BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Penyesuaian Diri 2.1.1. Pengertian Penyesuaian Diri Runyon & Haber (1984) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang terus berlangsung dalam kehidupan individu, situasi dalam kehidupan selalu berubah, individu mengubah tujuan dalam hidupnya seiring dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Menurut Atwater (1983) penyesuaian diri terdiri dari perubahan dalam diri dan situasi lingkungan yang dibutuhkan untuk mencapai hubungan yang memuaskan dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Sedangkan menurut Sundari (2005) penyesuaian diri merupakan proses yang terjadi sepanjang rentang kehidupan (lifelong process). Manusia harus berusaha menemukan dan mengatasi rintangan, tekanan dan tantangan untuk mencapai pribadi yang seimbang. Respon penyesuaian baik atau buruk adalah hal yang wajar terjadi untuk menjaga keseimbangan. Dari beberapa definisi yang telah dijelaskan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penyesuaian diri adalah proses perubahan yang dilakukan individu yang berlangsung secara terus menerus, untuk mengatasi tekanan dan tantangan yang terjadi
sehingga tercapai suatu hubungan yang memuaskan
dengan orang lain dan lingkungannya. 2.1.1. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri
9
10
Runyon dan Haber (1984) menyebutkan bahwa penyesuaian diri yang dilakukan individu memiliki lima aspek, yaitu : a. Persepsi yang akurat mengenai realita Persepsi terkait dengan keinginan dan motivasi pribadi, sehingga terkadang persepsi tersebut tidak murni sama dengan realita dan lebih merupakan keinginan individu. Individu yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mampu untuk mempersepsikan dirinya sesuai dengan realita. Selain itu, ia juga mempunyai tujuan yang realistis, mampu memodifikasi tujuan tersebut apabila situasi dan kondisi lingkungan menuntutnya, serta menyadari konsekuensi tindakan yang diambil dan mengarahkan tingkah laku sesuai dengan konsekuensi tersebut. b. Kemampuan mengatasi stress dan kecemasan Halangan yang dialami individu disetiap proses pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan, dapat menimbulkan kegelisahan dan stres. Penyesuaian diri dikatakan baik apabila mampu mengatasi halangan, masalah, dan konflik yang timbul dengan baik. c. Gambaran diri yang positif Persepsi terhadap diri dapat dipelajari dan juga dapat dimodifikasi. Tanda dari penyesuaian diri yang efektif ialah ketika individu dapat memandang diri secara positif. Walaupun demikian, penting untuk tidak melupakan kondisi diri yang sebenarnya. Individu harus menyadari dan mengakui kelemahan seperti juga menyadari dan mengakui kelebihan diri. Individu
11
yang dapat mengenali dan memahami diri secara benar-benar realistis sedang dalam perjalanan untuk menyadari potensi diri yang seutuhnya. yaitu berkaitan dengan penilaian individu tentang dirinya sendiri. d. Kemampuan untuk mengungkapkan perasaan Individu yang sehat secara emosional mampu untuk merasakan dan mengekspresikan seluruh emosinya. Beberapa individu tidak dapat mengekspresikan emosinya secara bebas. Di sisi lain, beberapa individu terlalu mengekspresikan perasaan secara bebas. Penyesuaian diri yang baik memerlukan keseimbangan di antara keduanya. Bila seseorang dapat menyadari emosi yang sedang dirasakannya, ia berada dalam tahap penyesuaian diri terhadap ekspresi emosional. Orang yang sehat secara emosional mampu merasakan dan mengekspresikan berbagai emosi dan perasaan. Pengekspresian perasaan tersebut dikontrol sepenuhnya oleh individu sendiri. e. Hubungan interpersonal yang baik Aspek yang penting dalam hubungan interpersonal yang menyenangkan melibatkan berbagai perasaan dan emosi. Orang yang menyesuaikan diri dengan baik mampu membentuk hubungan dengan cara yang berkualitas dan bermanfaat. 2.1.2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Diri Menurut Schneiders (1964) faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri adalah : a. Keadaan fisik
12
Kondisi
fisik
individu
merupakan
faktor
yang
mempengaruhi
penyesuaian diri, sebab keadaan sistem-sistem tubuh yang baik merupakan syarat bagi terciptanya penyesuaian diri yang baik. Adanya cacat fisik dan penyakit kronis akan melatarbelakangi adanya hambatan pada individu dalam melaksanakan penyesuaian diri. b. Perkembangan dan kematangan Bentuk-bentuk penyesuaian diri individu berbeda pada setiap tahap perkembangan.
