BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Marketing Menurut American Marketing Association seperti yang dikutip oleh Kotler & Keller (2012): Marketing is the activity, set of instructions, and process for creating, communicating, delivering, and exchanging offerings that have value for customers, clients, partners, and society at large (p. 27). Menurut Kotler & Keller (Kotler & Keller, 2012, p. 27) definisi marketing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: definisi marketing secara sosial dan manajerial. Definisi secara sosial menunjukan peran dari marketing di masyarakat. Dalam hal ini, marketing adalah sebuah proses sosial dimana individu atau kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan melalui menciptakan, menawarkan dan secara bebas menukarkan nilai dari produk dan jasa dengan yang lain. Secara manajerial, tujuan dari marketing adalah untuk mengetahui dan memahami konsumen dengan baik sehingga produk atau jasa cocok dengan pelanggan dan dapat menjual dirinya sendiri. Secara ideal, marketing harus menghasilkan pelanggan yang siap untuk membeli. Konsep inti dari marketing adalah kebutuhan, keinginan, dan permintaan. Kebutuhan adalah keperluan dasar dari manusia seperti udara,
15
16
makanan, air, pakaian, and tempat tinggal. Kebutuhan kemudian menjadi keinginan ketika ditujukan pada objek spesifik yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Permintaan adalah ketika keinginan untuk produk spesifik yang didukung dengan kemampuan untuk membayar.
2.2
Brand Seperti yang dikutip Kotler & Keller (2012) dari American Marketing Association, brand adalah: Brand is a name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them, intended to identify the goods or services of one seller or group of sellers and to differentiate them from those of competitors (p. 263). Menurut (Kotler & Keller, 2012, p. 263) brand adalah sebuah produk atau jasa yang dimensinya untuk membedakannya dengan produk atau jasa yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan yang sama. Maka dapat disimpulkan bahwa brand adalah produk atau jasa yang memiliki dimensi yang dapat membedakannya dalam beberapa aspek dengan produk atau jasa lain yang didesain untuk memenuhi kebutuhan yang sama. Perbedaan-perbedaan tersebut mungkin saja rasional dan dapat diukur – berhubungan dengan performa dari brand – atau lebih kepada simbolis, emosional, dan tidak dapat diukur – berhubungan dengan apa yang direpresentasikan brand.
17
2.3
Integrated Marketing Communication Seperti yang dikutip oleh (Kotler & Keller, 2012) dari American Marketing Association, Integrated Marketing Communication adalah: The American Marketing Association defines integrated marketing communications (IMC) as “a planning process designed to assure that all brand contacts received by a customer or prospect for a product, service, or organization are relevant to that person and consistent over time (p. 517). Proses perencanaan tersebut mengevaluasi peranan strategis dari berbagai disiplin komunikasi dan dengan mahir mengkombinasikan disiplin-disiplin tersebut untuk menyediakan kejelasan, konsistensi, dan pengaruh maksimal melalui integrasi pesan-pesan yang mulus. Integrated Marketing Communication dapat menghasilkan konsistensi pesan yang lebih kuat dan membantu membangun brand equity dan menciptakan dampak penjulan yang lebih besar. IMC harus meningkatkan kemampuan perusahaan untuk menjangkau pelanggan yang tepat dengan pesan yang tepat di saat dan tempat yang tepat. Seperti yang dikutip oleh Nandan (Nandan, 2005, p.275), Integrated Marketing Communication (IMC) adalah koordinasi dari berbagai elemenelemen promosi dan aktivitas marketing lainnya yang berkomunikasi dengan konsumer. Peran dari IMC dalam membangun keselarasan antara identity dan image harus meliputi:
18
•
Koordinasi dari bauran promosi Sinergi yang dapat dihasilkan dari koordinasi strategis dari berbagai alat promosi memungkinkan sebuah perusahaan untuk meningkatkan ROI (Return on Investment) dalam marketing dan promosi. Elemen-elemen dari bauran promosi (iklan, promosi penjualan, public relation, dan respon langsung) harus dikoordinasikan sedemikian rupa agar ada keseragaman pesan yang dikomunikasikan oleh perusahaan kepada konsumernya yang relevan.
