BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Pemasaran Pemasaran merupakan sebuah fungsi organisasi dan sebuah proses gabungan dalam menciptakan, mengkomunikasikan, dan menyampaikan nilai kepada konsumen dan untuk menjaga hubungan dengan konsumen yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan dan seluruh pihak yang terkait dengan perusahaan tersebut (American Marketing Association, dalam McDaniel et al., 2007). Menurut Kotler dan Armstrong (2006), pemasaran merupakan suatu proses sosial dan manajerial dimana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan menukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain secara bebas. Perlu diingat bahwa konsep pemasaran tidak berarti bahwa sebuah perusahaan harus memberikan segala sesuatu yang diinginkan oleh pelanggan, namun pemasar harus menyeimbangkan antara penciptaan nilai bagi pelanggan dan penciptaan laba bagi perusahaan (McDaniel, Lamb, dan Hair, 2007). Kinerja yang efektif dari kegiatan pemasaran adalah kegiatan yang berhubungan dengan mencari, menganalisa, dan memenuhi kebutuhan konsumen akan menjadi lebih penting dalam menyusun dan melaksanakan strategi pada semua level organisasi (Walker, Mullins, dan Larreche, 2008). Salah satu konsep penting yang juga digunakan oleh manajer pemasaran dalam membuat strategi pemasaran pada semua produk adalah konsep mengenai ritel (Quester, McGuiggan, Perreault, dan McCarthy, 2004).
2.2. Ritel Ritel memberi dampak pada gaya hidup manusia. Ritel memiliki tanggung jawab dalam menyesuaikan permintaan individu konsumen dengan jumlah penawaran yang sangat banyak yang diproduksi oleh sejumlah produsen dan penyedia jasa yang telah memberikan kontribusi signifikan bagi kesejahteraan ekonomi (Dunne dan Lusch, 2008). Sering kali ada kecenderungan pikiran bahwa kegiatan ritel mencakup penjualan barang yang nyata (secara fisik dapat dilihat, didengar, dicium, dirasa, atau diraba). Akan tetapi, kegiatan ritel juga mencakup penjualan jasa, dan ini merupakan bagian yang besar dalam ritel (Berman dan Evans,, 2004). Ada beberapa definisi yang dapat menjelaskan ritel. Menurut Levy dan Weitz (2007), ritel mencakup aktivitas bisnis, termasuk didalamnya menjual barang dan jasa pada konsumen untuk digunakan oleh personal, keluarga, maupun rumah tangga, dan penjualannya ditujukkan pada konsumen akhir. Sedangkan menurut Dunne dan Lusch (2008), ritel mencakup semua aktivitas keuangan dan seluruh langkah yang dibutuhkan untuk menyediakan barang dagangan yang dibuat di tempat lain untuk konsumen. Berdasarkan dua definisi yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa ritel merupakan suatu kegiatan bisnis dalam proses distribusi barang dan jasa, yang dengan kemampuannya dapat mengelola barang dan jasa dalam skala besar dan menyampaikannya dalam skala kecil kepada konsumen akhir, dengan memberikan nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga, maupun rumah tangga. Menurut Berman dan Evans (2004), ada tiga karakteristik dari ritel. Karakteristik pertama adalah jumlah rata-rata penjualan dari setiap transaksi dalam ritel jauh lebih sedikit dibandingkan penjualan yang dilakukan oleh pengusaha manufaktur, sehingga peritel harus mengawasi biaya dengan sangat ketat dan mengaitkannya dengan setiap transaksi, meningkatkan jumlah
konsumen yang datang dan melakukan pembelian, serta meningkatkan penjualan impulsif melalui penjualan yang lebih agresif. Karakteristik kedua adalah konsumen akhir sering kali melakukan pembelian impulsif ataupun pembelian yang tidak direncanakan. Oleh karena itu, kemampuan peritel untuk memperkirakan, membuat anggaran, memesan barang dan memiliki tenaga kerja yang cukup akan semakin sulit. Karakteristik ketiga adalah konsumen ritel biasanya mengunjungi sebuah toko, meskipun penjualan melalui surat, telepon, dan web telah meningkat. Sebagian besar transaksi ritel terjadi dalam sebuah toko, dan hal ini akan terus