BAB II LANDASAN TEORI
A.Pengertian Pajak, Penghasilan dan PajakPenghasilan 1. Pengertian Pajak Pengertian pajak sebagaimana disebutkan oleh Resmi (2007 : 1) adalah sebagai berikut: Pajak adalah perolehan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ”surplus” yang digunakan untuk publik ”saving” dan merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. Pendapat lain mengenai pajak menurut S.L Djajadiningrat dalam Resmi (2007 : 1) adalah sebagai berikut: Pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan umum. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur yang melekat pada pengertian pajak yaitu : 1. Pajak dipungut berdasarkan undang – undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Sifatnya dapat dipaksakan. Hal ini berarti pelanggaran atas aturan perpajakan akan berakibat adanya sanksi.
3. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukan adanya kontraprestasi secara langsung oleh pemerintah. 4. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemungutan pajak tidak boleh dilakukan pihak swasta yang orientasinya adalah keuntungan. 5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran – pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukkannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
2. Pengertian Penghasilan Menurut Judisseno (2001 : 52) Penghasilan adalah sebagai berikut: “Jumlah uang yang diterima atas usaha yang dilakukan orang perorangan, badan dan bentuk usaha lainnya yang dapat digunakan untuk aktivitas ekonomi seperti mengkonsumsi dan atau menimbunserta menambah kekayaan”. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 10 tahun 1994 diubah dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 17 tahun 2000, terakhir diubah Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 yang dimaksud dengan Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun
yang berasal dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, Penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: 1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, penghasilan dari praktek dokter, notaris, dan akuntan. 2. Penghasilan dari usaha dan kegiatan. 3. Penghasilan dari modal yang berupa harta gerak atau tak gerak, seperti bunga, deviden, royalti, sewa. 4. Penghasilan lain – lain, seperti pembebasan hutang dan hadiah. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena undang – undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri.
3. Pengertian Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) adalah Pajak yang langsung dikenakan terhadap subjek pajak (perorangan, badan, BUT) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun Pajak. Menurut Slamet Munawir (2002:109) menyatakan bahwa: ”Pajak Penghasilan merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang berasal dari pendapatan rakyat, pemungutannya telah diatur dengan undang – undang sehingga dapat memberikan kepastian hukum sesuai dengan kehidupan dalam negara yang berdasarkan hukum”.
4. Subjek Pajak Penghasilan Subjek Pajak Penghasilan diartikan sebagai orang yang dituju oleh UndangUndang untuk dikenakan Pajak Penghasilan yang berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Yang dimaksud Subjek Pajak berdasarkan Pasal 2 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 10 tahun 1994 diubah dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 17 tahun 2000, terakhir diubah dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 yaitu: 1. Subjek Pajak Dalam Negeri, yaitu: a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau
orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
2. Subjek Pajak Luar Negeri adalah: a. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. b. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
5. Objek Pajak Penghasilan Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 yang dimaksud objek Pajak Penghasilan yaitu: 1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, bonus, honorarium, komisi, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang - undang ini; 2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; 3. Laba usaha;
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun; d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali diatur lain dalam Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan diantara pihak–pihak yang bersangkutan, dan; e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; 5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; 6. Bunga
termasuk
premium,
diskonto,
dan
imbalan
karena
jaminan
pengembalian utang; 7. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; 8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak; 9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; 10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; 11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah; 12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing; 13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; 14. Premi asuransi; 15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak; 17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah; 18. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang–Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan 19. Surplus Bank Indonesia.
6. Penghasilan yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 Pasal 4 ayat (3) yang dikecualikan dari objek pajak adalah: 1. a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; 2. Warisan; 3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; 4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15; 5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; 6. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan b. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor; 7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; 8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; 9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif; 10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan b. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; 11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; 12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan / atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan 13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
7. Penghasilan yang Pajaknya Dikenakan Secara Final Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (2) penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final yaitu:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi; b. Penghasilan berupa hadiah undian; c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura; d. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan e. Penghasilan tertentu lainnya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. 8. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Biaya – biaya yang boleh dikurangkan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak diatur dalam pasal 6 Undang – Undang Pajak Penghasilan, terdiri atas: a) Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya prngolahan
limbah, piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan. b) Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun. c) Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. d) Kerugian karena penjualan atau penagihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. e) Kerugian dari selisih kurs mata uang asing. f) Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan diIndonesia. g) Biaya beasiswa, magang dan pelatihan.
h) Piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat: 1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersil. 2. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang / pembebasan utang antara kreditor dengan debitor yang bersangkutan. 3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.
4. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Dirjen Pajak.
9. Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Biaya – biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak diatur dalam pasal 9 Undang – Undang Pajak Penghasilan adalah : a) Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi. b) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota. c) Pembentukkan atau pemupukan dan cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklame untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat – syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, asuransi beasiswa yang dibayar oleh Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
e) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan. g) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata – nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi pemeluk agama Islam / atau Wajib Pajak Badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah. h) Pajak Penghasilan (PPh). i) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya. j) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan firma atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham. k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang – undangan dibidang perpajakan.
l) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memeliharan penghasilan yang mempunyai manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.
10. Biaya yang boleh dikurangkan sebesar 50% (lima puluh persen) Biaya – biaya yang boleh dikurangkan sebesar 50 % (lima puluh persen) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak diatur dalam KEP220/PJ/2002 adalah : a) Atas biaya perolehan atau pembelian telepon selular yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya. b) Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon selular yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya. c) Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya. d) Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sedan atau sejenis yang dimiliki dan dipergunakan peusahaan untuk pegawai tertentu karen jabatan atau pekerjaannya.
B. Macam – macam kredit Pajak Penghasilan 1. Pengertian Kredit Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2009, yang dimaksud dengan Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayarkan sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak terutang. 2. Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23, 24, 25 dan 26 a. Pajak Penghasilan 21 Pajak Penghasilan (PPh) pasal 21 merupakan Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, upah, honorium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. 1. Subjek Pajak PPh Pasal 21 a. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21: 1) Pegawai; 2) Penerima Pensiun; 3) Penerima honorium;
4) Penerima upah; 5) Orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan dari pemotong pajak. b. Tidak termasuk penerima penghasilan 1) Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang – orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaan tersebut, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 2) Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat bukan negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. 2. Objek Pajak PPh Pasal 21 a) Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh Pasal 21 adalah : 1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur; 2) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya; 3) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara
sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain yang sejenis; 4) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian maupun upah yang dibayarkan secara bulanan; 5) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, dan komisi; 6) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang rapat, dan hadiah atau penghargaan. b) Termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh : 1) Bukan Wajib Pajak; 2) Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final; atau 3) Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus. c) Penghasilan yang bukan merupakan objek pajak PPh pasal 21 adalah : 1) Pembayaran manfaat dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, kecelakaan dan beasiswa; 2) Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali penghasilan yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib
Pajak dikenakan penghasilan final dan Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan norma perhitungan khusus; 3) Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun uang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; 4) Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; 5) Beasiswa sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf 1 Undang – Undang Pajak Penghasilan. d) Penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 final : 1) Uang tebusan pensiun yang dibayarkan oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; 2) Uang pesangon; 3) Honorarium atau komisi; 4) Penghasilan bruto berupa honorarium dan imbalan lain yang diterima oleh pejabat negara.
3. Tarif Pajak PPh Pasal 21 Tarif PPh Pasal 21 sebagaimana telah ditetapkan dalam UU PPh adalah : Tarif pasal 17 dikalikan dengan Penghasilan Kena Pajak, dan Penghasilan Kena Pajak tersebut diperoleh setelah Penghasilan Bruto
dikurangi biaya jabatan sebesar 5%. Besarnya yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP adalah lebih tinggi 20 % (dua puluh persen) dari tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan NPWP. b. Transaksi Impor 1) Pengertian Impor menurut Undang – Undang Perpajakan Impor adalah kegiatan atau aktivitas memasukkan barang dari luar wilayah Pabean Indonesia (luar negeri) ke dalam wilayah Pabean Indonesia. Sedangkan Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya serta tempat – tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang – Undang Nomor 10 Tahun 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Syarat bagi perusahaan untuk bisa melakukan impor adalah : a. Harus merupakan badan hukum b. Memiliki API (Angka Pengenal Impor) atau APIS (API sementara). Yang dimaksud dengan Angka Pengenal Impoer adalah kartu pengenal atau identitas yang sebaiknya dimiliki oleh setiap perusahaan yang melakukan kegiatan impor. 2) Prosedur Impor secara umum antara lain : a. Importir menempatkan order pada eksportir.
b. Importir meminta bank membuka L/C untuk eksportir (opening bank), yang dapat bertindak sebagai paying bank. c. Importir menyelesaikan persyaratan – persyaratan pembukaan L/C pada opening bank. d. Importir menerima pemberitahuan bahwa tibanya dokumen – dokumen pengapalan dari opening bank yang dikirim oleh advising/negotiating bank. e. Importir menyelesaikan formulir – formulir dan perhitungan – perhitungan asuransi, bea masuk dan pajak. f. Impoertir melakukan penyetoran pajak, bea cukai dan lain-lain. g. Importir menebus dokumen – dokumen pengapalan dengan melakukan pembayaran, akseptasi pada opening bank sesuai syarat L/C. h. Importir menyerahkan bukti penyelesaian formulir impor dan pelunasan pajak/bea masuk kepada Bea cukai untuk memperoleh DO (Delivery Order / Surat Ijin Penyerahan Barang). i. Importir menyerahkan DO dan BL kepada maskapai pelayaran untuk pengeluaran barang dengan atau tanpa perusahaan ekspedisi (E.M.K.L)
j.
