Bab II LANDASAN TEORI
II.1
Laporan Laba Rugi dan Manajemen Laba Menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) nomor 23, laba
adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul akibat aktivitas normal perusahaan selama suatu periode bila arus masuk itu mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Kieso, Weygandt, Warfield (2001) menyatakan, “Income statement is the report that measures the success of enterprise operations for a given period of time. The business and investment community uses this report to determine profitablity, investment value, and credit worthiness.” (p. 130). Selanjutnya, Kieso et. al. menyatakan, “Net income results from revenue, expense, gain, and loss transactions. These transactions summarized in the income statement.” (p. 132). Pada dasarnya, laporan laba rugi terdiri dari 4 elemen yaitu pendapatan (revenue), beban (expense), keuntungan (gain) dan kerugian (loss). Berikut ini adalah definisi dari masing-masing unsur tersebut menurut Kieso et. al. 1. Revenues are inflows or other enhancements of assets of an entity or settlements of its liabilities during a period from delivering or producing goods, rendering services, or other activities that constitute the entity’s ongoing major or central. 2. Expenses are outflows or other using-up of assets or incurrences of liabilities during a period from delivering or producing goods, rendering services, or
8
carrying out other activities that constitute the entity’s ongoing major or central operation. 3. Gains are increases in equity (net assets) from peripheral or incidental transactions of an entity except those that result from revenues or investments by owners. 4. Losses are decreases in equity (net assets) from peripheral or incidental transactions of an entity except those that result from expenses or distributions to owners. Terdapat dua format laporan laba rugi, yaitu single step dan multiple step. Skousen, Stice, dan Stice menjelaskan kedua bentuk laporan laba rugi tersebut sebagai berikut, “With the single-step form, all revenue and gain that are identified as operating items are placed first on the income statement, followed by all expenses and losses that are identified as operating items. The difference between total revenues and gains and total expenses and losses represent income from operations. If there are no irregular or extraordinary items, this difference is also equal to net income (or loss). With the multiple-step form, the income statement is divided into separate section and various subtotals are reported that reflect different levels of profitability.” (p. 169). Secara singkat, Kieso et. al. menyatakan bahwa multiple step income statement menyajikan: 1. a separation of operating and nonoperating activities of the company; and 2.
a classifications of expenses by functions, such as merchandising or manufacturing (cost of goods sold), selling, and administration.
9
Pemisahan tersebut di atas membuat multiple step income statement memiliki lebih banyak bagian (section) daripada single step. Berikut ini adalah bagian-bagian dalam multiple step income statement menurut Kieso et. al.: 1. Operating section. A report of the revenues and expenses of the company’s principal operations. a. Sales or revenue section. A subsection presenting sales, discounts, allowances, return, and other related informations. Its purpose is to arrive at the net amount of sales revenue; b. Cost of goods sold section. A subsection that shows the cost of goods that were sold to produce the sales; c. Selling expenses. A subsection that lists expenses resulting from the company’s effort to make sales; d. Administrative or general expenses. A subsection reporting expenses of general administration. 2. Nonoperating section. A report of revenues and expenses resulting from secondary or auxiliary activities in the company. In addition, special gains and losses that are infrequent or unsual, but not both, are normally reported in this section. a. Other revenues and gains. A list of the revenues earned or gains incurred, generally net of related expenses, from nonoperating transactions; b. Other expenses and losses. A list of the expenses or losses incurred, generally net of any related incomes from nonoperating transactions.
