BAB II LANDASAN TEORI
A. Kekerasan (Violence) Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga siswa, dari tawuran antar sekolah, pacaran dengan kekerasan, dan sebagainya. Beberapa hal bisa dicermati dalam banyak kasus kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar sosial. Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999). Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (dalam Fakih, 1996). Sementara menurut Galtung, terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa (dalam Warsana, 1992). Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.
11
Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang bagaimana aksi kekerasan dan akibatnya yang terjadi di berbagai tempat, mungkin saja menyebabkan terjadinya peniruan perilaku itu oleh para siswa. Observasi langsung para pelaku kekerasan terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh angkatan-angkatan sebelumnya di tahun-tahun yang lalu kemudian ditiru oleh siswa pada saat ini karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan suatu masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment maupun reward (Setyawati, 2010). Jika siswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolahnya tersebut tidak mendapatkan hukuman (baik oleh kepala sekolah, guru maupun pihak berwajib), maka aksi yang sama akan dilakukan oleh siswa di masa sekarang dan akan datang. Tidak ada ketegasan dalam menerapkan aturan main yang seharusnya menjadi kesepakatan bersama menimbulkan kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang melawan hukum dan dapat membentuk persepsi yang buruk terhadap penegakan hukum. Jika siswa percaya bahwa melakukan kekerasan tidak akan mendapatkan hukuman, maka siswa akan cenderung menggunakan kekerasan untuk
memperjuangkan
kepentingannya
dan
mengaplikasikannya
di
kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan orang lain sebagai suatu hal yang tidak lagi tabu. Terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya seperti pacar atau keluarga (Setyawati, 2010).
12
B. Pacaran Pacaran dapat diartikan sebagai hubungan khusus dengan lawan jenis yang melukiskan sebuah pola ketertarikan antartubuh yang melibatkan segenap emosi, jiwa dan raga. Makna asli pacaran berdasarkan etimologinya adalah persiapan menikah. Menurut Kamus Bahasa Portugis-Brazil pacaran atau yang lebih dikenal dengan istilah “namoro” adalah suatu kegiatan yang menyangkut hubungan antar individu untuk mencoba saling menjajagi perasaan dan atau secara seksual antara dua orang, melalui pertukaran pengalaman dan hidup bersama guna saling lebih membina kecocokan dalam berumah tangga (Mustika, 2009). Menurut Duval dan Miller (1985), pacaran adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam perasaan cinta dan saling mengakui pasangan sebagai pacar. Adapun komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk berkasihkasihan 2. Dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap 3. Perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain. Straus (2004) mendefinisikan pacaran sebagai hubungan khusus yang melibatkan pertemuan untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas bersama-sama dengan maksud yang eksplisit ataupun implisit untuk melanjutkan hubungan tersebut hingga salah satu pihak mengakhiri atau sampai beberapa hubungan lain yang lebih berkomitmen dipelihara (misalnya,
13
pertunangan, atau pernikahan). Norma-norma sosial untuk berpacaran dan perilaku berpacaran sebenarnya berbeda menurut banyak dimensi, yang meliputi perbedaan individu, ras/ etnis dan perbedaan kelompok sosial ekonomi, sejarah, dan konteks budaya. Di samping perbedaan-perbedaan ini, ada juga beberapa persamaan struktural yang melekat; sebagai contoh, sebuah hubungan khusus biasanya menghabiskan watu dan tenaga dari masingmasing pihak. Oleh karena itu, proses interaksi sosial yang khas tersebut kemungkinan akan berlaku terlepas dari apakah hubungan ini diatur oleh orang tua atau teman, oleh koran atau internet, atau salah satu pihak mulai mengembangkan hubungan tersebut. Pada umumnya, siswa yang berpacaran memiliki hubungan yang lebih intim dari berbagai segi, baik itu komitmen maupun fisik. Keintiman ini menyebabkan rawannya terjadi perilaku tidak sehat, mulai dari yang ringan hingga berat seperti seks bebas dan terjadinya dominasi berlebihan dari salah satu pihak yang berujung pada terjadinya kekerasan dalam pacaran.
C. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) 1. Definisi Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) Pada kasus kekerasan dalam pacaran cinta telah membutakan batas humanisme. Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas dari pasangannya namun selalu saja bersedia memaafkan dan akhirnya kembali menjalani hubungan yang tak sehat ini. Biasanya pihak-pihak yang terlibat kekerasan dalam pacaran (KDP) kemudian mengalami
14
disonansi kognitif, mereka tak dapat lagi memakai pandangan yang normal dalam memaknai pacaran yang sehat. Antara korban dan pelaku telah timbul suatu ketergantungan yang tak sehat, mereka terlarut dalam kekerasan yang berselimutkan kasih sayang. Sebagian besar menganggap bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang harus dilaluinya dalam suka duka sebuah hubungan sehingga persepsi yang timbul pada diri korban mengenai kekerasan dalam pacaran
adalah bentuk kasih sayang yang
berbeda (Arika, 2007). Menurut Abbot (1992) kekerasan dalam pacaran adalah segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur kekerasan yang meliputi pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, bahkan pada pasangan sejenis seperti gay atau lesbi (Arika, 2007). Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan, ternyata banyak yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya. Dari beberapa definisi kekerasan dalam pacaran (KDP) di atas dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran termasuk juga ancaman yang menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup hubungan pacaran.
15
2. Karakteristik Korban Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) Adapun karakteristik korban kekerasan dalam pacaran kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah sebagai berikut : (Sugarman, and Hotaling, 1989) a. Perempuan muda, berusia antara 12 hingga 18 tahun lebih sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kenalan, teman, atau pacar dibandingkan perempuan yang lebih tua (Bachman, R; Saltzman, L.E, 1995). b. Perempuan yang memiliki teman (peer group) pernah menjadi korban kekerasan seksual lebih sering menjadi korban kekerasan dalam pacaran (Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S, 1987). c. Perempuan yang jarang pergi ke tempat ibadah (Makepeace, J. M, 1987) d. Perempuan yang memiliki bekas pacar banyak (Gray, H.M.; Foshee, V, 1997). e. Perempuan yang sering berpacaran dan perempuan yang pernah mengalami kekerasan serupa sebelumnya (Agenton, S., 1983). 3. Bentuk-Bentuk Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) Jurnal Perempuan
(2002) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk
prilaku dari kekerasan dalam pacaran (KDP) yaitu : (Arieka, 2007) a. Kekerasan Emosional Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini
16
justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini antara lain berupa : 1)Pemberian julukan yang mengandung olok-olok, membuat seseorang jadi bahan tertawaan, 2) Cemburu yang berlebihan, 3) Membatasi pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, 4) Pemerasan (memaksa meminta uang, meminta barang dan sebagainya), 5) Mengisolasi/larangan berteman, 6) Larangan bersolek, 7)Larangan bersikap ramah pada orang lain. b. Kekerasan Fisik Bentuk kekerasan fisik ini antara lain berupa : 1) Memukul, 2) Menampar, 3) Menendang, 4) Menjambak rambut Ini biasanya dilakukan karena pasangannya tidak mau menuruti kemauannya atau dianggap telah melakukan kesalahan. c. Kekerasan Seksual Bentuk kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual, dan pelecehan seksual, yaitu : 1) Rabaan, 2) Ciuman, 3) Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan. Perbuatan tanpa persetujuan atau pemaksaan itu biasanya disertai ancaman akan ditinggalkan, akan menyengsarakan atau ancaman kekerasan fisik.
17
4. Dampak Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) Menurut Minna (2010) dampak perilaku kekerasan pacaran yang dilakukan secara emosional adalah sebagai berikut : a. Menurunnya rasa percaya diri Agresivitas dalam berkomunikasi seperti: membentak, memaki, tidak menghargai pendapat korban (disepelekan), melarang bergaul, tidak pernah diajak diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan akan membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi teman-temannya maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Korban merasa minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. b. Meningkatnya rasa cemas Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui rasa takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali melakukan aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak berkenan di hati pacarnya dan membuat pacarnya marah. Rasa cemas yang dialami korban secara terus menerus terbawa dalam kehidupan sehari-hari korban ketika ia bersosialisasi dengan lingkungannya. Korban menjadi sulit mempercayai orang lain sehingga dalam kehidupan sosialnya korban sulit bergaul dengan orang lain, lama kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari lingkungannya. c. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi Terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban akibat kekerasan dalam pacaran. Pengawasan yang dilakukan pelaku menjadikan korban terbatas ruang geraknya, termasuk ruang gerak sosialnya. Hal ini diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku mungkin tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah cukup membuat korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya. d. Mengalami sakit fisik Koalisi Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari tiga anak mengalami kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya seperti mendorong, memukul, mencekik, dan membunuh. Kejahatan tersebut sangat tertutup karena pihak korban ataupun pelaku tidak mengakui adanya masalah selama hubungan kencan. Kekerasan fisik ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya konsentrasi, perasaan malu, dan sebagainya.