Importir mengajukan klaim ganti rugi kepada pihak eksportir atau kepada pihak asuransi jika terdapat kehilangan kehilangan atau kerusakan barang.
k.
Importir melunasi pembayaran pada tanggal jatuh tempo kalau pembayaran belum diselesaikan sebelumnya dengan bank.
Ada berbagai macam cara pembayaran dalam transaksi impor. Dan cara pembayaran paling umum yang dapat dilakukan adalah dalam bentuk sebagai berikut : a. Advance Payment (Pembayaran di muka) Dalam sistem pembayaran ini importir membayar dimuka kepada eksportir sebelum barang – barang dikirim oleh eksportir tersebut. b. Open Account (Pembayaran kemudian) Dalam sistem pembayaran ini setelah eksportir mengapalkan barang, akan mengirimkan faktur pembelian ke importir. Importir membayar sesuai dengan tanggal yang tercantum dalam faktur pembelian. c. Collection draft (wesel inkaso) Dalam
sistem
pembayaran
ini
eksportir
mengapalkan
barangnya, sementara itu dokumen – dokumen pemilikan atas pengiriman barang dikirim ke bank importir.Importir harus
memenuhi persyaratan penagihan agar mendapat pemilikan atas dokumen yang diperlukan untuk mengeluarkan barang. d. Consigment (konsinyasi) Dalam sistem pembayaran ini hanya barang yang laku saja yang dibayar oleh importir karena barang yang dikirim oleh eksportir hanya sebagai titipan saja. e. Letter of Credit Yaitu eksportir akan menerima pembayaran jika dapat menyerahkan
dokumen
–
dokumen
sesuai
dengan
yang
diisyaratkan dalam L/C. L/C di terbitkan oleh Bank yang ditunjuk oleh importir. Dokumen penting dalam ekspor dan impor : a) Sales contract, yaitu dokumen yang berisikan perjanjian antara kedua belah pihak eksportir dan importir yang umumnya mencakup jumlah, mutu barang, harga, tanggal pengapalan, cara – cara pembayaran, dan data- data lain yang diperlukan. b) Bill of Lading (B/L), yaitu dokumen yang menjamin keaslian hak pemilikan atas barang – barang yang dikapalkan sekaligus sebagai bukti tanda terima barang dan bukti kontrak pengangkutan. c) Invoice (faktur), yaitu dokumen yang menunjukkan berapa harga per unit, jumlah unit, nilai perdagangan, kurs saat penjualan atau
pembelian, yang menunjukkan keadaan sebenarnya saat transaksi dilakukan.
3) Pajak Penghasilan atas kegiatan Impor Pajak Penghasilan Badan atas kegiatan impor dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak dikalikan tarif pasal 17 UU PPh tahun 2000. Laba yang diperoleh importir dalam hal ini PT. Kuei Meng Chain Indonesia merupakan obyek pajak penghasilan. Laba untuk perhitungan pajak penghasilan disebut laba fiskal dengan laba akuntansi. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya pendapatan dan biaya yang boleh diakui menurut akuntansi komersial tetapi tidak boleh menurut pajak begitu pula sebaliknya. Untuk menghitung besarnya pajak penghasilan yang terhutang harus diketahui terlebih dahulu Dasar Pengenaan Pajaknya. Dasar Pengenaan Pajak untuk PPh terhutang adalah Penghasilan Kena Pajak. PPh badan terhutang selain yang disetorkan sendiri ada juga yang melalui withholding tax/dipotong pihak lain (PPh pasal 22, 23, 24) dan pada akhir tahun akan menjadi kredit pajak sehingga mengurangi pajak penghasilan badan yang harus disetor, sehingga akan didapatkan pajak kurang bayar atau lebih bayar.
4) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas kegiatan impor Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan lembaga – lembaga lainnya berkenan dengan pembayaran atas penyerahan barang yang sumbernya dari APBN/APBD dan badan – badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan impor atau kegiatan lain. Apabila Wajib Pajak dalam negeri atau WP BUT melakukan impor barang maka harus membayar uang muka PPh 22 melalui sistem pemungutan oleh Bendaharawan Bea Cukai atau Bank Devisa.Dasar Hukum PPh 22 yaitu Keputusan Menteri Keuangan No. 254/ KMK.03/ 2001 tentang penunjukan pemungut pajak penghasilan pasal 22, sifat dan besarnya pungutan serta tata cara penyetoran dan pelaporannya sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 210/ PMK.03/ 2008, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dan diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 154/ PMK.03/ 2010 tentang pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan dibidang impor atau kegiatan usaha dibidang lain. Obyek Pajak Penghasilan Pasal 22 impor adalah importir barang. Pemungut PPh 22 adalah Bendaharawan Bea Cukai atau Bank Devisa. Pada
waktu mengimpor barang setiap badan yang mengimpor diharuskan melunasi PPh Pasal 22 terutang bersamaan dengan pelunasan Bea Masuk, setelah itu urusan pengimporan bisa ditangani oleh Bendaharawan Bea Cukai atau Bank Devisa. Dasar pemungutan/perhitungan adalah Nilai Impor barang yang berupa uang yang menjadi dasar perhitungan yaitu Cost Insurance, Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan peraturan perundang – undangan Kepabeanan dibidang impor seperti Bea Masuk tambahan, bea masuk anti dumping, tidak termasuk PPN Impor atau PPnBM Impor. Bea Masuk adalah pungutan yang dikenakan atas barang – barang tertentu yang dimasukkan kedalam daerah pabean Indonesia, berdasarkan ketentuan peraturan perundang - undangan Pabean untuk impor barang kena pajak. Bea masuk dan bea masuk tambahan dihitung dengan cara mengkalikan tarif bea masuk/bea masuk tambahan dengan CIF (dalam rupiah sesuai dengan kurs MenKeu), sedangkan PPN impor dihitung dengan cara mengkalikan tarif PPN dengan CIF setelah ditambah dengan bea masuk dan bea masuk tambahan. Biasanya nilai CIF dihitung dalam mata uang asing (umumnya USD). Untuk menghitung besarnya nilai impor sebagai dasar pengenaan PPh Pasal 22 impor, nilai CIF yang dihitung dalam mata uang asing harus dikonversi ke rupiah, kemudian dihitung PPh 22 impor. Kurs yang digunakan
untuk mengkonversi USD ke rupiah mengacu pada kurs konversi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Besarnya tarif pungutan pajak penghasilan pasal 22 yaitu: a) 2,5% dari nilai impor bagi nilai importir yang memiliki Angka Pengenal Impor (API), kecuali atas impor kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor. b) 7,5% dari nilai impor bagi nilai importir yang tidak mengunakan API. c) 7,5% dari harga jual lelang yang tidak dikuasai. Pemajakan PPh pasal 22 impor untuk kegiatan impor ini dilakukan dengan cara withholding tax (dimana jumlah pajak terutang dihitung oleh pihak ketiga) dan hanya dipotong oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Bank Devisa. Sifat PPh pasal 22 impor bersifat tidak final berarti PPh yang dipungut tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak atas pajak terhutang pada akhir tahun. Sebagai sarana pengkreditan, pihak importir harus meminta bukti potong kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Bank Devisa yang mana bukti potong tersebut sebagai sarana pengkreditan pajak. Saat terhutang dan pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang adalah bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk. Dalam hal pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan, maka PPh pasal 22 terhutang
dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Setiap WP yang melakukan impor barang akan dikenakan pasal 22 impor oleh Dirjen Bea dan Cukai atau Bank Devisa, kecuali yang mendapat kebebasan. Sistem pelunasan dan penyetoran PPh pasal 22 impor dilakukan dengan sistem : 1. Langsung disetor sendiri oleh importir atau pemenang lelang (untuk impor barang yang tidak dikuasai) ke kas negara melalui Bank Devisa atau Kantor Pos dengan menggunakan SSP bersamaan dengan pembayaran bea masuk. Jika pembayaran bea masuk di tunda atau dibebaskan, PPh pasal 22 impor terhutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen PIB. Pelaporan tentang penyetoran ke KPP dilakukan oleh Bank Devisa atau Kantor Pos dengan menggunakan SPT Masa PPh pasal 22. 2. Disetor melalui bendaharawan Bea dan cukai bersamaan dengan pembayaran bea masuk barang yang bersangkutan atau jika pembayara ditunda dan dibebaskan, PPh Pasal 22 impor terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan Impor Barang (PIB). Bendaharawan Bea dan Cukai akan menyetorkan secara kolektif ke kas negara dengan menggunakan
SSP paling lambat satu hari setelah pemungutan PPh pasal 22. Sebagai bukti pemungutan pajak atas impor oleh Dirjen Bea dan Cukai dalam rangkap tiga. Lembar pertama untuk pembeli, lembar kedua untuk Kantor Pelayanan Pajak sebagai lampiran laporan bulanan, lembar ketiga untuk arsip pemungut pajak yang bersangkutan. Bendaharawan Bea dan Cukai melaporkan pemungutan tersebut ke KPP tempatnya terdaftar, selambat lambatnya 7 (tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran PPh Pasal 22 berakhir dengan menggunakan SSP PPh Pasal 22. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembebasan dan atau pemungutan pajak penghasilan oleh pihak lain kepada Direktorat Jendral Pajak karena pajak penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari pajak penghasilan yang akan terutang. Wajib Pajak dapat mengajukan Surat Keterangan Bebas yang wajib menyampaikan perkiraan penghasilan neto tahun berjalan. Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 Impor adalah surat yang menyatakan Wajib Pajak dibebaskan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain dalam rangka Impor yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak dimana Wajib Pajak terdaftar.