10
3. Income tax. A short section reporting federal and state taxes levied on income from continuing operation. 4. Discontinued operation. Material gains or losses resulting from the disposition of a segment of the business. 5. Extraordinary item. Unsual and infrequent material gains and losses; 6. Cumulative effect of a change in accounting principle. 7. Earning per share (net income for the year deducted by preffered dividend, then divided by weighted averae of outstanding common stock). Berikut ini adalah contoh multiple step income statement sebagaimana dikutip dari Kieso et al. Income Statement Sales Revenue Sales Less: Sales Discount Sales returns and allowances Net sales revenue Cost of Goods Sold Merchandise Inventory (beginning) Purchases Less: Purchase discounts Net purchases Freight and transportation-in Total merchandise avaialable for sale Less: Merchandise inventory (ending) Cost of goods sold Gross profit on sales Operating Expenses Selling expenses Administrative expenses Income from operations Other Revenues and Gains Other Expenses and Losses Income before income tax Income tax Net income for the year Earning per common share
xxx xxx xxx
(xxx) xxx
xxx xxx xxx xxx xxx
xxx xxx xxx (xxx) xxx xxx xxx
(xxx) xxx xxx (xxx) xxx (xxx) xxx xxx 11
Pada dasarnya, format laporan laba rugi perbankan di Indonesia tidak jauh berbeda dengan laporan laba rugi pada industri lainnya (lihat Lampiran 1). Mengacu kepada Peraturan BI No. 7/10/PBI/2005, laporan laba rugi untuk perbankan juga berbentuk multiple step, di mana terdapat pemisahan antara Pendapatan dan Beban Operasional dengan Pendapatan dan Beban Nonoperasional. Terlepas dari segala kegunaan informasi yang dikandung di dalamnya, menurut Kieso et al. laporan laba rugi memiliki keterbatasan sebagai berikut: 1. Items that can not be measured reliably are not reported in the income statement. For example; brand recognition, customer service, and product quality; 2. Income numbers are affected by the accounting methods employed. For example; depreciation method (straight line, double declining, sum of the year digit) and inventory valuation method (FIFO, LIFO, Average); and 3. Income measurement involve judgement. For example, judgement in useful life of fixed assets and judgement in bad debt write-off. Keterbatasan-keterbatasan laba rugi tersebut dinilai dapat memberi peluang kepada manajemen untuk melakukan manajemen laba. Kieso et al. dalam Intermediate Accounting mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut, “Planned timing of revenues, expenses, gains and losses to smooth out bumps in earnings.” (p. 132). Artinya, manajemen laba digunakan untuk meningkatkan laba pada tahun berjalan pada beban atas pendapatan di masa yang akan datang (misalnya dengan mengakui income sebelum waktunya) atau sebaliknya mengurangi laba tahun berjalan dengan tujuan meningkatkan income di masa yang akan datang.
12
Penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa manajemen laba dapat diminimalisasi dengan terpenuhinya komponen-komponen good corporate governance. Tabel berikut ini menunjukkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya terkait komponenkomponen good corporate governance yang berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap praktek manajemen laba sebagaimana terangkum dalam penelitian Nasution dan Setiawan (2007), Darmawati (2003), serta Ujiyantho dan Pramuka (2007).
Tabel II.1 Perbandingan Hasil Penelitian Mengenai Manajemen Laba
No.
Komponen
Komponen Berpengaruh
Komponen Tidak
yang Diuji
Terhadap Manajemen Laba
Berpengaruh Terhadap Manajemen Laba
1.
Keberadan
Xie, Davidson, dan Dadalt
Komite Audit
(2003), Veronica dan Bachtiar
Utama dan Veronica (2005)
(2004), Wedari (2004), dan Wilopo (2004). 2.
Ukuran Dewan Beasley (2000), Klein (2002), Direksi
Widyaningdyah (2001)
Chtourou (2001), Setiawan (2006), dan Wilopo (2004).
3.
Proporsi Dewan Peasnell, Pope, dan Young
Klein (2002), Utama et. al.,
Komisaris
(1998), Xie et. al., dan
dan Boediono (2005).
Independen
Chtourou (2001).
13
II.2
Asimetri Informasi Menurut Sano dan Baridwan (2000), sama halnya dengan konsep manajemen
laba lainnya, perataan laba juga didasari oleh kerangka pemikiran teori keagenan (agency theory) yang menyatakan bahwa praktek manajemen laba dipengaruhi oleh konflik kepentingan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) yang timbul ketika setiap pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendakinya. Berikut ini adalah definisi hubungan keagenan menurut Jensen dan Meckling (1976) sebagaimana dikutip oleh Daryatno (2004) dalam Hanny (2006), “Merupakan kontrak di mana satu atau lebih prinsipal menyewa orang lain (agen) untuk melakukan beberapa jasa untuk kepentingan mereka dengan mendelegasikan beberapa wewenang untuk membuat keputusan kepada pihak agen. Dalam teori agensi, prinsipal (pemilik) dan agen (manajer) mempunyai kepentingan yang berbeda.” (h. 9). Dalam hubungan keagenan tersebut, pihak agent memiliki informasi internal perusahaan dalam jumlah yang relatif lebih banyak daripada pihak principal. Artinya, terdapat suatu asimetri informasi antara principal dengan agent. Kondisi inilah yang kemudian memberi peluang kepada pihak agent untuk melakukan perataan laba. Terkait permasalahan asimetri informasi ini, pada dasarnya penerapan good corporate governance dapat menjadi suatu bentuk perlindungan efektif bagi pemegang saham, kreditur, serta pihak-pihak pemegang kepentingan lainnya. Singkatnya, tujuan utama dari good corporate governance adalah untuk menciptakan nilai tambah bagi seluruh pemegang kepentingan (Forum Corporate Governance Indonesia (FCGI) 2003).