18
5. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) Penyebab kekerasan dalam pacaran (KDP) dalam Jurnal Perempuan tahun 2002, antara lain: (Arieka, 2007) a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan Pola asuh orang tua adalah interaksi antara orang tua dengan anaknya selama mengadakan pengasuhan”. Interaksi ini dapat dilihat dari beberapa segi antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan dan disiplin, hadiah dan hukuman, juga tanggapan terhadap keinginan anak. Oleh karena itu orang tua besar sekali andilnya dalam pembentukan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis anak, terutama konsep diri anak mengingat konsep diri merupakan inti kepribadian. Ketika seorang anak memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan pada masa kecil atau menyaksikan tindak kekerasan dalam keluarganya, sangat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan juga ketika dia dewasa b. Peer group Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh kembang manusia. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi, nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut peer group. Teman sebaya memang memiliki pengaruh yang besar dalam memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya. c. Media massa Media massa sedikit banyak juga memberikan kontribusi terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan kekerasan yang sering muncul dalam program siaran televisi maupun adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan terhadap pasangan dalam hubungan pacaran. Tingkat kekerasan pada remaja di Indonesia, entah itu tawuran, pemerasan antar teman, ataupun kekerasan terhadap pasangan rawan terjadi pada tingkat pelajar SMP ke atas. Banyaknya memori kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat sangat permisif bahkan terkadang sangat agresif terhadap kekerasan yang terjadi dilingkungannya.
19
d. Kepribadian Salah satu akar kekerasan adalah karena faktor kepribadian. Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan kepribadian. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang menyebabkannya menjadi frustrasi. Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya. Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa kekerasan yang menimpa para pasangan kekasih oleh kekasihnya sendiri adalah contoh dari kepribadian status tersebut. Pada kehidupan sehari-hari mungkin para remaja yang melakukan tindak kekerasan ini tidak pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status sebagai pacar menyebabkannya berperilaku keras terhadap pacarnya. e. Peran jenis kelamin Pada banyak kasus, korban kekerasan dalam pacaran adalah perempuan. Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang menanamkan peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan. Laki-laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan macho, sedangkan perempuan feminim dan lemah gemulai. Laki-laki juga dipandang wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan untuk mengekang agresifitasnya. Walaupun kesetaraan jender sudah marak dibicarakan, namun masih terdapat pandangan di masyarakat akan superioritas maskulin yang diidentikkan dengan laki-laki. Dari uraian di atas tampak bahwa faktor-faktor sosial seperti pola asuh dan lingkungan keluarga, peer group, media massa, dan pembagian peran menurut jenis kelamin adalah faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam pacaran disamping faktor yang lain yaitu kepribadian individu. Dan pada dasarnya kepribadian individu terbentuk dari lingkungan sosialnya. Dari penyebab-penyebab kekerasan dalam pacaran tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak fisik dan psikis yang mempengaruhi kehidupan sosial pelaku dan korban.
20
D. Konseling Kelompok Behavioristik 1. Konsep Dasar Teori Behavioral Terapi perilaku adalah penerapan aneka ragam teknik dan prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan perilaku ke arah cara-cara yang adaptif. Dalam konsep behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar. Pada dasarnya, terapi perilaku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh perilaku baru, penghapusan perilaku yang maladatif, serta memperkuat dan mempertahankan perilaku yang diinginkan.(Corey, 2007). Manusia
pada
dasarnya
dibentuk
dan
ditentukan
oleh
