BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1 . Pneumonia a.
Definisi Pneumonia adalah peradangan dari parenkim paru dimana asinus terisi
dengan cairan radang dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam dinding dinding alveoli dan rongga interstisium yang ditandai dengan batuk disertai nafas cepat dan atau nafas sesak pada anak usia balita (Ridha, 2014; Pudiastuti, 2011). Menurut WHO (2014), pneumonia adalah bentuk infeksi pernapasan akut yang mempengaruhi paru-paru, dimana alveoli paruparu terisi dengan cairan sehingga membuat asupan oksigen terbatas untuk bernafas. b.
Epidemiologi Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyumbang
terbesar penyebab kematian anak usia di bawah lima tahun (anak balita). Pneumonia disebut sebagai pembunuh nomer satu di dunia karena hampir satu dari lima anak balita meninggal dan lebih dari 2 juta anak di negara berkembang meninggal setiap tahunnya. Pneumonia di negara berkembang disebut penyakit yang terabaikan (the neglegted disease) atau penyakit yang terlupakan (the forgotten disease) karena begitu banyak anak yang meninggal karena pneumonia tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan terhadap masalah pneumonia (Said, 2010). WHO (2000), memperkirakan insidens pneumonia anak balita di negara berkembang adalah 151,8 juta kasus per tahun dan 8,7% (13, 1 juta) di antaranya merupakan pneumonia berat. Jumlah kasus pneumonia anak balita di dunia ada 156 juta. Terdapat 15 negara dengan prediksi kasus baru dan insidens pneumonia anak balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari setengahnya terkonsentrasi di enam negara antara lain India 43 juta, China 21 juta, Pakistan, 10 juta, Bangladesh,
Indonesia dan Nigeri (Rudan et al. 2008). Menurut Riskesdas tahun 2007, pneumonia menduduki urutan ke dua sebagai penyebab kematian bayi dan balita. c.
Etiologi Berdasarkan studi mikrobiologik penyebab utama pneumonia anak balita
adalah streptococcus pneumoniae/ pneumococcus (30-50%) dan hemophilus influenzae type b/ Hib (10-30%), diikuti staphylococcus aureus dan klebsiela pneumoniae pada kasus berat. Bakteri lain seperti mycoplasma pneumonia, chlamydia spp, pseudomonas spp, escherichia coli. Pneumonia pada neonatus banyak disebabkan bakteri gram negatif seperti klebsiella spp dan bakteri gram positif seperti S. Pneumoniae, S. Aureus. Penyebab pneumonia karena virus disebabkan respiratory syncytial virus (RSV), diikuti virus influenza A dan B, parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus. Pneumonia dapat juga disebabkan oleh bahan-bahan lain misal bahan kimia (aspirasi makan/susu atau keracunan hidrokarbon pada minyak tanah atau bensin) (Said, 2010). d.
Tanda gejala Gejala yang sering terlihat pada anak yang menderita pneumonia adalah
demam, batuk, kesulitan bernafas, terlihat adanya retraksi interkostal, nyeri dada, penurunan bunyi nafas, pernafasan cuping hidung, sianosis, batuk kering kemudian berlanjut ke batuk produktif dengan adanya ronkhi basah, frekuensi nafas > 50 kali per menit (Marni, 2014). Pada pemeriksaan kardiovaskuler akan didapatkan gejala takikardi dan pada pemeriksaan neurologis terdapat nyeri kepala, gelisah, susah tidur. e.
Jenis pneumonia/ klasifikasi pneumonia Menurut Hidayat (2008), pneumonia dibagi antara lain : 1).
Pneumonia lobaris yaitu peradangan yang terjadi pada seluruh atau satu bagian besar dari lobus paru.
2).
Pneumonia interstisial yaitu perdangan yang terjadi di dalam dinding alveolar dan jaringan peribronkhial dan interlobaris.
3).
Bronkhopneumonia yaitu peradangan yang terjadi pada ujung akhir bronkhiolus yang tersumbat oleh eksudat mukopurulen dapat membentuk bercak konsolidasi dalam lobus.
Menurut
Depkes
RI
(2008),
klasifikasi
pneumonia
berdasarkan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) sebagai berikut : 1).
