10
BAB II LANDASAN TEORI
II.1 Sumber Belajar Sumber belajar jenis media dan teknik sering disebut APE yaitu Alat Permainan Edukatif dan atau Aktivitas Permainan Edukatif. Istilah APE diperkenalkan oleh Dewan Nasional Indonesia untuk kesejahteraan sosial pada 1972 1 . Alat Permainan Edukatif menunjuk pada benda yang difungsikan, yang dibedakan menjadi Alat Permainan dan Alat Peraga. Alat Permainan merupakan fasilitas yang sudah dibuat sedemikian rupa menjadi permainan sehingga anak dapat belajar dengan mengeksplorasi fasilitas tersebut. Alat Peraga merupakan alat bantu untuk menerangkan atau memperagakan suatu mata pelajaran dalam proses belajar anak atau fasilitas belajar yang dapat mewakili fungsi atau cara kerja sesuatu. Sementara Aktivitas Permainan Edukatif merujuk pada kegiatan yang dapat dilakukan oleh anak seperti percobaan mencampur warna, kegiatan bermain peran, dan eksplorasi lainnya 2 . APE sebagai sumber belajar jenis media akan diperbincangkan lanjut dalam tulisan ini. Media Pembelajaran sebagai salahsatu sumber belajar merupakan
unsur
penting
dalam
membantu
pembelajaran
anak-anak.
Keberhasilan belajar anak-anak ditentukan pula oleh daya guna media pembelajaran. Karena itulah media pembelajaran harus menjadi pemikiran pendamping dalam proses pembelajaran di dalam kelas, dan bahkan dituliskan dalam perencanaan pengajaran.
II.1.1 Pengertian Sumber Belajar Sumber belajar (learning resources) merupakan bahan yang mencakup media belajar yakni alat peraga dan alat permainan, untuk memberikan informasi maupun berbagai keterampilan kepada anak, juga kepada orang dewasa yang berperan mendampingi anak dalam belajar, baik berupa tulisan (tulis tangan atau 1
2
Perkembangan dari proyek pembuatan buku keluarga dan balita yang dikelola oleh Kantor Menteri Urusan Peranan wanita, APE digunakan di seluruh wilayah Indonesia melalui program BKKBN dan PKK. Anggani Sudono. Sumber Belajar dan Alat Permainan. Grasindo. 2004. hlm.28 Sri Joko Yunanto. Sumber Belajar Anak Cerdas. Grasindo. 2004. hlm.23-24
10
11
hasil cetak), gambar, foto, narasumber, benda-benda alamiah, dan benda-benda hasil budaya 3,4 . Sumber belajar berfungsi memberikan kesempatan proses berasosiasi kepada anak untuk mendapatkan dan memperkaya pengetahuan. Penggunaannya disesuaikan dengan tingkat kebutuhan anak. Fungsi sumber belajar yang lain adalah meningkatkan perkembangan berbahasa anak melalui berkomunikasi berkenaan dengan sumber belajar yang secara aktif difungsikan agar anak dapat berkegiatan menggunakan seluruh pancaindera mereka sehingga mengenali kekuatan maupun kelemahan diri. Sumber belajar difungsikan untuk membantu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan agar tumbuhkembang anak berjalan optimal. Dilihat dari tahap pengolahan, sumber belajar ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yakni sumber belajar tangan pertama dan sumber belajar tangan kedua. Sumber belajar tangan pertama menunjuk pada otentisitas dan orisinalitas. Pada tahap ini belum banyak dilakukan pengolahan sehingga unsur subyektivitas masih pada tingkat minimal, sedangkan sumber belajar tangan kedua sudah merupakan pengolahan dari sumber belajar tangan pertama 5 . Tabel II.1 Contoh Sumber Belajar Tangan Pertama dan Kedua No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Sumber Belajar Tangan Pertama Candi Babad Daun Lontar Peristiwa Kecelakaan Pelaku Sejarah Ikan di Sungai Benda-benda Purbakala Dokumentasi Sejarah Pasar Sawah Koran dll.
Sumber Belajar Tangan Kedua Gambar atau Foto Candi Buku Babad Terjemahan Berita Peristiwa Kecelakaan Saksi Sejarah Ikan di Aquarium Duplikasi Benda-benda Purbakala Buku Sejarah Simulasi Peristiwa Pasar Film tentang Sawah Kliping dll.
II.1.2 Ragam Sumber Belajar Secara garis besar sumber belajar terdiri dari dua unsur utama yakni: sumber belajar jenis orang (people) dan sumber belajar jenis pesan, informasi, 3
Sudono, op.cit., hlm.7 Yunanto, op.cit., hlm.20 5 ibid., hlm.22 4
11
12
atau ajaran (message) yang diterima dan dipelajari anak didik 6 . Kedua unsur tersebut didukung oleh sumber belajar lain, diantaranya 7 : II.1.2.1 Lingkungan (setting) yang memungkinkan terjadinya proses belajar anak, baik yang telah tersedia secara alami, yang sengaja dirancang untuk tujuan belajar atau yang dirancang untuk tujuan lain tetapi dapat dimanfaatkan untuk belajar, antara lain meliputi : a. Lingkungan Alamiah Sumber belajar ini dapat berupa lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan budaya. Lingkungan alam berupa alam bebas yang mampu memberikan informasi secara langsung dan alamiah semisal sawah, hutan, tanaman, hewan, tanah, batu, suhu udara, sungai, pegunungan, gunung, air, kerang-kerangan, batu-batuan, bunga-bungaan, dan segala hal yang tersedia di alam, yang dapat menjadi referensi penting dalam perkembangan pengetahuan anak. Jika dipergunakan berdasarkan konteks kegiatan belajar, alam merupakan sumber belajar yang menakjubkan bagi anak karena dapat memberikan pengetahuan konkrit yang tidak cukup hanya disampaikan secara lisan. Sumber belajar kelompok lingkungan sosial berupa tempat sebenarnya yang dikembangkan oleh manusia dan di dalamnya terdapat aktivitas hubungan manusia. Misalnya anak diajak ke bandara dan langsung bertemu dengan pilot, pramugara/i, atau teknisi kapal, sebagai narasumber untuk mengetahui hal-hal berkenaan dengan pesawat terbang. Anak juga dapat diajak ke pasar tradisional untuk mempelajari proses jual-beli. Pengetahuan mengenai sarana jalan dan alat transportasi lain yang menjadi kebutuhan masyarakat pun bisa dikondisikan untuk dapat dicermati anak secara langsung semisal pelabuhan, stasiun kereta api, terminal bus, atau angkutan umum lainnya. Selain itu anak dapat pula diajak ke rumah sakit, pabrik, taman, tempat wisata seperti kebun binatang, dll. Pengetahuan mengenai lingkungan budaya dapat dilakukan dengan mengunjungi sumber belajar cagar budaya atau tempat yang di dalamnya 6
7
Arief S. Sadiman, R.Rahardjo, Anung Haryono, Rahardjito. Media Pendidikan. Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya. Pustekkom Dikbud dan PT RajaGrafindo. 2003. hlm.5 Yunanto, op.cit., hlm.24-30
12
13
terdapat rumah adat, pakaian adat, tarian daerah, atau peninggalan sejarah berupa candi, wihara, pura, masjid, klenteng, atau pergi ke museum yang menyediakan benda-benda budaya atau replikanya, sehingga dapat menjadi sumber belajar konkrit bagi anak. b. Lingkungan Belajar Sumber belajar kategori ini merupakan lingkungan (setting) yang sengaja dirancang untuk kepentingan tujuan belajar seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, pusat sarana belajar, dll. Ruang sumber belajar (resource room) lazim terdapat di taman kanak-kanak sebagai tempat sejumlah media pembelajaran mencakup artifak budaya dan karya anak, alat peraga, alat permainan, dll., seperti halnya perpustakaan yang menyediakan berbagai bahan literatur yang dapat diakses oleh anak.
II.1.2.2 Teknik atau metode pembelajaran, merupakan prosedur rutin atau acuan yang disiapkan untuk menggunakan sumber belajar berupa alat, bahan, orang dan lingkungan, untuk menyajikan pesan. Tidak semua metode pembelajaran sesuai diterapkan pada program kegiatan anak di taman kanakkanak. Contohnya metode ceramah yang memerlukan anak memusatkan perhatian cukup lama padahal rentang waktu perhatian anak relatif singkat. Metode tersebut dapat diganti dengan metode yang lebih efektif seperti mendongeng, sehingga anak lebih senang mengikutinya. Berikut metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik anak usia taman kanak-kanak 8 : a. Bermain Menurut pendidik dan ahli psikologi, bermain merupakan pekerjaan masa kanak-kanak dan cermin pertumbuhan anak (Gordon&Browne, 1985:266). Bermain merupakan kegiatan yang memberikan kepuasan bagi diri sendiri. Melalui bermain anak memperoleh pembatasan dan memahami kehidupan. Bermain merupakan kegiatan yang memberikan kesenangan dan dilaksanakan untuk kegiatan itu sendiri, yang lebih ditekankan pada caranya daripada hasil yang diperoleh 8
dari
kegiatan
itu
(Dworetsky,
1990:395).
Kegiatan
bermain
Moeslichatoen. Metode Pengajaran di Taman Kanak-kanak. Departemen Pendidikan & Kebudayaan. Rineka Cipta. 2004. hlm.24-28
13
14
dilaksanakan tidak serius dan fleksibel. Menurut Dearden (Hetherington&Parke, 1979:481) bermain merupakan kegiatan yang nonserius dan segalanya ada dalam kegiatan itu sendiri yang dapat memberikan kepuasan bagi anak, Sedangkan menurut Hildebrand (1986:54) bermain berarti berlatih, mengeksploitasi, merekayasa, mengulang latihan apa pun yang dapat dilakukan untuk mentransformasi secara imajinatif hal-hal yang sama dengan dunia orang dewasa. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan arti bermain: merupakan bermacam bentuk kegiatan yang memberikan kepuasan pada diri anak yang bersifat tidak selalu harus serius, lentur, dan bahan mainan terkandung dalam kegiatan dan yang secara imajinatif ditransformasi sepadan dengan dunia orang dewasa. Bermain mempunyai makna penting bagi pertumbuhan anak. Frank dan Theresa Caplan (Hildebrand, 1986:55-56) mengemukakan enam belas nilai bermain bagi anak : 1. Bermain membantu pertumbuhan anak; 2. Bermain merupakan kegiatan yang dilakukan secara sukarela; 3. Bermain memberi kebebasan anak untuk bertindak; 4. Bermain memberikan dunia khayal yang dapat dikuasai; 5. Bermain mempunyai unsur berpetualang di dalamnya; 6. Bermain meletakkan dasar pengembangan bahasa; 7. Bermain mempunyai pengaruh yang unik dalam pembentukan hubungan antarpribadi; 8. Bermain memberi kesempatan untuk menguasai diri secara fisik; 9. Bermain memperluas minat dan pemusatan perhatian; 10. Bermain merupakan cara anak untuk menyelidiki sesuatu; 11. Bermain merupakan cara anak mempelajari peran orang dewasa; 12. Bermain merupakan cara dinamis untuk belajar; 13. Bermain menjernihkan pertimbangan anak; 14. Bermain dapat distruktur secara akademis; 15. Bermain merupakan kekuatan hidup; 16. Bermain merupakun sesuatu yang esensial bagi kelestarian hidup manusia. Oleh karena begitu besar nilai bermain dalam kehidupan anak, maka pemanfaatan kegiatan bermain dalam pelaksanaan program kegiatan Anak usia
14
15
Taman Kanak-kanak merupakan syarat mutlak yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Bagi Anak usia Taman Kanak-kanak belajar adalah bermain dan bermain sambil belajar.