14
II.3
Good Corporate Governance II.3.1 Definisi dan Tujuan Good Corporate Governance Menurut Monks & Minow (2001) seperti yang dikutip oleh Wardhani (2006) dalam Hanny (2006), corporate governance adalah tata kelola antara perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan. Sedangkan Komite Cadburry dalam FCGI mendefinisikan good corporate governance sebagai berikut, “Prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders pada umumnya.” (h. 1). Sedangkan menurut FCGI itu sendiri, corporate governance adalah perangkat yang bertujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Secara lebih rinci, terminologi corporate governance dapat digunakan untuk menjelaskan peranan dan perilaku dari Dewan Direksi, Dewan Komisaris, pengurus (pengelola) perusahaan, dan para pemegang saham. Maka dapat disimpulkan bahwa good corporate governance adalah perangkat pengelolaan perusahaan yang dirancang sedemikian rupa untuk melindungi kepentingan seluruh pihak dalam perusahaan yang bersangkutan. Dapat pula dikatakan good corporate governance merupakan suatu sarana yang menejembatani pertentangan kepentingan (conflict of interest) dalam tubuh perusahaan sehingga dapat terpetakan dengan baik hak dan kewajiban masingmasing pihak yang berkepentingan.
15
Ada pun manfaat good corporate governance menurut Daniri (2005) dalam Hanny (2006) antara lain: a. memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan; b. mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang, ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut; c. mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dan pengelolaan permasalahan, baik yang menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat risiko perusahaan; d. meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan di mata publik dalam jangka panjang; dan e. menciptakan dukungan para stakeholders dalam lingkungan perusahaan terhadap keberadaan perusahaan, serta berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal, dan segala tindakan dan operasi perusahaan dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan.
II.3.2 Asas-asas Good Corporate Governance Menurut Pedoman Umum Corporate Governance (Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) – 2006), terdapat lima asas atau unsur atau 16
prinsip good corporate governance yang harus diterapkan pada setiap aspek bisnis serta pada seluruh jajaran perusahaan, yaitu asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kesetaraan dan kewajaran yang diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha dengan memperhatikan pemangku kepentingan. Berikut ini adalah penjelasan atas kelima asas tersebut di atas. 1. Transparency (keterbukaan informasi). Keterbukaan informasi baik dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. Informasi yang disediakan (informasi keuangan dan informasi Iainnya) haruslah informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan. Dengan penerapan transparansi perusahaan terhindar dari benturan kepentingan; 2. Accountability (akuntabilitas). Akuntabilitas adalah kejelasan fungsi, struktur, sistem dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Dengan penerapan accountability secara efektif, akan ada kejelasan wewenang, hak, dan kewajiban antara pemegang saham, Dewan Komisaris. serta Direksi sehingga perusahaan terhindar dari kondisi agency problem (benturan kepentingan dan peran); 3. Responsibility (pertanggungjawaban). Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (kepatuhan) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan yang berlaku ini juga berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industri, perlindungan lingkungan hidup, 17
kesehatan/keselamatan kerja, dan persaingan yang sehat. Prinsip responsibility
ini
juga
diharapkan
membantu
peran
pemerintah
mengurangi kesenjangan pendapatan dan kesempatan kerja pada golongan masyarakat yang belum mendapatkan manfaat dan mekanisme pasar; 4. Independency (kemandirian). Independensi atau kemandirian adalah suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dan pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip corporate yang sehat; dan 5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran). Secara sederhana, kesetaraan dan kewajaran bisa didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian
serta
peraturan
perundangan
yang
berlaku.
Fairness
memerlukan sebuah syarat agar bisa dilakukan secara efektif yaitu peraturan perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten dan dapat ditegakkan secara efektif. Hal ini penting karena akan menjadi penjamin adanya perlindungan hak-hak pemegang saham manapun, tanpa pengecualian.
II.3.3 Indikator-Indikator Penilaian Good Corporate Governance Terdapat beberapa dimensi yang dapat dijadikan tolak ukur penilaian penerapan good corporate governance dalam suatu perusahaan. Berikut ini
18
adalah dimensi-dimensi good corporate governance menurut Suprayitno (2005) dalam Hanny (2006): 1. Transparansi dalam pengelolaan usaha korporasi Dengan adanya pengungkapan informasi yang relevan dan akurat dalam laporan tahunan (annual report) dan laporan keuangan perseroan kepada pemegang saham, maka dapat meningkatkan kepercayaan pemodal akan kualitas
laporan
keuangan
yang
dipublikasikan.
Indikator
yang
menggambarkan karakteristik transparansi dalam menunjang kualitas informasi keuangan perusahaan diwujudkan oleh annual report korporasi yang: a. mengungkapkan susunan kepemilikan korporasi; b. mengungkapkan keadaan (going concern) korporasi; c. meninjau operasional (operational review) korporasi; d. mempunyai prospek usaha untuk masa yang akan datang (future prospect); e. terdapat keterangan mengenai sumber daya manusia perusahaan; dan f. terdapat keterangan mengenai pekerjaan utama lainnya dari komisaris dan direksi. 2. Peranan Komite Fungsional dalam tata kelola korporasi yang baik Komite fungsional dibentuk dan berfungsi untuk meningkatkan kualitas keterbukaan dan pelaporan keuangan, serta mendorong terbentuknya struktur
pengawasan
internal
yang
memadai.