Pneumonia Berat dengan tanda gejala : terdapat tanda bahaya umum, atau terdapat tarikan dinding dada ke dalam, atau terdengan bunyi sridor.
2).
Pneumonia dengan tanda gejala : nafas cepat dengan batasan (anak usia 2 bulan - < 12 bulan, frekuensi nafas 50 kali/menit atau lebih dan anak usia 1 tahun - < 5 tahun frekuensi nafas 40 kali/menit atau lebih).
3).
Batuk bukan Pneumonia apabila tidak ada tanda yang mengarah ke pneumonia, atau pneumonia berat.
f.
Pencegahan Pencegahan pneumonia selain menghindarkan atau mengurangi faktor
resiko, dapat juga dengan pendekatan di komunitas dengan meningkatkan pendidikan kesehatan, perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam diagnosis dan penatalaksanaan yang benar dan efektif. Upaya pencegahan merupakan komponen strategis pemberantasan pneumonia pada anak terdiri dari pencegahan melalui imunisasi dan nonimunisasi. Imunisasi
terhadap
patogen
yang
bertanggung
jawab terhadap
pneumonia merupakan strategi pencegahan spesifik (Kartasasmita, 2010). Dari beberapa studi vaksin (vaccine probe) diperkirakan vaksin pneumokokus konjungasi dapat mencegah penyakit dan kematian kasus pneumonia pneumokokus 20-35% dan vaksin Hib mencegah penyakit dan kematian kasus pneumonia
Hib
15-30%.
Sekarang
ini
di
negara
berkembang
direkomendasikan vaksin Hib untuk diintegrasikan ke dalam program imunisasi rutin dan vaksin pneumokokus konjugasi direkomendasikan sebagai vaksin yang dianjurkan (Said, 2010). Pemberian zink dapat mencegah terjadinya pneumonia pada anak, meskipun apabila digunakan untuk terapi zink kurang bermanfaat. Pemberian
zink 20 mg/hari pada anak pneumonia efektif terhadap pemulihan demam, sesak nafas dan laju pernafasan (Marni, 2014). Pencegahan non imunisasi sebagai upaya pencegahan nonspesifik merupakan komponen yang masih sangat strategis. Banyak kegiatan yang dapat dilakukan misalnya pendidikan kesehatan kepada berbagai komponen masyarakat, terutama pada ibu anak balita tentang besarnya masalah pneumonia dan pengaruhnya terhadap kematian anak, perilaku preventif sederhana misalnya kebiasaan mencuci tangan dan hidup bersih, perbaikan gizi dengan pola maka nan sehat; penurunan faktor risiko lain seperti mencegah berat badan lahir rendah, menerapkan ASI eksklusif, mencegah polusi udara dalam ruang yang berasal dari bahan bakar rumah tangga dan perokok pasif di lingkungan rumah (Said, 2010). g.
Penanganan Pemberian antibiotika segera pada anak yang terinfeksi pneumonia dapat
mencegah kematian. Antibiotik yang dianjurkan untuk pneumonia adalah antibiotik sederhana, tidak mahal seperti kotrimoksazol atau amoksisilin yang diberikan secara oral. Dosis amoksisilin 25 mg/kg BB dan kotrimoksazol (4 mg trimetoprim: 20 mg sulfometoksazol) /kgBB. Penerapan Pedoman Tatalaksana Baku Pneumonia termasuk pemberian antibiotik oral sesegera mungkin dapat menurunkan 13-55% mortalitas pneumonia (20% mortalitas bayi dan 24% mortalitas anak balita). h.
