16
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Permukiman Secara formal, definisi permukiman di Indonesia tertulis dalam UU No 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Dalam dokumen tersebut,
permukiman didefinisikan sebagai lingkungan hunian
yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain. Area permukiman dapat terletak di kawasan perkotaan maupun kawasan perdesaan. Pada
tataran
teoritis,
Doxiadis
(1968)
mengatakan
bahwa
permukiman adalah hasil interaksi antara manusia dan lingkungannya yang bersifat dinamis. Permukiman selalu berkembang dari waktu-waktu, baik secara natural maupun dengan intervensi dari luar. Doxiadis (1968) lebih jauh menggambarkan permukiman dalam lima elemen pembentuknya, yaitu nature, man, society, shells, dan network. Nature merupakan lingkungan alamiah yang menjadi wadah untuk manusia (man) beraktivitas. Manusia sebagai makhluk sosial pada akhirnya akan membentuk kelompok-kelompok sosial dalam rangka bertahan hidup dan
memenuhi
kebutuhannya.
Kelompok-kelompok
ini
kemudian
mengembangkan norma dan relasi internal dan dikenali sebagai masyarakat (society) tertentu. Dari perkembangan fisik lingkungan, lingkungan alamiah tidaklah cukup untuk menyediakan perlindungan terhadap aktivitas manusia. Masyarakat kemudian mengubah sebagian lingkungan alamiah untuk menjadi hunian (shell). Perkembangan shell yang semakin kompleks kemudian harus dilengkapi dengan elemen penunjang aktivitas yang menghubungkan hunian-hunian dalam satu sistem lingkungan. Jaringan penghubung antar shell ini kemudian dikenal dengan network. Jaringan ini merupakan prasarana, utilitas umum yang juga disebutkan dalam definisi permukiman menurut UU No 1 tahun 2011. 6
7
2. Kualitas Lingkungan Permukiman Dalam menilai kualitas lingkungan permukiman, patut dicermati bahwa lingkungn permukiman merupakan salah satu elemen permukiman selain manusia dan masyarakat. Lingkungan permukiman berdasarkan penjelasan elemen permukiman di atas, dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu lingkungan alamiah (nature) dan lingkungan buatan (shell dan network). Penilaian terhadap kualitas lingkungan alamiah bila dikaitkan dengan lokasi penelitian yang terletak di sentra industri kecil memiliki beberapa indikator yaitu ketersediaan air bersih, kualitas udara dan tingkat kebisingan. Kualitas air dinilai berdasarkan standar nasional yang terdapat pada Peraturan Menteri Kesehatan
RI No 1/BIRHUMAS/1975. Standar
untuk kualitas air yang baik adalah tidak berasa, tidak berwarna dan tidak berbau. Selain penilaian terhadap kualitas, penilaian juga harus dilakukan terhadap aksesnya. Akses terhadap air bersih dikatakan baik bila tersedia untuk setiap rumah dan mengalir sepanjang waktu. Sementara itu, indikator terhadap kualitas udara dinyatakan dengan debu dan bau. Satwiko (2005) menyatakan bahwa udara yang berkualitas baik tidak berdebu dan tidak berbau. Untuk tingkat kebisingan, indikator dapat dilihat pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 48/MenLH/11/1996. Tingkat kebisingan bunyi yang dapat dikatakan baik adalah maksimal 55 desibel. Penilaian terhadap kualitas lingkungan buatan memiliki dua elemen, yaitu penilaian terhadap shell (fisik hunian) dan network (sarana prasarana lingkungan). Penilaian terhadap hunian di Indonesia dapat didekati dengan indikator pencahayaan, penghawaan dan suhu udara. Ketiga hal ini tercantum dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah no 403/KPTS/M/2002
tentang
Pedoman
Teknis
Pembangunan
Rumah
Sederhana Sehat. Pencahayaan yang dimaksud adalah penggunaan terang langit yang dapat memastikan ruangan kegiatan mendapatkan cukup banyak cahaya dan merata di seluruh ruangan. Secara teknis, indikator ini dapat dinilai dengan luasan lubang pencahayaan yang minimum sebesar 10 % dari luasan lantai. Selain luasan lubang cahaya, indikator pencahayaan juga
8
diukur dengan penerimaan sinar matahari langsung selama minimal 1 jam dalam satu hari. Pada aspek penghawaan, kualitas hunian yang baik terjadi apabila terdapat aliran pergantian udara secara menerus melalui ventilasi maupan ruangan-ruangan dalam hunian. Hal ini ditandai dengan adanya ventilasi silang dengan lubang penghawaan minimal seluas 5 % dari luasan lantai hunian. Selain teknis luasan, juga terdapat tolokukur lokasi lubang penghawaan yang mengindikasikan kualitas hunian yang baik adalah bila tidak berasal dari dapur kamar mandi dan WC. Aspek terakhir di kualitas hunian adalah suhu dan kelembaban. Indikator suhu dan kelembaban ini dapat dinilai baik jika saat beraktivitas penghuni tidak merasa pengap. Untuk pengukuran teknis, dapat didekati dengan keseimbangan volume udara masuk dan keluar dalam satu ruangan. Pada elemen network dalam permukiman, kualitas network dapat dilihat pada beberapa tipe sarana dan prasarana lingkungan. Beberapa indikator mengenai sarana dan prasarana lingkungan dapat digunakan untuk mengukur kualitas lingkungan. Jayadinata (1999) dalam Hidayati (2014) menyatakan bahwa kualitas permukiman dari elemen network dapat diukur dari keterjangkauan pusat kegiatan (seperti pusat kota dan tempat bekerja/CBD), pasar lokal, pusat pendidikan dan pusat olahraga. Standar jarak tempuh masing-masing sarana dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 1. Jarak Maksimal Sarana dari Permukiman No.