lingkungan sosial budayanya. Segenap perilaku manusia itu dipelajari. Para behaviorist mengemukakan teori belajar: bagaimana belajar terjadi sebagai hasil dari pengaruh lingkungan. Bandura memberikan 3 (tiga) konsep penting yang menjelaskan bagaimana teori belajar sosial mempengaruhi pembelajaran Miller (dalam Kusumadewi, 2009 ): a. Belajar melalui observasi atau pengamatan bukan semata-mata sekedar meniru perilaku orang lain. Seorang anak dapat membangun perilaku baru secara simbolis dengan mendengarkan orang lain atau hanya dengan membaca. Perilaku overt (yang dapat dilihat/diobservasi) bahkan tidak begitu diperlukan agar pembelajaran dapat terjadi. b. Meskipun reinforcement tidak diperlukan dalam pembelajaran, namun hal ini sangat membantu dalam hal pengaturan-diri pada anak. Mereka dapat mengamati perilaku apa saja yang sedang terjadi di sekitar mereka dan membedakannya menjadi reinforcement dan punishment, lalu menggunakan pengamatan ini sebagai sumber informasi dalam membantu mereka membuat batasan-batasan, mengevaluasi performa
21
mereka, membangun standar perilaku, menetapkan tujuan, kemudian memutuskan kapan menerapkan hasil pengamatan tersebut. c. Reciprocal Determinism menjelaskan model perubahan perilaku. Terdapat tiga sumber pengaruh dalam teori ini yang saling berinteraksi: individu, perilakunya, dan lingkungan. Perlu diingat bahwa lingkungan tidak selalu memegang peranan penting. Yang paling penting untuk diketahui, perilaku yang ditampilkan oleh seseorang juga membantu membentuk lingkungannya, yang kemudian memberikan timbal balik terhadap dirinya. Pada Gambar 2.1. Dijelaskan bagaimana hubungan antara Behavior (B) = perilaku, Person (P) = individu atau kognitif/persepsi, dan Environment (E) = lingkungan,yang saling berpengaruh (interlocking) dan bergantung satu denganlainnya (interdependent). P E
B Gambar 2.1
Hubungan antara Behavior (B) = perilaku, Person (P) = individu atau kognitif/persepsi, dan Environment (E) = lingkungan Dalam masa perkembangan, remaja menjadi lebih terampil dalam pembelajaran melalui pengamatan (observational learning). Observational Learning atau yang biasa dikenal dengan modelling memiliki asumsi dasar, yaitu perilaku individu sebagian besar diperoleh dari hasil belajar melalui observasi atau hasil pengamatan perilaku orang lain (yang menjadi role model). Seperti halnya perilaku kekerasan dalam pacaran menurut Minna (2010) dapat terjadi karena dampak buruk dari lingkungan keluarga ataupun dari teman sebanyanya (peer group). Thoresen (Shertzer & Stone, 1980) sebagaimana dikutip oleh Surya (1988), memberi ciri-ciri pendekatan behavioral sebagai berikut: a
Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah. 22
b
c
d
e
Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedurprosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang relevan dalam perilaku klien dengan merubah lingkungan. Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedurprosedur konseling. Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahanperubahan dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara konseling. Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien dalam memecahkan masalah khusus.
2. Tujuan Konseling Prilaku Loekmono (2003) menjelaskan tujuan konseling perilaku yang utama adalah menyediakan keadaan-keadaan dan lingkungan-lingkungan agar perilaku yang tidak sesuai dapat dihapuskan sesudah itu konseli akan diajar untuk menguasai perilaku baru yang sesuai untuk menggantikan perilaku yang tidak sesuai itu. Menurut konselor konseling perilaku masa kini, tujuan yang hendak dituju sebenarnya ditentukan oleh konseli sendiri di dalam suasana hubungan yang hangat. Peran konselor adalah membantu konseli memilih tujuan yang hendak dituju, agar sesuai untuk dirinya dan diterima oleh masyarakat. Cormier dan Cormier (dalam Loekmono, 2003) menjelaskan bahwa proses penentuan tujuan ini biasanya dilakukan bersama antara konselor dengan konseli menurut urutan berikut: a. Konselor menjelaskan sifat dan msksud tujuan kepada konseli. b. Konseli menentukan perubahan atau tujuan khusus yang diinginkan. c. Konseli dan konselor mengkaji dan meilai kesesuaian tujuan yang dinyatakan oleh konseli. d. Secara bersama mengidentifikasi resiko-resiko yang berhubungan dengan tujuan itu dan menilai resiko-resiko itu. 23