Indikator
yang
menggambarkan karakteristik peranan Komite Fungsional dalam 19
peningkatan kualitas keterbukaan dan pelaporan keuangan diwujudkan oleh korporasi yang: a. memiliki Komite Audit yang secara aktif berfungsi dalam korporasi; b. memiliki anggota Komite Audit yang independen; dan c. memiliki komite kepatuhan yang secara aktif berfungsi dalam korporasi. 3. Peranan Sekretaris Perusahaan dalam tata kelola korporasi yang baik Sebagai petugas penghubung dengan investor, petugas yang mematuhi ketentuan-ketentuan
undang-undang
dan
penyelenggara
dokumen
perusahaan. Sekretaris perusahaan bertanggung jawab secara langsung kepada Direksi, dan berperan dalam keterbukaan informasi. 4. Tata kelola Dewan Komisaris Dewan Komisaris bertugas dalam menentukan suatu sistem yang transparan untuk pengangkatan para eksekutif, penentuan gaji dan tunjangan para eksekutif tersebut, dan penilaian kinerja mereka. Dalam menjalankan fungsinya, Dewan Komisaris harus mampu bertindak secara independen, efektif, tepat, dan cepat. 5. Tata Kelola Dewan Direksi Direksi berkewajiban menetapkan suatu sistem pengawasan internal yang efektif dalam upaya untuk mencapai kepastian berkenaan dengan kebenaran informasi keuangan yang dipublikasikan. Artinya, Direksi bertanggung jawab dalam memelihara kepercayaan investor akan informasi keuangan perusahaan. 20
II.4
Perataan Laba II.4.1 Definisi dan Tujuan Perataan Laba Menurut Koch dalam Suwito dan Herawaty (2005), perataan laba dapat didefinisikan sebagai cara yang digunakan oleh manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan agar sesuai dengan target yang diinginkan baik secara artifisial melalui metode akuntansi, maupun secara riil melalui transaksi. Sedangkan Beidleman dalam Accounting Theory karya Belkaoui (2004) mendefinisikan perataan laba sebagai berikut, “Smoothing of reported earnings may be defined as the intentional dampening or fluctuations about some level of earnings that is currently considered to be normal for a firm. In this sense smoothing represents an attempt on the part of the firm’s management to reduce abnormal variations in earnings to be extent allowed under sound accounting and management principles.” (p. 450). Ada pun menurut Foster (1986) sebagaimana tercantum dalam Suwito et al., tujuan dari perataan laba antara lain: 1. memperbaiki citra perusahaan di mata pihak luar bahwa perusahaan tersebut memiliki resiko yang rendah; 2. memberikan informasi yang relevan dalam melakukan prediksi terhadap laba di masa mendatang; 3. meningkatkan kepuasan relasi bisnis; 4. meningkatkan persepsi pihak eksternal terhadap kemampuan manajemen; dan 5. meningkatkan kompensasi bagi pihak manajemen.
21
Sedangkan menurut Heyworth dalam Sano et al. terdapat empat tujuan manajemen melakukan perataan laba: 1. mengurangi total pajak terutang; 2. meningkatkan kepercayaan diri manajer yang bersangkutan karena penghasilan yang stabil dinilai dapat mendukung kebijakan dividen yang stabil pula; 3. meningkatkan hubungan antara manajer dan karyawan karena pelaporan penghasilan yang meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji dan upah; dan 4. siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat dibandingkan dan gelombang optimisme dan pesimisme dapat diperlunak. Lako (2006) juga berpendapat bahwa motif manajemen melakukan perataan laba di antaranya untuk menghindari pembayaran pajak dalam jumlah yang lebih besar, atau bahkan untuk menghindari pembayaran dividen kepada para pemegang saham. Maka dapat disimpulkan bahwa perataan laba adalah salah satu bentuk manipulasi laba yang dilakukan oleh manajemen agar laba perusahaan yang dikelolanya terlihat stabil dari tahun ke tahun.
II.4.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perataan Laba Terdapat berbagai hal yang mendorong manajemen untuk melakukan perataan laba. Berbagai penelitian telah dilakukan dari tahun ke tahun untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi perataan laba. Terdapat beberapa pertentangan antara hasil satu penelitian dengan penelitian lainnya. Tabel berikut 22
ini menunjukkan hasil penelitian-penelitian sebelumnya terkait hal-hal yang berpengaruh dan tidak berpengaruh terhadap praktek perataan laba sebagaimana terangkum dari lembar penelitian Sano et al., Suwito et al., dan Masodah.
Tabel II.2 Perbandingan Hasil Penelitian Mengenai Perataan Laba
No.