berlanjut di masa depan. Oleh karena itu, peritel harus menarik konsumen ke dalam toko dan mempertimbangkan beberapa faktor seperti lokasi, transportasi, jam toko, kompetitor, seleksi barang, parkir, dan iklan. Levy dan Weitz (2007) menyatakan bahwa peritel merupakan bagian akhir dari bisnis dalam rantai distribusi yang menghubungkan produsen dengan konsumen. Rantai distribusi merupakan suatu kumpulan perusahaan yang memfasilitasi perpindahan barang dari titik produksi ke titik penjualan kepada konsumen akhir. Menurut Berman dan Evans (2004), peritel merupakan penghubung antara manufaktur, agen, dan konsumen. Banyak manufaktur yang ingin membuat satu tipe dasar item dan menjual seluruh persediaan kepada sedikit pembeli, namun konsumen seringkali ingin memilih dari berbagai macam sumber, membeli dalam jumlah yang terbatas. Oleh karena itu, peritel mengumpulkan berbagai variasi produk, membeli dalam jumlah besar dan menjual dalam jumlah kecil. Dalam hal ini, peritel menjalankan proses pemisahan (sorting process). Pada berbagai rantai distribusi, yang terdiri dari produsen, agen, peritel, dan pelanggan, semua pihak akan merasa puas dengan interaksi yang terjalin diantara mereka apabila mereka memiliki kepercayaan yang sama mengenai nilai yang disediakan dan diterima oleh masing-
masing pihak, dan juga setuju mengenai pembayaran untuk tingkat nilai tersebut (Berman dan Evans, 2004).
2. 3. Nilai Nilai merupakan kapasitas dari produk, jasa, atau aktivitas untuk memberikan kepuasan dari kebutuhan atau untuk menyediakan keuntungan bagi seseorang atau badan perusahaan (Haksever, Chaganti, dan Cook, 2004). Menurut Solomon, Marshall, dan Stuart (2008), nilai merupakan keuntungan yang diperoleh oleh konsumen dari pembelian barang atau jasa, dimana nilai yang diterima oleh setiap individu memberi arti yang berbeda-beda. Lamb, Hair dan McDaniel (2005) menyatakan bahwa nilai bagi konsumen tidak hanya mencakup kualitas yang tinggi. Sebuah produk dengan harga yang tinggi tidak akan memiliki nilai yang baik, sehingga para pemasar yang ingin memberikan nilai bagi konsumen harus melakukan lima hal yaitu menawarkan produk dengan kinerja baik, memberi produk yang melebihi ekspektasi konsumen, menghindari harga yang tidak realistis, memberikan fakta bagi konsumen, memberikan pelayanan jasa setelah penjualan. Mengacu pada Haksever, Chaganti, dan Cook (2004), ada tiga jenis nilai yang dapat diberikan perusahaan pada konsumen. Pertama, nilai yang berhubungan dengan keuangan, yang dapat tercipta ketika perusahaan menyediakan produk dengan kualitas superior untuk konsumen dengan harga yang bersaing. Kualitas superior tersebut terjadi apabila produk yang ditawarkan dapat memenuhi kebutuhan dan ekspektasi konsumen. Kedua, nilai yang dihasilkan tanpa berhubungan dengan keuangan, yaitu nilai yang disediakan bagi konsumen apabila produk yang dihasilkan dapat bekerja sesuai yang diharapkan. Ketiga, nilai yang berhubungan dengan waktu, yang dapat diciptakan melalui tiga cara yaitu produk tersebut dapat mengurangi waktu yang
harus digunakan konsumen dalam mengkonsumsi atau menggunakan produk tersebut, dapat memberikan keuntungan dalam jangka panjang, dan dapat ditawarkan pada saat konsumen membutuhkannya. Dalam upaya mencapai kesuksesan ritel, kunci utamanya adalah dengan menyediakan nilai yang baik di dalam pikiran konsumen. Setiap pelanggan yang membeli sebuah produk ingin merasakan bahwa pembelian suatu produk menggambarkan nilai yang baik. Pelanggan tidak selalu mencari produk dengan harga yang terbaik, akan tetapi setiap pelanggan selalu tertarik dengan nilai yang terbaik, yang dapat merefleksikan pengalaman berbelanja yang superior (Berman dan Evans, 2004). Kotler dan Armstrong (2006) berpendapat bahwa apabila sebuah penawaran memenuhi harapan akan nilai yang diperoleh oleh konsumen akan mempengaruhi kepuasan dan kemungkinan konsumen untuk melakukan pembelian ulang.