•
Penjajaran berbagai media untuk menyampaikan pesan yang seragam Sebagai tambahan untuk koordinasi dari bauran promosi, media untuk penyampaian pesan harus disinkronisasi. Komunikasi harus konsisten terlepas dari channel komunikasi yang digunakan. Komunikasi brand yang serupa melalui berbagai media dapat memperkuat pesan yang ingin disampaikan yang mengarah ke dampak yang lebih besar pada loyalitas konsumer.
•
Konsistensi informasi pada semua titik sentuh Pembentukan brand image pada konsumer bergantung pada banyaknya kontak dengan berbagai aspek dari produk, brand, dan perusahaan. Kontak tersebut diterminologikan sebagai ‘titik sentuh’. Titik sentuh ini termasuk iklan, harga, logo, promosi penjualan, situs internet, interaksi dengan penjual, publikasi, kampanye marketing, billboards, dan lokasi penjualan.
19
Integrated Marketing Communication menekankan akan pentingnya konsistensi pada seluruh titik sentuh tersebut.
2.4
Brand Equity Aaker mendefinisikan brand equity sebagai “a set of brand assets and liabilities linked to the brand, its name and symbol, that add to or subtract from the value provided by a product or service to a firm and/or to that firm’s customers” (Aaker, 1996, p.26). Dalam hal ini, brand equity dikonsepkan Aaker sebagai sebuah kumpulan dari aset-aset. Aaker mengajukan brand awareness, brand associations, perceived quality, brand loyalty, dan other proprietary assets sebagai lima aset dari brand equity. Dalam bukunya Marketing Management (14th ed), Kotler & Keller menyatakan brand equity sebagai: “Brand equity is the added value endowed on products and services. It may be reflected in the way consumers think, feel, and act with respect to the brand, as well as in the prices, market share, and profitability the brand commands” (p. 266).
Ada dua motivasi general untuk mempelajari brand equity. Pertama, motivasi berbasis finansial untuk mengestimasi nilai dari sebuah brand, lebih tepatnya untuk tujuan akuntansi atau untuk tujuan merger, akuisisi, atau pembuangan. Alasan kedua untuk mempelajari brand equity berasal dari motivasi yang berbasis strategi untuk meningkatkan produtivitas marketing.
20
2.4.1 Customer-Based Brand Equity Konsep dasar dari Customer-Based Brand Equity (CBBE) menurut Keller adalah kekuatan dari sebuah brand terletak pada apa yang customer telah pelajari, rasakan, dan dengar tentang brand tersebut sebagai hasil dari pengalaman mereka seiring berjalannya waktu. Dengan kata lain “The power of a brand lies in what resieds in the minds and hearts of customers” (Keller, 2013, p. 69). Keller secara formal mendefinisikan customer-based brand equity sebagai efek differential dari brand knowledge pada respon konsumer terhadap marketing dari brand tersebut (Keller, 2013, p. 69). Sebuah brand memiliki customer-based brand equity yang positif ketika konsumer bereaksi lebih menyukai suatu produk dan cara produk tersebut dipasarkan ketika brand tersebut teridentifikasi dibandingkan saat brand tersebut tidak teridentifikasi. Disisi lain, sebuah brand memiliki customer-based brand equity yang negatif ketika konsumer bereaksi lebih tidak menyukai aktifitas marketing untuk brand tersebut dibandingkan dengan versi produk tersebut yang tidak bernama atau dengan nama samaran. Customer-based brand equity terjadi ketika consumer memiliki tingkat kepekaan dan familiaritas yang tingkat terhadap brand dan memiliki brand assosciaton yang kuat, baik dan unik di benak. Dalam kasus tertentu, brand awareness sendiri saja cukup untuk menciptakan
21
respon konsumer yang lebih memilih brand tersebut. Akan tetapi, umumnya kekuatan, kesukaan, dan keunikan dari asosiasi brand memiliki peranan penting dalam menentukan respon diferensial dalam membentuk brand equity.