b. Karyawisata Bagi anak usia taman kanak-kanak, karyawisata berarti memperoleh kesempatan untuk mengobservasi, memperoleh informasi, atau mengkaji segala sesuatu secara langsung (Hildebrand, 1986:422). Karyawisata juga berarti membawa anak usia taman kanak-kanak ke objek-objek tertentu sebagai pengayaan pengajaran, pemberian pengalaman belajar yang tidak mungkin diperoleh anak di dalam kelas (Welton&Mallon, 1981:414), dan juga memberi kesempatan anak untuk mengobservasi dan mengalami sendiri dari dekat (Foster & Headley's, 1959:149). Berkaryawisata mempunyai makna penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkitkan minat anak kepada sesuatu hal, memperluas perolehan informasi. Juga memperkaya lingkup program kegiatan belajar anak usia taman kanak-kanak yang tidak mungkin dihadirkan di kelas; seperti melihat bermacam hewan, mengamati proses pertumbuhan, tempat-tempat khusus dan pengelolaannya, bermacam kegiatan transportasi, lembaga sosial dan budaya. Jadi dari karyawisata anak dapat belajar dari pengalaman sendiri, dan sekaligus anak dapat melakukan generalisasi berdasarkan sudut pandang mereka.
c. Bercakap-Cakap Bercakap-cakap berarti saling mengkomunikasikan pikiran dan perasaan secara verbal (Hildebrand, 1986:297) atau mewujudkan kemampuan bahasa reseptif dan bahasa ekspresif. Bercakap-cakap dapat pula diartikan sebagai dialog atau sebagai perwujudan bahasa reseptif dan ekspresif dalam suatu situasi (Gordon & Browne, 1985: 314). Bercakap-cakap mempunyai makna penting bagi perkembangan anak taman kanak-kanak karena bercakap-cakap dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan keterampilan dalam melakukan kegiatan bersama. Juga meningkatkan keterampilan menyatakan perasaan, serta
15
16
menyatakan gagasan atau pendapat secara verbal. Oleh karena itu, penggunaan metode bercakap-cakap bagi anak usia taman kanak-kanak terutama akan membantu perkembangan dimensi sosial, emosi, dan kognitif, dan terutama bahasa.
d. Bercerita Bercerita merupakan cara untuk meneruskan warisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya (Gordon&Browne, 1985:324). Bercerita juga dapat menjadi media untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Seorang pendongeng yang baik akan menjadikan cerita sebagai sesuatu yang menarik dan hidup. Keterlibatan anak terhadap dongeng yang diceritakan akan memberikan suasana yang segar, menarik dan menjadi pengalaman yang unik bagi anak. Bercerita mempunyai makna penting bagi perkembangan anak usia taman kanak-kanak karena melalui bercerita kita dapat : 1. Mengkomunikasikan nilai-nilai budaya 2. Mengkomunikasikan nilai-nilai sosial 3. Mengkomunikasikan nilai-nilai keagamaan 4. Menanamkan etos kerja, etos waktu, etos alam 5. membantu mengembangkan lantasi anak 6. Membantu mengembangkan dimensi kognitif anak 7. Membantu mengembangkan dimensi bahasa anak Ada bermacam teknik mendongeng antara lain: membaca langsung dari buku cerita, menggunakan ilustrasi suatu buku untuk menceritakan dongeng, bercerita dengan menggunakan papan flanel, bercerita dengan menggunakan boneka, bercerita melalui permainan peran, bercerita dari majalah bergambar, bercerita melalui filmstrip, cerita melalui lagu, cerita melalui rekaman audio, dan lain-lain.
c. Demonstrasi Demonstrasi berarti menunjukkan, mengerjakan, dan menjelaskan. Jadi dalam demonstrasi kita menunjukkan dan menjelaskan cara-cara mengerjakan
16
17
sesuatu. Melalui demonstrasi diharapkan anak dapat mengenal langkah-langkah pelaksanaan suatu kegiatan tertentu. Demonstrasi mempunyai makna penting bagi anak usia taman kanak-kanak, antara lain : 1. Dapat memperlihatkan secara konkret apa yang dilakukan atau dilaksanakan (memperagakan). 2. Dapat mengkomunikasikan gagasan, konsep, prinsip dengan peragaan. 3. Membantu mengembangkan kemampuan mengamati secara teliti dan cermat. 4. Membantu mengembangkan kemampuan untuk melakukan segala pekerjaan secara teliti, cermat, dan tepat. 5. Membantu mengembangkan kemampuan peniruan dan pengenalan secara tepat.
d. Proyek Metode proyek adalah salah satu metode yang digunakan untuk melatih kemampuan anak memecahkan masalah yang dialami anak dalam kehidupan sehari-hari. Cara ini juga dapat menggerakkan anak untuk melakukan kerja sama sepenuh hati. Kerja sama dilaksanakan secara terpadu untuk mencapai tujuan bersama. 1. Kegiatan proyek mempunyai makna penting bagi anak usia taman kanakkanak, antara lain: Berkaitan dengan kehidupan anak sehari-hari yang dapat dihubungkan satu dengan yang lain dan dipadukan menjadi suatu hal yang menarik bagi anak, selain juga bersifat f'leksibel (Hildebrand, 1986:380). 2. Di dalam kegiatan bersama, anak belajar mengatur diri sendiri untuk bekerja sama dengan teman dalam memecahkan suatu masalah. 3. Dalam kegiatan proyek, pengalaman akan sangat bermakna bagi anak. Misalnya pengalaman siswa dalam melipat kertas akan menjadi sangat bermakna untuk membuat hiasan dinding dalam rangka menyiapkan ruangan untuk suatu pesta. 4. Kegiatan proyek punya dampak dalam pengembangan etos kerja, etos waktu, dan etos lingkungan.
17
18
5. Berlatih untuk berprakarsa dan bertanggung jawab. 6. Berlatih menyelesaikan tugas yang harus diselesaikan secara bebas dan kreatif. Oleh karena itu, metode proyek merupakan salah satu bentuk kegiatan dalam pemecahan bersama masalah yang mempunyai nilai praktis yang sangat penting bagi pengembangan pribadi anak, serta mengembangkan keterampilan menjalani kehidupan sehari-hari. Metode proyek merupakan salah satu dari metode yang cocok bagi pengembangan terutama dimensi kognitif, sosial, motorik, kreatif, dan emosional anak usia taman kanak-kanak.
g. Pemberian Tugas Pemberian tugas merupakan pekerjaan tertentu yang dengan sengaja harus dikerjakan oleh anak yang mendapat tugas. Di taman kanak-kanak tugas diberikan dalam bentuk kesempatan melaksanakan kegiatan sesuai dengan petunjuk langsung guru. Dengan pemberian tugas, anak dapat melaksanakan kegiatan secara nyata dan menyelesaikannya sampai tuntas. Tugas dapat diberikan secara kelompok atau perorangan (Kurikulum Taman Kanak-Kanak, 1986:10). Pemberian tugas mempunyai makna penting bagi anak usia taman kanakkanak, antara lain karena : 1. Pemberian tugas secara lisan akan memberi kesempatan pada anak untuk melatih persepsi pendengaran mereka. Jadi meningkatkan kemampuan bahasa reseptif. 2. Pemberian tugas melatih anak untuk memusatkan perhatian dalam jangka waktu tertentu. 3. Pemberian tugas dapat membangun motivasi anak. Pemberian tugas merupakan salah satu metode pengajaran yang memungkinkan anak untuk mengembangkan kemampuan bahasa reseptif; kemampuan
mendengar
dan
menangkap
memperhatikan, kemauan bekerja sampai tuntas.
18
arti;
kemampuan
kognitif:
19
II.1.2.3 Media. Sumber belajar jenis media dan teknik sering disebut APE yaitu Alat Permainan Edukatif dan atau Aktivitas Permainan Edukatif. Sumber belajar ini terdiri dari : a. bahan (materials) yang memuat pesan-pesan yang perlu disajikan baik dengan bantuan alat penyaji maupun tanpa alat penyaji, biasa disebut dengan istilah piranti lunak atau software seperti buku rujukan, modul, transparansi, dll. b. alat (device), biasa disebut dengan istilah perangkat keras atau hardware, digunakan untuk membantu menyajikan pesan. Contohnya proyektor film, film bingkai, overhead proyektor, video tape dan cassette recorder, pesawat radio, tv, dll. Kaset, radio, atau CD, merupakan sumber belajar audio. VCD/DVD, acara tv, talking book, dll., merupakan sumber belajar audio-visual.
Sementara
gambar,
foto,
transparansi,
dll.,
dapat
dikelompokkan dalam sumber belajar visual. Kaset dan CD banyak membantu ketika digunakan sebagai media belajar bahasa seperti logat, intonasi, dan ciri khas pemakai bahasa terkait. VCD/DVD merupakan sumber belajar yang dapat menyajikan lebih banyak informasi dibanding CD karena dapat menyajikan potret peristiwa secara lebih lengkap. Koran, majalah, buku, brosur, leaflet merupakan sumber belajar hasil cetak yang penting. Sumber belajar ini dapat memberikan banyak informasi kepada anak, misalnya tentang peristiwa tertentu, tempat, bahkan iklan, dan datadata lain yang dibutuhkan. Benda-benda realita pun bisa dimanfaatkan sebagai sumber belajar anak seperti makanan, uang, gelas, dll., atau produk pabrik yang dapat memberikan informasi kemajuan teknologi negara produsennya, baik lokasinya di dalam peta, kondisi geografisnya, penduduknya, dsb.
II.1.3 Aktivitas dan Alat Permainan Edukatif (APE) sebagai Media Pembelajaran Telah disebutkan bahwa APE sebagai alat, merujuk pada benda yang difungsikan sebagai Alat Permainan dan Alat Peraga. Alat Permainan merupakan fasilitas yang dibuat sedemikian rupa menjadi permainan sehingga anak dapat
19
20
belajar dengan mengeksplorasi fasilitas tersebut. Alat Peraga merupakan alat bantu untuk menerangkan atau memperagakan suatu mata pelajaran dalam proses belajar anak atau fasilitas belajar yang dapat mewakili fungsi atau cara kerja sesuatu. Kedua sumber belajar tersebut merupakan media pembelajaran bagi anak. Kata media berasal dari bahasa Latin medius dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang secara harfiah berarti ‘tengah’, 'perantara' atau 'pengantar' 9 . Dalam bahasa Arab, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Gerlach & Ely (1971) menjelaskan bahwa media jika dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian, yang membangun kondisi yang membuat anak didik mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Dalam pengertian ini, pendidik, buku teks, dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara lebih khusus, pengertian media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, fotografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal 10 . Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan (Association of Education and Communication Technology/AECT, 1977) di Amerika, membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyampaikan pesan atau informasi. Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/NEA) mendefinisikan media sebagai bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio-visual serta peralatannya yang dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar dan atau dibaca 11 . Di samping sebagai sistem penyampai atau pengantar, media yang sering diganti dengan kata mediator menurut Fleming (1987: 234) adalah penyebab atau alat yang turut campur tangan dalam dua pihak dan mendamaikannya. Dengan istilah mediator, media menunjukkan fungsi atau perannya yaitu mengatur hubungan yang efektif antara dua pihak utama dalam proses belajar – anak didik dan isi pelajaran. Di samping itu, mediator dapat pula mencerminkan pengertian bahwa setiap sistem pembelajaranyang melakukan peran mediasi, mulai dari pendidik sampai kepada peralatan paling canggih, dapat disebut media. 9
Sadiman et al, op.cit., hlm.6 Azhar Arsyad. Media Pembelajaran. Rajawali Pers. 2004. hlm.3 11 Sadiman et al, loc.cit. 10
20
21
Ringkasnya, media adalah alat yang menyampaikan atau mengantarkan pesanpesan pengajaran. Heinich (1982) mengemukakan istilah medium sebagai perantara informasi antara sumber dan penerima. Jadi televisi, film, foto, radio, rekaman audio, gambar yang diproyeksikan, bahan-bahan cetakan, dan sejenisnya, adalah media komunikasi. Apabila media itu membawa pesan-pesan atau informasi yang bertujuan instruksional atau mengandung maksud-maksud pembelajaranmaka media itu disebut media pembelajaran. Sejalan dengan batasan ini, Hamidjojo dalam Latuheru (1993) memberi batasan media sebagai semua bentuk perantara yang digunakan oleh manusia untuk menyampaikan atau menyebar ide, gagasan, atau pendapat sehingga ide, gagasan atau pendapat yang dikemukakan itu sampai kepada penerima yang dituju. Acapkali kata media pembelajaran digunakan secara bergantian dengan istilah alat bantu atau media komunikasi seperti yang dikemukakan oleh Hamalik (1986) di mana ia melihat bahwa hubungan komunikasi akan berjalan lancar dengan hasil yang maksimal apabila menggunakan alat bantu yang disebut media komunikasi. Gagne (1970) menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan anak didik yang dapat merangsang mereka untuk belajar. Sementara Briggs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang anak didik untuk belajar. Secara implisit mereka berpendapat bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, seperti buku, tape recorder, kaset, video camera, video recorder, film, slide (gambar bingkai), foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer. Dengan kata lain, media pembelajaran adalah komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di lingkungan anak didik yang dapat merangsang mereka untuk belajar 12 . Dalam kegiatan belajar mengajar, sering pula pemakaian kata media pembelajaran digantikan
dengan
istilah-istilah
seperti
alat
pandang-dengar,
bahan
pembelajaran(instructional material), komunikasi pandang-dengar (audio-visual communication), pendidikan alat peraga pandang (visual education), teknologi pendidikan (educational technology), alat peraga, dan media penjelas.
