BAB II LANDASAN TEORI
2.1. PEMAAFAN 2.1.1. Definisi Pemaafan Ada beberapa definisi mengenai pemaafan, yang telah ditetapkan oleh mereka yang telah melakukan penelitian mengenai konsep ini. Beberapa definisi pemaafan diantaranya : “forgiveness means deciding not to punish a perceived injustice, taking action on that decision, and experiencing the emotional relief that follows.” (Affinito, 1999) “forgiveness as a willingness to abandon one’s right to resentment, negative judgement and indifferent behavior toward one who unjustly hurt us, while fostering the undeserved qualitites of compassion.” (Enright, Freedman & Rique, dalam Lamb & Murphy, 2002) “forgiveness is a method of religious coping and a religious pursuit.” (Pargament & Rye, dalam Lamb & Murphy, 2002) “forgiving is an act of mercy toward an offender, someone who does not necessarily deserve our mercy.” (Enright, 2005). “forgiveness is a process that shows us how to heal emotional pain by choosing to see the person who caused the pain differently.” (Dunchunstang, 2007)
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pemaafan adalah sebuah metode coping dari masalah yang dirasakan sangat menyakitkan melalui proses pelepasan emosi dengan memilih tidak menghukum perasaan tidak adil, menghilangkan kebencian, dan melihat pelaku dari sudut pandang yang berbeda, walaupun sebenarnya si pelaku tidak layak menerima kebaikan dari si korban.
10 http://digilib.mercubuana.ac.id/
11
Umumnya, definisi pemaafan sekarang ini kurang jelas dan kurang konsisten. Sebagaimana Hebl dan Enright menyatakan hal ini menghambat dalam penelitian dan penerapan secara klinis (Lamb & Murphy, 2002). Mawson dan Whiting (dalam Dunchunstang, 2007) menyatakan bahwa forgiveness (pemaafan) berbeda dengan pardoning (pengampunan), condoning (memaafkan), dan reconciliation (rekonsiliasi, perdamaian). Forgiveness yaitu melepas emosi yang paling dalam, sedangkan pardoning yaitu membebaskan seseorang atas perbuatan yang dilakukan yang biasanya berkaitan dengan hukum dan melibatkan orang yang memiliki kewenangan dalam hukum untuk membebaskannya dari hukuman. Forgiveness merupakan proses secara internal dan bukan berarti tidak mengambil tindakan atas perbuatan orang lain, sedangkan condoning merupakan suatu rasa kasihan agar pelaku tidak melakukan perbuatan yang menyakitkan secara berulang-ulang. Forgiveness sifatnya lebih pribadi yang hanya melibatkan diri sendiri, sedangkan reconciliation melibatkan dua orang atau lebih. Seseorang bisa saja memaafkan namun belum tentu mau berdamai/akur hingga ada perubahan dari diri pelaku. 2.1.2. Fase dalam Pemaafan Proses dalam pemaafan yang dikembangkan oleh Enright (2005) dibagi dalam empat fase, yaitu : (1) Uncover Your Anger (Fase Membuka Kembali) •
Memeriksa mekanisme pertahanan diri yang digunakan.
•
Konfrontasi dengan kemarahan, bukan menyembunyikan kemarahan, melainkan disalurkan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
12
•
Menerima rasa malu.
•
Menyadari adanya katarsis.
•
Kesadaran bahwa orang disakiti berulangkali memikirkan peristiwa yang menyakitkan.
•
Korban membandingkan dirinya dengan orang yang telah menyakitinya.
•
Menyadari akan adanya perubahan yang menetap akibat peristiwa yang menyakitkan tersebut.
•
Individu yang disakiti menyadari bahwa pandangannya tentang keadilan telah berubah.
(2) Decide to Forgive (Fase Memutuskan) •
Perubahan dalam hati, adanya insight baru bahwa strategi yang lama untuk mengatasi masalahnya tidak membawa hasil yang diharapkan.
•
Keinginan untuk mempertimbangkan pemaafan sebagai suatu pilihan.
•
Komitmen untuk memaafkan orang yang telah menyakiti tersebut.
(3) Work on Forgiveness (Fase Bekerja dalam Pemaafan) •
Reframing, mulai mengambil peran, dengan memaknai peristiwa menyakitkan yang dialami dengan cara memposisikan bila dirinya yang telah menyakiti.
•
Mengembangkan empati terhadap pelaku.
•
Penerimaan terhadap luka (peristiwa menyakitkan) yang dialami.
•
Pemaafan sebagai hadiah moral bagi orang yang telah menyakiti.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
13
(4) Discovery and Release (Fase Pendalaman) •
Menemukan makna baru dalam diri dengan melakukan pemaafan.
•
Menyadari bahwa dirinya memiliki kebutuhan untuk dimaafkan pada masa yang lalu.
•
Menyadari bahwa dirinya tidak sendiri.