c. PPh Pasal 23 PPh pasal 23 adalah pajak yang harus dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, PPh pasal 23 Undang – undang PPh menentukan apabila ada transaksi yang menimbulkan penghasilan dari modal atau penghasilan usaha jasa tertentu, maka pihak yang membayarkan penghasilan tersebut kepada Wajib Pajak dalam negeri wajib memotong PPh pasal 23 sebesal 15% dari jumlah bruto yang dibayarkan atau terutang tanpa PPN atau 15% dari perkiraan penghasilan neto PPh pasal 23 diatur dalam KEP 170/PJ/2000 jo Per 70/PJ/2007. Selain Importir juga dikenal istilah indentor dalam kegiatan Impor.Indentor adalah badan atau perorangan yang memiliki dana dan meminta jasa importer untuk mengimporkan barang yang diinginkan dengan memberikan sejumlah fee kepada importer. Fee yang diberikan kepada importer disebut handling fee. Importir yang menerima komisi impor harus membayar PPh Pasal 23 sebesar 15% x jumlah Handling Fee.
1. Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan SPT Masa PPh Pasal 23 a. PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. b. PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak. c. Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh pasal 23 kepada Wajib Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23. SPT Masa disampaikan ke KPP setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir. d. PPh Pasal 24 Pengertian PPh Pasal 24 adalah pajak penghasilan yang mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia. Batas maksimum Kredit Pajak diambil yang terendah dari 3 unsur / perhitungan berikut ini : 1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar diluar negeri;
2. (Penghasilan Luar Negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak) x PPh atas seluruh yang dikenakan tarif pasal 17; 3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan kena pajak adalah lebih kecil dari pada penghasilan luar negeri). e. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 25 Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setiap bulan dalam tahun pajak berjalan. Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas proyeksi laba rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas) atau dengan kata lain Pajak Penghasilan Pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak terhadap pajak yang terhutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak pada akhir tahun pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; dan b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. 2. Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari – Desember), maka yang dimaksud dengan bulan – bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT tahunan adalah bulan Januari dan Februari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari – Februari tahun 2010 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2009. 3. Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan Surat Ketetapan Pajak.
4. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut: a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian; b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur; c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan; d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; e.
Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak. 5. Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi: a. Wajib Pajak baru; b. Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing – masing tempat usaha tersebut. 1. Tata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 22/PJ/2008 tentang tata cara pembayaran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 25 menjelaskan mengenai beberapa hal yaitu sebagai berikut: 1. Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. 2. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. 3. Pembayaran pajak dilakukan melalui Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran secara online. 4. Pembayaran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
5. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). 6. Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 pada tempat pembayaran dan telah mendapat validasi dengan NTPN, maka Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 dianggap telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan tanggal validasi yang tercantum pada SSP. 7. Wajib Pajak dengan jumlah angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Nihil atau angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan NTPN, tetap harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku. f. Pajak Penghasilan Pasal 26 Dasar hukum pemotongan PPh Pasal 26 diatur pada pasal 26 UU PPh. Atas semua pembayaran ke luar negeri baik berupa honorarium, imbalan jasa dengan nama apapun terutang PPh pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto. Jika ada perjanjian penghindaran pengenaan pajak berganda antara Indonesia dengan negara penerima penghasilan tersebut, maka Tarif PPh Pasal 26 didasarkan pada tarif yang diatur dalam perjanjian (tax-treaty).