e. Secara bersama juga mendiskusikan kebaikan yang diperoleh dai tujuan itu. f. Berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai tujuan yang dinyatakan oleh konseli, konselor dan konseli akan membuat keputusan sebagai berikut: 1). Untuk meneruskan konseling atau, 2). Untuk mempertimbangkan kembali tujuan yang dinyatakan oleh konseli atau 3). Untuk merujuk konseli pada konselor lain agar keinginan dan hasrat konseli tidak kosong dan konselor sendiri tidak merasa hampa dan kecewa. Dari uraian di atas bahwa dalam konseling perilaku yang dipentingkan adalah perubahan perilaku, karena bagi pendukung konseling perilaku, perubahan akan dengan sendirinya menghasilkan perubahanperubahan bagian lain seperti emosi dan kognitif. 3. Peranan Konselor dan Teknik Prosedur Konseling Perilaku Menurut Loekmono (2003) ada 4 (empat) peranan utama yang harus dimainkan konselor konseling perilaku yaitu : a
b c
d
Dalam konseling perilaku konselor sebagai pakar, guru yang aktif mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang saintifik yang dapat dipakai untuk mengobati masalah-masalah yang dihadapi konselinya. Konselor dijadikan model, atau contoh teladan untuk konseli. Konselor hendaknya terampil dalam semua ataupun dengan sebagian besar teknik yang dipakai dalam konseling perilaku yang beraneka ragam. Konselor juga harus mempunyai orientasi yang baik ke arah penyelidikan dan statistik agar ia dapat melaksanakan penilaian dengan obyektif. Salah satu sumbangan terapi perilaku adalah pengembangan
prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan untuk diperbaiki melalui metode ilmiah. Dalam terapi perilaku, teknikteknik spesifik yang beragam bisa digunakan secara sistematis dan hasilhasilnya bisa dievaluasi. Teknik-teknik ini bisa digunakan jika saatnya 24
tepat untuk menggunakannya, dan banyak diantaranya yang bisa dimasukkan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model lain. Menurut Loekmono (2003) ada tiga hal yang menarik mengenai teknik dan prosedur yang terdapat di dalam konseling perilaku: a) Konseling perilaku mempunyai banyak teknik dan strategi yang telah diusahakan dan diketahui efektif. b) Konseling perilaku mengutamakan perilaku yang nyata atau overt, maka dengan mudah dapat diketahui keberhasilannya atau kegagalan suatu teknik atau strategi tertentu. c) Konselor perilaku tidak membelenggu seorang konselor. Konselor dapat mengkombinasikan teknik-teknik dan strategi-strategi untuk menjadikan pendekatan elektrik. 4. Strategi Yang Dipakai Dalam Konseling Kelompok Behavioral Konseling kelompok behavioralistik adalah suatu proses interpersonal yang dinamis yang memusatkan pada kesadaran berfikir dan tingkah
laku,
dimungkinkan, membersihkan
seta serta jiwa,
melibatkan
pada
berorientasi saling
percaya
fungsi-fungsi pada
terapi
yang
kenyataan-kenyataan,
mempercayai,
pemeliharaan,
pengertian, penerimaan dan bantuan (Loekmono, 2003). Menurut Loekmono (2003) terdapat beberapa strategi yang dipakai dalam konseling perilaku sebagai berikut: (1) Latihan Relaksasi. (2) Desentisasi Sistematik. (3) Konseling Impulsif. (4) Aversif. (5) Latihan Asertif. (6) Teknik-teknik kognitif. Dalam penelitian yang akan dilakukan, peneliti memfokuskan kepada teknik latihan asertif. Strategi yang digunakan dalam konseling kelompok behavioral dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan latihan asertif. Latihan 25
asertif (assertive training) adalah salah satu teknik dalam tritmen ganguan perilaku dimana konseli diinstruksikan, diarahkan, dilatih, serta didukung untuk bersikap asertif dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman atau kurang menguntungkan bagi dirinya. Menurut Corey (2007) perilaku asertif adalah ekspresi langsung, jujur, dan pada tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang beralasan. Langsung artinya pernyataan tersebut dapat dinyatakan tanpa berbelit-belit dan dapat terfokus dengan benar. Jujur berarti pernyataan dan gerak-geriknya sesuai dengan apa yang diarahkannya. Sedangkan pada tempatnya berarti perilaku tersebut juga memperhitungkan hak-hak dan perasaan orang lain serta tidak melulu mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan Alberti dan Emmons (2002) mendefinisikan asertivitas sebagai perilaku yang mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut kepentingan diri sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi kita tanpa menyangkali hakhak orang lain. Menurut Sunardi (2010) Asertif dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menyatakan diri dengan tulus, jujur, jelas, tegas, terbuka, sopan, spontan, apa adanya, dan tepat tentang keinginan, pikiran, perasaan dan emosi yang dialami, apakah hal tersebut yang dianggap menyenangkan ataupun mengganggu sesuai dengan hak-hak yang dimiliki dirinya tanpa merugikan, melukai, menyinggung, atau mengancam hak-