Faktor Risiko Menurut Kartasasmita (2010), faktor risiko adalah faktor atau keadaan
yang mengakibatkan seorang anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat. Dari faktor risiko ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam menentukan tindakan pencegahan dan penanggulangan kasus. Faktor risiko menurut WHO adalah karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada penyakit yang diderita individu dan secara statistik berhubungan dengan peningkatan kejadian kasus baru berikutnya. Faktor risiko yang dicurigai merupakan faktor risiko yang belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari hasil penelitian dan faktor risiko yang ditegakkan merupakan faktor risiko yang telah
mendapatkan bukti dari hasil penelitian. Faktor risiko dapat digunakan untuk memprediksi, memperjelas penyebab dan mendiagnosa kejadian penyakit. Menurut Notoadmodjo (2010), faktor risiko dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor risiko ekstrinsik (faktor yang berasal dari lingkungan yang memudahkan orang terjangkit penyakit) dan faktor risiko intrinsik (faktor risiko yang berasal dari dalam organisme sendiri). Berbagai faktor risiko yang meningkatkan kejadian, beratnya penyakit dan kematian karena pneumonia, yaitu status gizi (gizi kurang dan gizi buruk memperbesar risiko), pemberian ASI ( ASI eksklusif mengurangi risiko), suplementasi vitamin A (mengurangi risiko), suplementasi zinc (mengurangi risiko), bayi berat badan lahir rendah (meningkatkan risiko), vaksinasi (mengurangi risiko), dan polusi udara dalam kamar terutama asap rokok dan asap bakaran dari dapur (meningkatkan risiko). Maryunani (2010), menyebutkan terjadinya pneumonia di pengaruhi 3 faktor yitu faktor lingkungan meliputi : pencemaran udara dalam rumah, fentilasi rumah, kepadatan hunian ; faktor resiko anak meliputi : umur, BBLR, status gizi, pemberian vitamin A, status imunisasi dan faktor perilaku meliputi : perilaku pencegahan dan penanggulangan penyakit pneumonia. Faktor resiko meningkatnya angka kejadian dan keparahan penyakit antara lain : prematuritas, malnutrisi, status sosial ekonomi rendah, terkena asap secara pasif, dititipkan di penitipan anak, tinggal dirumah yang terlalu padat, mempunyai riwayat pneumonia (Lalani dan Schneeweiss, 2012) i.
Pendekatan Segitiga Epidemiologi Dalam segitiga epidemiologi (Epidemiologi Triagle) menggambarkan
hubungan tiga komponen penyebab penyakit yaitu host, agen/agent dan lingkungan/environment (dibentuk segitiga). Sakit terjadi karena interaksi antara agent, host and environment (Maryani dan Muliani, 2010). Agen memiliki sifat infektivitas (kemampuan agen untuk mengakibatkan infeksi pada host yang rentan), patogenitas (kemampuan agen untuk menyebabkan penyakit pada host), dan virulensi (kemampuan agen untuk menimbulkan berat ringan suatu penyakit pada host). Host merupakan manusia atau organisme yang rentan oleh adanya agen. Faktor internal host meliputi
umur, jenis kelamin, ras, agama, adat pekerjaan dan genetik. Lingkungan adalah kondisi atau faktor berpengaruh yang bukan bagian dari agen atau host, tetapi dapat mendukung masuknya agen ke dalam host dan menimbulkan penyakit. Berdasarkan
segitiga epidemiologi
tersebut
kejadian penyakit
pneumonia sebagai berikut : 1.
Faktor penyebab (Agent) merupakan penyakit penyebab pneumonia yaitu bakteri, virus, jamur protozoa. Penyebab tersering adalah bakteri streptococcus pneumoniae/ pneumococcus dan hemophilus influenzae type b.
2.
Faktor Manusia (Host) biasanya manusia atau pasien. Host dalam faktor resiko pneumonia pada balita meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, ASI Eksklusif dan Berat Badan Lahir. a).
Umur Umur juga dapat mempengaruhi status kesehatan, karena ada
kecenderungan penyakit menyerang umur tertentu. Pada usia balita dan usia lanjut rentan terhadap penyakit karena pada usia balita sistem pertahanan tubuhnya belum stabil, sedangkan pada usia lanjut sistem pertahanan tubuhnya sudah menurun ( Maryani & Muliani, 2010). Kejadian pneumonia meningkat pada usia Balita. Berdasarkan Riskesdas 2013 prevalensi tertinggi pneumonia pada kelompok usia 1-4 tahun. Insidens tertinggi pada usia 12-23 bulan (21,7 permil), usia 24-35 bulan (21 per mil), 36-47 bulan (18 per mil), 48-59 bulan (17 per mil) dan 0-11 bulan (13,6 per mil). b).