Variabel
Variabel Berpengaruh
Variabel Tidak
yang Diuji
Terhadap Perataan Laba
Berpengaruh Terhadap Perataan Laba
1.
Total aktiva
Moses (1987)
Ilmainir (1993), Ashari dkk (1994), Zuhroh (1996), Jin dan Machfoedz (1998)
2.
Profitabilitas
Archibald (1967), White
Zuhroh (1996), Jin dan
(1970), Ashari dkk (1994),
Machfoedz (1998)
Carlson dan Chenchuramaiah (1997) 3.
Kelompok
Belkaoui dan Picur(1984),
Jin dan Machfoedz (1998),
usaha
Albrecht dan Richardson
Assih (1998)
(1990), Ashari (1994) 4.
Harga saham
Ilmainir (1993)
5.
Leverage
Zuhroh (1996), Jin dan
operasi
Machfoedz (1998)
Assih (1998)
23
Dalam penelitian yang menyimpulkan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap perataan laba, peneliti membuktikan melalui uji hipotesisnya bahwa perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang rendah memiliki kecenderungan untuk melakukan perataan laba. Sedangkan berdasarkan kelompok usahanya, terdapat indikasi bahwa perusahaan dalam bidang usaha (industri) yang beresiko tinggi memiliki kecenderungan untuk meratakan laba, misalnya perusahaan yang bergerak di bidang perbankan, pembiayaan, dan investasi. Sebagaimana terlihat dalam tabel di atas, tingkat profitabilitas dan bidang usaha diyakini banyak ahli sebagai faktor yang paling berpengaruh dalam praktek perataan laba.
II.4.3 Metode Perataan Laba Berikut ini adalah pengklasifikasian metode perataan laba menurut beberapa ahli sebagaimana tercantum dalam Assih dan Gudono (2000). 1. Bartov (1993): a. Accrual
based
yaitu
manipulation,
manipulasi
dengan
menggunakan metode atau taksiran akuntansi atau dengan memperlakukan
transaksi
yang
menyebabkan
laba
yang
dilaporkan lebih mendekati angka yang ditargetkan; dan b. Real
manipulation,
yaitu
memanipulasi
dengan
cara
memaksimalkan aliran kas yang diharapkan untuk saat ini.
24
2. Dascher dan Malcom (1970): a. Real smoothing yaitu dengan sengaja melakukan atau tidak melakukan sesuatu dengan pertimbangan pengaruh perataannya terhadap laba; dan b. Artificial smoothing yaitu perataan laba dengan menerapkan prosedur akuntansi untuk memindah biaya dan/atau pendapatan dari satu periode ke periode yang lain. 3. Ronen dan Sadan (1975): a. Perataan laba melalui kejadian dan/atau pendapatan dari satu periode ke periode yang lain (smoothing through event occurrence and/or recognition); b. Perataan laba melalui alokasi selama periode tertentu (smoothing thorugh allocation over time); dan c. Perataan laba melalui klasifikasi (clasification smoothing).
II.5
Sekretaris Perusahaan, Komite Audit, Dewan Direksi, dan Dewan Komisaris Independen Sebagaimana dijabarkan dalam dimensi-dimensi good corporate governance
menurut Suprayitno di atas, keberadaan Sekretaris Perusahaan, Komite Audit, Dewan Direksi, dan Dewan Komisaris adalah tolak ukur penilaian atas penerapan good corporate governance. Berdasarkan pembagian dimensi itulah peneliti memutuskan untuk menggunakan keberadaan Sekretaris Perusahaan, keberadaan Komite Audit, ukuran Dewan Direksi, dan komposisi Dewan Direksi sebagai variabel independen dalam penelitian ini. Oleh karena itu, dalam bagian ini akan diuraikan lebih lanjut 25
landasan teori mengenai keempat variabel independen tersebut, diikuti dengan rumusan hipotesis yang didasarkan pada landasan teori masing-masing variabel.
1.