26
hak, kenyamanan, dan integritas perasaan orang lain. Perilaku asertif tidak dilatarbelakangi maksud-maksud tertentu, seperti untuk memanipulasi, memanfaatkan, memperdaya atau pun mencari keuntungan dari pihak lain. L’Abate & Milan (1985) menjelaskan ada 3 (tiga) tipe perilaku asertif yaitu : (Sunardi, 2010) a. Asertif untuk menolak (Refusal Assertiveness) Perilaku asertif dalam konteks ketidaksetujuan atau ketika seseorang berusaha untuk menghalangi atau mencampuri pencapaian tujuan orang lain. hal ini membutuhkan keterampilan sosial untuk menolak atau menghindari campur tangan orang lain. b. Asertif untuk memuji (Commendatory Assertiveness) Ekspresi-ekspresi dari perasaan positif seperti penghargaan, apresiasi dan menyukai dapat dilihat untuk memfasilitasi hubungan interpersonal yang baik. Kemampuan untuk memuji orang lain dalam cara yang hangat, tulus dan bersahabat dapat menjadi kemampuan yang memiliki kekuatan hebat dan berfungsi untuk membuat seseorang menjadi penguat dan partner interaksi yang menyenangkan. c. Asertif untuk meminta (Request Assertiveness) Perilaku asertif jenis ini terjadi ketika seseorang meminta orang lain untuk membantunya mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhannya. Perilaku asertif ini sering dipadukan dengan penolakan, dalam situasi menolak permintaan orang lain dan meminta perubahan berperilaku meminta. Fungsi dari jenis perilaku asertif ini adalah agar menghindari terjadinya konflik yang sama dikemudian hari. Pengertian asertif seringkali disalah artikan dengan agresif, berikut Sunardi (2010) menjelaskan relevansi asertif dengan non-asertif dan agresif yaitu: a. Asertif Dalam kehidupan atau komunikasi sehari-hari, orang yang asertif akan lebih memilih pola interaksi “I’m okay, you’re okay” atau menggunakan pernyataan-pernyataan yang lebih mencermintan tangung jawab pribadi, seperti penggunaan kata-kata ”saya” dari pada ”mereka ” atau ”kamu”. Misalnya, ”saya sedih, marah, dan malu ketika saya tahu ...” dari pada ”kamu pembohong, tidak disiplin, dan tidak dapat dipercaya karena ....”. Dengan demikian, orang yang asertif akan memiliki kebebasan untuk meluapkan perasaan apa pun yang 27
dirasakan, dan berani mengambil tanggung jawab terhadap perasaan yang dialaminya dan menerima orang lain secara terbuka. Memiliki keberanian untuk tidak membiarkan orang lain mengambil manfaat dari perasaan yang dialaminya, tetapi orang lain pun memiliki kebebasan untuk mengungkap apa yang dirasakannya. b. Non asertif-pasif Dalam perilaku pasif, seseorang tidak tidak memberikan reaksi atau mengekspresikan perasaan negatif yang dialaminya secara jujur dan terbuka, tetapi dilakukan dengan menyimpan perasaannya tersebut, menarik diri, menerima, atau menggerutu. Perilaku non asertif-pasif hakekatnya adalah bentuk ketidakjujuran emosi, kegagalan diri atau kekalahan diri yang didasari oleh perasaanperasaan takut, cemas, mengindari konflik, keininginan untuk mencari jalan keluar paling mudah, dan bahkan ketidakmampuan untuk memahami diri dan memenuhi kebutuhan untuk bersikap sabar. Pola komunikasi yang berkembang pada kelompok nonasertif-pasif adalah “I’m not okay, you’re okay”. c. Non asertif-agresif Sedangkan pada perilaku nonasertif-agresif, reaksi yang diberikan diekspresikan keluar dan dilakukan secara terbuka melalui tindakan aktif berupa pengancaman atau penyerangan, dilakukan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk fisik atau verbal. Tindakan yang dilakukan secara langsung, misalnya marahmarah, memukul, menuntut, dominan, egois, menyerang, dan sebagainya. Sedangkan tindakan tidak langsung, misalnya dengan menyindir, menyebar gosip, dan sebagainya. Tindakan agresif ini biasanya sengaja dilakukan dengan maksud untuk melukai, melecehkan, menghina, mempermalukan, menyakiti, merendahkan dan bahkan menguasai pihak lain. Dalam pola komunikasi mereka cenderung menggunakan pola “You’re not okay, I’m okay”. Dengan kata lain, seseorang dikatakan bersikap non-asertif, jika ia gagal mengekspresikan perasaan, pikiran dan pandangan/keyakinannya secara tulus, jujur, sopan, dan apa adanya tanpa maksud untuk merendahkan hak-hak atau mengancam integritas perasaan orang lain, sehingga justru menimbulkan respons dari orang lain yang tidak dikehendaki atau negatif.