Status gizi Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh
keseimbangan antara asupan zat gizi dengan kebutuhan. Status gizi dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh. Tubuh yang memperoleh cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan tercapai status gizi optimal yang pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Marmi, 2012).
Kondisi tubuh dengan gizi kurang, akan menyebabkan seorang anak mudah terserang penyakit. Bakteri atau virus mudah masuk dalam tubuh individu dengan ketahanan tubuh atau imunitas yang kurang. Kondisi kurang gizi dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan pada anak-anak dengan kodisi tersebut dapat melemahkan otot-otot pernafasan sehingga balita dengan gizi kurang akan mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal (Maryunani, 2010). Status gizi dipengaruhi secara tidak langsung oleh status sosial ekonomi keluarga, antara lain tingkat pendidikan dan pendapatan keluarga. Orang dengan pendidikan tinggi semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan yang cukup supaya bisa berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat (Adriani, 2012). Orang yang mempunyai pendidikan yang tinggi dengan pendapatan yang cukup akan mampu memilih dan membeli sumber daya kesehatan yang baik, salah satunya dalam memenuhi asupan gizi bagi balita. Indeks antopometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah berat badan menurut umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Berdasarkan Kepmenkes Nomer 1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang standar antopometri penilaian status gizi anak, katageri dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks seperti pada tabel berikut : Tabel 2.1 Kategori dan ambang batas status gizi anak Indeks
Kategori
Ambang Batas (Z-score)
BB/U
Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih Sangat pendek Pendek Normal Tinggi Sangat kurus Kurus Normal Gemuk
< -3 SD -3 SD s.d <-2 SD -2 SD s.d 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD s.d <-2 SD -2 SD s.d 2 SD > 2 SD < -3 SD -3 SD s.d <-2 SD -2 SD s.d 2 SD > 2 SD
PB/U atau TB/U
BB/PB atau BB/TB
Sumber : Kemenkes RI Direktorat Jendral Bina dan Kesehatan Ibu dan Anak Direktorat Bina Gizi (2013).
c).
Pemberian ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan paling baik untuk bayi.
ASI mengandung nutrient ( zat gizi ) yang sesuai untuk bayi seperti lemak, karbohidrat, protein, garam mineral, vitamin ; mengandung zat protektif seperti laktobasilus bifidus, laktoferin, lisozim, komplemen C3 dan C4, antistreptokokus ; antibodi seperti immunoglobulin seperti IgA, IgE, IgM, IgG ; imunitas seluler berupa makrofag yang berfungsi membunuh dan memfagositosis mikroorganisme membentuk C3 dan C4, lisozim dan laktoferin, serta zat anti alergi. Mekanisme pembentukan antibodi pada ASI adalah apabila ibu mendapat infeksi , maka tubuh ibu akan membentuk antibodi dan akan disalurkan dengan bantuan limfosit. Antibodi pada payudara yang disebut Mammae Associated Immunocompetent Lymphoid Tissue (MALT). Kekebalan terhadap penyakit saluran pernafasan yang ditransfer disebut Bronchus Associated Immunocompetent Lymphoid Tissue (BALT) dan untuk saluran pernafasan ditransfer melalui Gut Associated Immunocompetent Lymphoid Tissue (GALT). Berdasarkan UU kesehatan Nomor 36 tahun 2009 tentang ASI Eksklusif menjelaskan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 bulan kecuali ada indikasi medis. Bayi usia kurang dari 6 bulan yang tidak diberikan ASI Eksklusif mempunyai resiko 5 kali lebih besar mengalami kematian akibat pneumonia dibandingkan bayi yang mendapat ASI eksklusif 6 bulan pertama kehidupannya (UNICEF-WHO, 2006). d).