•
Menemukan tujuan hidup yang baru karena peristiwa ini.
•
Kesadaran bahwa perasaan negatif yang dimiliki digantikan dengan perasaan positif dan perasaan positif tersebut membebaskan serta menguntungkan bagi individu yang telah disakiti.
2.1.3. Faktor yang Mempengaruhi Pemaafan McCullough dkk (dalam Kachadourian, Fincham, & Davila, 2005) menjelaskan dan mengklasifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan, dari yang terjauh hingga yang terdekat, yaitu : (1) Faktor kepribadian Faktor kepribadian dimaksud yaitu agreeableness dan neuroticism yang ada dalam The Big Five Personality Theory. Orang-orang yang memiliki tingkat agreeableness yang tinggi dan neuroticism yang rendah (semakin positif) dapat mempengaruhi pemberian pemaafan. Paul T Costa dan Robert R McCrae (Papalia, Olds, & Feldman, 2008) menjelaskan bahwa orang-orang yang memiliki trait agreeableness adalah mereka yang penuh rasa percaya, jujur, altruistis, patuh pada peraturan, rendah hati dan mudah diubah pendiriannya; sedangkan trait neuroticism adalah trait
http://digilib.mercubuana.ac.id/
14
yang menunjukan ketidakstabilan emosional seperti kecemasan, rasa bermusuhan, depresi, kesadaran diri, impulsivitas, dan kerapuhan. (2) Kualitas hubungan interpersonal Yaitu kualitas hubungan antara korban dan pelaku ketika luka itu terjadi, seperti keintiman, kedekatan, kepercayaan, kepuasan, dan komitmen. Dalam suatu penelitian dilaporkan bahwa orang-orang yang cenderung lebih bisa memaafkan dikarakteristikkan dengan adanya kedekatan, komitmen dan kepuasan. (3) Sosial-kognitif atau afektif Faktor ini merupakan faktor yang yang terdekat dan paling berpengaruh terhadap pemberian pemaafan, karena berkaitan dengan bagaimana pikiran dan perasaan korban terhadap peristiwa menyakitkan yang dialami serta terhadap pelakunya. Kategori dalam faktor ini seperti sikap korban terhadap pelaku, rasa empati-afektif korban, penilaian korban terhadap tanggung jawab dan kesalahan pelaku, rumination (perenungan). Sikap yang baik dari korban akan meningkatkan pemaafan. Trafimow & Sheeran; Zanna & Rempel (dalam Kachadourian, Fincham, & Davila, 2005) menyatakan bahwa bahwa sikap terdiri atas 2 komponen yaitu perasaan dan keyakinan. Rumination itu penting (McCullough, Worthington & Wade; dalam Kachadourian, Fincham, & Davila, 2005), individu yang secara rutin memikirkan kejadian yang menyakitkan cenderung akan kurang memaafkan, maka dengan perenungan akan mengurangi rasa sakit itu dari waktu ke waktu,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
15
sehingga
orang
akan
lebih
memaafkan
(McCullough
dkk,
dalam
Kachadourian, Fincham, & Davila, 2005). Selain dari faktor di atas, meringankan beban tanggung jawab dan permintaan maaf terhadap pelaku, akan semakin mempermudah pemberian pemaafan (McCullough dkk; McCullough, Rachel dkk; Ohbuchi & Takada; Weiner, Graham, Peter, & Zmuidinas, dalam Paleari, Regalia, & Fincham, 2005). 2.1.4. Dimensi Pemaafan Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998) menyatakan bahwa antara korban dan pelaku mempunyai perspektif yang berbeda pada kejadian yang sama, dan perbedaan tersebut merupakan hal yang kompleks dalam pemaafan. Dengan pemikiran tersebut mereka menetapkan ada dua dimensi dalam pemaafan, yaitu intrapsychic dan interpersonal or relational. Dua dimensi ini mengakibatkan munculnya pemaafan atau tidak. Dimensi intrapsikis melibatkan kondisi emosional orang yang disakiti termasuk pikiran dan perilaku yang
menyertainya,
sedangkan dimensi
interpersonal lebih melihat bahwa memaafkan orang lain merupakan tindakan sosial antara sesama manusia. Dari dua dimensi tersebut, Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998) mengkombinasikannya menjadi empat pemaafan, yaitu hollow forgiveness, silent forgiveness, total forgiveness, dan no forgiveness, sebagaimana tabel berikut :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
16
Dimensi
Kombinasi yang terjadi
Interpersonal Act + No Intrapsychic State
Hollow forgiveness
No Interpersonal Act + Intrapsychic State
Silent forgiveness
Interpersonal Act + Intrapsychic State
Total forgiveness
No Interpersonal Act + No Intrapsychic State
No forgiveness
Sumber : Baumeister, Exline & Sommer (dalam Worthington, 1998) Penjelasan dari keempat pemaafan di atas sebagai berikut : (1) Hollow Forgiveness Kombinasi ini terjadi saat korban dapat mengekspresikan pemaafan secara konkrit melalui perilaku namun belum memahami dan menghayati adanya pemaafan di dalam dirinya. Korban masih menyimpan rasa dendam, kebencian meskipun telah mengatakan kepada pelaku “saya memafkanmu”. Hollow forgiveness menggambarkan bahwa ada diskrepansi (ketidaksesuaian) antara dimensi intrapsikis dengan dimensi interpersonal. Dimensi intrapsikis memiliki dua langkah yaitu korban baru memiliki keinginan untuk memaafkan pelaku dan saat memaafkan merupakan sesuatu yang diberikan secara total dan korban tidak lagi merasakan kemarahan, benci atau dendam. Sedangkan dimensi interpersonal hanya memfokuskan pada suatu tindakan yang mengekspresikan
memaafkan
orang
lain.