Sejalan
dengan
perkembangannya,
individu
meninggalkan tingkah laku infatil dalam merespon lingkungan. Hal tersebut bukan karena proses pembelajaran semata, melainkan karena individu menjadi lebih matang. Kematangan individu dalam segi intelektual, sosial, moral, dan emosi mempengaruhi bagaimana individu melakukan penyesuaian diri. c. Keadaan psikologis Keadaan mental yang sehat merupakan syarat bagi tercapainya penyesuaian diri yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa adanya frustasi, kecemasan dan cacat mental akan dapat melatarbelakangi adanya hambatan dalam penyesuaian diri. Keadaan mental yang baik akan mendorong individu untuk memberikan respon yang selaras dengan dorongan internal maupun tuntutan lingkungannya. Yang termasuk dalam keadaan psikologis di antaranya adalah pengalaman, pendidikan, konsep diri, dan keyakinan diri. d. Keadaan lingkungan
13
Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, aman, penuh penerimaan dan pengertiaan, serta mampu memberikan perlindungan kepada anggotaanggotanya merupakan lingkungan yang akan memperlancar proses penyesuaian diri. Sebaliknya apabila individu tinggal di lingkungan yang tidak tentram, tidak damai, dan tidak aman, maka individu tersebut akan mengalami gangguan dalam melakukan proses penyesuaian diri. e. Tingkat religiusitas dan kebudayaan Religiusitas merupakan faktor yang memberikan suasana psikologis yang dapat digunakan untuk mengurangi konflik, frustasi dan ketegangan psikis lain. Religiusitas memberi nilai dan keyakinan sehingga individu memiliki arti, tujuan, dan stabilitas hidup yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam hidupnya. 2.2. Caregiver 2.2.1. Pengertian Caregiver Caregiver merupakan istilah yang biasa digunakan dalam bidang perawatan dan pelayanan. Center on an Aging Society (2005) mendefinisikan Caregiver sebagai orang yang mengambil alih tanggung jawab untuk mengatur dan menyediakan perawatan, perhatian dan bantuan yang dibutuhkan oleh seseorang yang membutuhkan perawatan jangka panjang. Caregiver adalah seseorang yang memberikan bantuan kepada orang lain yang membutuhkan, biasanya orang yang menerima perawatan, memiliki kondisi seperti demensia, kanker, atau injuiry otak dan membutuhkan bantuan dengan tugas sehari-hari. Seseorang yang tidak dibayar untuk merawat adalah caregiver
14
informal atau caregiver keluarga. Contoh hubungan yang paling umum dari caregiver informal yaitu orang dewasa yang merawat orang tua yang sudah lansia. Contoh hubungan yang lainnya yaitu merawat kerabat, merawat pasangan, orang tua dewasa madya yang merawat anaknya yang sudah dewasa, orang dewasa yang merawat teman atau tetangga dan anak yang merawat orang tua atau kakek -neneknya (www.womenhealth.gov, 18 Maret 2014). Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa caregiver adalah individu yang memberikan bantuan memberikan perhatian, menyediakan kebutuhan dasar dan kebutuhan sehari-hari, kenyamanan, perlindungan dan pengawasan pada individu lain yang membutuhkan pertolongan karena sedang dalam keadaan sakit ataupun dalam keadaan tidak mampu. 2.2.2. Jenis Caregiver Dalam caregiving.org (2010) membedakan caregiver ke dalam dua kelompok, yaitu: 1. Caregiver informal adalah caregiver yang menyediakan bantuan dirumah pada individu lain yang memiliki hubungan pribadi dengannya, seperti hubungan keluarga, teman. Caregiver informal biasanya tidak menerima bayaran. 2. Caregiver formal yaitu caregiver yang menerima bayaran untuk melakukan tugas-tugas seorang caregiver. Caregiver formal atau bayaran biasanya bekerja dalam sebuah institusi formal.