Sarana
Jarak Maksimal
1
Pusat Tempat Kerja
1½ km (20 menit) atau 2¼ km (30 menit)
2
Pusat Kota (CBD)
2¼ km atau 30 menit
3
Pasar Lokal
¼ km atau 10 menit
4
Sekolah Dasar
5
Sekolah Menengah Pertama
1½ km atau 20 menit
6
Sekolah Menengah Atas
1½ km (20 menit) atau 2¼ km (30 menit)
7
Tempat olah raga
1½ km atau 20 menit
km atau 10 menit
Sumber: Jayadinata, 1999 dalam Hidayati, 2014
9
Sementara itu, menurut sumber yang sama, prasarana permukiman yang menunjukkan kualitas network adalah jaringan listrik, jaringan air bersih, jaringan drainase dan sanitasi. Untuk standar kebutuhan listrik yang diperlukan setiap rumah adalah sebesar 900Va per rumah pada kawasan perkotaan dan 450 Va/rumah untuk permukiman di kawasan perdesaan. Sementara itu, untuk jaringan air bersih, indikatornya dapat didekati dari cara
pemenuhannya
(Keputusan
492/MENKES/PER/IV/2010)
Menteri
Kesehatan
RI
No
yang dapat berasal perpipaan, sumber
terlindungi, sumber tak terlindungi, atau tidak memiliki sumber (harus membeli). Indikator lain terkait dengan kuantitas airbersih yang terakses, yaitu minimal 150 liter/orang/hari berdasarkan Pedoman Perencanaan Lingkungan Perkotaan (1972). Untuk jaringan drainase, kualitas jaringan didekati dari fungsinya untuk mengalirkan air hujan maupun air limbah domestik. Keduanya dapat disediakan secara individu maupun secara komunal menurut SNI 0317332004). Dalam pembangunan permukiman di Indonesia, studi terbaru yang dilakukan oleh pemerintah adalah pengukuran indeks kualitas permukiman berkelanjutan yang dilakukan oleh Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tahun 2014. Dalam studi normatif ini dilakukan untuk mengukur kualitas permukiman perkotaan Indonesia dengan beberapa sampel di kota-kota di Indonesia. Indikator yang digunakan untuk menilai kualitas permukiman dari sisi lingkungan adalah dengan mengukur kualitas pada kondisi air minum, kondisi sanitasi, kondisi drainase, kondisi persampahan, kondisi penggunaan energi, kondisi hunian, kondisi udara, kondisi sungai, kondisi jalan lingkungan, dan kondisi ruang terbuka hijau (Direktorat Jenderal Cipta Karya, Kementerian PU dan Perumahan Rakyat, 2014). Berdasarkan beberapa literatur di atas, penilaian terhadap kualitas lingkungan permukiman dapat dinilai dari berbagai indikator. Perbandingan beberapa sumber untuk penilaian kualitas lingkungan permukiman dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
10
Tabel 2. Perbandingan Variabel dalam Literatur Penilaian Kualitas Lingkungan
Doxiadis (1969)
Jayadinata Kementrian PU dan (1999) dalam Hidayati Perumahan Rakyat (2014) (2014) Nature Sungai Udara Shell Hunian Pusat Kota Tempat Kerja Pusat Pendidikan Pusat Olahraga Ruang Terbuka Hijau Network Jaringan Listrik Jaringan Air Bersih Air Minum Jaringan Drainase Drainase Persampahan Jalan Lingkungan Sumber : Berbagai Sumber diolah 2015
B. Penelitian Yang Relevan 1. Sumunar, D.R.S. 1997. Kajian Kualitas Lingkungan dan Kondisi Sosial Ekonomi Penghuni di Kota Yogyakarta dengan Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Hasil penelitian : mengklasifikasi lingkungan permukiman di Kota Yogyakarta dalam tiga kelas, yakni (1) permukiman kualitas baik, (2) permukiman kualitas sedang, dan (3) permukiman kualitas buruk. Klasifikasi lingkungan permukiman tersebut sebagai pengaruh dari kondisi sosial ekonomi penghuni terdapat korelasi antara variabel-variabel kondisi sosial ekonomi seperti tahun sukses pendidikan, penghasilan dan besarnya rumah tangga, dengan kondisi kualitas lingkungan permukiman. Kulaitas lingkungan permukiman buruk biasanya dihuni oleh para penglaju atau commuter yang waktu-waktu tertentu secara periodik pulang kampung. 2. Marwasta,
D.