12
Azhar Arsyad, op.cit., hlm.4
21
22
Sebagian orang menyatakan bahwa media pembelajaran menunjuk pada perlengkapan yang memiliki bagian-bagian yang rumit seperti yang diungkapkan oleh Marshall McLuhan (Hamalik, 2003:201) sebagai suatu ekstensi manusia yang memungkinkannya mempengaruhi orang lain yang tidak mengadakan kontak langsung dengannya. Pendapat lain merumuskan media dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, media pembelajaran hanya melipuli media yang dapat digunakan secara efektif dalam proses pembelajaranyang terencana, sedangkan dalam arti luas media tidak hanya meliputi media komunikasi elektronik yang kompleks, tetapi juga mencakup alat-alat sederhana, seperti slide, fotografi, diagram, dan bagan manual yang dikerjakan sendiri, objek-objek nyata serta kunjungan ke luar sekolah. Sejalan dengan itu ada pula pandangan yang menyebutkan bahwa di samping alat-alat, para pendidik pun dianggap sebagai media penyajian, karena sama-sama membutuhkan dan menggunakan banyak waktu untuk menyampaikan informasi kepada anak didik. Hanya saja pendidik punya fungsi-fungsi lainnya misalnya menyusun perencanaan pembelajarandan melaksanakan penilaian, sedangkan alat-alat tidak melakukan fungsi-fungsi tersebut 13 . Romiszowski 14 merumuskan media pembelajaran "... as the carries of massages, from some transmitting source (which may be a human being or an intimate object), to the receiver of the massage (which is our case is the learner)." Penyampaian pesan dilakukan dengan berinteraksi bersama anak didik melalui pengindraannya. Anak dapat menggunakan sesuatu alat indranya untuk menerima informasi, atau dapat juga menggunakan kombinasi alat indra sekaligus sehingga kegiatan berkomunikasi terjalin lebih saksama. Apa pun batasan yang diberikan, ada persamaan-persamaan di antaranya yaitu bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, minat, dan perhatian anak didik sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Pengalaman langsung merupakan media yang paling berharga dan paling baik, sebab pengalaman langsung dapat memberikan rangsangan yang lengkap dan kongkrit. Pengalaman verbal merupakan media yang kurang menarik bagi 13 14
Oemar Hamalik. Media Pendidikan. Alumni. 2003. hlm.201-202 Romiszowski, A.J. Designing Instrutional System, Decision Making in Course Planning and Curriculum Design. Kogan Page, London/Nichols Publishing. New York. 1981.
22
23
anak-anak sebab bahasa verbal menciptakan proses pemahaman abstrak. Kemampuan anak-anak dalam berpikir abstrak masih terbatas. Perhatikan bagan kerucut pengalaman Edgar Dale di bawah ini yang menggambarkan perbandingan efektivitas media.
Verbal Simbol Visual Visual Radio Film TV Wisata Demonstrasi Partisipasi Observasi Pengalaman Langsung
Bagan II.1. Perbandingan Efektivitas Media dalam Kerucut Pengalaman Edgar Dale
Media pembelajaran adalah alat bantu yang dapat memperlancar proses belajar-mengajar, oleh karena itu dalam memilih media harus memperhatikan halhal berikut (Sudjana, 1991): a. ketepatannya dengan tujuan pengajaran b. dukungan terhadap isi bahan pengajaran c. kemudahan memperoleh media d. keterampilan pendidik dalam menggunakannya e. alokasi waktu dalam penggunaannya f. kesesuaian dengan taraf berpikir anak didik Dalam pendidikan, alat-alat dan bahan merupakan media yang mutlak diperlukan, baik sebagai contoh, alat bantu demonstrasi, maupun alat/bahan bereksperimen anak-anak. Berikut dikemukakan Arsyad (2004:6-7) ciri-ciri umum media pembelajaran.
a.
Media pembelajaran memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware (perangkat keras), yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan pancaindera.
b.
Media pembelajaran memiliki pengertian nonfisik yang dikenal sebagai software (piranti lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam 23
24
perangkat keras yang merupakan isi yang ingin disampaikan kepada anak didik.
c.
Penekanan media pembelajaran terdapat pada visual dan audio.
d.
Media pembelajaran memiliki pengertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam maupun di luar kelas.
e.
Media pembelajaran digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi pendidik dan anak didik dalam proses pembelajaran.
f.
Media pembelajaran dapat digunakan secara massal (misalnya: radio, televisi), kelompok besar dan kelompok kecil (misalnya film, slide, video, OHP), atau perorangan (misalnya: modul, komputer, radio tape/ kaset, video recorder).
g.
Sikap, perbuatan, organisasi, strategi, dan manajemen yang berhubungan dengan penerapan suatu ilmu. Apapun batasan yang dikemukakan para ahli di atas, sebenarnya memiliki
persamaan pendapat, yaitu bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan minat anak-anak sehingga proses belajar terjadi . II.1.4 Pemilihan APE sebagai Media Pembelajaran Sering ditemukan pendidik dalam praktik pembelajaran di lapangan menerapkan sistem pembelajaran verbalistik yang bersifat praktis dan sangat memungkinkan untuk digunakan di berbagai situasi. Kondisi demikian dapat didukung oleh penggunaan alat bantu pembelajaran agar anak menjadi lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses belajarnya, seperti buku, gambar, peta, bagan, film, model, dan alat-alat demonstrasi lainnya sehingga belajar anak akan lebih efektif sebab hal-hal yang telah dilihat akan memberikan kesan yang lebih jelas, mudah mengingatnya, dan mudah pula dipahami. Hal tersebut menjadi dasar disarankannya penggunaan alat-alat pembelajaran atau media pembelajaran dalam proses belajar mengajar.
24
25
Menurut Hamalik (2003) 15 alat bantu pembelajaran atau media pembelajaran berfungsi untuk menjadikan pekerjaan pendidik lebih efisien sehingga anak didik berhasil dalam proses belajarnya. Pemilihan alat bantu pembelajaran disesuaikan dengan konteks antara sumber belajar dengan kebutuhan atau penekanan yang dilakukan di dalam proses kegiatan belajar anak. Penekanan ini dapat berdasarkan tiga tipe belajar anak secara umum, yakni visual, audio, dan kinestetik. Alat-alat yang digunakan untuk membantu anak belajar secara visual disebut alat bantu visual (visual aids), alat untuk membantu anak secara audio disebut alat bantu audio (aural aids), dan alat bantu kinestetik (kinestetic
aids),
serta
alat
bantu
dwifungsi
atau
multifungsi
yang
mengkombinasikan cara-cara di atas. Pemilihan media pembelajaran dapat pula dipertimbangkan berdasarkan Taksonomi Bloom, multi-kecerdasan, mata pelajaran, pengorganisasian kegiatan yang dilakukan, tahap tumbuh kembang anak yang sedang berlangsung, standar kompetensi, dan sebagainya 16 .
II.1.4.1 Taksonomi Bloom a. Kognisi Kognisi merupakan wilayah pada diri anak yang melibatkan kemampuan penalaran, akal, atau logika. Kognisi biasa dikaitkan dengan pengetahuan, hafalan, dan pemikiran yang linear tanpa banyak diimbangi dengan aspek lain, seperti psikomotor dan afeksi. b. Afeksi Afeksi merupakan wilayah pada diri anak yang melibatkan rasa, intuisi, insting, atau emosi. Materi-materi yang dikemas dalam kegiatan belajar seringkali minim muatan afeksinya. Misalnya, pelajaran drama, menulis puisi atau mengarang cerita, menyanyi, dan bermain musik sering dianggap pelajaran yang tidak utama. c. Psikomotor
15
Oemar Hamalik. Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem. Bumi Aksara. 2003. hlm.200. 16 Yunanto, op.cit., hlm.47-60
25
26
Psikomotor merupakan wilayah pada diri anak yang bersinggungan dengan koordinasi gerakan tubuh. Mata pelajaran ini juga dianggap tidak utama. Oleh karenanya jam pelajaran yang memuat aspek ini hanya diberi jatah minim di sekolah-sekolah.