Pada hakikatnya, tindakan asertif yang merupakan tindakan untuk mempertahankan hak-hak personal yang dimilikinya adalah upaya untuk mencapai kebebasan emosi, yaitu kemampuan untuk menguasai diri, bersikap bebas dan menyenangkan, merespon hal–hal
28
yang disukai atau tidak disukai secara tulus dan wajar, dan mengekspresikan cinta dan kasih sayang pada orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Apakah seseorang menunjukkan perilaku asertif atau tidak, akan tampak sekali dalam respons-respons yang diberikan bagi bentuk pembelaan
diri, ketika seseorang itu
diperlakukan tidak adil oleh orang lain atau lingkungannya. Faktanya dalam kehidupan sosial sehari-hari, banyak orang enggan bersikap asertif dan memilih bersikap non asertif, seperti memendam perasaannya, berpura-pura, menahan perbedaan pendapat atau sebaliknya dengan bersikap agresif. Keengganan ini umumnya karena dilandasi oleh rasa takut dan khawatir mengecewakan orang lain, takut tidak diterima oleh kelompok sosialnya, takut dianggap tidak sopan, takut melukai perasaan atau menyakiti hati orang lain, takut
dapat
memutuskan
tali
hubungan
persaudaraan
atau
persahabatan, dan sebagainya. Padahal, dengan membiarkan diri untuk bersikap non-asertif justru dapat mengancam hubungan yang ada karena salah satu pihak kemudian akan merasa dimanfaatkan oleh pihak lain, tidak menyelesaikan
masalah-masalah
emosional
yang
dihadapi,
menurunkan harga diri, atau bahkan dapat menjadi “bom waktu” yang sewaktu-waktu dapat mengancam kelangsungan hubungan pribadi dan sosial dan kesehatan mental seseorang, yaitu resiko terhadap timbulnya kecemasan dan stres.
29
Alberti dan Emmons (2002) secara umum orang yang berperilaku asertif, akan memiliki
karakteristik antara lain sebagai
berikut: a b c d e
f g h i
Mengekspresikan diri sendiri, Menghomati hak-hak orang lain, Jujur, Langsung dan tegas, Menyetarakan, menguntungkan kedua pihak dalam sebuah hubungan baik dengan kata-kata (termasuk isi pesan) maupun tanpa kata-kata (termasuk gaya pesannya), Positif sesekali (mengekspresikan kasih sayang, pujian, penghargaan) dan negatif sesekali (mengekspresikan batasan, amarah, kritik) Layak bagi orang dan situasi masing – masing, bukan universal Bertanggung jawab secara sosial Belajar, bukan pembawaan lahiriah
Karakteristik maupun ciri-ciri tersebut turut mendukung seseorang dalam menampilkan perilaku asertif, dan turut menggambarkan bahwa asertivitas tersebut
bukan
pembawaan
lahiriah
namun
suatu
keterampilan
interpersonal yang dapat dipelajari, dikembangkan dan ditingkatkan (Alberti & Emmons, 2002). Pada setiap pelatihan asertivitas yang diprakasai oleh Smith (dalam Michel & Fursland, 2008), merumuskan mengenai “bill of assertive rights”; hak-hak asertivitas merupakan hak yang kita miliki sebagai manusia, yang terdiri sebagai berikut: a. Hak untuk menentukan sendiri dalam bertingkah laku, pemikiran, dan emosi serta bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan konsekuensi yang ditimbulkannya, b. Hak untuk berkata “tidak”, c. Hak untuk mempertahankan perilaku diri sendiri tanpa dengan menyatakan alasan atau penjelasan tertentu, d. Hak untuk memberikan pertimbangan atau penilaian, jika kita bertanggung jawab untuk untuk menemukan solusi dalam permasalahan orang lain, 30
e. Hak untuk merubah pemikiran diri sendiri, f. Hak untuk tidak setuju terhadap opini seseorang, g. Hak untuk membuat kesalahan dan bertanggung jawab terhadap kekeliruan yang telah terjadi, h. Hak untuk berkata “ saya tidak tahu”, i. Hak untuk membuat keputusan yang tidak masuk akal, j. Hak untuk berkata “ saya tidak mengerti”, k. Hak untuk berkata “saya tidak peduli”. Bagian yang terpenting dari hak-hak asertivitas bahwa setiap hak asertivitas yang dirumuskan tersebut berhubungan dengan rasa kebertanggung jawaban terhadap diri sendiri dan juga terhadap individu lain ketika sedang berinteraksi dengannya. Seringkali terdapat individu yang berpikir bahwa mereka sedang berlaku asertif, tetapi mereka mengkesampingkan
hak-hak
orang
lain
dan
konsekuensi
yang
ditimbulkannya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Rees & Graham (dalam Sunardi, 2010), inti dari latihan asertif adalah penanaman kepercayaan bahwa asertif dapat dilatihkan dan dikembangkan, memilih kata-kata yang tepat untuk tujuan yang mereka inginkan, saling mendukung, pengulangan perilaku asertif dalam berbagai situasi, dan umpan balik bagi setiap peserta dari trainer maupun peserta. Menurut pendapat Corey (2007), manfaat latihan asertif yaitu membantu bagi orang-orang yang: a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung. b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya. c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak.” d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan responsrespons positif lainnya. e. Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.