Berat Badan Lahir Berat badan lahir merupakan berat badan bayi yang ditimbang
dalam waktu satu jam setelah kelahiran. Klasifikasi neonatus menurut berat badan meliputi berat lahir rendah (kurang dari 2500 gram, berat lahir cukup (antara 2500 gram-4000 gram) dan berat lahir lebih (lebih 4000 gram). BBLR merupakan bayi yang dilahirkan dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Penyebab dari BBLR 50% dikarenakan lahir
secara prematur dan kecil masa kehamilan (small for gestational age). Faktor yang dapat menyebabkan kejadian tersebut antara lain : sosial ekonomi rendah, kurang gizi, merokok sewaktu hamil, bahan teratogen, radiasi dan gangguan metabolisme pada janin (Ridha, 2014). Pada bayi dengan BBLR terdapat beberapa masalah yang sering muncul seperti pola nafas yang tidak efektif berhubungan dengan imaturitas organ pernafasan, ketidakseimbangan nutrisi dari kebutuhan tubuh
berhubungan
dengan
ketidakmampuan
absorbsi,
resiko
ketidakseimbangan suhu tubuh dan resiko infeksi berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh yang kurang baik. 3.
Faktor Lingkungan (Environment) Lingkungan merupakan semua faktor di luar individu yang dapat berupa lingkungan fisik, lingkungan biologis, lingkungan sosial dan lingkungan ekonomi. Faktor lingkungan yang menjadi faktor resiko pneumonia antara lain faktor lingkungan fisik rumah dan sosial ekonomi orang tua. The
American
Public
persyaratan rumah sehat
Health
yang
bias
Association
merumuskan
menjamin kesehatan bagi
penghuninya antara lain : a.
Rumah harus dibangun agar dapat memenuhi kebutuhan fisik dasar
penghuninya
mempertahankan
seperti suhu
dapat
memelihara
lingkungan
dan
mencegah
kehilangan/bertambanhnya panas badan, terjamin penerangannya baik alami/ buatan, ventilasi sempurna, melindungi dari kebisingan. b.
Rumah harus dibangun untuk memenuhi kebutuhan kejiwaan dasar penghuninya, terjaga privacy, terjamin berlangsungnya hubungan
yang
serasi
dan
menyediakan
sarana
yang
memungkinkan dalam melaksanakan pekerjaan rumah tangga. c.
Rumah harus dibangun agar dapat melindungi penghuninya dari penyakit dan zat berbahaya antara lain dengan tersedianya air bersih, tempat pembuangan sampah dan tinja yang baik, tidak
menjadi sarang binatang, terhindar dari penularan penyakit pernafasan, terlindungi dari pengotoran terhadap makanan. d.
Rumah harus dibangun agar dapat melindungi penghuninya dari bahaya atau kecelakaan seperti bangunan yang kokoh, tangga tidak curam dan licin, alat listrik terlindungi, terhindar dari kebakaran, tidak menyebabkan keracunan gas.
3.1. Lingkungan Fisik rumah Lingkungan fisik rumah yang menjadi faktor risiko pneumonia antara lain : 3.1.1 Polusi udara dalam ruangan Salah satu syarat rumah sehat adalah bebas dari polusi udara (polutan). Sumber-sumber polusi udara dalam rumah antara lain bahan bakar memasak, asap rokok, asap pembakaran. Menurut riskesdas 2013, penggunaan bahan bakar tidak aman (minyak tanah, kayu bakar, arang, batu bara) dan kebiasaan merokok di dalam rumah proporsinya masih tinggi yaitu 64,2 % dan 76,6 %. Partikel udara dengan ukuran kurang
dari 10µm
dapat
menembus
paru
paru
dan
menyebabkan infeksi. Menurut KepMenKes RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999
dapur
harus
memiliki
sarana
pembuangan asap tujuannya agar terhindar dari polusi dari pembakaran asap dapur. Penelitian yang dilakukan Yuwono (2008) menunjukkan hasil anak balita yang tinggal di rumah dengan bahan bakar menggunakan kayu memiliki risiko terkena pneumonia 2,8 kali lebih besar. Penelitian Hugo (2010) menunjukkan balita yang terkena pajanan asap dalam rumah mempunyai resiko 2,7 kali lebih besar terhadap kejadian ISPA non pneumonia dengan sumber pajanan asap 92 % dari obat nyamuk bakar, 72 % dari asap rokok, dan 32 % dari penggunaan kayu bakar.