15
Dalam penelitian ini, caregiver yang dimaksud adalah individu yang merupakan pasangan dari individu yang membutuhkan pertolongan (caregiver informal). 2.2.3. Tugas Caregiver Tugas seorang caregiver adalah memberikan perawatan dan melakukan pendampingan kepada anggota keluarganya yang memiliki keterbatasan dalam mengurus dirinya sendiri. Pada kenyataannya, kegiatan pemberian perawatan dapat meliputi jangkauan yang beragam mulai dari memberikan dukungan dan mengambil keputusan hingga melakukan kegiatan perawatan yang kompleks (Duxbury, Higgins, & Schroeder, 2009). Tugas-tugas menyangkut perawatan personal kepada penderita mungkin diperlukan seperti pendampingan dalam mencuci tangan, mandi, berpakaian, pergi ke toilet maupun tugas yang menyangkut pemberian bantuan fisik seperti beranjak dari tempat tidur, berjalan dan naik-turun tangga (Blake & Lincoln, 1999). Pada saat yang bersamaan caregiver harus mengurus dirinya sendiri seperti mengatasi emosi yang muncul dari diri mereka, mengatasi ketidakpastian nasib suami, berjuang dengan penerimaan akan kondisi pasangan, dan hilangnya waktu untuk mereka sendiri karena melakukan perawatan. Hal ini juga harus dilakukan oleh Caregiver adalah melakukan tugas interpersonal dan sosial seperti berinteraksi dengan tenaga medis professional, memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang lain, melakukan interaksi dengan relasi yang lain, mengatur keuangan, serta hal-hal lainnya (Man Wah & Doris, 2007). 2.2.4. Faktor yang mempengaruhi caregiver
16
Hoyert dan Seltzer (1992) menyatakan faktor yang mempengaruhi efek dari caregiving adalah tipe relasi antara caregiver dan pasien, durasi pemberian perawatan, dan tempat tinggal caregiver dan pasien, antara lain : a. Tipe relasi caregiver dan pasien Secara keseluruhan apabila dibandingkan dengan caregiver yang lain, istri cenderung mengalami hasil yang paling negatif. Istri yang menjadi caregiver berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan organisasi yang paling sedikit dan menilai hubungan perkawinan mereka dengan buruk. Selain itu, mereka memberi penilaian paling buruk terhadap kesehatan mereka sendiri, lebih sedikit puas dengan diri mereka sendiri, dan memiliki skor depresi tinggi. b. Durasi pemberian perawatan Terdapat dua pendapat mengenai durasi perawatan dengan konsekuensi negatif yang dialami caregiver. Pendapat pertama menyatakan bahwa semakin lama durasi caregiver memberikan perawatan maka ia mendapat konsekuensi negatif yang lebih tinggi dibandingkan yang memberikan durasi perawatan yang lebih sebentar. c. Tempat tinggal caregiver dan pasien Hasil penelitian menunjukkan bahwa caregiver yang tinggal bersama dengan penderita memperoleh konsekuensi negatif yang lebih besar dibandingkan dengan caregiver yang tinggal secara terpisah dengan penderita.
17
Kasuya (dalam Widyanti, 2009) menjelaskan caregiver mengalami beban caregiver antara lain beban obyektif dan beban subyektif. Beban obyektif adalah berbagai beban dan hambatan yang dijumpai dalam kehidupan caregiver yang berkaitan dengan perawatan penderita penyakit kronis. Contoh beban obyektif diantaranya adalah beban biaya financial yang dikeluarkan untuk merawat penderita, hambatan aktivitas caregiver dikarenakan harus merawat penderita, gangguan dalam kehidupan rumah tangga, isolasi sosial, pengucilan atau diskriminasi bagi keluarga penderita dan menurunnya kesehatan fisik. Beban subyektif adalah beban berupa stress emosional dari setiap aspek beban obyektif yang dialami caregiver yang berkaitan dengan tugas merawat penderita penyakit kronis. Contoh beban suyektif diantaranya perasaan cemas, sedih, frustasi, dan kekhawatiran akan masa depan penderita, ketidakberdayaan, perasaan kehilangan, dan perasaan bersalah. 2.3.