Perbedaan
ini
berpotensi
menimbulkan konflik dan salah paham karena pada saat korban mengatakan bahwa “saya memaafkanmu” kepada pelaku namun dari dalam diri korban baru berada pada tahap awal proses pemaafan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
17
(2) Silent forgiveness Dalam kombinasi
ini
intrapsikis
pemaafan
dirasakan
namun
tidak
diekspresikan melalui perbuatan dalam hubungan interpersonal, jadi tidak ada interpersonal forgiveness. Korban tidak lagi menyimpan perasaan marah, dendam dan benci kepada pelaku namun tidak mengekspresikannya. Korban membiarkan pelaku dalam keadaan terus merasa bersalah dan terus bertindak seolah-olah pelaku tetap bersalah. (3) Total Forgiveness Dalam kombinasi ini intrapsikis dan interpersonal pemaafan terjadi. Korban menghilangkan perasaan negatif seperti kecewa, benci atau marah terhadap pelaku atas perbuatan yang dilakukannya dan pelaku dibebaskan baik dari perasaan bersalah maupun dari kewajibannya. Selanjutnya hubungan antara korban dengan pelaku kembali menjadi baik seperti sebelum peristiwa yang menyakitkan korban terjadi. (4) No Forgiveness Dari kombinasi ini intrapsikis dan interpersonal tidak terjadi pada diri korban, dan kombinasi ini disebut total grudge combination. Keadaan no forgiveness bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu : a. Claims on rewards and benefits (Klaim atas hadiah dan manfaat) Korban tidak memberikan maaf kepada pelaku dengan harapan bahwa pelaku akan memberikan keuntungan praktis dan material bagi korban. Pelaku memiliki hutang kepada korban sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukannya. Oleh sebab itu seringkali pemaafan diberikan pada saat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
18
pelaku menampilkan tindakan yang memberikan keuntungan bagi si korban. Keuntungan yang diperoleh tidak hanya bersifat materi namun juga dapat bersifat non materi. b. Preventing a recurrence (Pencegahan perilaku terulang kembali) Dengan memberikan maaf kepada pelaku, dianggap akan dapat meningkatkan kemungkinan terulangnya kembali peristiwa menyakitkan kepada si korban. Dengan tidak memaafkan pelaku, korban akan dapat terus mengingat peristiwa yang menyakitkan tersebut dan dengan demikian diharapkan pelaku tidak mudah untuk mengulangi kembali peristiwa yang menyakitkan tersebut. c. Continued suffering (Luka yang berlanjut) Perasaan atau emosi yang selalu dirasakan oleh korban atas peristiwa yang menyakitkan
membuat
korban
menderita
berkepanjangan
dan
memengaruhi korban dalam membuat keputusan untuk memaafkan pelaku. Konsekuensi dari peristiwa yang menyakitkan di masa lalu yang dirasakan korban masih berlanjut hingga hubungan korban-pelaku di masa datang, maka akan sulit bagi korban untuk memaafkan pelaku. d. Pride and revenge (Harga diri dan pembalasan dendam) Peristiwa menyakitkan yang dialami korban berpengaruh terhadap harga diri, jadi jika korban memberikan pemaafan baik secara intrapsikis maupun interpersonal kepada pelaku dengan cepat, hanya akan mempermalukan harga dirinya di depan pelaku, disamping itu korban akan mempersepsikan dirinya sebagai orang yang bodoh.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
19
e. Principled refusal (Pengabaian prinsip) Pemaafan tidak diberikan karena dianggap mengabaikan prinsip yang telah baku atau standar hukum yang ada. Pemaafan diidentikan dengan memberikan pengampunan hukum terhadap pelaku yang dinyatakan bersalah melalui sistem peradilan yang ada, sehingga memberi pemaafan merupakan suatu perbuatan yang salah. 2.2. PERNIKAHAN 2.2.1. Kepuasan Hubungan Compton (2005) menyatakan bahwa para peneliti telah menentukan kepuasan hubungan pasangan yang terdiri atas tiga kategori, yaitu : a. Kualitas interpersonal, yaitu faktor-faktor yang menjelaskan tentang pasangannya itu sendiri, seperti penuh perhatian, kepercayaan diri, kehangatan, kebaikan, integritas, memiliki rasa humor yang baik, loyal, penuh afeksi, ekpresi/komentar yang positif, emosi yang stabil. b. Kualitas intrapersonal, yaitu faktor-faktor yang menjelaskan tentang hubungan antara kedua pasangan itu sendiri. c. Lingkungan yang berpengaruh, yaitu faktor-faktor yang memberi dampak terhadap hubungan itu sendiri baik secara positif maupun negatif, misalnya kehadiran seorang anak, anak-anak mulai beranjak dewasa. 2.2.2. Fase-Fase dalam Pernikahan Harrar & DeMaria (2006) menyatakan bahwa membangun suatu pernikahan yang berhasil akan menghadapi tantangan yang panjang. Oleh sebab