Sekretaris Perusahaan Menurut Peraturan Bapepam No. IX.I.4, setiap perusahaan yang tecatat di Bursa
Efek wajib membentuk Sekretaris Perusahaan yang berfungsi untuk menjamin keterbukaan informasi antar pemegang kepentingan. Artinya, Sekretaris Perusahaan berperan penting dalam mewujudkan asas transparansi dalam good corporate governance. Ada pun tugas Sekretaris Perusahaan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Bapepam tersebut antara lain: 1. mengikuti perkembangan Pasar Modal khususnya peraturan-peraturan yang berlaku di bidang Pasar Modal; 2. memberikan pelayanan kepada masyarakat atas setiap informasi yang dibutuhkan pemodal yang berkaitan dengan kondisi emiten atau perusahaan publik; 3. memberikan masukan kepada direksi emiten atau perusahaan publik untuk mematuhi ketentuan Undang-undang nomor 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya; dan 4. sebagai penghubung atau contact person antara emiten atau perusahaan publik dengan Bapepam dan masyarakat. Kewajiban untuk membentuk Sekretaris Perusahaan bagi perusahaan publik juga dinyatakan oleh Bursa Efek Indonesia (saat itu masih bernama Bursa Efek Jakarta) sebagaimana tercantum dalam Kep-305/BEJ/07-2004. Dinyatakan dalam Keputusan BEJ tersebut bahwa perusahaan tercatat harus membentuk Sekretaris Perusahaan yang dilaksanakan oleh salah seorang direktur atau pejabat perusahaan yang khusus ditunjuk 26
untuk menjalankan fungsi tersebut. Apabila Sekretaris Perusahaan bukan merupakan direktur di perusahaan yang bersangkutan, maka Dewan Direksi harus bertanggung jawab atas setiap informasi yang disampaikan oleh Sekretaris Perusahaan. Selain itu, Sekretaris Perusahaan harus memiliki akses terhadap informasi material dan relevan yang berkaitan dengan perusahaan dan menguasai peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal khususnya yang berkaitan dengan masalah keterbukaan. Ditambahkan dalam Kep-305/BEJ/07-2004, Sekretaris Perusahaan juga wajib menjalankan tugas-tugas sebagai berikut: 1. menyiapkan daftar khusus yang berkaitan dengan direksi, komisaris dan keluarganya baik dalam perusahaan tercatat maupun afiliasinya yang antara lain mencakup kepemilikan saham, hubungan bisnis dan peranan lain yang menimbulkan benturan kepentingan dengan perusahaan tercatat; 2. membuat daftar pemegang saham termasuk kepemilikan 5% (lima perseratus) atau lebih; 3. menghadiri rapat direksi dan membuat minuta hasil rapat; dan 4. bertanggung jawab dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham. Sedangkan tugas Sekretaris Perusahaan menurut KNKG antara lain: 1. memastikan kelancaran komunikasi; dan 2. menjamin tersedianya informasi yang boleh diakses oleh pemangku kepentingan sesuai dengan kebutuhan wajar dari pemangku kepentingan. Berdasarkan rincian tugas dari Sekretaris Perusahaan di atas, dapat disimpulkan bahwa diharapkan keberadaan Sekretaris Perusahaan dapat mengurangi tingkat asimetri informasi dalam perusahaan tercatat. Kaitannya dengan praktek perataan laba, keberadaan Sekretaris Perusahaan diharapkan mampu menjamin keterbukaan dalam hal 27
informasi laba sehingga dapat mengurangi peluang manajemen untuk melakukan perataan laba. Atas dasar pemikiran tersebut, peneliti merumuskan Ha.1 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara keberadaan Sekretaris Perusahaan dengan praktek perataan laba.
2.
Komite Audit Menurut Kep-305/BEJ/07-2004, Komite Audit adalah komite yang dibentuk
oleh Dewan Komisaris dalam rangka membantu melaksanakan tugas dan fungsinya dalam melakukan pengawasan, di mana keanggotaan Komite Audit sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang anggota, dan seorang di antaranya merupakan Komisaris Independen perusahaan yang sekaligus merangkap sebagai ketua Komite Audit, sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen, di mana sekurang-kurangnya satu di antaranya memiliki kemampuan di bidang akuntansi dan/atau keuangan. Ada pun tugastugas Komite Audit menurut Keputusan BEJ tersebut antara lain: 1. melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan oleh perusahaan seperti Laporan Keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan lainnya; 2. menelaah independensi dan objektivitas akuntan publik; 3. melakukan penelaahan atas kecukupan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik untuk memastikan semua
risiko yang penting telah
dipertimbangkan; 4. melakukan penelaahan atas efektivitas pengendalian internal perusahaan;
28
5. menelaah tingkat kepatuhan perusahaan tercatat terhadap peraturan perundangundangan di bidang Pasar Modal dan peraturan perundangan lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan; dan 6. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan adanya kesalahan dalam keputusan rapat direksi atau penyimpangan dalam pelaksanaan hasil keputusan rapat direksi. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan oleh Komite Audit atau pihak independen yang ditunjuk oleh Komite Audit atas biaya perusahaan tercatat yang bersangkutan Rumusan persyaratan yang sama juga dikemukakan oleh Bapepam melalui Peraturan No. IX.I.5. Selain itu, Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa selain memiliki Komite Audit, emiten juga harus memiliki pedoman kerja komite audit (audit committee charter). Dinyatakan pula dalam Peraturan ini bahwa Komite Audit bertanggung jawab langsung kepada Dewan Komisaris. Lebih lanjut lagi, dalam rangka menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance pada bank umum, Bank Indonesia melalui PBI No. 8/4/PBI/2006 menyatakan bahwa Komite Audit harus melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap: 1. pelaksanaan tugas Satuan Kerja Audit Intern; 2. kesesuaian pelaksanaan audit oleh Kantor Akuntan Publik dengan standar audit yang berlaku; 3. kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi yang berlaku; dan 4. pelaksanaan tindak lanjut oleh Direksi atas hasil temuan Satuan Kerja Audit Intern, akuntan publik, dan hasil pengawasan Bank Indonesia, guna memberikan rekomendasi kepada dewan Komisaris.
