BAB II LANDASAN TEORI
"Often the difference between a successful man and a failure is not one's better abilities or ideas, but the courage that one has to bet on his ideas, to take a calculated risk, and to act." - Maxwell Maltz -
2.1. Balanced Scorecard Konsep Balanced Scorecard (BSC) pertama kali diperkenalkan oleh Dr. David Norton (CEO Nolan-Norton yang kini menjadi President Balanced Scorecard Collaborative – BSCol) dan profesor Harvard Business School Dr. Robert Kaplan melalui tulisannya di Harvard Business Review (HBR) tahun 1992. Tulisan berjudul Balanced Scorecard – Measures That Drive Performance merupakan kesimpulan dari hasil studi mendalam yang dilakukan terhadap 12 perusahaan manufaktur dan jasa tahun 1990. Suksesnya tulisan tersebut diikuti dengan serangkaian artikel HBR lainnya yang secara detil menjelaskan bagaimana BSC dimanfaatkan dalam organisasi dan bagaimana pengalaman pihak yang pertama menerapkannya membantu menyempurnakan metodologi BSC. Seluruh artikel tersebut menjadikan konsep BSC mengalami evolusi dari awalnya hanya sebagai kerangka pengukuran kinerja menjadi kerangka manajemen dan implementasi strategi di mana pengukuran kinerja hanya salah satu elemen inti saja. 4
5
Balanced Scorecard (BSC) telah menjelma menjadi sistem manajemen organisasi yang paling komprehensif dan diimplementasikan secara meluas di berbagai organisasi swasta maupun pemerintah. Banyak perusahaan yang telah mengklaim bahwa mereka telah mengadopsi BSC namun beberapa di antaranya tidak berkesinambungan karena dianggap tidak memberikan perkembangan yang berarti pada bisnis mereka. Adopsi BSC di Indonesia lebih banyak dilakukan perusahaan swasta. Sementara di Singapura dan Malaysia, organisasi publik lebih banyak menerapkannya. Faktor pengalaman merupakan hal yang utama sebagai pembelajaran dari situasi terdahulu. Akan tetapi dengan menggabungkannya dengan berbagai macam teori yang dikemukakan sebagai hasil dari suatu penelitian terhadap perusahaan-perusahaan lain, diharapkan dapat membantu memberi masukan dari segi analisa untuk tindakan selanjutnya. Tingkat adopsi BSC di Asia masih sulit diketahui angka persisnya. Berdasarkan penelitian Palladium Group terhadap perusahaan-perusahaan di China kurang dari 1/3 (31%) perusahaan mengimplementasi BSC. 1/3 yang implementasi itu melaporkan bahwa mereka memiliki strategi manajemen yang jelas. 1/3 yang lainnya melaporkan bahwa mereka memiliki formulasi strategi dan menjalankannya, dan mengevaluasi hasil strateginya namun tidak berkesinambungan. 1/3 sisanya mereka yang tidak melakukan pelaksanaan atau evaluasi, atau kedua-duanya. Ini berarti BSC membantu mengembangkan hasil, tapi harus dilakukan dengan cara yang benar, jelas, dapat diulangi dan proses yang berkesinambungan dari manajemen strateginya.
6
Dari beberapa pengalaman perusahaan yang telah implementasi BSC, ada tiga kelas permasalahan yang menghambat perusahaan dalam implementasi BSC, yaitu masa transisi, desain scorecard, dan proses (Kaplan, 2001).
2.2. Masa Transisi Kekecewaan muncul setelah beberapa perusahaan yang sedang menjalankan proyek BSC mengalami perubahan organisasi karena merger atau diakuisisi. Tim senior manajemen di perusahaan yang baru merger atau diakuisisi tidak memiliki minat dan menghentikan proyek tersebut. Setelah akuisisi, perusahaan cenderung menekankan strategi pemotongan biaya dan BSC tidak dilihat sebagai alat bernilai untuk perampingan perusahaan. Untuk menghadapi masa transisi ini diperlukan keterlibatan dan komitmen tim manajemen yang baru terbentuk terhadap proyek implementasi BSC.
