajak.
II.10 Manajemen Perpajakan Upaya untuk melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Lumbantoruan dalam bukunya menyatakan bahwa manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan (h.6). Menurut Erly Suandy (2003), untuk dapat mencapai tujuan manajemen pajak sebagaimana
telah
dikemukakan
diatas
maka
dirumuskan
fungsi-fungsi
manajemen sebagai berikut: 1. Perencanaan pajak (tax planning). 2. Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax Implementation). 3. Pengendalian Pajak (tax control) (h.7).
24
II.11 Pengertian Perencanaan Pajak Perencanaan pajak merupakan salah satu fungsi manajemen pajak untuk mencapai tujuannya, tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Perpajakan yang melarang wajib pajak untuk melakukan manajemen pajak, yang bertujuan untuk menghemat pembayaran pajak. Hal ini dapat kita lihat dari 2 tujuan perencanaan pajak : a. Menurut Erly Suandy (2003) tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak (tax burden) dapat ditekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang (h.7). b. Menurut Mohammad Zain (2007) tujuan perencanaan pajak adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisiensikan jumlah pajak yang ditransfer ke Pemerintah, melalui apa yang disebut penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion) yang merupakan tindak pidana fiscal yang tidak akan ditoleransi (h.42).
II.12 Pajak Penghasilan Pasal 25 Pembayaran pajak oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Wajib Pajak membayar sendiri pajaknya melalui anggaran setiap bulan (PPh Pasal 25) 2. Melalui pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga maupun dibayar atau terutang di luar negeri (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24)
25
Pajak Penghasilan Pasal 25 selanjutnya, selanjutnya disingkat PPh Pasal 25, merupakan angsuran PPh yang harus dibayar oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan pada tahun pajak berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UU No.7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No.36 Tahun 2008. Pembayaran angsuran setiap bulan itu sendiri dinaksud untuk meringankan beban Wajib Pajak terutang. Angsuran PPh pasal 25 tersebut dapat dijadikan kredit pajak terdapat pajak yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh).
Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 Besarnya angsuran dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan (PPh Pasal 25) sama dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan: •
PPh yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 23 serta PPh yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam PPh pasal 22
•
PPh yang dibayar/terutang diluar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 24 Dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
26
Penyetoran dan Pelaporan PPh pasal 25 1. PPh pasal 25 harus dibayar/disetorkan selambat-lambatnya pada tanggal 15 (lima belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. 2. Wajib Pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT Masa selambat-lambatnya 20 (dua puluh hari) setelah Masa Pajak berakhir. 3. Bagi Wajib Pajak pengusaha tertentu, berlaku juga ketentuan tertentu sebagai berikut : •
Jika Wajib Pajak memiliki beberapa tempat usaha dalam satu wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, harus mendaftarkan masing-masing tempat usahanya di Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan.
•
Wajib Pajak yang memiliki beberapa tempat usaha dilebih dari 1 (satu) wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak, harus mendaftarkan setiap tempat usahanya di Kantor Pelayanan Pajak masing-masing tempat usaha Wajib Pajak berkedudukan.
SPT Tahunan PPh harus disampaikan di Kantor Pelayanan Pajak tempat domisili Wajib Pajak terdaftar dengan batas waktu pada ketentuan butir 2.
PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak BUMN dan BUMD Besarnya angsuran PPh Pasal 25 bagi wajib pajak BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali Wajib Pajak bank dan Wajib Pajak sewa guna usaha dengan hak opsi adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum Pasal 17 UU PPh atas laba rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi 27
dengan pemotongan/pemungutan oleh pihak lain (PPh Pasal 22 dan Pasal 23) serta pajak yang terutang atau dibayar diluar negeri yang yang boleh dikreditkan (PPh Pasal 24) tahun pajak yang lalu, dibagi dengan 12 (dua belas). •
Apabila Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan belum disahkan, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum tahun pengesahan adalah sama dengan angsuran PPh Pasal 25 tahun terakhir tahun pajak sebelumnya.
•
Apabila dalam tahun pajak yang bersangkutan terdapat sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan, maka dasar penghitungan PPh Pasal 25 adalah PPh yang terutang atas PKP yang dihitung dari penghasilan neto menurut RKAP setelah dikurangi dengan jumlah sisa kerugian yang belum dikompensasikan tersebut.
•
Apabila wajib BUMN/BUMD tersebut adalah Wajib Pajak baru, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 tidak dihitung sbagaimana halnya penghitungan untuk Wajib Pajak baru tetapi dihitung sebagaimana halnya penghitungan untuk Wajib Pajak tetpi dihitung berdasarkan RKAP.
•
Dalam hal Wajib Pajak BUMN/BUMD tersebut adalah Wajib Pajak bank atau Wajib Pajak sewa guna usaha dengan hak opsi, maka besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan laporan triwulan sebagaimana berlaku untuk Wajib Pajak bank atau Wajib Pajak sewa guna usaha dengan hak opsi.
28
PPh pasal 25 dalam hal-hal tertentu Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan apabila terdapat halhal tertentu, seperti: 1. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian; 2. Wajib pajak memperoleh penghasilan tidak terarur; 3. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah batas waktu yang ditentukan 4. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh; 5. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan sebelum pembetulan; 6. Terjadi perubahan usaha untuk kegiatan Wajib Pajak.
29