http://digilib.mercubuana.ac.id/
20
itu, memahami fase-fase dalam pernikahan akan membantu dalam membangun hubungan yang kuat dan semakin membaik. Adapun fase-fase tersebut yaitu : (1) Passion Ini adalah fase bulan madu, saat dimana keromantisan dan ketertarikan yang amat sangat terjalin di antara pasangan dan komitmen begitu mudah. Terkadang waktu terasa singkat, bagaikan musim semi yang hanya dua tahun, dan selama itu hampir semua pasangan kehilangan kepribadian mereka, hal ini berbeda-beda bagi setiap pasangan. Namun jika hal ini terjadi, tahap bulan madu ini merupakan tahap yang sangat kuat dan membuat gelombang kimia di otak (secara alami) akan membuat pasangan mengabaikan yang lain dan mengambil tindakan untuk kelangsungan hidup bersama. (2) Realization Pada tahap ini, masa bulan madu sudah berakhir dan visi kehidupan yang nyata dimulai. Pada tahap ini istri melihat bahwa suami tidak hanya sebagai manusia, namun juga bukan mesin cuci ataupun tempat dudukan toilet. Kekecewaan dan konflik-konflik awal merupakan tanda adanya kesulitan, masa ini tidak dapat dihindari, dan pasangan membuat langkah awal untuk menerima pasangan Anda yang sesungguhnya. (3) Rebellion Pada tahap ini merupakan masa pertentangan, misalnya istri menginginkan teman-temannya - suami menginginkan peralatan bermainnya, istri ingin melakukan perjalanan - suami ingin bermain soft ball mingguan, istri ingin berkarir - suami pun ingin berkarir. Bahkan bagi pasangan yang berhasil
http://digilib.mercubuana.ac.id/
21
dalam menentukan tujuan pernikahan, yang hidup saling menghormati, pada saat tertentu akan muncul kepentingan pribadi yang mengalahkan kepentingan pernikahan. Dan jika ini terjadi, harus siap akan terjadi pertengkaran. Cinta di tahap ini merupakan suatu hal yang rumit. Masing-masing mengakui bahwa dirinya benar dan pasangannya salah. Para ahli mengatakan bahwa tahap pertentangan ini tidak dapat dihindari. Mempelajari bagaimana seni bertengkar yang baik merupakan tujuannya, dan hal tersebut akan memperburuk keadaan. Ketika fikiran pertentangan muncul dan bertemu dengan kemarahan dan frustasi, hal ini akan mengarah kepada tindakan pemberontakan, seperti perselingkuhan, banyaknya pengeluaran yang tidak seperti biasanya, menerima tawaran bekerja di luar kota tanpa membicarakan dengan pasangan. Kesemua itu akan mengarah kepada hancurnya pernikahan. (4) Cooperation Sebagaimana pernikahan yang bergerak dari waktu ke waktu, keadaan ini akan menjadi lebih rumit. Karir yang berkembang, rumah yang semakin besar, komitmen pribadi menjadi lebih tinggi, dan kehadiran anak-anak. Pada tahap ini, pernikahan seperti bisnis, mengalihkan semua cinta dan emosi dan keinginan pribadi. Adanya hipotik/rumah yang harus dibayar, investasi yang harus ditangani, karir yang harus lebih mengarah, kesehatan yang harus diperhatikan, dan anak-anak yang harus dibesarkan. (5) Reunion Jika pasangan memiliki anak, tahap cooperation biasanya berkisar antara 10 hingga 20 tahun, setelah itu selesai. Komitmen orangtua mulai berkurang,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
22
kondisi keuangan semakin stabil, karir telah menetap, hipotik/rumah sudah terbayar. Bagi pasangan yang berbahagia adalah saatnya saling menghargai satu sama lain kembali, tidak sebagai orangtua atau pemberi nafkah, namun sebagai kekasih dan teman, pemikir dan pencari. Pencapaian pada tahap ini akan membuat damai dan bahagia. Namun tidak mudah untuk mencapai tahap ini, gairah yang membara perlu terus dinyalakan, kekecewaan dan jarak yang jauh pada usia pertengahan perlu dikelola, peran-peran dan harapan dalam pernikahan perlu ditera kembali. (6) Explotion Kehilangan pekerjaan, masalah-masalah kesehatan, perpindahan ke luar kota, masalah-masalah keuangan, sakit atau meninggalnya orangtua –yang akan dihadapi saat melewati usia tengah baya dan menjelang tahun-tahun keemasan, perubahan besar dalam hidup semakin datang silih berganti. Pada fase ini, kedua pasangan