Tabel II.2. Contoh Kegiatan Belajar berdasarkan Taksonomi Bloom (diadaptasi dari Yunanto, 2004:49) No
Domain Taksonomi
Sumber Belajar
1
Kognisi
Pasar tradisional
2
3
Afeksi
Psikomotor
Sawah
Batu dan Pasir
Kegiatan Belajar −
Anak melakukan penelitian sederhana mengenai pasar tradisional
−
Anak mengamati proses transaksi yang berlangsung di pasar tradisional
−
Anak dapat melakukan tanya-jawab langsung dengan penjual dan pembeli
−
Anak menambah kosakata benda dan makanan yang dijumpainya di pasar tradisional
−
Anak berjalan-jalan ke sawah dan merasakan suasana tanam padi atau panen yang dilakukan petani
−
Anak bercerita mengenai suasana hati mereka saat berada di persawahan
−
Puisi menjadi alternatif lain bagi anak untuk mengekspresikan perasaannya mengenai apa yang dilihatnya
−
Menggambar dapat juga dilakukan sebagai bentuk ungkapan perasaan yang ada di dalam diri anak
−
Anak membuat suatu kawasan sesuai dengan imajinasinya
−
Menyusun batu menyerupai bangunan
−
Membuat benteng dari pasir
−
Membuat cetakan aneka bentuk dengan pasir
II.1.4.2 Multi-Kecerdasan a. Kinestetik
26
27
Kecerdasan kinestetik disebut juga Body Smart. Kecerdasan ini melibatkan koordinasi bahasa badan, yang memproses pengetahuan melalui indera tubuh. Anak-anak dengan kecerdasan kinestetik yang berkembang dapat berkomunikasi melalui gerakan dan bahasa tubuh lain. Sebagian mereka dapat bercita-cita menjadi aktor, atlet, montir, tukang kayu, atau pilot. b. Bahasa Kecerdasan bahasa disebut juga Word Smart. Kecerdasan ini dapat dilihat dari kemampuan menggunakan bahasa yang efektif. Kecerdasan bahasa berkaitan dengan kemampuan berbicara, mendengarkan, membaca apa saja mulai dari rambu lalu lintas sampai novel klasik, dan menulis apa saja mulai dari buku harian sampai buku ilmiah. Dalam kecerdasan ini terdapat cakupan luas yang di dalamnya terdapat kemampuan dalam ejaan, kosa kata, dan tata bahasa. Umumnya mereka bercita-cita menjadi pembaca naskah berita, selebritis, orator, atau politisi yang sering menggunakan kata-kata untuk memanipulasi atau mempengaruhi orang lain. c. Musikal Kecerdasan musikal disebut juga Music Smart. Dalam bentuknya yang menonjol kecerdasan ini memunculkan tokoh-tokoh di dunia seni dan budaya. Kecerdasan ini melibatkan kemampuan menyanyikan lagu, menghafal melodi musik, mempunyai kepekaan akan irama, atau sekedar menikmati musik. Anakanak yang memiliki kecerdasan musikal biasanya bercita-cita menjadi disc jockey, teknisi suara, tukang stem piano, pemusik, penyanyi, atau usahawan produk elektronik. d. Visual – spasial Kecerdasan ini disebut juga Picture Smart. Kecerdasan ini melibatkan kemampuan memindahkan objek ke dalam kepala atau visualisasi dua atau tiga dimensi. Seniman dan ilmuwan yang menemukan hal baru merupakan contoh seseorang yang memiliki kecerdasan visual-spasial tinggi. Secara sederhana kecerdasan ini terwujud dalam kemampuan seseorang dalam menikmati dan mengapresiasi barang seni dan keindahan. e. Logika – matematika
27
28
Kecerdasan ini disebut juga Number Smart. Anakyang menonjol dalam kecerdasan ini memiliki keterampilan untuk mengolah angka-angka dan mahir dalam menggunakan logika atau akal sehat. Kecerdasan ini sering dipakai oleh para akuntan pajak, programer komputer, ahli matematika, atau orang awam yang mampu memahami perhitungan utang nasional. f. Interpersonal Kecerdasan ini disebut juga People Smart. Kecerdasan ini melibatkan kemampuan untuk memahami dan bekerja dengan orang lain. Juga kemampuan dalam hal berteman dan memahami orang lain (mampu menilai orang dalam waktu singkat). Karena begitu banyak aspek kehidupan yang melibatkan interaksi dengan orang lain, kecerdasan interpersonal mungkin sebenarnya lebih penting bagi keberhasilan dalam hidup daripada kemampuan membaca buku atau memecahkan problem matematika. g. Intrapersonal Kecerdasan ini disebut juga Self Smart, yang pada intinya adalah kecerdasan memahami diri sendiri, yakni kecerdasan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri. Hal ini menjadi penting manakala ada orang yang menghabiskan waktu untuk sekedar menjadi pribadi semu, sementara ada orang yang sejak dini mengenali bakat dan memupuknya untuk mencapai keberhasilan.
No. 1.
2.
Tabel II.3. Contoh kegiatan belajar berdasarkan multi-kecerdasan (Yunanto, 2004:54) MultiSumber Belajar Kegiatan Belajar Kecerdasan Kinestetik
Bahasa
Koran Bekas
Ular Tangga
−
Anak memilih gambar, atau tulisan tertentu berdasarkan tema untuk digunting dan dibuat kliping
−
Anak melipat koran untuk dijadikan topi
−
Anak menggulung koran untuk dibuat menjadi tiang jembatan
−
Anak bermain ular tangga bahasa
−
Anak mencari kata-kata yang berada pada kertas mainan ular tangga
28
29
3.
4.
5.
6.
7.
Musikal
Visual – spasial
Logika – matematika
Interpersonal
Intrapersonal
Kaleng, dan Botol Bekas
Tubuh Anak
Ranting Kayu
Sandal atau Sepatu
Bongkar Pasang
−
Anak membuat bunyi-bunyian dengan botol dan kaleng
−
Anak bernyanyi sambil mengiringinya dengan botol dan kaleng
−
Anak membuat alat musik dari botol dan kaleng bekas
−
Anak membuat komposisi musik sederhana dari kaleng dan botol
−
Anak mempola jari-jari tangan di kertas
−
Anak menggambar temannya secara berpasangan
−
Anak membuat pola tubuh temannya di kertas lebar, kemudian dihiasi layaknya manusia
−
Anak menghitung ranting kayu yang ditemukan
−
Anak mengukur panjang ranting kayu yang ditemukan
−
Anak membuat perahu dari ranting kayu sedemikian rupa sehingga tidak tenggelam ketika diletakkan di atas air
−
Anak memotong ranting kayu untuk dijadikan buah dalam permainan damdam (permainan tradisional)
−
Anak membuat rumah-rumahan dari ranting
−
Bermain kucing tikus dengan sepatu atau sandal yang diputar estafet dalam lingkaran
−
Bermain tepuk berbagai gaya dengan cara melempar sandal, setiap kali sandal dilempar dan ditangkap anak lain, ia harus siap dengan satu tepuk tertentu
−
Bermain mencopot dan memasangkan sandal kepada teman lain dengan cara mata ditutup
−
Anak menargetkan batas waktunya sendiri dalam permainan bongkar pasang
−
Anak membuat sendiri bongkar pasang dari kertas
−
Anak membuat aturan main sebelum melakukan kegiatan. Misalnya jika anak
29
30
tidak selesai dalam batas waktu yang telah ia tentukan, ia membuat sanksi sendiri. −
Anak membuat tata tertibnya sendiri sebelum melakukan kegiatan
II.1.4.3 Kegiatan a. Individu / perorangan Dalam kegiatan belajar yang dilakukan secara perorangan, masing-masing anak melakukan kegiatan. Kegiatan ini bisa dilakukan bersama-sama tetapi juga masing-masing anak melakukannya secara pribadi. b. Berpasangan Kegiatan belajar berpasangan merupakan bentuk kerjasama yang dilakukan oleh dua orang. Kegiatan ini didasarkan pada pembagian tugas anggota pasangan. Masing-masing anak melakukan kegiatan yang tidak berdiri sendiri. Apa yang dilakukan salah seorang anak merupakan bagian dari tugas pasangannya. c. Kelompok Kegiatan belajar kelompok dilakukan melalui kerjasama lebih dari dua orang. Dalam kegiatan kelompok perlu diperhatikan jumlah anggota kelompok yang terlibat. Dengan demikian masing-masing anggota memiliki peran dan melakukan tugas. Penting untuk dihindari adanya anggota kelompok yang tidak mendapat dan melakukan tugas. d. Seluruh Kelas Kegiatan belajar ini dilakukan secara bersama-sama dalam satu kelas. Tabel II.4. Contoh kegiatan belajar berdasarkan kegiatan kelas (Yunanto, 2004:59) No. 1.
Pengorganisasian Kegiatan Belajar Individual
Sumber Belajar − bongkar pasang − balok susun − lego − domino pengetahuan − lingkaran
Kegiatan Belajar − membongkar dan memasang kembali menjadi gambar atau model tertentu − anak menyusun kartu berdasarkan pasangannya − anak membuat lingkaran berdasarkan pasangan pada potongan-potongan lingkaran
30
31
pengetahuan 2.
Berpasangan
− domino pengetahuan − lingkungan sekitar
− dua anak bergantian bermain kartu berdasarkan pasangannya − dua anak membuat daftar nama pohon dan menggambar jenis-jenis pohon − dua anak wawancara dengan pembeli dan penjual di pasar
− pasar
3.
4.
Kelompok
Klasikal
− dadu bilangan
− kelompok anak bermain dadu bilangan; masing-masing bergantian melempar dadu, yang lain menebak bilangan pada posisi atas mata dadu
− kwartet pengetahuan
− empat anak bermain kartu kelompok binatang; masing-masing mencari kelompok binatang pada kartunya, misalnya binatang melata, binatang buas, dan seterusnya.
− sungai
− kelompok anak berbagi tugas menemukan sesuatu yang menarik di sungai, misalnya binatang yang ada di sungai, tumbuhan yang ada di sungai, benda yang ada di sungai, dan seterusnya.
− CD − kaset − film − pentas drama
− melihat dan mendiskusikan film − mendengar, menirukan, dan menulis suara kaset − berbagi peran dan memainkan naskah drama sederhana
II.1.4.4 Standar Kompetensi Dengan maksud melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat dan dunia pendidikan, pemerintah telah melakukan serangkaian pengembangan dan perbaikan konsep dan program pendidikan prasekolah melalui pemberlakuan kurikulum 1964, kurikulum 1968, kurikulum 1976, kurikulum 1984, kurikulum 1993, kurikulum 2004, kemudian pada tahun ajaran 2007/2008 mulai diperkenalkan kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
31
32
KTSP dijelaskan Nana S. Sukmadinata 17 sebagai 1) model pengembangan kurikulum, dan 2) model manajemen pengembangan kurikulum. Dengan demikian KTSP bukan model kurikulum, tetapi dapat menggunakan model-model kurikulum yang ada karena merupakan pengembangan kurikulum berbasis sekolah (PKBS) yang di Australia dikenal dengan school based curriculum development (SBCD). Dalam KTSP dapat diterapkan model-model kurikulum seperti pencapaian kompetensi (KBK), subjek akademik, humanistik, rekonstruksi sosial, dan yang lainnya. Namun dalam tataran praktis saat ini karena adanya tuntutan pencapaiaan standar kompetensi yakni anak didik harus menguasai sejumlah kompetensi ketika mereka selesai menempuh pendidikan dalam satuan jenjang pendidikan, maka penggunaan model kurikulum yang mendasarkan pada pencapaian kompetensi tidak dapat dihindari. Pada KBK atau kurikulum 2004 18 disebutkan bahwa kurikulum ini merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi yang dibakukan, dan cara pencapaiannya disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan daerah. Pencapaian kompetensi dilakukan secara tuntas atau disebut belajar tuntas. Kurikulum ini dilaksanakan dalam rangka membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi psikis dan fisik yang meliputi moral dan nilainilai agama, sosial – emosional , kognitif, bahasa, fisik/motorik, kemandirian dan seni untuk siap memasuki pendidikan dasar. Dalam kurikulum ini terdapat kompetensi dasar yang merupakan pengembangan potensi-potensi perkembangan pada anak yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan usianya berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikator yang dapat diukur dan diamati. Selain itu terdapat pula hasil belajar yang merupakan cerminan kemampuan anak yang dicapai dari suatu tahapan pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar. Sementara indikator dalam kurikulum ini merupakan hasil belajar yang lebih spesifik dan terukur dalam satu kompetensi dasar. Apabila serangkaian indikator dalam satu 17
18
Endo Kosasih. Beda KTSP dengan KBK. Pikiran Rakyat. 19 Mei 2007. hlm.21. Standar Kompetensi Taman Kanak-Kanak dan Raudhatul Athfal. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. 2004.
32
33
kompetensi dasar sudah tercapai, berarti target kompetensi dasar tersebut sudah terpenuhi. Dalam Kurikulum 2004 disebutkan bahwa fungsi pendidikan Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal adalah :
a. Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin pada anak b. Mengenalkan anak dengan dunia sekitar c. Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik d. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi e. Mengembangkan keterampilan, kreativitas dan kemampuan yang dimiliki anak
f. Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar Sementara itu disebutkan bahwa tujuan pendidikan Taman Kanak-kanak dan Raudatul Athfal adalah membantu anak didik mengembangkan berbagai potensi psikis dan fisik yang meliputi aspek perkembangan : a. Moral dan Nilai-nilai Agama b. Sosial, Emosional dan Kemandirian c. Kemampuan Berbahasa d. Kognitif e. Fisik/motorik, dan f. Seni Untuk memudahkan pendidik menyusun program pembelajaran yang sesuai, maka lingkup kurikulum di atas disederhanakan dalam dua bidang pengembangan yaitu: bidang pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan dan bidang pengembangan kemampuan dasar. a. Bidang Pengembangan Pembentukan Perilaku melalui Pembiasaan Merupakan kegiatan yang dilakukan secara berkesinambungan dalam keseharian anak didik sehingga terbentuk menjadi kebiasaan yang baik, meliputi pembiasaan pengembangan moral dan nilai-nilai agama, serta pengembangan sosial, emosional dan kemandirian. Dari program pengembangan moral dan nilainilai agama diharapkan akan meningkatkan kecerdasan spiritual anak dan membina sikap anak dalam rangka meletakkan dasar menjadi warga negara yang baik. Pengembangan sosial dan kemandirian dimaksudkan untuk membina anak
33
34
agar dapat mengendalikan emosinya secara wajar dan dapat berinteraksi dengan baik antar sesamanya maupun dengan orang dewasa serta dapat menolong dirinya sendiri dalam rangka kecakapan hidup. b. Bidang Pengembangan Kemampuan Dasar Merupakan kegiatan yang dipersiapkan oleh pendidik untuk meningkatkan kemampuan dan kreativitas sesuai dengan tahap perkembangan anak didik, meliputi: -
Kemampuan Berbahasa. Bertujuan agar anak didik mampu mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu berkomunikasi secara efektif dan membangkitkan minat untuk dapat berbahasa Indonesia.