2.3. Desain Scorecard Beberapa kegagalan terjadi ketika perusahaan membangun BSC. Perusahaan menggunakan terlalu sedikit ukuran (hanya satu atau dua ukuran tiap perspektif) dan gagal untuk memenuhi keseimbangan antara hasil yang ingin dicapai dengan faktor pendorong kinerja. Beberapa perusahaan menggunakan terlalu banyak ukuran dan tidak pernah mengidentifikasi beberapa ukuran kritis.
7
Art Achneiderman mengatakan scorecard gagal karena berisikan pendorong kinerja yang tidak sesuai dengan hasil yang ingin dicapai perusahaan. Scorecard perusahaan gagal karena desain scorecard tidak menggambarkan strategi perusahaan. Kegagalan juga terjadi ketika scorecard yang dibangun di masing-masing fungsional tidak sejalan dengan scorecard unit bisnis maupun scorecard perusahaan secara menyeluruh. Masing-masing divisi ataupun unit bisnis memiliki scorecard-nya masing-masing yang tidak terkoordinasi secara kelompok dan bersinergi dengan perusahaan.
2.4. Proses Kegagalan implementasi paling sering disebabkan oleh proses implementasi yang buruk, bukan pada desain scorecard yang buruk. Ada 7 faktor penyebab kegagalan proses dalam proyek scorecard perusahaan.
2.4.1. Komitmen Senior Manajemen Kaplan dan Norton, maupun para eksekutif yang berbagi pengalaman tentang implementasi BSC di organisasi mereka, berulang-ulang mengatakan satu-satunya kondisi paling penting untuk keberhasilan implementasi BSC adalah komitmen dan keterlibatan aktif dari tim senior manajemen atau eksekutif. Tim middle management dapat membantu perusahaan mengembangkan operasional yang ada namun untuk menerjemahkan
dan
membuat
proses
dan
sistem
sejalan
membutuhkan
kepemimpinan dari manajemen puncak. Selain itu investasi waktu untuk hadir dalam
8
rapat tim proyek BSC dimana mereka dapat berdebat dan berargumen mengenai tujuan dan ukuran pada scorecard perusahaan dan hubungan sebab akibatnya dalam peta strategi. Rapat ini membangun komitmen secara emosional terhadap strategi, terhadap scorecard sebagai alat komunikasi, dan terhadap proses manajemen yang membangun Strategy-Focus Organization (SFO).
2.4.2. Jumlah Keterlibatan Individu Di beberapa perusahaan, seorang senior eksekutif, seperti Chief Financial Officer (CFO) atau Chief Planning Officer (CPO) yang merupakan anggota penting dari tim pemimpin senior, membangun scorecard sendiri. Anggota tim yang lain sudah disibukkan dengan begitu banyak tanggung jawab sehingga kesulitan menyediakan waktu untuk rapat sehubungan dengan pengembangan BSC. Tidak dipungkiri kemampuan analisa dan pengetahuan mendalam senior eksekutif terhadap strategi perusahaan sehingga mampu menciptakan scorecard yang baik. Namun dari beberapa wawancara didapatkan tidak ada perubahan yang terjadi dikarenakan si pencipta scorecard tidak melibatkan tim yang lain sehingga ada beberapa poin yang kurang karena kurangnya data perusahaan, seperti data keuangan dan data nonkeuangan. Komitmen terhadap strategi dan implementasinya membutuhkan keterlibatan secara aktif dari tim pemimpin senior dalam formulasi tujuan, ukuran, dan target scorecard. Membangun scorecard dengan melibatkan terlalu banyak individu bisa berakibat fatal juga. Terlalu banyak yang individu melibatkan banyak kepentingan
9
sehingga tidak dapat fokus ke sasaran yang ingin dicapai. Sebaiknya dibentuk tim khusus BSC yang akan mendorong proses implementasi BSC di seluruh organisasi sekaligus sebagai agen perubahan. Tim ini lazimnya terdiri dari anggota lintas fungsi (keuangan, pemasaran, teknologi informasi/Tl, SDM, dan sebagainya).