Pemotongan, penyetoran dan pelaporan sama dengan ketentuan yang mengatur pada PPh pasal 21 atau pasal 23. Pelaporan PPh pasal 26 disatukan dengan SPT masa PPh Pasal 21 atau Pasal 23. C. Kelebihan Pembayaran Pajak 1. Dasar Hukum Kelebihan Pembayaran Pajak merupakan amanat undang – undang Perpajakan. Berdasarkan Undang – Undang No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang No. 16 Tahun 2009, memberikan kesempatan adanya pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pasal 11 Undang – Undang No. 28 Tahun 2007 menyebutkan bahwa atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak dapat dikembalikan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan. Dalam proses penyelesaian atas kelebihan pembayaran tersebut, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kebenaran permohonan dan perhitungan kelebihan pembayaran pajak. Definisi pemeriksaan disebutkan didalam pasal 1 Undang – Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang – Undang No. 16 Tahun 2009 tentang KUP adalah sebagai berikut: “Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan.”
Pendapat lainnya mengenai Pemeriksaan dikemukakan oleh Gunadi (2005 : 51) adalah sebagai berikut : Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, dan mengolah data atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. Setelah mengetahui kebenaran permohonan dan perhitungan kelebihan pembayaran
pajak,
Direktorat
Jenderal
Pajak
hendaknya
tidak
langsung
mengembalikan kelebihan pembayaran pajak apabila Wajib Pajak masih mempunyai hutang pajak. Maka atas kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat langsung diperhitungkan untuk melunasi pajak terutang terlebih dahulu (kompensasi). 2. Penyebab Terjadinya Kelebihan Pembayaran Pajak Restitusi adalah hak Wajib Pajak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak yang terutang yang telah disetorkan setelah diperhitungkan dengan utang pajak lain. Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi apabila: a. Untuk Pajak Penghasilan (PPh), jumlah kredit pajak lebih besar dari jumlah pajak terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, b. Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1) Jumlah Pajak Masukan lebih besar dari pada jumlah Pajak Keluaran dalam suatu masa pajak yang disebabkan karena :
a. Pembelian BKP atau JKP yang dilakukan sebelum usaha dimulai atau pada masa awal usaha dimulai, b. PKP melakukan kegiatan ekspor BKP, c. PKP menyerahkan BKP dan/atau JKP kepada pemnugut PPN, d. PKP menyerahkan BKP dan/atau JKP sehubungan dengan proyek pemerintah yang dananya bersumber dari pinjaman / hibah luar negeri, e. PKP menyerahkan BKP untuk diolah lebih lanjut kepada Enterport produksi untuk tujuan ekspor, f. Berupa bahan baku atau bahan pembantu dan/atau JKP kepada perusahaan eksportir tertentu (PET). 2) Terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. c. Untuk PPnBM, jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak terutang. 3. Tata Cara Pembayaran Kembali dan Mekanisme Kelebihan Pembayaran Pajak Pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak dilakukan oleh Bank Persepsi mitra kerja Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) selaku pemegang rekening Kas Negara. Kelebihan pembayaran pajak meliputi :
a. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam SKPLB sebagaimana dalam pasal 17 dan 17B Undang - Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), b. Pajak yang lebih bayar karena diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding Pajak, c. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) huruf a Undang – Undang KUP. Mekanisme Pembayaran Kelebihan Pajak adalah sebagai berikut : 1. Kelebihan Pembayaran Pajak dikembalikan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atas nama Dirjen Pajak dengan menerbitkan SKPKPP, 2. Atas dasar SKPKPP, Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SPMKP per jenis pajak dan per masa / tahun pajak, jika dalam proses permohonan pengajuan kelebihan pembayaran pajak ternyata ditemukan bahwa wajib pajak masih mempunyai utang pajak, maka atas permohonan kelebihan pembayaran pajak tersebut dikurangi terlebih dahulu dengan utang pajak yang masih ada, 3. SPMKP tersebut dibuat dalam rangkap empat dengan peruntukan : - Lembar ke-1 dan ke-2 untuk KPPN mitra kerja KPP,