akan berhadapan dengan hal-hal yang besar, kejadian-kejadian yang menggoncangkan kehidupan pernikahan yang mempengaruhi hubungan antar pasangan setiap hari, setiap tahun, atau di sepanjang sisa kehidupan. Jika fase yang lain cenderung terjadi secara berurutan, fase ini dapat terjadi kapan saja sepanjang rentang usia pernikahan setelah melewati usia pernikahan ke 40 dan ke 50. (7) Completion Banyak survei menemukan bahwa kebahagiaan pernikahan meningkat setelah beberapa dekade hidup bersama. Para ahli mengatakan bahwa karena anakanak sedang tumbuh, dan pasangan saling mengenal satu sama lain dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
23
sangat baik. Tetapi yang dimaksud dengan saling mengenal di sini bukan tentang saling menoleransi kebiasaannya, perilaku dan kebutuhannya, melainkan “mengenal” dengan arti yang sangat dalam – dan hasil yang lebih baik pula. Bagian menjadi laki-laki yang bahagia adalah tidak pernah kehilangan di dalam dirinya sebagai anak laki-laki, begitu pula dengan perempuan – adanya semangat sebagai seorang anak perempuan, tidak perduli seberapa banyak kerutan di sekitar matanya. Mempertahankan kehidupan cinta seperti masa kanak-kanak, saling tertawa, alami, dan menjaga satu sama lain untuk menjalin hubungan yang diberkati. Pada tahap ini tidak ada keyakinan bahwa waktu yang terbaik telah berakhir, pasangan selalu siap untuk hari ini dan esok. 2.2.3. Menikah Kembali Hetherington dan Cox (dalam Santrock, 2002) mengatakan dalam suatu penelitian, 6 dari 48 pasangan yang bercerai terus melakukan hubungan seksual selama 2 tahun pertama setelah berpisah, karena tata dan pola interaksi sosial sebelumnya sulit dihilangkan. Meskipun terjadi perceraian, seringkali hal itu tidak menandakan berakhirnya hubungan. Attachment pada masing-masing orang tidak tergantung apakah pasangan tersebut menghargai, menyukai, atau puas dengan hubungan yang sekarang. Mantan pasangan sering merasa tergoda dan mereka mungkin berfikir untuk bersatu kembali. Coleman, Ganong, & Fine (dalam Berk, 2010) menyatakan pernikahan kembali sangat rentan terhadap perpisahan karena sejumlah alasan, yaitu :
http://digilib.mercubuana.ac.id/
24
(1) Persoalan praktis, seperti keterjaminan ekonomi, bantuan dalam membesarkan anak, keterlepasan dari kesepian, dan penerimaan sosial. (2) Sejumlah orang menularkan pola interaksi dan pemecahan masalah negatif yang didapat dalam pernikahan pertama ke dalam pernikahan kedua. (3) Orang yang pernah gagal dalam pernikahan lebih condong melihat perceraian sebagai solusi saat pernikahan mereka kembali menemui jalan buntu. (4) Pasangan yang menikah lagi menemui banyak stres dari situasi keluarga tiri. 2.3. PERCERAIAN 2.3.1. Penyebab Perceraian Goode (dalam Blood, 1969) mengemukakan ada empat hal yang menjadi penyebab dalam perceraian, yaitu : (1) Ekonomi Masalah ekonomi merupakan masalah yang paling menonjol dimana keluarga sangat tergantung kepada penghasilan suami yang kurang mencukupi atau uang yang terbuang karena hal-hal lain. Perselingkuhan dan mabuk-mabukan menjadi peringkat paling tinggi dalam perceraian apabila masalahnya menjadi kompleks antara mabuk-mabukan, berjudi, dan wanita lain. (2) Kekuasaaan / Wewenang Adanya upaya-upaya yang dilakukan oleh suami untuk mendominasi istri mereka (yang berkaitan dengan kekejaman). (3) Hubungan seksual Masalah ini merupakan tingkatan yang rendah dan bukan sebagai gangguan terbesar dalam pernikahan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
25
(4) Hubungan kekeluargaan Umumnya masalah ini termasuk masalah besar yang cukup krusial di awal pernikahan. 2.3.2. Dampak Perceraian Bursik (dalam Santrock, 2002) menyatakan mereka yang melakukan perceraian, berpisah, dan bercerai merupakan suatu hal yang kompleks dan melibatkan emosi. Chase-Lansdhale & Hetherington; Coombs: Guttman (dalam Santrock, 2002) menyatakan stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan yang berpisah atau bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris, masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur. 2.4. TAHAP PERKEMBANGAN MASA DEWASA AWAL Masa dewasa melibatkan seperangkat tugas : meninggalkan rumah, menyelesaikan pendidikan, memulai kerja penuh waktu, mandiri secara ekonomi, memiliki jalinan intim seksual dan emosional jangka panjang, dan memulai sebuah keluarga (Berk, 2010). Dan menemukan seorang pasangan hidup merupakan tonggak utama perkembangan dewasa awal, dengan konsekuensi besar terhadap konsep-diri dan kesehatan psikologis (Meeus dkk, dalam Berk, 2010). Mereka membuat keputusan yang akan berdampak terhadap kehidupan mereka, meliputi kesehatan, kebahagiaan, dan kesuksesan. Rentang usia dewasa awal adalah antara 20 hingga 40 tahun (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