3.1.2 Kepadatan hunian Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999, bahwa luas ruang tidur minimal 8m2, tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam 1 ruangan kecuali anak di bawah 5 tahun. Penelitian yang dilakukan Yunihasto (2007), menunjukkan lingkungan fisik rumah dengan kepadatan penghuni rumah <10 m2 per orang merupakan faktor resiko kejadian pneumonia dengan p=0,000 OR=2,2 CI 95% 1,4-3,6. 3.1.3 Ventilasi Ventilasi adalah proses penyediaan udara dari ruangan baik
secara
alami
atau
mekanis.
Menurut
Menurut
KepMenKes RI Nomor 829/Menkes/SK/VII/1999 ventilasi alamiah yang permanen minimal 10 % dari luas lantai. Penelitian yang dilakukan Yunihasto (2007), menunjukkan faktor lingkungan yang menyebabkan resiko pneumonia adalah ventilasi < 10% luas lantai dengan p=0,000 OR=5,4 CI95% 2,8-10,6. Penelitian Anwar dan Dharmayanti (2014), menunjukkan hasil ventilasi merupakan faktor risiko kejadian pneumonia dengan nilai p=0,010 OR=1,16 CI 95% 1,04-1,30. 3.1.4 Jenis Lantai dan dinding Salah satu syarat
rumah yang baik yang harus
dipersiapkan agar memenuhi syarat kesehatan antara lain jenis lantai kedap air dan mudah dibersihkan. Dinding mempunyai ventilasi, bahan kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai yang memenuhi syarat adalah yang terbuat dari ubin dan keramik, sedangkan yang terbuat dari tanah tidak memenuhi syarat kesehatan. 3.2. Sosial ekonomi Faktor lain yang berpengaruh dalam kesehatan adalah kondisi sosial ekonomi. Faktor sosial ekonomi merupakan faktor sangat erat berkaitan dengan penerapan perilaku hidup sehat. Semakin tinggi
status sosial ekonomi keluarga antara lain antara lain pendidikan, pekerjaan dan kondisi ekonomi secara keseluruhan maka semakin baik pula perilaku hidup sehat dan bersih. Menurut Friedman (2010) status sosial ekonomi tidak hanya dilihat dari tingkat ekonomi (penghasilan keluarga) tetapi juga dipengaruhi oleh pendidikan dan pekerjaan sehingga saling berpengaruh satu sama lain. Faktor sosial ekonomi dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan mempengaruhi cara pandang seseorang mengartikan dan bereaksi terhadap penyakit. Orang yang mempunyai status sosial ekonominya rendah biasanya kurang memahami mengenai kesehatan, tidak mampu membeli makanan yang bergizi, tidak mampu membeli obat dan tidak mampu mengakses pelayanan kesehatan (Maryani, 2010). 3.2.1.
Pendaptan Keluarga Weber (2006) menyatakan bahwa tingkat ekonomi adalah pembagian masyarakat atau orang dalam suatu tingkatan yang dilihat dari sudut pandang kepentingan spesifik yakni penghasilan keluarga. Tingkat ekonomi akan mempengaruhi
berbagai
aspek
kehidupan
dalam
pemeliharaan kesehatan. Orang dengan pendapatan yang mencukupi akan mampu membeli sumber daya kesehatan yang baik, misalnya tempat tinggal yang layak/ memenuhi standar kesehatan. Berdasarkan penggolongannya, BPS membedakan pendapatan penduduk menjadi 4 golongan yaitu : golongan pendapatan sangat tinggi jika pendapatan lebih dari Rp 3.500.000,00 per bulan; golongan pendapatan tinggi jika pendapatan >Rp 2.500.000,00-Rp 3.500.000,00 per bulan; golongan
pendapatan
1.500.000,00-Rp
sedang
2.500.000,00
jika per
pendapatan bulan;
Rp
golongan
pendapatan rendah jika pendapatan kurang dari Rp 1.500.000,00 per bulan.
3.2.2.