-
Kognitif. Bertujuan mengembangkan kemampuan berpikir anak didik untuk dapat mengolah perolehan belajarnya, dapat menemukan beragam alternatif pemecahan masalah, membantu anak mengembangkan kemampuan logika matematiknya dan pengetahuan akan ruang dan waktu, serta mempunyai kemampuan
untuk
memilah,
mengelompokkan,
serta
mempersiapkan
pengembangan kemampuan berpikir teliti. -
Fisik/motorik. Bertujuan untuk memperkenalkan dan melatih gerakan kasar dan halus, meningkatkan kemampuan mengelola, mengontrol gerakan tubuh dan koordinasi, serta meningkatkan keterampilan tubuh dan cara hidup sehat sehingga dapat menunjang pertumbuhan jasmani yang kuat, sehat, dan terampil.
-
Seni. Bertujuan agar anak mampu menciptakan sesuatu berdasarkan hasil imajinasinya, mengembangkan kepekaan, dan dapat menghargai hasil karya yang kreatif. Kompetensi lintas kurikulum merupakan kompetensi kecakapan untuk
hidup dan belajar sepanjang hayat, serta kecakapan hidup yang diperlukan anak untuk mencapai seluruh potensi dalam kehidupan. Kompetensi ini merupakan kompetensi baku yang diharapkan dapat dicapai oleh anak melalui pengalaman belajarnya, Standar kompetensi yang diharapkan dari pendidikan TK dan RA adalah tercapainya tugas-tugas perkembangan anak secara optimal meliputi aspek moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional, dan kemandirian, berbahasa, kognitif, fisik/motorik, dan seni.
34
35
Kurikulum untuk TK dan RA merupakan pedoman bagi para pendidik, orang tua, guru, orang dewasa lain, dalam menstimulasi perkembangan anak untuk mencapai kompetensi sesuai dengan tingkat kemampuan anak. Pada dasarnya kompetensi yang disiapkan merupakan kompetensi minimal sehingga pendidik dapat memberikan pengayaan sejauh tidak membebani anak. Pelaksanaan kurikulum tidak bersifat kaku tetapi disesuaikan dengan kondisi daerah. Bagi TK yang mempunyai kekhasan misalnya dalam agama dimungkinkan untuk menambah materi kegiatan sejauh tidak bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip pelaksanaan pendidikan di TK. Dalam kurikulum terdapat kompetensi dasar, hasil belajar, dan indikator. Kompetensi dasar merupakan pengembangan potensi-potensi perkembangan pada anak yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai dengan usianya, berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikator yang dapat diukur dan diamati. Hasil belajar merupakan cerminan kemampuan anak yang dicapai dari suatu tahapan pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar. Sementara indikator dalam kurikulum merupakan hasil belajar yang lebih spesifik dan terukur dalam satu kompetensi dasar. Apabila serangkaian indikator dalam satu kompetensi dasar sudah tercapai, berarti target kompetensi dasar tersebut sudah terpenuhi. Tabel II.5. Standar Kompetensi Kemampuan Dasar Berbahasa TK dan RA Kelompok A (Departemen Pendidikan Nasional, 2004:13) KOMPETENSI DASAR
HASIL BELAJAR
INDIKATOR Menyebutkan berbagai bunyi /suara tertentu
Dapat mendengarkan dan membedakan bunyi suara, bunyi bahasa, dan mengucapkannya
Dapat mendengarkan dan memahami kata dan kalimat
35
Menirukan kembali 3 – 4 urutan kata Menyebutkan kata-kata yang mempunyai suku kata awal yang sama, misal: kaki – kali. Atau suku kata akhir yang sama, misal: nama –sama, dll. Melakukan 2 – 3 perintah secara sederhana
36
sederhana
Anak mampu mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata dan mengenal simbol-simbol yang melambangkannya.
Mendengarkan cerita dan menceritakan kembali isi cerita secara sederhana
Dapat berkomunikasi / berbicara secara lisan
Memperkaya kosa kata yang diperlukan untuk berkomunikasi sehari-hari meliputi: kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan waktu.
Menyebutkan nama diri, nama orang tua, jenis kelamin, dan alamat rumah secara sederhana Menceritakan pengalaman / kejadian secara sederhana Menjawab pertanyaan tentang keterangan/ informasi secara sederhana Bercerita menggunakan kata ganti aku atau saya Menunjukkan gerakan - gerakan, misalnya: duduk, jongkok, berlari, makan, melompat, menangis, senang, sedih, dll. Menyebutkan posisi / keterangan tempat, misal: di luar, di dalam, di atas, di bawah, di depan, di belakang, di kiri, di kanan, dsb. Menyebutkan waktu (pagi, siang, malam)
Dapat mengenal bentukbentuk simbol sederhana (pra menulis)
Membuat berbagai macam coretan Membuat gambar dan coretan (tulisan) tentang cerita mengenai gambar yang dibuatnya Bercerita tentang gambar yang disediakan atau yang dibuat sendiri
Dapat menceritakan gambar (pra membaca)
Mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri sederhana ( 3 – 4 gambar ) Menghubungkan gambar/ benda dengan kata
36
37
Mengenal bahwa ada hubungan antara bahasa lisan dengan tulisan (pra membaca)
Membaca gambar yang memiliki kata / kalimat sederhana Menceritakan isi buku walaupun tidak sama tulisan dengan yang diungkapkan Menghubungkan tulisan sederhana dengan simbol yang melambangkannya
Tabel II.6. Standar Kompetensi Kemampuan Dasar Berbahasa TK dan RA Kelompok B (Departemen Pendidikan Nasional, 2004:20) KOMPETENSI DASAR Anak mampu mendengarkan, berkomunikasi secara lisan, memiliki perbendaharaan kata dan mengenal simbolsimbol yang melambangkannya untuk persiapan membaca dan menulis.
HASIL BELAJAR
INDIKATOR Membedakan dan menirukan kembali bunyi / suara tertentu
Dapat mendengarkan dan membedakan bunyi suara, bunyi bahasa dan mengucapkannya dengan lafal yang benar
Dapat mendengarkan dan memahami kata dan kalimat sederhana serta mengkomunikasikannya
Dapat berkomunikasi / berbicara lancar secara lisan dengan lafal yang benar
Memiliki perbendaharaan kata yang diperlukan untuk berkomunikasi sehari-hari
Menirukan kembali 4 – 5 urutan kata Membedakan kata-kata wang mempunyai suku kata awal sama, misal: kaki – kali , dan suku kata akhir sama, misal: nama – sama, dll. Melakukan 3 – 5 perintah secara berurutan dengan benar Mendengarkan dan menceritakan kembali cerita secara urut Menyebutkan nama diri, nama orang tua, jenis kelamin, dan alamat rumah dengan lengkap Menceritakan pengalaman/kejadian secara sederhana dengan urut Bercerita menggunakan kata ganti aku, saya. kamu, dia, mereka. Menunjuk dan menyebutkan gerakangerakan misalnya: duduk, jongkok, berlari, makan, dll.
37
38
Menunjuk dan memberikan keterangan yang berhubungan dengan posisi/ keterangan tempat. Misal: di luar, di dalam, di atas, di bawah, di depan, di belakang.di kiri, di kanan dsb. Membuat gambar dan menceritakan isi gambar dengan beberapa coretan / tulisan yang sudah berbentuk huruf / kata Mengelompokkan kata-kata yang sejenis Bercerita tentang gambar yang disediakan atau yang dibuat sendiri dengan urut dan bahasa yang jelas Mengurutkan dan menceritakan isi gambar seri (4 – 6 gambar)
Memahami bahwa ada hubungan antara bahasa lisan dengan tulisan (pra membaca)
Membaca buku cerita bergambar yang memiliki kalimat sederhana dan menceritakan isi buku dengan menunjuk beberapa kata yang dikenalnya Menghubungkan dan menyebutkan tulisan sederhana dengan simbol yang melambangkannya
Kesesuaian tersebut dapat dikreasikan berdasarkan pertimbangan bahwa setiap anak mengalami proses tumbuh kembang sehingga sumber belajar dalam format kegiatan belajar perlu terus disesuaikan dengan perkembangan anak dan kondisi lingkungannya. Sementara Hamalik (2003) 19 menyebutkan dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam usaha memilih media pembelajaran sebagai berikut.
a. memilih media pembelajaran yang telah tersedia di pasaran yang dapat dibeli pendidik dan dapat langsung digunakan dalam proses pengajaran. Pendekatan 19
Oemar Hamalik, op.cit., hlm.203.
38
39
ini membutuhkan kesiapan anggaran untuk membelinya dan diperlukan upaya keras untuk mencari media di pasaran yang betul-betul cocok bagi penyampaian bahan pelajaran serta kegiatan belajar anak didik.
b. mempersiapkan media pembelajaran berdasarkan kebutuhan nyata yang telah direncanakan, khususnya berkenaan dengan materi yang telah dirumuskan sebagai bahan pelajaran yang hendak disampaikan. Kecocokan media pembelajaran dengan bahan pelajaran yang akan disampaikan serta kegiatan-kegiatan belajar yang dilakukan oleh anak didik menjadi dasar pertimbangan apakah suatu media dipilih atau tidak dipilih. Dalam hubungan ini berlaku prinsip selection by rejection. Pendidik hanya memilih media pembelajaran yang bermanfaat dan tidak memilih media yang tak terpakai. Di samping itu, segi ekonomis dan hambatan-hambatan praktis yang mungkin dihadapi oleh anak didik dan pendidik juga menjadi dasar pertimbangan. Faktor lainnya adalah faktor efektivitas komunikasi dalam kaitannya dengan anak didik, bahan pelajaran, dan tujuan yang hendak dicapaiFaktor-faktor tersebut dapat disajikan dalam bagan di bawah ini.