- Lembar ke-3 untuk Wajib Pajak, - Lembar ke-4 untuk KPP yang menerbitkan SPMKP. 4. Berdasarkan SPMKP, KPPN atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D). 5. KPPN mengembalikan lembar ke -2 SPMKP disertai SP2D lembar ke-2 kepada penerbit SPMKP setelah dibubuhi cap tanggal dan nomor penerbitan SP2D, 6. SPMKP dibebankan pada mata anggaran pengembalian pendapatan pajak tahun anggaran berjalan, 7. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, SPMKP beserta SKPKPP wajib disampaikan KPP ke KPPN palinglambat dua hari kerja sebelum jangka waktu satu bulan terlampaui, 8. SPMKP disampaikan ke KPPN secara langsung oleh petugas yang ditunjuk, 9. KPPN wajib menerbitkan SP2D paling lama dua hari kerja sejak SPMKP diterima. Penyelesaian
permohonan
kelebihan
pembayaran
pajak
sejak
terjadinya lebih bayar sampai dengan pencairan kelebihan pembayaran pajak, dapat digambarkan seperti berikut ini:
Gambar 2.1 Penyelesaian permohonan kelebihan pembayaran pajak penghasilan 3 bulan PPh SPT LB WP tertentu
Penelitian
SKPP PPN
1 bulan
WP selain kegiatan tertentu
Pemeriksaan
SPT LB WP selain tertentu
SKP LB
12 bulan
Risiko rendah WP kegiatan tertentu
Konfir utang pajak
SKPK PP
Pemeriksaan
SPMKP
Hari yang sama
12 bulan Risiko tinggi
Pemeriksaan
2 hari
4 bulan
1 bulan Keberatan Pembetulan Pengurangan Penghapusan Pembatalan Banding, PK Imbalan Bunga
Menjadi lebih bayar permohonan
Sumber : Muljono, 2009
SP2D
D. Pemeriksaan Pajak Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. Sesuai dengan pasal 29 ayat (1), mengatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. 1. Tujuan Pemeriksaan Adapun tujuan pemeriksaan adalah untuk : 1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada Wajib Pajak. Pemeriksaan dapat dilakukan dalam hal : a) Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak; b) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan menunjukkan rugi; c) Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak pada waktu yang telah ditetapkan;
d) Surat pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak; e) Ada
indikasi
jawaban
perpajakan
selain
kewajiban
Surat
Pemberitahuan tidak dipenuhi. 2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan. Pemeriksaan meliputi pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka : a) Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan; b) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; c) Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; d) Wajib Pajak mengajukan keberatan; e) Pengumpulan
bahan
guna
penyusunan
Norma
Penghitungan
Penghasilan Netto; f) Pencocokan data dan atau alat keterangan; g) Penentuan Wajib Pajak berlokasi didaerah terpencil; h) Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai; i) Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan untuk tujuan lain selain tujuan diatas. Dari definisi pemeriksaan sesuai dengan ketentuan umum perpajakan di atas dapat diidentifikasikan bahwa suatu pemeriksaan dalam bidang perpajakan dilaksanakan karena adanya :
a) Penafsiran undang – undang perpajakan yang salah. b) Kesalahan hitung. c) Pelaporan penghasilan yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya (penggelapan). d) Pemotongan / pemungutan dan pembebanan biaya yang dilakukan Wajib Pajak tidak sesuai dengan ketentuan perundang – undangan perpajakan. Pemeriksaan perpajakan menurut Gunadi ( 2005 : 5 ) mempunyai peran yang sangat strategis sejalan dengan fungsi optimalisasi penerimaan perpajakan yaitu : a) Untuk tujuan edukasi, yaitu dilakukan terhadap wajib pajak yang melakukan kesalahan karena kurang memahami ketentuan – ketentuan perpajakan. b) Untuk tujuan pendektesian pelanggaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak secara sengaja. c) Untuk tujuan pencegahan terhadap Wajib Pajak lain yang bermaksud melakukan pelanggaran.