29
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi Komite Audit adalah membantu Dewan Komisaris dalam hal terciptanya mekanisme pengawasan secara menyeluruh, termasuk dalam hal penerapan good corporate governance di lingkungan perusahaan. Hal ini diharapkan dapat memperkecil kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam aktivitas perusahaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, peneliti merumuskan Ha.2 yang menyatakan bahwa keberadaan Komite Audit berpengaruh negatif terhadap praktek peraataan laba.
3.
Dewan Direksi Menurut KNKG, Dewan Direksi adalah organ perusahaan yang bertugas secara
kolegial dalam mengelola perusahaan. Pada dasarnya, fungsi pengelolaan perusahaan oleh Direksi mencakup 5 tugas utama yaitu kepengurusan, manajemen risiko, pengendalian internal, komunikasi, dan tanggung jawab sosial. Agar pelaksanaan tugas Direksi tersebut dapat berjalan secara efektif, maka perlu dipenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. komposisi direksi harus sedemikian rupa sehingga memungkinkan pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat, serta dapat bertindak independen; 2. Direksi harus profesional yaitu berintegritas dan memiliki pengalaman serta kecakapan yang diperlukan untuk menjalankan tugasnya; 3. Direksi bertanggung jawab terhadap pengelolaan perusahaan agar dapat menghasilkan keuntungan (profitability) dan memastikan kesinambungan usaha perusahaan; dan 4. Direksi mempertanggungjawabkan kepengurusannya dalam RUPS sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 30
Dalam industri perbankan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam PBI, usul untuk mengangkat atau memberhentikan direksi harus disampaikan oleh Dewan Komisaris melalui RUPS dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Komite Renumerasi dan Nominasi. Selain itu, direksi harus terlebih dahulu lulus dari fit and proper test sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI. Kemudian dalam menjalankan tugasnya, anggota direksi dilarang merangkap jabatan sebagai komisaris dan perjabat eksekutif pada bank yang bersangkutan dan/atau pada lembaga lainnya. Ada pun jumlah minimum yang disyaratkan oleh BI kepada seluruh bank umum di Indonesia adalah tiga orang direktur. Mengingat diperlukannya pengambilan keputusan yang efektif dan tepat waktu, maka diperlukan suatu koordinasi yang baik antar direktur suatu perusahaan. Jumlah anggota direksi yang terlalu banyak dapat mempersulit dicapainya keputusan yang efektif dan tepat waktu, sehingga memperlemah fungsi pengendalian dan membuka lebih banyak peluang dilakukannya manipulasi oleh pihak manajemen. Oleh karena itu, Ha.3 dalam penelitian ini menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan antara ukuran Dewan Direksi dengan praktek perataan laba.
4.
Dewan Komisaris Independen Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006, Komisaris Independen
adalah anggota dewan Komisaris yang tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham dan/atau hubungan keluarga dengan anggota dewan Komisaris lainnya, Direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan lain yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen. Keberadaan Komisaris Independen ini dimaksudkan untuk mendorong terciptanya iklim dan 31
lingkungan kerja yang lebih objektif dan menempatkan kewajaran (fairness) dan kesetaraan di antara berbagai kepentingan termasuk kepentingan pemegang saham minoritas dan stakeholders lainnya. Menurut Kep-305/BEJ/07-2004, sebuah perusahaan tercatat harus memiliki Komisaris Independen sejumlah minimal 30% dari total Dewan Komisaris di perusahaan yang bersangkutan. Ada pun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi Komisaris Independen antara lain: 1. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali perusahaan yang bersangkutan; 2. tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan direktur dan/atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan; 3. tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan; dan 4. memahami peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Secara lebih rinci, FCGI merumuskan tujuh kriteria yang harus dipenuhi oleh Komisaris Independen. Kriteria-kriteria tersebut antara lain: 1. Komisaris Independen bukan merupakan anggota manajemen; 2. Komisaris Independen bukan merupakan pemegang saham mayoritas, atau seorang pejabat dari atau dengan cara lain yang berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemegang saham mayoritas dari perusahaan; 3. Komisaris Independen dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tidak dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai eksekutif oleh perusahaan atau perusahaan lainnya dalam satu kelompok usaha dan tidak pula dipekerjakan dalam kapasitasnya sebagai komisaris setelah tidak lagi menempati posisi seperti itu; 32
4. Komisaris Independen bukan merupakan penasehat profesional perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok dengan perusahaan tersebut; 5. Komisaris Independen bukan merupakan seorang pemasok atau pelanggan yang signifikan dan berpengaruh dari perusahaan atau perusahaan lainnya yang satu kelompok, atau dengan cara lain berhubungan secara langsung atau tidak langsung dengan pemasok atau pelanggan tersebut; 6. Komisaris Independen tidak memiliki kontraktual dengan perusahaan atau dengan perusahaan lain dalam kelompok yang sama; dan 7. Komisaris Independen harus bebas dari kepentingan dan urusan bisnis apapun atau hubungan lainnya yang dapat, atau secara wajar dapat dianggap sebagai campur tangan secara material dengan kemampuannya sebagai seorang komisaris untuk bertindak demi kepentingan yang menguntungkan perusahaan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembentukkan Komisaris Independen ditujukan untuk meningkatkan independensi dalam peranan Dewan Komisaris, sehingga dapat meningkatkan objektivitas, kewajaran (fairness) dan kesetaraan di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini berarti, Dewan Komisaris Independen memiliki peranan penting dalam mengantisipasi hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip good corporate governance. Berdasarkan pemikiran tersebut, peneliti merumuskan Ha.4 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara Komposisi Komisaris Independen dengan praktek perataan laba.