26
2.4.1. Perkembangan Kognitif 2.4.1.1. Piagetan Para neo-Piagetan (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008) menyatakan bahwa perkembangan kognisi orang dewasa mengalami perubahan yaitu berhubungan dengan penalaran abstrak tingkat tinggi dan mengombinasikan pengalaman emosi dan praktis dalam pemecahan masalah. Untuk lebih jelasnya dapat dibagi dalam 2 bagian, yaitu : (1) Berpikir Reflektif (Reflective Thinking) Jenis berpikir logis yang mungkin muncul pada masa dewasa, melibatkan evaluasi terhadap informasi dan keyakinan secara berkesinambungan dan aktif dengan mempertimbangkan bukti dan implikasi. Pemikir reflektif terus menerus mempertanyakan hal-hal yang sudah dianggap fakta, menarik kesimpulan, dan membuat hubungan-hubungan. (2) Pemikiran Pascaformal (Postformal Thought) Jenis berpikir matang yang bergantung pada pengalaman subjektif dan intuisi serta logika, berguna dalam menghadapi ambiguitas, ketidakpastian, inkonsistensi, kontradiksi, ketidaksempurnaan, dan kompromi. Pemikiran pascaformal bersifat fleksibel, terbuka, adaptif dan individualistis, namun juga dilandasi intuisi dan emosi untuk membantu seseorang mengatasi dunia yang tampak berantakan; bersifat relativistik yaitu pemikiran yang melampaui satu sistem logika dan mempertemukan atau memilih di antara ideide atau tuntutan yang saling berbentrokan yang mana masing-masing, dari masing-masing titik pandang, mungkin memiliki klaim kebenaran yang valid
http://digilib.mercubuana.ac.id/
27
(Labouvie-Vief, & Sinnot, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008). Pikiran dewasa tidak melihat hitam dan putih, melainkan juga melihat gradasi abuabu, sebagai respon terhadap berbagai kejadian dan interaksi yang membuka cara melihat yang tidak biasa (Papalia, Olds & Feldman, 2008). 2.4.1.2. Schaie K. Warner Schaie (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008) mengembangkan model rentang kehidupan perkembangan kognitif dalam tujuh tahap, yaitu : (1) Tahap Pemerolehan – masa anak dan remaja. Pada tahap ini, anak dan remaja mempelajari informasi dan keterampilan sebagian besar sekadar mendapatkannya atau sebagai persiapan untuk turut serta di dalam masyarakat. (2) Tahap Pencapaian – akhir masa remaja atau awal dua puluhan hingga awal tiga puluhan. Pada tahap ini, dewasa awal menggunakan pengetahuan untuk memperoleh keahlian dan kemandirian. (3) Tahap Tanggung Jawab – akhir tiga puluhan hingga awal enam puluhan. Pada tahap ini, individu paruh baya memikirkan tujuan jangka panjang dan masalah-masalah praktis yang berkaitan dengan tanggung jawab mereka terhadap orang lain. (4) Tahap Eksekutif – tiga puluhan atau empat puluhan hingga setengah baya. Pada tahap ini, individu paruh baya bertanggung jawab terhadap sistem sosial, menghadapi hubungan kompleks pada banyak tingkat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
28
(5) Tahap Reorganisasional – akhir paruh baya, masa awal dewasa akhir. Pada tahap ini, individu dewasa memasuki masa pensiun dan mereorganisasi hidup mereka sekitar aktifitas yang tidak berkaitan dengan pekerjaan. (6) Tahap Reintegrasi – dewasa akhir. Pada tahap ini, dewasa yang lebih tua memilih untuk memfokuskan energinya yang terbatas pada tugas-tugas yang bermakna bagi mereka. (7) Tahap Penciptaan Warisan – lanjut usia. Pada tahap ini, individu lanjut usia mempersiapkan kematian dengan merekam cerita hidupnya, mendistribusikan barang-barang miliknya, dan hal serupa lainnya. 2.4.2. Perkembangan Emosional Berpikir pascaformal terjadi dalam suatu konteks sosial dan emosional, dimana dilema sosial tidak memiliki struktur yang jelas dan sering bermuatan emosi. Dalam situasi sejenis inilah orang dewasa yang matang cenderung menggunakan pemikiran pascaformal (Berg & Klaczynski, Sinot, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008). Dalam sebuah ikatan yang intim, pasangan harus mengatasi tiga realitas logis, yaitu tentang pasangan, hubungan itu sendiri, yang nantinya seperti punya kehidupan sendiri, sehingga akan timbul suatu situasi yang saling menguntungkan bagi kedua pihak pasangan dan menuntun mereka kepada pertumbuhan kognitif dan emosional (Sinnot, dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2008)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