Tingkat Pendidikan Menurut UU No.20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan,
pengendalian
diri,
kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Hasbullah, 2008). Menurut Siswoyo (2011) pendidikan adalah proses dimana masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lain), dengan sengaja mentransformasikan warisan budayanya yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan-keterampilan. Pendidikan merupakan salah satu aspek status sosial ekonomi yang berkaitan dengan status kesehatan karena pendidikan penting untuk membentuk pengetahuan dan pola perilaku (Grzywacz, 2000 dalam Fiedman, 2010). Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mampu mengubah cara berpikir seseorang, semakin tinggi pendidikan seseorang diharapkan semakin kritis pula pola pikirnya dalam hal kesehatan. Menurut Tirtarahardja (2010) tingkat pendidikan tersebut meliputi : jenjang pendidikan dasar meliputi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jenjang pendidikan menengah diselenggarakan di SMA (Sekolah Menengah Atas) atau pendidikan yang sederajat, sedangkan jenjang pendidikan tinggi diselenggarakan di perguruan tinggi yang dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
B . PENELITIAN RELEVAN Tabel 2.2 Penelitian yang relevan No.
Nama
Judul dan Desain
Hasil
Persamaan
Perbedaan
1.
Fatarani. 2009. Tesis. FK-UGM
Judul : Lingkungan Fisik Rumah dan Pneuminia Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Argamakmur Kabupaten Bengkulu Utara Jenis Penelitian : Observasional dengan desain case control study
Variabel bebas : lingkungan fisik rumah, variabel terikat : pneumonia, Jenis penelitian
Variabel bebas : faktor risiko ekstrinsik (pendidikan ibu,pendapatan keluarga), faktor intrisik, tehnik sampel, subjek penelitian.
2.
Sutami, H. 2011. Tesis. FK-UGM.
Judul : Faktor Risiko Ekstrinsik dan Intrinsik Balita terhadap Kejadian Pneumonia di Kabupaten Kebumen Jenis Penelitian : analitik observasional dengan desain case control study.
Hasil : lingkungan fisik Rumah pada rumah panggung yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian pneumonia adalah ventilasi (OR=7,857dan p=0,047), letak dapur (OR=5,200 dan p=0,028), kepadatan penghuni (OR=7,857 dan p=0,015); pada rumah semi permanan antara lain : ventilasi (OR=6,926 dan p=0,043), letak dapur (OR=4,889 dan p=0,031), kebersihan fisik rumah (OR=7,429 dan p=0,028), kepadatan penghuni(OR=7,000 dan p=0,026); sedangkan rumah permanan antara lain : ventilasi (OR=6,600 dan p=0,042), kebersihan fisik perabotan rumah (OR=8,000 dan p=0,035), kepadatan penghuni (OR=6,600 dan p=0,042). Hasil : Faktor ekstrinsik yang mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian pneumonia adalah jenis lantai rumah (p=0,00 OR=3 CI 95% 1,529-6,762), kelembaban (p=0,000 OR=3 CI 95% 1,572-6,494) dan luas ventilasi (p=0,000 OR=2,92 CI 95% 1,783-9,451) sedangkan Faktor intrinsik yang mempunyai hubungan bermakna hanya ASI Eksklusif (p=0,000 OR=4,1 CI 95% 2,0199,178).
Variabel bebas : kondisi fisik rumah, status gizi, ASI Eksklusif, variabel terikat : kejadian pneumonia, Jenis penelitian.
Variabel bebas : pendidikan ibu, pendapatan keluarga dan BBLR, subjek penelitian, tehnik sampel.
3.
Bu’tu, M.A. 2010 Tesis. FK-UGM
Judul : Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Anak Usia 1224 Bulan di Kabupaten Tana Toraja Jenis Penelitian : observasional dengan desain case control
Faktor risiko terjadinya pneumonia pada anak usia 12-24 bulan antara lain riwayat pemberian ASI Eksklusif (p=0,001 OR=5,03 CI 95%1,88-13,48) ; pemberian makanan pendamping ASI yang terlalu dini (< 6 bulan) (p=0,001 OR=3,42 CI 95% 1,47-7,98) ; Status gizi yang kurang (p=0,04 OR=2,60 CI 95% 1,13-5,98) ; Tingkat pendidikan ibu yang rendah (p=0,02 OR=3,42 CI 95% 1,358,61) ; polusi asap dapur (p=0,02 OR=2,99 CI 95% 1,21-7,39) dan ventilasi yang kurang (p=0,02 OR=7,57 CI 95% 2,03-28,22).