II.6
Teori Statistika Perangkat statistik yang digunakan dalam penelitian ini antara lain uji model fit,
uji normalitas, uji multikolinearitas, statistik deskriptif, dan uji regresi logistik untuk 33
pengujian hipotesis penelitian. Pada bagian ini akan dijelaskan seluruh teori statistika yang mendasari setiap perangkat statistik yang akan digunakan tersebut.
II.6.1 Uji Model Fit, Uji Normalitas, dan Uji Multikolinearitas Menurut Ghozali, langkah pertama dalam uji regresi logistik adalah menguji overall fit model terhadap data yang bertujuan untuk membuktikan bahwa data empiris cocok/sesuai dengan model regresi. Pengujian ini dapat dilakukan dengan Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test di mana suatu model dapat dikatakan layak apabila signifikansinya lebih besar dari 0,05. Menurut Priyatno (2008), jika metode parametrik digunakan dalam penelitian, maka data yang digunakan harus berasal dari distribusi yang normal. Oleh karena itu, diperlukan uji normalitas yang bertujuan untuk mengetahui apakah populasi data berdistribusi normal atau tidak. Uji ini biasanya digunakan untuk mengukur data berskala ordinal, internal, dan rasio. Normalitas data dapat diuji melalui One Sample Kolmogorov-Sminov di mana data dianggap berdistribusi normal apabila signifikansinya lebih besar dari 0,05. Selain itu menurut Priyatno, suatu model regresi juga harus bebas dari persoalan multikolinearitas, yaitu terjadinya suatu hubungan liniear antar variabel independen. Hal ini mengakibatkan koefisien regresi bernilai kecil dan standard error regresi bernilai besar sehingga pengujian terhadap variabel independen secara terpisah menjadi tidak signifikan. Terjadinya multikolinearitas dapat dideteksi dengan nilai variance inflation factor (VIF) di mana suatu model regresi dianggap tidak memiliki gejala terjadinya multikolinearitas apabilai nilai VIF kurang dari atau sama dengan lima. 34
II.6.2 Statistik Deskriptif Menurut Priyatno, statistik deskriptif menggambarkan tentang ringkasan datadata penelitian seperti frekuensi data, mean (rata-rata), standar deviasi (dispersi ratarata), varian, modus, dll.
II.6.3 Regresi Logistik Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik regresi logistik. Menurut Ghozali, regresi logistik digunakan untuk menguji apakah probabilitas terjadinya variabel terikat dapat diprediksi dengan variabel bebasnya. Artinya, pengujian ini bertujuan untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Ada pun penggunaan regresi logistik (dan bukan regresi linear) dalam penelitian ini disebabkan oleh keberadaan variabel dependen yang berskala nominal. Apabila regresi linear digunakan, variabel berskala nominal yang tidak memiliki sebaran data normal tersebut dapat mengakibatkan error dalam model regresi, serta membuat hasil regresi menjadi tidak layak untuk diinterpretasikan. Oleh karena itu, regresi logistik yang berdasarkan pada fungsi likelihood (probabilitas bahwa model yang dihipotesakan mampu menggambarkan data input) lebih tepat untuk digunakan. Menurut Priyanto, tingkat signifikansi yang biasa digunakan dalam uji regresi adalah 5% dan 10%. Signifikan itu sendiri berarti kesimpulan pada sampel cukup meyakinkan untuk diberlakukan kepada populasi. Tingkat signifikansi 10% berarti mengambil resiko atas kesalahan dalam pengambilan keputusan sebesar-besarnya 10% dengan tingkat kepercayaan (confidence level) 90%.
35