2.5
Brand Identity Brand identity berasal dari perusahaan perusahaan
seringkali
menggunakan
(Nandan, 2005). Sebuah
branding
strategy
untuk
mengkomunikasikan brand identity dan value dari perusahaan ke konsumer dan stakeholder lainnya. Melalui brand identity, sebuah perusahaan berusaha menyampaikan
individualisme
dan
perbedaannya
ke
publik
yang
bersangkutan. Brand identity menyediakan arah, tujuan, dan arti untuk brand. Brand identity merupakan pusat dari visi strategis dari brand dan merupakan pengemudi dari satu dari empat dimensi dari brand equity: asosiasi, yang merupakan hati dan jiwa dari brand. Menurut Aaker (Aaker, 1996, p.68) brand identity adalah sebuah kumpulan brand association unik yang ingin diciptakan atau dipertahankan oleh brand strategist. Asosiasi-asosiasi ini merepresentasikan brand tersebut dan mengimplikasikan janji dari perusahaan kepada pelanggan. Brand identity membantu menciptakan hubungan antara brand dan pelanggan dengan melibatkan proporsi nilai fungsional, keuntungan
22
emosional atau self-expressive. Aaker menyatakan bahawa brand identity terdiri dari dua belas dimensi yang terorganisir dalam empat perspektif: brand sebagai produk (lingkup produk, atribut produk, kualitas/nilai, kegunaan, penggunaan, negara asal), brand sebagai organisasi (stribut organisasi, lokal dibandingkan dengan global), brand sebagai individu (sifat, hubungan brand dengan pelanggan), dan brand sebagai simbol (citra visual dan metafor, warisan brand) (Aaker, 1996, p.79).
2.6
Brand Position Brand position sebagai langkah awal dalam mengimplementasikan brand identity memiliki definisi sebagai berikut: Brand position is the part of the brand identity and value proposition that is to be actively communicated to the target audience and that demonstrates an advantage over competing brands (Aaker, 1996, p.176). Berdasarkan definisi diatas, empat karakteristik yang terpenting dari brand position adalah “part,” “target audience,” “actively communicated,” dan “demonstrates advantage.” Brand position memandu program komunikasi yang ada saat ini dan berbeda dari konsep brand identity yang lebih general.
23
Subset of Identity / Value Preposition - Core Identity - Points of Leverage - Key Benefits
Target Audience - Primary - Secondary
BRAND POSITION
Actively Communicate - Augment the Image - Reinforce the Image - Diffuse the Image
Create Advantage - Points of Superiority - Points of Parity
Gambar 2.1 Brand Position (Aaker, 1996, p.184)
2.7
Brand Image Brand position yang secara aktif dikomunikasikan menunjukkan bahwa ada tujuan komunikasi spesifik yang berfokus untuk mengubah atau memperkuat brand image atau brand-customer relationship. Menurut Aaker (Aaker, 1996, p.69) brand image adalah bagaimana pelanggan dan yang lainnya mempersepsikan brand. Brand image merefleksikan persepsi dari brand saat ini. Dalam menciptakan brand position, langkah yang dilakukan adalah membandingkan brand identity dan brand image pada dimensi image yang berbeda, yaitu: produk, pengguna, sifat, keuntungan fungsional, dan keuntungan emosional. Menurut Aaker (Aaker, 1996, p.180) perbandingan
24
dari identity dan image biasanya akan menghasilkan satu dari tiga tugas komunikasi yang sangat berbeda yang terefleksi dari statemen brand position, yaitu: 1. Setiap brand image dapat ditambah Brand image dapat ditambah jika sebuah dimensi perlu ditambahkan atau diperkuat. 2. Setiap brand image dapat diperkuat dan dimanfaatkan Brand image dapat diperkuat dan dimanfaatkan jika asosiasi image konsisten dengan identity dan kuat. 3. Setiap brand image dapat disebar, diperhalus, atau dihapus Brand image dapat disebar, diperhalus, atau dihapus jika image tidak konsisten dengan brand identity.