29
2.4.2.1. Kecerdasan Emosional Istilah kecerdasan emosional (emotional intelligence) ditetapkan oleh Peter Salovey dan John Mayer yang mengacu pada kemampuan untuk mengenali dan menghadapi perasaan sendiri dan orang lain. Daniel Goleman memperluas konsep tersebut hingga mencakup beberapa kualitas seperti optimisme, kecermatan, motivasi, empati, dan kompetensi sosial. Peran emosi dapat mempengaruhi seseorang menggunakan pemikirannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2008). 2.4.2.2. Penalaran Moral Menurut teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg (Papalia, Olds, & Feldman, 2008), pada masa dewasa penalaran moral memasuki tahap ketiga yaitu moralitas yang penuh berprinsip dan pasca konvensional yang dicapai pada usia dua puluhan. Dua pengalaman yang memunculkan penalaran moral pada masa dewasa awal adalah : (1) Menghadapi konflik nilai ketika jauh dari rumah, seperti terjadi di kampus; (2) Bertanggungjawab atas kesejahteraan orang lain, seperti ketika menjadi orangtua Beberapa ciri perkembangan moral masa dewasa : (1) Pengalaman menuntun orang dewasa mengevaluasi ulang kriteria tentang apa yang benar dan salah; (2) Pengalaman pribadi digunakan sebagai jawaban atas dilema sosialnya; (3) Membantu orang lain dengan melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda
http://digilib.mercubuana.ac.id/
30
Dalam teori perkembangan keyakinan yang dikemukakan James Fowler, bahwa keyakinan berkembang melalui interaksi antara seseorang yang sedang dalam proses pematangan dan lingkungannya. Pada masa dewasa, tahapan keyakinan terletak pada tahap keempat, yaitu keyakinan individuatif-reflektif, yang dimulai pada usia dua puluhan awal hingga menengah atau setelahnya. Pada tahap ini orang dewasa menguji keyakinan mereka secara kritis dan menimbang kepercayaan-kepercayaan mereka, mandiri dari otoritas eksternal dan norma kelompok. Karena orang dewasa sangat peduli pada keintiman, maka pergerakan menuju tahap ini seringkali dipicu oleh perceraian, kematian sahabat, atau beberapa peristiwa lain yang mengakibatkan stress (Papalia, Olds, & Feldman, 2008) 2.4.3. Tahap Perkembangan Perempuan Carol Gilligan (Papalia, Olds, & Feldman, 2008) mengatakan bahwa dilema moral sentral perempuan adalah konflik antara kebutuhannya dan kebutuhan orang
lain,
sementara
itu
kebanyakan
masyarakat
biasanya
mengharapkan keasertifan dan penilaian mandiri dari laki-laki, dan pengorbanan diri dan perhatian dari perempuan. Tahapan perkembangan perempuan yang dikemukakan oleh Gilligan yaitu sebagai berikut : (1) Tingkat 1 : Orientasi survival individu Perempuan berkonsentrasi pada dirinya sendiri, pada apa yang praktis dan terbaik baginya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
31
Transisi 1 : Dari mementingkan diri sendiri ke tanggung jawab Perempuan menyadari hubungannya dengan orang lain dan berpikir tentang pilihan bertanggung jawab apa sehubungan dengan orang lain (termasuk bayinya yang belum lahir) dan dirinya sendiri. (2) Tingkat 2 : Kebaikan sebagai pengorbanan diri Kebijaksanaan konvensional feminine mendikte untuk mengorbankan harapan seorang perempuan demi apa yang orang lain inginkan darinya dan pikirkan tentang dirinya. Ia menganggap dirinya bertanggung jawab atas tindakan orang lain, sementara menuntut orang lain bertanggung jawab atas pilihannya. Ia berada dalam posisi bergantung pada orang lain, posisi dimana usaha tidak langsungnya untuk mengendalikan seringkali malah menjadi manipulasi, kadang dengan menggunakan rasa bersalah. Transisi 2 : Dari kebaikan ke kebenaran Perempuan
menilai keputusan-keeputusannya
tidak
berdasarkan pada