Penyakit Kronis
2.3.1. Pengertian Penyakit Kronis Sarafino (2012) mendefinisikan penyakit kronis merupakan kondisi sakit yang bertahan dalam waktu yang lama, lebih dari beberapa bulan. Sebuah penyakit kronis dapat menjadikan stress, mengubah cara hidup seseorang
dan
bagaimana
mereka
berhubungan
dengan
orang
lain
(www.betterhealth.vic.gov, 15 Desember 2013). Kondisi sakit dalam kurun waktu yang lama ini mengharuskan seseorang untuk dapat beradaptasi dengan kondisi barunya, karena kondisi seperti ini mempengaruhi seseorang dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Keadaan fisik
18
yang berubah dari normal menjadi sakit ini juga dapat menurunkan motivasi seseorang dalam memenuhi target hidup. Selain itu, penderita penyakit kronis cenderung lebih merasa putus asa karena berbagai penanganan medis yang tidak kunjung membantu (Sarafino, 2012) . 2.3.2. Fase penyakit kronis Menurut Smeltzer & Bare (2001) ada sembilan fase dalam penyakit kronis, yaitu : 1. Fase Pra-trajectory Individu beresiko terhadap penyakit kronis karena faktor-faktor genetik atau perilaku yang meningkatkan ketahanan seseorang terhadap penyakit kronis. 2. Fase Trajectory Adanya gejala yang berkaitan dengan penyakit kronis. 3. Fase stabil Terjadi ketika gejala-gejala dan perjalanan penyakit terkontrol. Aktivitas kehidupan sehari-hari dapat tertangani dalam keterbatasan penyakit terhadap gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari. 4. Fase tidak stabil Periode ketidakmampuan untuk menjaga gejala tetap terkontrol atau reaktivitasi penyakit. Terdapat gangguan dalam melakukan aktivitas seharihari. 5. Fase akut
19
Ditandai dengan gejala-gejala yang berat dan tidak dapat pulih atau komplikasi
yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit
untuk
menanganinya. 6. Fase krisis Ditandai dengan situasi kritis atau mengancam jiwa yang membutuhkan pengobatan atau perawatan kedaruratan. 7. Fase pulih Pulih kembali pada cara hidup yang diterima dalam batasan yang dibebani oleh penyakit kronis 8. Fase penurunan Terjadi ketika perjalanan penyakit berkembang dan disertai dengan peningkatan ketidakmampuan dan kesulitan dalam mengatasi gejala-gejala. 9. Fase kematian Ditandai dengan penurunan bertahap terlalu cepat fungsi tubuh dan penghentian hubungan individual . Menurut Shontz (dalam Sarafino, 1994) memaparkan adanya serangkaian reaksi yang muncul setelah seorang pasien mendengar bahwa pasien tersebut terdiagnosis penyakit kronis yaitu fase shock, encounter dan retreat. Perasaan terkejut ini merupakan reaksi darurat yang ditandai dengan tiga karakteristik, yaitu; (1) Merasa tertegun, lemas dan bingung (2) berperilaku biasa tapi melamun (3) Merasa tidak terlibat dalam situasi.
20
Tahap kedua yaitu, encounter pada saat pasien mulai memahami penyakitnya dan bahwa ia harus hidup dengan membawa penyakit kronis tersebut. Pada masa ini, pasien sering kali kurang mampu merencanakan tindakan untuk mengatasi keadaan secara efektif. Banyak pasien yang menggunakan strategi penghindaran (avoidance) karena stress tinggi yang dirasakan pasien tersebut. Tahap ini akan berlanjut pada tahapan yang ketiga, yaitu retreat pada saat pasien mulai menyadari realitas dan berusaha untuk menjalani hidupnya sebaik mungkin, sekalipun dengan penyakit yang dideritanya. 2.3.3. Jenis-jenis penyakit kronis 1. Stroke Stroke merupakan sebuah kondisi dimana timbul kerusakan pada beberapa area otak ketika suplai darah pada area itu terganggu karena hilangnya oksigen. Stroke merupakan penyebab kematian terbesar di dunia ( Sarafino, 2012). Stroke dapat berupa iskemik dan juga dapat berupa haemoragik . Pada stroke iskemik, aliran darah ke otak terhenti karena terjadinya bekuan darah yang telah menyumbat suatu pembuluh darah (aterosklerosis), sedangkan pada stroke haemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah, sehingga peredaran darah menjadi tidak normal, karena darah masuk ke otak dan merusaknya. Stroke haemoragik memiliki dampak yang sangat berbahaya karena biasanya menyebabkan kondisi yang fatal yaitu kematian (AHA, 2006, AMA, 2003, dalam Sarafino, 2012) . 1. Penyakit Jantung Koroner