2.8
Brand Audit “Brand audit adalah serangkaian prosedur yang berfokus pada konsumer untuk menilai kesehatan dari brand equity dan menganjurkan caracara untuk meningkatkan dan memanfaatkan ekuitasnya” (Kotler, 2012, p. 278). Brand audit melibatkan ulasan secara keseluruhan, atau segmen dari sebuah perusahaan mengenai persepsi publik dari sebuah brand. Brand audit adalah sebuah kegiatan yang lebih eksternal, berfokus kepada konsumer untuk menilai kesehatan dari sebuah brand, menemukan sumber-sumber brand equitynya, dan menganjurkan cara-cara untuk
25
meningkatkan dan memanfaatkan ekuitasnya. Brand audit membutuhkan pemahaman sumber-sumber brand equity dari perspektif perusahaan dan konsumer. Dari perspektif perusahaan, apa produk dan jasa yang saat ini ditawarkan kepada konsumer, dan bagaimana produk atau jasa tersebut ditawarkan dan dicap? Dari perspektif konsumer, apa persepsi mendalam dan kepercayaan yang dipegang yang membentuk arti sebenarnya dari brand dan produk? Melaksanakan brand audit secara berkala memungkinkan pemasar mengetahui keadaan brand mereka. Oleh karena itu brand audit adalah landasan yang berguna untuk manajer dalam menetapkan marketing plan dan implikasi yang mendalam dari tujuan strategis brand dan hasil dari performanya. Menurut Maulana (Maulana, 2012, p. 174) brand audit merupakan proses evaluasi atau assessment, sejauh mana sebuah brand sudah berjalan, melangkah dalam koridor peta perjalanannya (brand road map). Brand audit bertujuan untuk memperkirakan kekuatan dan kelemahan brand yang ada atau portofolio brand. Biasanya hal ini terdiri dari deskripsi internal tentang bagaimana brand dipasarkan dan investigasi eksternal, melalui kelompok fokus, kuesioner, dan metode riset consumer lainnya, untuk mengidentifikasi apa yang dilakukan brand yang berarti bagi customer. Audit brand dapat digunakan untuk menyusun arah strategis brand. Menurut (Maulana, 2012, p. 177) analisa gap dilakukan setelah memperoleh informasi yang lengkap hasil evaluasi internal dan eksternal,
26
situasi brand performance dan persepsi bias diringkas menjadi sebuah pemahaman baru terhadap situasi terakhir brand. Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancamana terhadap brand menjadi tergambar secara lebih baik dan tajam, bukan sebatas asumsi-asumsi belaka sebelum dilakukan brand audit yang seksama. Evaluasi status pencapaian brand equity bisa dibuat dengan menggunakan berbagai framework. Hasil analisa brand inventory dan brand explanatory inilah dasar dari penyusunan rekomendasi. Dan itu semua merupakan landasan yang lebih membumi sekaligus strategis untuk meramu marketing plan yang lebih tajam dan actionable. Proses pembuatan marketing plan menjadi lebih lancar, tidak lagi dipenuhi dengan asumsi, melainkan sudah mempunyai justifikasi dan argumentasi yang handal. Dalam pelaksanaannya, brand audit memiliki dua tahapan penting yaitu brand inventory dan brand explanatory.(Keller, 2013, pp. 294-298)
2.8.1 Brand Inventory Tujuan dari brand inventory adalah untuk menyediakan gambaran terkini dan komprehensif mengenai bagaimana seluruh produk dan jasa yang dijual oleh perusahaan dipasarkan dan dicap. Hasil dari brand inventory berupa gambaran akurat, komprehensif, dan terkini mengenai bagaiman seluruh produk dan jasa dicap dalam hal
27
elemen brand apa yang dipakai dan bagaimana, dan sifat dari program marketing yang mendukung. Brand inventory menjadi langkah pertama dalam brand audit karena membantu mengusulkan berdasarkan apa persepsi konsumer saat ini. Oleh karena itu brand inventory menyediakan informasi yang berguna untuk interpretasi riset selanjutnya seperti brand exploratory. Brand inventory yang menyeluruh dapat menyingkap luasnya konsistensi brand dan di saat yang bersamaan, brand inventory dapat menyingkap kurangnya perbedaan yang dirasakan antara produk yang memiliki brand yang sama.
2.8.2 Brand Exploratory Langkah kedua dari brand audit, brand exploratory, berguna untuk menyediakan informasi detail mengenai apa yang sebenarnya pemikiran konsumer terhadap brand yang bersangkutan. Brand exploratory adalah riset yang diarahkan untuk memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh konsumer mengenai brand yang bersangkutan dan perlakuan terhadap brand tersebut agar dengan lebih baik memahami sumber dan batasan dari brand inventory. Untuk memperkenankan pemasar mencakup berbagai isu dan mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, brand exploratory sering menggunakan teknik riset kualitatif sebagai langkah pertamanya
28
yang diikuti riset kuantitatif berbasis survei yang lebih fokus dan terdefinisi.