bagaimana orang lain akan bereaksi tapi berdasarkan intensinya dan konsekuensi dari tindakannya. Ia mengembangkan penilaian baru yang mempertimbangkan kebutuhannya sendiri sambil juga kebutuhan orang lain. Ia ingin menjadi baik dan bertanggung jawab terhadap orang lain tetapi juga ingin menjadi jujur dengan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Kelangsungan hidup menjadi kekuatiran utama. (3) Tingkat 3 : Moralitas nonkekerasan Dengan mengangkat aturan untuk tidak menyakiti orang lain (termasuk dirinya sendiri) menjadi prinsip yang melandasi seluruh penilaian dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
32
tindakan moral, perempuan membangun kesetaraan moral antara dirinya dan orang lain dan kemudian mampu menanggung beban tanggung jawab atas dilema moral. 2.4.4. Perkembangan Emosi Perempuan Walaupun perbedaan perilaku bayi laki-laki dan perempuan sangat sedikit, namun orangtua memperlakukan anak-anak mereka dengan cara yang berbeda setiap harinya. Orangtua mengenalkan kegiatan dan minat yang berbeda kepada anak-anak mereka. Orangtua juga melakukan interaksi yang berbeda kepada anak laki-laki dan perempuan mereka. Kepada anak laki-laki orangtua banyak bercerita yang berkaitan dengan tema kebebasan dan prestasi dibanding kepada anak perempuan. Orangtua lebih banyak menerapkan penggunaan berbagai emosi kepada anak perempuan dibanding kepada anak laki-laki. Dan pada usia sekitar 5 tahun anak perempuan sudah menggunakan kosa kata yang bermuatan emosi yang lebih banyak dibanding anak laki-laki (Crawford & Unger, 2004). Orangtua juga menekankan emosi-emosi yang berbeda ketika berbicara dengan anak laki-laki dan perempuan mereka. Orangtua cenderung mendiskusikan aspek-aspek kesedihan kepada anak perempuan walaupun anak perempuan tidak membicarakan tentang hal-hal yang menyedihkan (Crawford & Unger, 2004). Ketika usia pertengahan kanak-kanak, ketika mengalami suatu kejadian, anak perempuan menceritakan perasaan sedih mereka lebih banyak dibanding anak laki-laki (Buckner & Fivush, dalam Crawford & Unger, 2004). Seorang ibu lebih lebih senang menyesuaikan sisi emosi mereka ketika berdiskusi secara interpersonal dengan anak perempuan mereka (Flannagan &
http://digilib.mercubuana.ac.id/
33
Parese, dalam Crawford & Unger, 2004), namun lebih senang membicarakan topik-topik yang berhubungan dengan pembelajaran kepada anak laki-laki mereka (Flannagan, baker-Wward, & Graham, dalam Crawford & Unger, 2004). Hal ini menyebabkan anak perempuan belajar bahwa perasaan orang lain merupakan bagian yang lebih penting, sedangkan anak laki-laki belajar bagaimana fokus terhadap prestasi. Perkembangan selanjutnya adalah berdasarkan gender, orangtua mendorong anak laki-laki pada hal-hal yang berkaitan dengan prestasi, kemerdekaan, dan kebebasan, sedangkan pada anak perempuan pada emosi secara umum meliputi kedekatan secara interpersonal, ketergantungan dan kesedihan (Crawford & Unger, 2004). 2.5. KERANGKA PEMIKIRAN Dalam penelitian yang berjudul pemaafan wanita yang menikah kembali dengan mantan pasangan cerainya, kerangka berfikir yang dipergunakan peneliti yaitu bahwa ketika terjadi proses perceraian baik saat terjadi perpisahan fisik hingga perceraian yang sesungguhnya (secara hukum), wanita akan mengalami berbagai emosi yang penuh stres dan saling tumpang-tindih seperti senang, sedih, marah, benci. Untuk menghilangkan emosi kemarahan dan kebencian diperlukan adanya suatu proses pemaafan yang tidak mudah serta melalui fase-fase tertentu. Selama proses pemaafan berlangsung, faktor-faktor kepribadian, kualitas hubungan interpersonal, sosial-kognitif atau afektif yang dimiliki, penyebab perceraian, perkembangan emosi dan penalaran moral turut berperan dalam fase yang dilalui individu. Faktor-faktor tersebut juga mempengaruhi bagaimana dimensi pemaafan yang diberikan. Setelah terjadi proses pemaafan, maka akan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
34
terjadi rekonsiliasi yaitu berdamai kembali antara wanita dengan mantan pasangan cerainya. Dengan demikian wanita yang telah menikah kembali dengan mantan pasangan cerainya adalah wanita yang telah melalui proses pemaafan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/