21
Coronary heart disease (CHD) adalah penyakit yang disebabkan oleh penyempitan dan penyumbatan arteri koroner yang berfungsi untuk mensuplai jantung dengan darah yang penuh dengan oksigen. Peredarah darah menjadi tersumbat dengan adanya plak. Kondisi ini disebut artherosclerosis, mengurangi aliran darah ke jantung dan meningkatkan risiko penyumbatan (Sarafino, 2012). 2. Kanker Penyakit kanker merupakan salah satu jenis penyakit kronis yang dikarakteristikkan dengan pembelahan sel-sel yang tidak terkontrol dan biasanya akan membentuk neoplasma yang berbahaya (Sarafino, 2012). Sel kanker memiliki karakteristik khusus yaitu tidak saling melekat satu dengan lainnya seperti sel-sel normal lainnya (AMA, 2003; Williams, 1990, dalam Sarafino 2012) sebagai hasilnya sel kanker dapat terpisah dan menyebar ke organ tubuh yang lainnya, proses tersebut bisa disebut dengan metastase ( Sarafino, 2012). 3. Gagal Ginjal Gagal ginjal kronis merupakan sebutan bagi kondisi gagal ginjal yang ditandai dengan keadaan klinik yang menunjukkan penurunan progresif fungsi ginjal secara perlahan tapi pasti, yang dapat mencapai 60 % dari kondisi normal, menuju ketidakmampuan ginjal, yang membedakannya dengan gagal ginjal akut, atau gagal ginjal mendadak yang diakibatkan oleh adanya infeksi pada ginjal, adalah perkembangan pada gagal ginjal kronis yang berbentuk progresif (meningkat dalam kuantitas maupun
22
kualitas secara bertahap) dan melibatkan mekanisme adaptif dimana ginjal masih dapat mengatur keseimbangan cairan dalam derajat yang cukup untuk bertahan dengan pemasukan makanan yang normal (Suwitra, dalam Sudoyo dkk, 2009). 2.3.4. Permasalahan yang dihadapi oleh pasangan penderita penyakit kronis Kuyper & Wester (1998) mengemukakan masalah-masalah yang dihadapi oleh pasangan penderita penyakit kronis, antara lain : a. Konsekuensi Biografis Ketika seorang sakit, maka berdampak pada pasangannya yang sehat pasangan yang sehat tidak hanya khawatir terhadap penyakit yang diderita oleh pasien, tetapi juga konsekuensi akibat penyakit tersebut pada kehidupan
pasangannya.
Pasangan
pasien
tidak
hanya
harus
menyimpulkan fakta bahwa ia mempunyai suami yang sakit, tetapi konsekuensi dari penyakit bagi hidupnya juga memerlukan perhatian. Gangguan hidup semacam itu dapat diamati dalam kasus di mana pasangan yang sebelumnya bekerja, tetapi sekarang harus tinggal dirumah karena penyakit tersebut. Gangguan biografis yang disebabkan oleh penyakit dapat menimbulkan perasaan frustasi. Masalah yang timbul karena pasangan tidak dapat menimbulkan perasaan frustasi. Masalah yang timbul karena pasangan tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasanya. Pasangan juga sulit menyadari bahwa hal-hal yang dulu dilakukan bersama dengan pasien, sekarang harus melakukannya sendiri.
23
Pasangan juga merasa kehilangan hal-hal yang dahulu sangat berarti baginya, seperti pekerjaan, ritme kehidupan mereka, rumah, peran dalam hubungan atau keluarga, aktivitas yang dulu dilakukan bersama, dan teman-teman
sehingga
menyebabkan
distres
dan
penderitaan.