2.4.3. Penjabaran Scorecard ke Semua Level Hanya melibatkan tim senior eksekutif dalam penjabaran scorecard bisa berakibat fatal. Scorecard harus efektif dan dibagi dengan tiap orang dalam perusahaan. Sasarannya adalah membuat setiap orang dalam perusahaan memahami strategi dan memberikan kontribusi untuk implementasi BSC sehingga tidak ada gap yang besar antara visi dan pengembangan strategi di level atas dan dengan apa yang dilakukan di level bawah. Hal ini memberikan kesempatan bagi semua karyawan bukan hanya eksekutif dan manajer untuk berpartisipasi dalam performance appraisals dimana sasaran individu diukur terhadap lini bisnis tujuan perusahaan (Kaplan, interviewed by Waal). Perusahaan yang tidak menjabarkan scorecard ke seluruh level perusahaan dapat mengakibatkan kehilangan potensi untuk inovasi, kereatifitas, dan pembelajaran karyawan.
2.4.4. Waktu Proses Pengembangan BSC Beberapa kegagalan terjadi ketika tim proyek merasa hanya ada satu kesempatan untuk memperkenalkan scorecard sehingga ingin menghasilkan scorecard yang sempurna. Tim meyakini bahwa tiap ukuran dalam scorecard harus
10
memiliki data yang valid sehingga membutuhkan waktu berbulan-bulan mendapatkan ukuran-ukuran, mengembangkan proses pengumpulan data, dan lini dasar untuk ukuran-ukuran scorecard. Learning by doing merupakan paradigma yang kuat. Scorecard merupakan proses manajemen yang berkesinambungan bukan suatu onetime event. Tujuan, ukuran, dan kumpulan data akan berubah seiring waktu sesuai dengan pembelajaran perusahaan.
2.4.5. Memperlakukan BSC sebagai Proyek Sistem Beberapa
kegagalan
yang
termahal
terjadi
ketika
perusahaan
mengimplementasi BSC-nya sebagai suatu proyek sistem dibandingkan suatu proyek manajemen. Kecenderungan ini terjadi ketika perusahaan mendelegasikan scorecard ke sistem konsultan di luar perusahaan dan implementasinya akan jarang melibatkan tim senior manajemen dalam suatu strategik dialog. BSC harus dimulai dengan kajian ulang strategi yang komprehensif yang melibatkan manajer perusahaan. BSC tidak bisa didelegasikan ke grup IT atau suatu perusahaan sistem implementasi. Scorecard seharusnya dimulai dengan proses manajemen, bukan suatu proses sistem. Sistem dan teknologi penting, namun masukannya setelah proses manajemen awal menggeneralisasikan tujuan, ukuran, inisiatif, dan menghubungkan scorecard ke seluruh perusahaan.
11
2.4.6. Pengalaman Konsultan Perusahaan harus berhati-hati dalam melibatkan konsultan yang kurang berpengalaman dalam implementasi BSC. Perlu ada kejelasan tanggung jawab dari konsultan karena konsultan bukanlah pemilik program, dan juga tidak menyusun KPI. Tugas utama konsultan adalah meyakinkan manajemen puncak terhadap perlunya BSC, memfasilitasi penyusunan visi, misi, strategi, dan KPI, serta melakukan transfer pengetahuan kepada pihak perusahaan. Perusahaan harus berhati-hati dengan konsultan yang melihat BSC sebagai sebuah latihan pengukuran karena bisa berdampak serius terhadap implementasi program BSC.
2.4.7. Memperkenalkan BSC hanya untuk kompensasi Perusahaan menggunakan kompensasi sebagai suatu pendongkrak yang kuat untuk mendapatkan perhatian dan komitmen individu terhadap strategi. Scorecard digunakan untuk memperkenalkan indikator-indikator non-keuangan ke dalam suatu rencana kompensasi yang tidak mencakup bagaimana ukuran non-keuangan tersebut mendorong peningkatan kinerja perspektif pelanggan dan keuangan. Kaitan ke kompensasi memacu kinerja keuangan ketika didasarkan pada suatu strategi scorecard, bukan pada KPI scorecard.
Dari penelitian Waal (Management Decision, 2003) menghasilkan 18 faktor kesuksesan implementasi BSC. Beberapa di antaranya, yaitu: 1. Managers understand the meaning of KPI
12
2. Managers
have
earlier
(positive)
experiences
with
performance
management 3. Managers realize the importance of KPIs/BSC to their performance 4. Managers do not experience KPI/BSC as threatening 5. Managers’ KPI sets are aligned with their responsibility areas 6. Managers can use their KPIs/BSC for managing their employees 7. Managers’ results on KPIs/BSC are openly communicated 8. Managers are stimulated to improve their performance