Tujuan
Isi / Materi Ajar
Pasaran Biaya yang reasonable
Komunikasi efektif Anak didik
Keadaan
Seleksi Media
Faktor manusiawi
Hambatan praktis Waktu
Pendidik Fasilitas
Bagan II.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan media pembelajaran (Sumber: Hamalik, 2003:203)
39
40
Pemilihan media pembelajaran dapat pula dilakukan berdasarkan keputusan sesuai dengan jenjang-jenjang dalam proses desain pengajaran yang terdiri dari empat tingkatan. Keterkaitan antara pemilihan komunikasi yang efektif dan jenjang analisis desain perencanaan tersebut dapat kita lihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel II.7. Empat Proses Desain Pembelajaran (Hamalik, 2003:204) Jenjang Analisis
Hasil Utama
Keputusan Instruksional
1. Analisis pekerjaan Analisis mata ajaran
Tujuan akhir tugas Tugas topik-topik
Evaluasi akhir silabi / kurikulum Keseluruhan unit pelajaran Keseluruhan pilihan kepala sekolah Metode / media
2. Analisis tugas Analisis topik
Tujuan antara prasyarat struktur tugas / topik
Evaluasi formatif Tes diagnostik Struktur pelajaran Urutan pelajaran Seleksi metode / media untuk tiap pelajaran
3. Analisis pengetahuan dan keterampilan
Tujuan yang mungkin dicapai Jenis belajar untuk tiap tujuan
Rencana pelajaran yang terinci Peristiwa pembelajaranuntuk tiap tujuan Peristiwa pembelajaranuntuk tiap tujuan Metode/media untuk tiap jenis tujuan
4. Analisis terinci tingkah Desain latihan untuk tiap Belajar berprograma. Latihan-latihan laku / masalah belajar langkah belajar dalam tiap media yang serasi
Pada jenjang pertama, pemilihan media dilakukan dalam kerangka sistem yang lebih luas yang mencakup keseluruhan sistem dalam kaitannya dengan pekerjaan tertentu. Komunikasi yang efektif perlu mempertimbangkan faktorfaktor berikut.
a. Faktor anak didik, yang berkenaan dengan siapa yang belajar, baik kuantitatif maupun kualitatif, yang pada gilirannya media apa yang dipilih. Jumlah anak didik yang banyak menuntut sistem penyampaian secara massal atau pendidikan jarak jauh. Dalam konteks ini sewajarnya dipilih media massa (big media) seperti televisi dan lain-lain. Jumlah anak didik yang relatif sedikit yang menggunakan sistem pendidikan langsung atau pendidikan tatap muka, misalnya di sekolah, pada gilirannya menuntut kehadiran pendidik dan anak didik. Dalam konteks ini, pendidik merupakan media utama yang dibantu dengan alat bantu pembelajaran (little media).
40
41
b. Faktor isi pelajaran, yang berkenaan dengan materi pelajaran sesuai dengan mata ajaran dan topik-topik yang diajarkan. Pembelajaranyang disajikan secara tak langsung, yang hanya menuntut komunikasi satu arah sewajarnya digunakan media informasi (information media). Apabila pelajaran harus disampaikan yang membutuhkan komunikasi dua arah antara penyampai pesan
dan
penerima
pesan,
maka
digunakan
media
pembelajaran
(instructional media). Kombinasi antara kedua jenis media tersebut dapat saja dilaksanakan.
c. Tujuan yang hendak dicapai, dalam arti jenis tujuan, apakah tingkah laku terminal/final, apakah bersifat vokasional/nonvokasional, dan apakah harus mastery atau individual. Untuk mencapai tujuan tersebut selanjutnya informasi apa yang seharusnya disampaikan dan jenis media apa yang sewajarnya digunakan. Pada jenjang kedua dilakukan pemilihan media untuk tiap pelajaran (yang merupakan unsur-unsur tiap topik dan tugas). Untuk memilih media yang benarbenar bermakna, pemilihan media dilakukan berdasarkan dua aturan pokok yakni pertama, jika kita mengharapkan suatu tingkah laku tertentu bagi anak didik sesudah berlangsungnya pengajaran, kita harus menyediakan kesempatankesempatan kepada mereka untuk mempraktikkan tingkah laku tersebut sepanjang pengajaran. Misalnya kita mengharapkan agar anak didik dapat memberikan suatu contoh konsep, maka selama pembelajaran kepada mereka harus diberikan contoh-contoh. Supaya anak didik dapat melakukan suatu prosedur, maka berikan kesempatan
kepadanya
untuk
melakukan
latihan-latihan
tentang
cara
melakukannya tidak hanya dengan mendengarkan tuturan atau sekadar mengamatinya saja. Kedua, menggunakan saluran sensoris yang paling tepat untuk mengkomunikasikan informasi untuk dipelajari oleh anak didik. Sensoris erat kaitannya dengan jenis media. Saluran sensoris adalah alat pengindraan yang ada pada diri anak didik untuk menerima informasi. Jenis-jenisnya adalah penglihatan (vision), pendengaran (untuk suara), kulit, penciuman, dan pengecapan (taste). Contoh media: televisi untuk suara dan penglihatan, buku untuk penglihatan, dan sebagainya. Pendidik berfungsi mengkomunikasikan informasi kepada anak didik.
41
42
Fungsi itu dilaksanakan dengan cara menggunakan dirinya sendiri sebagai suatu media komunikasi. la menggunakan saluran-saluran sensoris, seperti suara (jika dia berbicara), penglihatan (dalam komunikasi nonverbal), dan perabaan (membimbing gerakan anak didik secara jasmaniah). Fungsi lainnya adalah melakukan observasi dan evaluasi apa yang terjadi dalam proses belajar, mengubah urutan penyajian, dan menyediakan balikan atas kemajuan anak didik. Dalam hal ini, media pembelajaran berada di bawah pengawasan pendidik. Disebutkan Hamalik (2003:207) pendekatan atau cara memilih media pembelajaran dapat juga dilakukan pertama, memilih media dengan menggunakan klasifikasi media atau taksonomi media sebagaimana disarankan oleh Bretz (1971) dan Anderson (1976). Klasifikasi berdasarkan pada kelompok-kelompok sesuai dengan jenis stimuli atau informasi yang dapat disajikan. Kedua, memilih media dengan menggunakan saluran sensoris dan kontrol pendidik dengan menggunakan bagan (charts) sebagai alat bantu. Media pembelajaran merupakan bagian dari faktor lingkungan yang bersamaan dengan faktor genetika telah lama diyakini para peneliti memiliki peranan penting dalam mempengaruhi perkembangan anak. Pemahaman mengenai kedua faktor tersebut sangat diperlukan sebagai referensi dalam melakukan intervensi kegiatan belajar anak. Proses intervensi dilakukan dengan inventarisasi sumber belajar dan perencanaan bentuk kegiatan yang disesuaikan dengan tahap perkembangan anak.
II.2 Tahap Perkembangan Proses Belajar Anak Usia TK Menurut Robert Richardson Sears 20 , perkembangan adalah sesuatu yang berkesinambungan, urutan-urutan yang teratur dari kondisi yang menciptakan perbuatan, dorongan baru untuk bertindak dan membentuk pola tingkah laku. la berpendapat bahwa lingkungan ikut mempengaruhi tahap perkembangan yang terjadi. Sears membagi tiga tahapan perkembangan anak berikut : II.2.1 Masa Tingkah Laku Rudimenter Pada masa ini tingkah laku bersumber pada kebutuhan dasar dan proses belajar pada masa bayi. Ciri-ciri : 20
Yunanto, op.cit., hlm.64-71
42
43
a. Sejak bayi lahir, pengalaman-pengalaman lingkungan belum secara terarah menimbulkan proses belajar pada bayi. Indikasi yang dapat dilihat adalah munculnya kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti lapar, haus, dan sakit.
b. Bayi masih sangat egosentrik karena belum mengenal baik lingkungan hidupnya.
c. Pelan-pelan bayi mulai merespon kehadiran orang lain dengan gerak-gerik yang menyenangkan.
d. Interaksi sosial ini berlanjut dan dipertahankan oleh si bayi, atau disebut kesatuan tingkah laku yang timbal balik (dyadic). Perkembangan yang baik ditandai dengan semakin berkurangnya sikap menutup diri. Dalam masa ini tokoh ibu mutlak memegang peranan penting. Ibu menjadi faktor latar belakang yang mempengaruhi dan menjadi penghubung perkenalan anak dengan lingkungannya. II.2.2 Masa Sistem Motivasi Sekunder I Pada masa ini proses belajar berpusat di dalam keluarga. Tahap ini dimulai sekitar pertengahan tahun kedua sampai anak masuk sekolah. Ciri-ciri :
a. Sosialisasi sudah mulai terjadi. Respon terjadi bukan sepenuhnya atas kebutuhan dasar, melainkan oleh bunyi-bunyi yang terjadi.
b. Anak tidak lagi sepenuhnya tergantung kepada ibunya. Sedikit demi sedikit mulai melepaskan diri dan mampu memenuhi kebutuhan dan kehendaknya sendiri dari hasil mempelajari sesuatu.
c. Jika menemukan pembatasan-pembatasan, reaksi frustasi muncul pada anak. Rasa frustasi ini mendorong munculnya tindakan agresif.
d. Usia tiga tahun, anak mulai mampu melakukan identifikasi dan menyadari perbedaan jenis kelamin.
e. Sosialisasi mulai dilakukan anak, baik secara verbal maupun nonverbal berupa gerak-gerik. Proses belajar masih terjadi secara intensif di dalam keluarga. Dalam masa ini pendampingan agar anak mampu menguasai agresivitasnya memegang peranan penting. Penanganan yang tidak proporsional akan menimbulkan kompleksitas permasalahan. Misalnya pembatasan- pembatasan yang dilakukan orang dewasa meskipun dilakukan secara tidak sengaja.
43
44
II.2.3 Masa Sistem Motivasi Skunder II Pada masa ini proses belajar terjadi di luar lingkungan keluarga. Ciri-ciri :
a. Anak siap menerima lingkungan di luar keluarganya, misalnya ketika anak mulai masuk sekolah.
b. Lingkungan di luar keluarga mempengaruhi pribadi anak, baik pola-pola interaksi positif maupun negatif terhadap kondisi lingkungan. Jika pola-pola negatif tidak menghilang, pola itu akan menetap sebagai bagian dari kepribadiannya.
c. Pada umur lima tahun indentifikasi semakin meluas, tidak sebatas tokoh ibu dan ayah, namun orang dewasa lain seperti pendidik dan teman sebaya bisa menjadi model indentifikasinya.
d. Lingkungan hidup yang lebih luas akan menumbuhkan nilai-nilai pribadi di dalam diri anak, selaras dengan perkembangan nilai sosial, agama, dan lainlain. Pada masa ini peran orang dewasa dalam lingkungan sosial (orangtua, pendidik, tetangga, orang dewasa lain) berpengaruh terhadap kebebasan anak. Dalam hal ini peran orangtua untuk membantu anak mengenal kemampuan menguasai keinginan dan kebebasan sangat dibutuhkan.
II.3 Tahap Perkembangan Kognisi Anak Usia TK Jean Piaget (1961) merinci proses perkembangan kognisi anak menjadi empat tahap, yakni : II.3.1 The sensori-motor stage (usia 0-2 tahun) Pada
tahap
ini
motorik
pancaindera
dengan
ciri-ciri
belajar
mengkoordinasi gerak-gerik fisiknya belum mampu mengungkapkan gagasan sedikitpun atau berbicara. Masa ini dibagi menjadi enam sub masa, yakni :
a. modifikasi dari refleks-refleks (usia 0-1 bulan) gerak refleks menjadi lebih efisien dan terarah.
b. reaksi pengulangan pertama (usia 1-4 bulan) pengulangan gerak-gerik yang menarik pada tubuhnya.
c. reaksi pengulangan kedua (usia 4 - 10 bulan) pengulangan keadaan atau objek yang menarik.