Menyesuaikan diri dan mengatasi perasaan kehilangan tersebut dapat mengarah pada penerimaan dan menemukan keseimbangan baru dalam situasi keluarga. Kegagalan menyesuaikan diri diekspresikan melalui perasaan frustasi, depresi, masalah hubungan dengan orang lain. b. Konsekuensi pada hubungan pasien dengan pasangannya Situasi penyakit kronis mempengaruhi hubungan antara pasien dan pasangannya dalam berbagai aspek. Seringkali sulit
menemukan
keseimbangan antara keinginan untuk memberi dukungan pada pasien pada satu sisi dan menerima keterbatasan serta kebutuhan pasien di sisi lain. Pada umumnya pasangan dari pasien penderita penyakit kronis akan mengalami kontradisksi perasaan. Pasangan merasa dikonfrontasikan dengan dilema yang menyangkut pilihan yang sulit. Jika lebih memilih situasi tertentu untuk dirinya sendiri, pasangan akan merasa takut dan bersalah, sedangkan jika memilih untuk pasien, mereka akan merasakan kemarahan dalam diri mereka. Corbin & Strauss (dalam Kuyper & Wester, 1998) mengemukakan suatu hal yang disebut “Tug-of-war phenomenon” (fenomena tarik tambang). Melalui ungkapan tersebut mereka menggambarkan konflik yang dialami oleh pasangan yang merawat pasien yang sakit atau
24
mengalami ketidakmampuan. Kelelahan akibat lama penyakit yang berkepanjangan, beratnya beban pekerjaan, dan kebutuhan untuk bertahan menjadi kuat menyebabkan perasaan cemas dan keprihatinan akan keadaan pasien berganti menjadi dorongan untuk berteriak pada pasangan yang sedang sakit, merawat pasangan dengan cara yang kasar, menunda permintaan pasangan, dan lain-lain. Masalah lain yang menyangkut
hubungan pasien dengan
pasangannya adalah masalah komunikasi. Pasien dan pasangannya mengalami kesulitan dalam mengekspresikan perasaan masing-masing mengenai penyakit yang diderita pasien. Pasangan juga sering merasa pasien berlaku sangat egois dan tidak lagi memperdulikan keadaan pasangannya. Masalah yang berikutnya dalam hubungan pasien dengan pasangannya adalah masalah dalam seksualitas. Masalah ini biasanya jarang didiskusikan baik diantara pasien dengan pasangannya, maupun antara pasien dan pasangannya dengan para professional yang dapat memberikan bantuan dalam masalah ini. c. Masalah yang berkaitan dengan penyakit Pasangan penderita penyakit kronis biasanya mengalami kesulitan dalam menerima informasi yang akurat mengenai penyakit yang diderita oleh pasien dari para dokter, padahal pasangan sangat membutuhkan informasi mengenai penyakit tersebut. Merasa tidak dilibatkan dalam penangan pasien oleh tim medis. Selain itu, pasangan juga merasa cemas dengan
25
kseadaan pasien, namun seringkali sulit mengkomunikasikannya dengan pasien karena takut pasien akan merasa marah atau sedih karena keadaanya. d. Beban hidup sehari-hari Terpisah dari masalah dalam usahanya melakukan coping dengan konsekuensi emosional dari perubahan dalam hidup sehari-harinya, pasangan harus melakukan coping dengan masalah kesehatan seperti reaksi stres di waktu krisis, burnout symptoms, dan akibat beban fisik yang berlebihan. Selain itu, pasangan harus menghadapi tanggung jawab seharihari dalam kaitannya dengan penyakit pasien dan masalah-masalah lainnya, seperti anak, pekerjaan, tugas-tugas rumah tangga, dan lain-lain. 2.4.
Tahapan perkembangan Perkembangan dewasa dibagi menjadi tiga yaitu, dewasa awal (young
adulthood) dengan usia berkisar antara 20 sampai 40 tahun. Dewasa menengah (middle adulthood) dengan usia berkisar antara 40 sampai 65 tahun dan dewasa akhir (late adulthood) dengan usia mulai 65 tahun keatas (Papalia, 2008). Menurut Schaie (dalam Papalia, 2008) tentang perkembangan kognitif dewasa terdiri dari tujuh tahapan (acquisitive, achieving, responsible, executive, reorganizational, reintegrative dan legacy-creating), 4 tahapan pada dewasa awal dan dewasa menengah dijelaskan adalah sebagai berikut : a. Acquisitive (usia anak sampai remaja) yaitu tahapan memperoleh keterampilan untuk kepentingan mereka sebagai persiapan hidup di masyarakat.
26
b. Achieving
(Usia
20
sampai
30
tahun)
individu
menggunakan
pengetahuannya untuk mencapai kompetensi serta kemandirian. c. Responsible ( akhir 30 sampai awal 60an) yaitu tahapan akan kemampuan menggunakan pikirannya untuk menyelesaikan masalah praktis yang diasosiasikan dengan tanggung jawabnya pada orang lain, seperti pada keluarga atau kewajiban yang menjadi tugasnya. d. Executive pada tahapan ini fungsi tahap achieving dan responsible saling berkorelasi, yaitu bertanggung jawab terhadap sistim sosial, terlibat dalam hubungan yang komplek dalam berbagai tingkatan.