2001. Perkembangan
Permukiman
Kumuh
di
Kota
Yogyakarta Tahun 1970-2000. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Hasil penelitian : terjadi perkembangan permukiman kumuh di Kota Yogyakarta yang cenderung berlangsung lambat dan terus menerus. Proses
11
perkembangan permukiman kumuh ini lebih didominasi oleh proses pemadatan bangunan rumah dan proses penuaan bangunan rumah hunian. 3. Yusuf, A.A. 2005. Kajian Kualitas Lingkungan Permukiman Kota di Kelurahan Kiduldalem dan Bandulan Kota Malang. Tesis. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Hasil penelitian :
lingkungan permukiman kepadatan tinggi dan tidak
teratur cenderung memiliki kualitas lingkungan permukiman buruk, sedangkan lingkungan permukiman kepadatan rendah yang teratur memiliki kualitas lingkungan permukiman baik. Keadaan ini membuktikan bahwa faktor kepadatan dan keteraturan bangunan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan permukiman. C. Kerangka Pemikiran Penelitian perkembangan kualitias permukiman di Kampung Bratan, Surakarta berlatar belakang adanya pendatang yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas lingkungan permukiman. Saat ini, permukiman Kampung Bratan merupakan permukiman ikonik di Surakarta yang memiliki kepadatan industri rumah tangga yang tinggi. Kegiatan industri rumah tangga tentu saja memiliki dampak negatif terhadap kualitas lingkungan permukiman, terutama pada aspek limbah industri. Industri rumahtangga yang merupakan industri dengan modal kecil biasanya tidak memiliki kemampuan mengolah limbahnya agar tidak mencemari lingkungan. Selain itu, pelaku industri rumah tangga juga pada umumnya merupakan rumah tangga dengan pendapatan menengah ke bawah. Oleh karena itu, kemampuan membatasi dampak negatif industri rumah tangga terhadap lingkungan permukiman menjadi sangat terbatas. Penelitian ini bermaksud meneliti perkembangan kualitas lingkungan permukiman di kampung Bratan, Surakarta dalam lima tahun terakhir (2010 dan 2015). Perkembangan kualitas permukiman Kampung Bratan merupakan masukan penting untuk penyusunan strategi pengembangan permukiman yang menjadi fokus pembangunan perkotaan berdasarkan komitmen global dalam Sustainable
Development
Goals
2015.
Pemahaman
terhadap
trend
12
perkembangan kualitas permukiman dapat memperjelas prioritasi sektoral dalam pembenahan permukiman. Berdasarkan literatur yang telah dipaparkan di atas, penelitian tentang kualitas
lingkungan
permukiman dan
permukiman
elemen-elemen
merupakan
bagian
pembentuknya.
dari
pembahasan
Pada literatur, elemen
lingkungan dalam permukiman dapat dibagi menjadi lingkungan alamiah dan lingkungan buatan. Lingkungan alami yang diteliti perkembangannya dalam penelitian ini adalah kualitas sungai dan kualitas udara, sementara lingkungan buatan yang diteliti dalam penelitian ini adalah ruang terbuka hijau, air bersih, sanitasi, drainase dan persampahan. D. Hipotesis Penelitian ini mengajukan hipotesis bahwa permukiman Kampung Bratan akan mengalami perubahan kualitas lingkungan dalam bentuk degradasi lingkungan yang terjadi akibat rendahnya kapasitas pemukim di kampung Bratan, Surakarta.