31
Wahyuningsih, dkk (2010) juga menyatakan hal yang hampir sama bahwa teknik latihan asertif sangat relevan digunakan pada permasalahan yang menyangkut hubungan sosial. Misalnya dalam lingkup sekolah, dan organisasi, dan sebagainya. Dimana seringkali terjadi kebingungan pandangan mengenai asertif, agresi, dan sopan. Tujuan latihan asertif diantaranya: a
b
c
d e
Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang lain. Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku seperti apa yang diinginkan atau tidak Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan hak orang lain Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial Menghindari kesalah pahaman dari pihak lawan komunikasi Loekmono (2003) menjelaskan beberapa strategi yang harus
dilakukan dalam memberikan pelatihan asertif, antara lain; a. Pengajaran – konselor menerangkan kepada konseli perilaku khusus yang diharapkannya; b. Respons – konselor memberikan respons positif juga negatif kepada konseli berkaitan dengan perilakunya sesudah diberi pengarahan; c. Percontohan – ada kalanya konselor menunjukan contoh perilaku kepada konseli. Ini dapat dilakukan secara hidup atau dengan memakai audio visual; d. Keasyikan – konseli akan berlatih melalui permainan peranan perilaku tertentu dan ia akan dikritik oleh konselor; e. Penguatan sosial – dari waktu ke waktu konseli akan diberi pujian; f. Tugas atau PR - konseli akan diberi tugas untuk dikerjakan Shaffer dan Galinsky (dalam Corey, 2007) menerangkan bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif dibentuk dan berfungsi. Kelompok terdiri atas 8 – 10 anggota memiliki latar belakang sama, dan 32
session terapi berlangsung selama dua jam. Terapis bertindak sebagai penyelenggara dan pengarah permainan peran, pelatih, pemberi kekuatan, dan sebagai model peran. Dalam diskusi kelompok, terapis bertindak sebagai ahli, memberikan bimbingan dalam situasi-situasi bermain peran, dan memberikan umpan balik kepada para anggota. Lebih lanjut Shaffer dan Galinsky (dalam Corey, 2007) menjelaskan prosedur dasar latihan asertif dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut : a. Session pertama, yang dimulai dengan pengenalan diktatik tentang kecemasan sosial yang tidak realistis, pemusatan pada belajar menghapuskan responss-responss internal yang tidak efektif yang telah mengakibatkan kekurang tegasan dan pada belajar peran perilaku baru yang asertif. b. Session kedua, bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan masing-masing anggota menerangkan perilaku yang spesifik dalam situasi-situasi intrapersonal yang dirasakan menjadi masalah. Para anggota kemudian membuat perjanjian untuk menjalankan perilaku menegaskan diri yang semula mereka hindari. c. Session ketiga para anggota menerangkan tentang perilaku menegaskan diri yang telah dicoba dijalankan oleh mereka dalam situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha mengevaluasi dan jika mereka belum sepenuhnya berhasil, kelompok harus menjalankan permainan peran. d. Session keempat penambahan latihan relaksasi, pengulangan perjanjian untuk menjalankan perilaku menegaskan diri, yang diikuti oleh evaluasi. e. Session kelima bisa disesuaikan dengan kebutuhan anggota. Sejumlah kelompok sering berfokus pada permainan peran tambahan, evaluasi, dan latihan, sedangkan kelompok lainnya berfokus pada usaha mendiskusikan sikap-sikap dan perasaan yang telah membuat perilaku menegaskan diri sulit dijalankan.
33
E. Hipotesis Penelitian Sesuai dengan teori yang dikemukakan dalam konseling kelompok behavioral maka hipotesis yang dikemukan dalam penelitian ini adalah : Konseling kelompok behavioral mampu menurunkan perilaku kekerasan dalam pacaran (KDP) pada siswa-siswi Kelas XI SMA Bhinneka Karya 2 Kabupaten Boyolali.
34