44
45
d. koordinasi reaksi-reaksi sekunder (usia 10-12 bulan) menggabungkan beberapa skema untuk memperoleh sesuatu.
e. reaksi pengulangan ketiga (usia 12-18 bulan) bermacam-macam pengulangan untuk memperoleh hal-hal baru.
f. permulaan berpikir (usia 18-24 bulan) berpikir dahulu sebelum bertindak. II.3.2 The pra-operational stage (usia 2-7 tahun) Pada tahap ini anak sudah mampu mengungkapkan gagasan dan aktivitasnya namun masih terikat dengan hal-hal kongkret. Artinya daya nalar dan logika anak belum beroperasi secara utuh. Namun anak mulai mengerti dasardasar mengelompokkan sesuatu. Mula-mula atas dasar warna, ukuran, dan bentuknya saja. Anak belum dapat memusatkan perhatian pada dua dimensi yang berbeda secara serempak (centration) yang memiliki tiga aspek, yakni :
a. Menyusun Anak baru dapat menyusun benda-benda dalam urutan-urutan sesuai dengan ukuran. Anak baru dapat merangkaikan dua benda yang ada hubungannya dengan ukuran, misalnya benda A lebih pendek dari benda B.
b. Pengelompokan Anak baru dapat mengelompokkan sesuatu secara sederhana dan kongkret. Misalnya, kepada anak diperlihatkan 20 kuncup kembang kertas, yakni 18 berwarna coklat dan 2 berwarna putih. Ketika ditanya, "Mana yang lebih banyak, kuncup kembang yang berwarna coklat atau kuncup kembang kertas?" Jawab anak, "Kuncup kembang berwarna coklat". Anak belum tahu bahwa warna putih dan warna coklat merupakan kesatuan kelompok kembang kertas.
a. Konservasi Kemampuan anak belum dapat mengkonservasi angka-angka. Kemampuan ini baru dapat dilakukan anak pada usia 7 tahun. II.3.3 The concrete- operational stage (usia 7-11 tahun) Pada tahap ini penalaran dan logika mulai beroperasi (bekerja) apabila dikaitkan dengan hal-hal kongkret. Ditandai dengan kemampuan berpikir
45
46
sestematis terhadap hal-hal kongkret, dan mencapai kemampuan mengkonservasi. Pada masa ini anak mengalami tiga proses perkembangan, yakni :
a. Negasi Anak hanya melihat atau memperhatikan keadaan permulaan dan keadaan akhir
pada
deretan
benda.
Pada
deretan
benda-benda
anak
bisa
mengembalikan atau membatalkan perubahan yang terjadi sehingga bisa menjawab bahwa jumlah benda-benda tetap sama.
b. Hubungan Timbal Balik (Resiprokasi) Anak mengetahui timbal balik antara panjang dan kurang rapatnya benda, sehingga anak tahu bahwa jumlah benda-benda yang ada pada deretan itu sama.
c. Identitas Anak sudah bisa mengenali satu-persatu benda yang berada dalam susunan deretan-deretan. Anak bisa menghitung, sehingga meskipun benda-benda dipindahkan, anak tetap mengetahui bahwa jumlahnya tetap sama. Namun demikian anak masih terpenga-ruh dengan egosentrisme, artinya anak belum mampu melihat pikiran dan pengalaman sebagai dua gejala yang masingmasing berdiri sendiri. Bahwa pikirannya mengenai realitas dan realitasnya sendiri merupakan dua perkara yang dapat berdiri sendiri. II.3.4 The formal operational stage (usia11 tahun sampai menginjak dewasa) Pada tahap ini penalaran dan logika anak sudah beroperasi dengan utuh. la tidak perlu lagi ditolong de ngan benda-benda kongkret. Anak sudah mampu berpikir abstrak dan hipotetis. Anak sudah dapat berpikir dan memikirkan hal-hal yang akan atau mungkin terjadi. Perkembangan lain, anak remaja sudah mampu berpikir secara sistematis. la sudah mampu melakukan bermacam-macam penggabungan menuju sebuah hasil akhir.
II.4 Tahap Perkembangan Sosial Anak Usia TK Menurut John Bowlby, keterikatan atau interaksi anak dengan orang dewasa melewati beberapa tahap, yakni: II.4.1 Usia 0-3 bulan
46
47
Ciri umum: tidak ada diskriminasi jawaban anak terhadap berbagai pribadi. Senyuman sebagai interaksi sosial dapat dipahami setelah anak berusia tiga minggu. Namun demikian bayi belum bisa membeda-kan wajah yang dilihatnya. Reaksi orang dewasa di-terima sebagai perlindungan dan perasaan dekat. II.4.2 Usia 3-6 bulan Ciri umum: anak mulai mengarah kepada berbagai pribadi yang dikenal. Anak mulai mengenal wajah atau mimik melalui respon senyuman dan ocehan. Keterikatan mulai terjalin. II.4.3 Usia 6 bulan - 3 tahun Ciri umum: anak mempertahankan interaksi dengan tokoh tertentu tempat ia terikat. Terjalinnya keterikatan dapat dilihat dari reaksi sedih, kecewa, dan menangis ketika anak ditinggal oleh tokoh dekatnya. II.4.4 Usia 3-5 tahun Ciri umum: anak mampu membentuk kerja sama. Anak sudah dapat berpisah, namun dalam waktu yang relatif tidak lama. Anak sudah mulai dapat diajak kerja sama.
II.5 Tahap Perkembangan Moral Menurut Lawrence Kohlberg, tahap perkembangan moral manusia terbagi menjadi tiga tingkat, yakni: II.5.1 Tingkat I: Pra konvensional Tingkat ini merupakan tahap-tahap orientasi ter-hadap kepatuhan dan hukuman, serta relativistik hedonisme. Orang biasanya patuh agar tidak dihu-kum, dan terdapat faktor pribadi relatif dan bertin-dak atas dasar prinsip kesenangan. II.5.2 Tingkat II: Konvensional Tingkat ini merupakan tahap-tahap orientasi tentang anak yang baik. Agar dianggap menjadi anak yang baik, perbuatan seseorang harus diterima oleh masyarakat atau lingkungan sosialnya. la juga menyadari kewajibannya untuk ikut melaksanakan norma-norma dan mempertahankan norma sebagai sesuatu yang penting. II.5.3 Tingkat III: Pasca Konvensional
47
48
Tingkat ini merupakan tahap-tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya
dengan
lingkungannya,
dan
melihat
prinsip
universal
sebagai
pertimbangan. la akan berbuat baik agar diperlakukan dengan baik pula. Sementara kata hati dipakai untuk menentukan perbuatan moral dengan prinsip universal. Berkenaan dengan tahap-tahap perkembangan tersebut, tiga prinsip yang dipantau dalam pelaksanaan metode Montessori adalah pendidikan usia dini (early childhood), lingkungan pembelajaran (the learning environment), dan peran guru (the role of the teacher), berikut: a. Pendidikan Usia Dini (Early Childhood) Memperhatikan segala pembiasaan dan pengetahuan dasar yang dibutuhkan anak sesuai dengan perkembangannya. Cara pembelajarannya juga disesuaikan dengan cara belajar anak yang khas, spontan, dan tanpa tekanan, melalui bermain. b. Lingkungan Pembelajaran (The Learning Environment) Diusahakan sama dengan keadaan dan lingkungan anak yaitu rumah. Montessori mengajak anak untuk melakukan pekerjaan rumah seperti mencuci baju, mencuci perabot, atau memandikan boneka. c. Peran Pendidik (The Role of The Teacher) Pendidik
berperan
sebagai
fasilitator.
Lingkungan
dalam
proses
pembelajaran diciptakan menarik perhatian dan minat anak sehingga berkesan bagi anak dan menciptakan komunikasi antara anak dengan pendidik. Dalam hal ini pendidik mengikuti kebutuhan anak. Montessori membagi sembilan masa peka anak, yakni :
a. 0 – 3 tahun : Masa penyerapan total: perkenalan dan pengalaman pancaindera/sensorik
b. 1,5 – 3 tahun : Perkembangan bahasa c. 1,5 – 4 tahun : Perkembangan dan koordinasi antara mata dan otot-ototnya. Perhatian anak ke benda-benda kecil.
d. 2 – 4 tahun : Perkembangan dan penyempurnaan gerakan-gerakan. Perhatian anak ke hal-hal yang nyata. Mulai ada kesadaran tentang urutan waktu dan ruang.
48
49
e. 2,5 – 6 tahun : Penyempurnaan penggunaan pancaindera f. 3 – 6 tahun : Peka terhadap pengaruh orang dewasa g. 3,5 – 4,5 tahun : Mulai mencoret-coret h. 4 – 4,5 tahun : Indera peraba mulai berkembang i. 4,5 – 5,5 tahun : Mulai tumbuh minat baca Dari masing-masing masa peka ini, kita dapat memilih alat yang sesuai bagi kebutuhan maupun tahapan kemampuan anak. Misalnya pada usia 0-3 tahun pemilihan APE yang cocok adalah yang terbuat dari bahan yang lentur dan halus atau alat permainan dari kain. Sementara anak usia 4,5 – 5,5 dapat diberikan APE yang dapat mengasah keterampilan dasar anak dalam berbahasa. Para kreator APE umumnya mendasarkan pembuatan produk pada pengetahuan mereka tentang kriteria media pembelajaran yang sesuai dengan dimensi perkembangan anak. Seiring dengan perkembangan budaya dan teknologi, maka pengetahuan mengenai tumbuh-kembang anak pun semakin meningkat dan memunculkan material APE yang semakin beragam, baik jenis maupun ukurannya. Contoh APE yang digunakan untuk mengembangkan kemampuan anak, diantaranya : a. APE Peabody Kakak beradik Elizabeth Peabody adalah pendidik, penulis, dan pendiri Taman Kanak-kanak (kindergarten) pemerintah yang pertama di Amerika Serikat. Mereka mengarang dan membuat perangkat bahasa yang digunakan di Taman Kanak-kanak Di samping itu mereka menciptakan test perkembangan bahasa yang dikenal dengan Peabody Individual Achievement Test (PIAT) dan Peabody Picture Vocabulary Test (PPVT). Karena temuan mereka inilah Peabody dianggap sebagai pelopor dalam pengembangan bahasa. Dalam perkembangannya, program ini terkadang hanya digunakan sebagai tambahan atau selingan saja, sebab pilihan tentang perangkat permainan tergantung pada pilihan para pendidik. Hal lain yang juga menarik dari perangkat permainan Peabody adalah memiliki sifat yang sangat mendasar sehingga dapat digunakan dalam setiap ragam budaya. Dalam perangkat bahasa tersebut, terdapat dua boneka tangan yang berfungsi sebagai mediator yaitu P. Mooney dan Zoey, satu tongkat ajaib, satu kantong pintar dan berbagai gambar untuk meningkatkan kosa kata dan konsep
49
50
lainnya, papan magnit, seperangkat bentuk yang terbuat dari logam, piringan hitam yang berisi lagu maupun cerita. Program ini memberikan berbagai pengetahuan dasar yang mengacu pada pengembangan bahasa secara intensif yaitu pengenalan bentuk, warna, serta berbagai kosa kata sederhana dan mudah dimengerti anak. Sistem pengulangan yang diberikan dengan berbagai variasi membuat anak tidak bosan sekali pun mereka sudah mengetahuinya. Penggunaan imajinasi akan membantu anak menguasai dan mengembangkan kreativitasnya. Relevansi antara tema yang dipilih dan pengetahuan anak dari beragam budaya merupakan hal yang patut diperhatikan. Dengan metode ini, berbagai perasaan anak akan terungkap. Perasaan yang biasa dirasakan anak dalam kehidupan sehar-hari, kecemasan, ketakutan, perasaan senang, harapan, atau kesedihan dan akan terungkap dengan spontan. b. Balok Cuisenaire Balok Cuisenaire diciptakan oleh George Cuisenaire dari Belgia, karena ia mengamati sulitnya pemahaman matematika pada anak. Balok Cuisenaire ini banyak dipergunakan di berbagai negara Eropa dan di beberapa negara bagian Australia. Balok ini terdiri atas balok-balok yang berukuran: 1 x 1 x 1 cm dengan warna kayu asli 2 x 1 x 1 cm berwarna merah 3 x 1 x 1 cm berwarna hijau muda 4 x 1 x 1 cm berwarna merah muda 5 x 1 x 1 cm berwarna kuning 6 x 1 x 1 cm berwarna hijau tua 7 x 1 x 1 cm berwarna hitam 8 x 1 x 1 cm berwarna coklat 9 x 1 x 1 cm berwarna biru tua 10 x 1 x 1 cm berwarna jingga Balok-balok ini digunakan dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai sekolah dasar. Sebagai alat permainan bagi tingkat pendidikan dasar, alat ini sangat membantu anak dan besar manfaatnya. Bukan hanya sekedar konsep
50
51
matematika, tetapi juga untuk pengembangan bahasa dan untuk peningkatan ketrampilan anak dalam bernalar. Kemungkinan lain adalah dapat untuk: − mengembangkan kemampuan menghitung pada anak − pengenalan bilangan − pengenalan bilangan utuh Beberapa metode untuk lebih memahami konsep balok Cuisenaire dimulai dengan: − Menghitung tanpa mengerti, asal urutannya sesuai (root counting) − Menghitung dan memadukan satu-satu (one to one correspondence) − Menghitung dengan menggunakan syair-syair yang sederhana yang di dalamnya terdapat bilangan − Menggunakan balok Cuisenaire secara bebas dengan menggunakan bahasa − Di tingkat Taman Kanak-kanak, anak membuat karpet berbentuk segi empat yang kemudian digunakan untuk mengungkapkan beberapa istilah matematis. Hal ini sangat membantu wawasan berpikir dan penguasaan bahasa anak, lagi pula hal ini bersifat mendasar. Dalam memahami APE yang efektif bagi kemampuan dasar bahasa anak, lebih dahulu kita ketahui hal-hal berkenaan dengan bahasa berikut.