2. Metode Pemeriksaan Pemeriksaan pajak juga mengenal beberapa metode pemeriksaan yang sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 01/ PJ/07/1990 tanggal 15 November 1990 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak yaitu : 1. Metode Langsung, yaitu teknik dan prosedur pemeriksaan dengan melakukan pengujian atas kebenaran angka – angka dalam SPT, yang
langsung dilakukan terhadap laporan keuangan dan buku – buku, catatan – catatan serta dokumen pendukungnya dan sesuai dengan urutan proses pemeriksaan. 2. Metode tidak langsung adalah teknik dan prosedur pemeriksaan pajak dengan melakukan pengujian atas kebenaran – kebenaran angka dalam SPT, dilakukan secara tidak langsung mengenai suatu pendekatan perhitungan tertentu penghasilan dan biaya. Metode tidak langsung dapat dipergunakan untuk melengkapi metode langsung, atau dalam keadaan dimana pemakaian metode langsung tidak dapat atau tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan, misalnya pembukuan dan catatan Wajib Pajak tidak lengkap, catatan, berkas atau dokumen pendukung tidak ada atau hilang, diketemukan ketidak beresan dalam pembukuan Wajib Pajak, adanya ketidakserasian antara penghasilan dengan pengeluaran pribadi Wajib Pajak dan Wajib Pajak menggunakan norma penghitungan. Hal – hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan metode tidak langsung ini adalah jika menggunakan dua atau lebih metode tidak langsung atau metode tidak langsung digunakan sebagai alat pelengkap atau pengecek dari metode langsung, maka jika terdapat perbedaan, dalam pengambilan keputusan atas hasil pemeriksaan perlu dipertimbangkan dengan seksama dan dilakukan diskusi lagi dengan
Wajib Pajak. Hasil perhitungan dari metode tidak langsung baru merupakan petunjuk untuk dapat mengambil kesimpulan tentang ketidakbenaran angka – angka dalam SPT perlu pembuktian secukupnya. 3. Ruang Lingkup dan Jangka Waktu Pemeriksaan Hal yang terpenting dalam pemeriksaan pajak adalah ruang lingkup pemeriksaan pajak, karena ruang lingkup pemeriksaan akan menentukan luas dan kedalaman dari pemeriksaan tersebut. Ruang lingkup pemeriksaan pajak menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 545/ KMK.04/ 2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan terdiri : a) Pemeriksaan lapangan, yaitu meliputi suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dana atau tahun – tahun sebelumnya dan atau tujuan lain yang dilakukan di tempat Wajib Pajak. Pemeriksaan lapangan ini dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan lengkap atau pemeriksaan sederhana. b) Pemeriksaan kantor, yaitu meliputi suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan atau tahun – tahun sebelumnya yang dilakukan di kantor Direktur Jenderal Pajak. Pemeriksaan kantor ini hanya dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan sederhana.
Untuk pemeriksaan Lapangan dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan lengkap atau pemeriksaan sederhana. Sedangkan untuk pemeriksaan kantor hanya dapat dilaksanakan dengan pemeriksaan sederhana. Apabila dalam pemeriksaan kantor ditemukan indikasi adanya transaksi yang mengandung unsur transfer pricing, maka lingkup pemeriksaan ditingkatkan menjadi Pemeriksaan Lapangan, yang pelaksanaannya paling lama 2 (dua) tahun. Jangka waktu ini tidak berlaku dalam hal pemeriksaan yang dilaksanakan berkenaan dengan Surat Pemberitahuan yang menyatakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Pemeriksaan lengkap dilaksanakan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan. Pemeriksaan sederhana lapangan dilaksanakan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan. Dan untuk pemeriksaan sederhana kantor dilaksanakan dalam jangka waktu 4 (empat) minggu dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) minggu.
E. Prosedur Pengajuan Permohonan pengembalian kelebihan Pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 Baik sebelum diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar maupun setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Wajib Pajak yang akan mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dapat menyampaikannya dengan mengisi kotak isian atas permohonan kelebihan pembayaran pajak pada SPT-nya, atau dapat juga dengan melalui surat. Sesuai dengan pasal 11 ayat (1) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebelum dikembalikan kelebihan pembayaran pajak harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan hutang pajak, baik di pusat ataupun di cabang – cabangnya. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 538/ KMK.04/ 2000 pasal 2 ayat (2) dan (3), atas dasar persetujuan Wajib Pajak yang berhak atas pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut dapat diperhitungkan dengan pajak terutang atau dengan utang pajak atas nama Wajib Pajak lain. Perhitungan kelebihan pajak dilakukan dengan cara pemindahbukuan atau cara lain yang berlaku juga sebagai bukti pembayaran pengembalian kelebihan pajak. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan, atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) apabila jumlah pajak yang dibayar melebihi dari pajak yang sesungguhnya terutang, selambat – lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima. Dengan batas waktu tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak, sehingga bila batas waktu tersebut dilewati dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan.
Sesuai dengan pasal 11 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 538/ KMK.04/ 2000 pasal 3, kelebihan pembayaran pajak yang masih tersisa, dikembalikan dalam jangka 1 (satu) bulan sejak :
1. Permohonan Pengembalian Kelebihan diterima; 2. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan; 3. Surat
Keputusan
Pengembalian
Pendahuluan
Kelebihan
Pajak
diterbitkan; 4. Keputusan Keberatan diterbitkan; atau 5. Keputusan
Pengurangan
atau
Penghapusan
Sanksi
Administrasi
diterbitkan. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 538/ KMK.04/ 2000 pasal 4, setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dalam jangka waktu 1 (satu) bulan fiskus harus menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) setelah diperhitungkan jumlah hutang pajaknya.