Variabel bebas : pendidikan ibu, pemberian ASI Eksklusif, Status gizi, lingkungan fisik rumah, variabel terikat : kejadian pneumonia, jenis penelitian
Variabel bebas: pendapatan keluarga, BBLR, subjek penelitian, tehnik sampel,
4.
Yunihasto, E.B. 2007. Tesis. FKUGM
Judul : Lingkungan Rumah Balita Penderita Pneumonia di Kecamatan Sukmajaya Kota Depok Provinsi Jawa Barat Jenis Penelitian : observasional dengan desain case control study
Hasil : faktor risiko lingkungan fisik rumah yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia balita adalah luas ventilasi < 10 % luas lantai dengan (p=0,00 OR=5,4 CI 95% 2,8-10,6) ; kepadatan penghuni rumah < 10 m2 dengan (p=0,00 OR=2,2 CI 95% 1,43,6) dan rumah yang tidak ada lubang asap dapur dengan nilai (p=0,02 OR=1,6 CI 95% 1,1-2,5).
Variabel bebas : lingkungan fisik rumah, Variabel terikat : kejadian pneumonia, jenis penelitian
Variabel bebas pendidikan ibu, pendapatan keluarga, status gizi, pemberian ASI Eksklusif, BBLR, subjek penelitian, tehnik sampel,
5.
Anwar, A dan Dharmayanti, I . Jurnal Kesehatan Masyarakat Vol. 8, No.8, Mei 2014.
Judul : Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia Jenis penelitian : Deskriptif analitik dengan desain potong lintang
Faktor risiko yang yang berperan dalam kejadian pneumonia balita adalah jenis kelamin (p=0,01 OR=1,1 CI 95% 1,02-1,18), tipe tempat tinggal (p=0,00 OR=1,15 CI 95% 1,06-1,25), pendidikan ibu (p=0,00 OR=1,20 CI 95% 1,11-1,30), tingkat ekonomi keluarga (p=0,00 OR=1,19 CI 95% 1,10-1,30), pemisahan dapur dengan ruang lain (p=0,01 OR=1,19 CI 95% 1,05-1,34), kebiasaan membuka jendela kamar (p=0,01 OR=1,17 CI 95% 1,04-1,31) dan ventilasi kamar yang cukup (p=0,01 OR=1,16 CI 95% 1,04-1,30).
Variabel bebas : pendidikan ibu, lingkungan fisik rumah, Variabel terikat : kejadian pneumonia
Variabel bebas : pendapatan keluarga, status gizi, pemberian ASI Eksklusif, BBLR. Jenis penelitian. Tehnik sampel
C . KERANGKA BERPIKIR
Variabel bebas
Faktor ekstrinsik
Faktor intrinsik
Tingkat Pendidikan ibu
Status gizi
Pemberian ASI Eksklusif
Pendapatan keluarga
Kondisi Lingkungan Fisik Rumah : Polusi udara dalam ruangan Kepadatan hunian Ventilasi Jenis lantai dan dinding
Berat Badan Lahir Rendah
Umur
Penyakit Penyerta
Variabel terikat Kejadian Pneumonia Anak Balita
Agent Bakteri/virus/jamur/protozoa Gambar 2.1 Kerangka berpikir Hubungan Faktor Risiko Intrinsik dan Ekstrinsik dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita
Variabel yang diteliti : Variabel tidak diteliti :
D . HIPOTESIS
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Ada hubungan faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik dengan kejadian pneumonia pada anak balita. 2. Status gizi merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada anak balita. 3. Pemberian ASI eksklusif merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada anak balita. 4. Berat Badan Lahir merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada anak balita. 5. Tingkat pendidikan ibu merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada anak balita. 6. Besar pendapatan keluarga merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada anak balita. 7. Lingkungan fisik rumah merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada anak balita.