51
52
Termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 (diamandemen pada 10 aber2001)Pasa!31: (1). Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. (2).
Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya. (3).
Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan
nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Jika kalimat pada ayat-ayat pasal 31 tersebut dicermati secara seksama, maka tidak ada alasan bagi anak Indonesia tidak mengenyam pendidikan. Konsekuensi dari pernyataan ini adalah bagaimanapun kondisi anak, harus memperoleh sekurang-kurangnya hak pendidikan dasar. Pemaknaan ayat (3) bahwasannya kecerdasan bukan hanya IQ, tetapi juga ditentukan oleh EQ, SQ, Music Intelligece, dan sebagainya Multiple Intelligence. Yang dimaksud dengan pendidikan dasar adalah pendidikan sejak 0-8 tahun. Sesuai dengan psikologi perkembangan dan berdasarkan riset neurologi Kurun usia prasekolah merupakan masa peka belajar yang dalam aktivitas anak kerap menemui kesulitan didefinisikan Papalia21 sebagai penyimpangan yang mengganggu proses belajar dan prestasi anak yang dapat terjadi dalam proses berikut. − Atensi yaitu proses ketika stimulasi dideteksi, difokuskan, dan dialihkan, dari fokus yang lain. − Persepsi yaitu proses membandingkan stimuli dengan stimuli lainnya. − Memori yaitu proses penyimpanan stimuli secara sementara. − Kognisi yaitu proses memahami, mengidentifikasi, dan mengasosiasikan arti. − Encoding
21
Diane E. Papalia, Sally Wendkos Olds, Ruth Duskin Feldman, A Child’s World, Infancy Through Adolescence, McGraw-Hill, New York, 1999.
52
53
yaitu proses pemanggilan ulang arti untuk berpikir dan berkomunikasi serta melakukan respon. Sementara LD itu sendiri dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya: − ADD (Attention Deficit Disorder) dan Hiperaktif yaitu sindrom yang ditandai dengan hiperaktifitas dan jangka waktu konsentrasi yang pendek. − Disfasia yaitu kesulitan dalam proses berbicara dan bertutur. − Disgrafia yaitu kesulitan dalam kemampuan menulis. − Diskalkulia yaitu kesulitan dalam proses berhitung dan proses aritmatika lainnya. − Disleksia yaitu kesulitan dalam proses membaca. Gbr. Proses pemahaman tulisan (sumber: Scientific American) GBr. Wilayah yang memproses kata pada otak (sumber: Scientific American)
Sejarah Seni Bercerita (Storytelling) Seni bercerita telah berabad-abad lamanya melewati berbagai tradisi dan kepercayaan religius dari setiap masyarakat di dunia. Tradisi lisan merupakan salah satu bentuk seni tertua yang masih lestari hingga kini. Bentuk komunikasi ini sejak dahulu telah dipraktekkan di seluruh penjuru dunia, dari satu generasi ke generasi berikutnya yang disebarkan secara lisan oleh penyair pengelana atau leluhur dan atau pendongeng setempat. Sebuah buku daun papyrus dari Mesir yang dikenal sebagai Westcar Papyrus menunjukkan deskripsi pertama mengenai seni bercerita, meskipun sebuah dokumen Yunani kuno mengungkapkan bagaimana orang-orang pada zaman dahulu berkisah. Para penulis Yunani dan Romawi menciptakan istilah bard yang kini menjadi bagian dari bahasa Inggris. Kata ini digunakan untuk menggambarkan seseorang yang berkisah atau menceritakan. Awal abad 13 di
53
54
Irlandia, para bard mendapat tempat bergengsi di tengah masyarakat dan sebuah kedudukan khusus dalam komunitas mereka yang masih ada hingga sekarang. Bangsa Norse awal menggunakan istilah thulr untuk para pengkisah yang menyanyikan syair-syair panjang seperti beowulf. Di Rusia, kaum pengembara menyanyikan syair-syair lisan disebut byliny. Grup-grup penghibur yang disebut skomorockh berkeliling negeri, bernyanyi, menari, dan bercerita. Para pendongeng India berkelana dari desa ke desa membawa lembaran-lembaran gambar besar disebut kalamari yang mereka bentangkan untuk mengilustrasikan kisah-kisah cerita mereka. Di Cina penyair-penyair pengembara mengunjungi tempat-tempat berkumpul, menghibur penonton dengan berbagai cerita. Di Jepang pendongengpendongeng paling terkenal adalah para wanita Ainu dari Utara. Tradisi bercerita di Afrika pun sangat kaya. Orang-orang Kongo, Xhosa di Afrika Selatan, dan Swahili, sepanjang sejarah kebudayaan mereka memiliki syair-syair cerita yang panjang, yang dikisahkan para pendongeng di hampir setiap desa. Syair-syair epik disebut griot itu masih dipertahankan oleh para pendongeng secara turun-temurun di Afrika Barat. Suku nomaden di Amerika Utara dan kaum Aborigin di Australia memiliki tradisi lisan terdiri dari syair, kisah, lagu, budaya religius dan kesukuan yang selama berabad-abad lamanya disebarkan dengan kata-kata. Di Indonesia seni bercerita telah ada sejak zaman nenek moyang. Disebutkan Budhy Rahardjo (1984) bahwa tradisi seni bercerita antara lain disebarkan oleh para dalang melalui wayang. Wayang dapat juga disebut sebagai jenis ilustrasi cerita interaktif khas Indonesia. Diantara sekian jenis wayang terdapat Wayang Beber berbentuk lembaran-lembaran panjang yang dibentangkan berurutan sesuai kisah yang diceritakan. Wayang yang masih familiar di masyarakat sekarang adalah Wayag Kulit di Jawa Timur dan Wayang Golek di Jawa Barat. Selain seni pedalangan di berbagai daerah juga dikenal pendongeng keliling yang lebih menyerupai aktor tunggal sebuah kisah atau pementasan. Seni bercerita telah berhasil melewati berbagai tradisi dan kebudayaan dalam masa yang sangat panjang. Melalui kemampuannya, pencerita dapat menyinggung berbagai kisah kepercayaan agama, menjelaskan misteri dan fenomena alam, mempengaruhi norma-norma perilaku komunitas khusus atau
54
55
mengantarkan pendengar ke dunia fantasi. Hal tersebut merupakan dasar bercerita untuk anak. Pertamakali mendengarkan cerita diawali pada masa kanak-kanak. Peran seni bercerita sangat penting bagi perkembangan anak karena pada saat itulah anak pertamakali mengenal dunia luar yang belum pernah mereka lihat dan bahkan belum mereka sadari keberadaannya. Beberapa peran seni bercerita dalam proses belajar dan bermain anak antara lain: - membantu anak belajar mendengarkan - menambah perbendaharaan kata - meningkatkan pengetahuan anak mengenal dunia di luar dirinya - merangsang imajinasi - menumbuhkan ketretarikan terhadap kata-kata - memperkenalkan dan menularkan keinginan bercerita pada anak
KONSEP DIRI Peranan konsep diri dari dua segi, yaitu dari segi anak sebagai peserta didik dan dari segi pendidik sebagai sarana didik. Konsep diri merupakan salahsatu aspek afektif yang mempengaruhi pendekatan anak dalam belajar karena bagaimana cara individu anak memandang dirinya
akan
mempengaruhi
seluruh
perilakunya.
Banyak
bukti
yang
menunjukkan bahwa prestasi belajar yang rendah, motivasi belajar rendah, serta perilaku-perilaku menyimpang di kelas disebabkan persepsi dan sikap negatif terhadap diri sendiri. Banyak pula kasus yang menunjukkan bahwa kesulitan anak untuk mengikuti proses belajar-mengajar bukan disebabkan oleh tingkat kognitif yang rendah melainkan oleh karena sikap anak yang memandang dirinya tidak mampu melaksanakan tugas-tugas di sekolah. Sebagai
sarana
didik/fasilitator,
pendidik
diharapkan
mampu
meningkatkan konsep diri anak melalui proses belajar-mengajar. Padahal seluruh perilaku pendampingan pendidik tidak lepas dari konsep diri pendidik sendiri. Dengan kata lain untuk meningkatkan konsep diri anak ke arah yang lebih positif, pendidik harus mempunyai konsep diri yang positif pula.
55
56
56
57
Daftar Pustaka Flowers, B. S. 1988. Joseph Campbell: The Power of Myth with Bill Moyers. Doubleday. New York. Koki, Stan. 1998. Storytelling: The Heart and Soul of Education, PREL, Hawaii. L., Zulkifli. 2003. Psikologi Perkembangan. Rosdakarya. Bandung. Pathoni, Toto. 2006. Media Pembelajaran. UPI. Bandung. Seifert, Kelvin L. dan Robert J. Hoffnung. 1991. Child and Adolescent Development. Houghton Mifflin Company. Boston. Setiawan, Pindi. 2005. Kajian Bentuk dalam Senirupa Prasejarah. ITB. Bandung. Shahib, M. Nurhalim. 2003. Pembinaan Kreativitas Menuju Era Global.
PT
Alumni. Bandung. Stern, D. 1985. The Interpersonal World of The Infant: A View from Psychoanalysis and Developmental Psychology. Basic Books. New York. Zabel, M. K. 1991. Storytelling, Myths, and Folk Tales: Strategies for Multicultural Inclusion. PREL. Hawaii.
57
58
BAB III LANDASAN TEORI
Masa pemerintahan kolonial Belanda sampai akhir masa kekuasaannya di Indonesia diterapkan sistem pendidikan Froebel yang menekankan bermain sebagai kegiatan utama belajar anak secara dominan. Meskipun pada 1938 sebelum datangnya penjajahan Jepang (1942), Belanda sempat memperkenalkan sistem pendidikan Montessori yang lebih menitikberatkan pengembangan kepribadian anak. Pada periode pemerintahan Orde Lama (1950-1968) diterapkan kurikulum 1964, masa pemerintahan Orde Baru (1968-1998) diterapkan kurikulum 1968. Perkembangan selanjutnya pemerintah telah melakukan serangkaian perbaikan dan pergantian kurikulum yakni kurikulum 1976, kurikulum 1984, kurikulum 1993 yang diwarnai pandangan konstruktivis yang dimotori oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky, kemudian kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan pada tahun ajaran 2007 mulai diperkenalkan kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) yang target sosialisasinya diberlakukan bertahap hingga lima tahun mendatang.
kurikulum orde lama, orde baru, kurikulum 1976, kurikulum 1984, kurikulum 1993, kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan pada tahun ajaran 2007 mulai diperkenalkan kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan (KTSP) yang Montessori (1966) menyatakan bahwa lingkungan atau alam sekitar dapat mengundang minat anak untuk mempelajarinya.
58