2.4. Kepuasan Menurut Kotler dan Keller (2006), kepuasan merupakan perasaan seseorang yang diperoleh setelah membandingkan kinerja suatu produk dengan harapan yang dimiliki oleh konsumen atas produk tersebut. Kepuasan akan tercapai apabila kinerja sesuai dengan atau melebihi harapan konsumen. Menurut Schiffman dan Kanuk (2007), kepuasan konsumen merupakan persepsi individu mengenai performa atau kinerja dari barang atau jasa yang dihubungkan dengan ekspektasinya. Dengan persaingan yang semakin ketat ini, semakin banyak produsen yang berupaya memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen sehingga perusahaan harus menempatkan orientasi pada kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama. Hal ini didukung oleh Hawkins, Mothersbough dan Best (2007) yang menyatakan bahwa setiap perusahaan berusaha
mempertahankan konsumen lama sehingga harus dapat memberikan kepuasan pada pembelian dan penggunaan produk. Perusahaan yang hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek akan sulit menjaga konsumen dalam jangka panjang. Oleh karena itu, perusahaan yang fokus pada kualitas produk memiliki tujuan utama untuk memberi kepuasan bagi konsumen (Solomon, Marshall, dan Stuart, 2008). Faktor yang paling penting untuk membuat sebuah perusahaan dapat terus bertahan adalah kepuasan konsumen setelah melakukan transaksi dengan perusahaan (Quester, McGuiggan, Perreault, dan McCarthy, 2004). Untuk melihat lebih jelasnya proses terciptanya kepuasan pelanggan, dapat dilihat di gambar 2.1. di bawah ini: Keseluruhan produk perusahaan Keseluruhan produk pesaing
Proses pengambilan keputusan
Harapan nilai superior
Penjualan
Nilai yang diterima
kepuasan pelanggan
Gambar 2.1. Menciptakan kepuasan konsumen Sumber: Hawkins, Mothersbaugh, dan Best (2007, 54)
Pada gambar 2.1. dapat terlihat secara jelas bahwa pada awalnya konsumen membandingkan keseluruhan produk dari perusahaan dan pesaing sebelum mengambil keputusan. Saat itu konsumen memiliki suatu harapan atas nilai produk yang mereka beli. Setelah dibeli (terjadi penjualan) konsumen dapat merasakan nilai yang diterima dari produk tersebut. Apabila nilai tersebut sama atau bahkan lebih dari ekspektasi konsumen, maka akan tercipta kepuasan konsumen Mengacu pada Peter dan Olson (2005), dalam mempelajari kepuasan, teori yang paling sering digunakan saat ini adalah expectancy disconfirmatory with performance approach yang adalah tingkatan dimana performa atau kinerja produk melebihi ekspektasi konsumen.
Disconfirmation merupakan perbedaan antara ekspektasi sebelum pembelian dan ekspektasi setelah pembelian. Ada tiga jenis disconfirmation, yaitu positive disconfirmation terjadi ketika kinerja produk melebihi ekspektasi, negative disconfirmation terjadi kinerja produk berada dibawah ekspektasi, neutral disconfirmation terjadi ketika kinerja produk sesuai dengan ekspektasi. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 2.2.
Produk lama/ pengalaman merek
Ekspektasi atas kinerja merek
Evaluasi atas kinerja merek
Evaluasi ketidaksesuaian antara ekspektasi dan evaluasi Ketidakpuasan emosional Kinerja tidak memenuhi harapan
Konfirmasi
Kepuasan emosional
ekspektasi
Kinerja tidak terlalu berbeda dengan harapan
Kinerja sesuai dengan harapan
Gambar 2.2. Model ekspektasi diskonfirmasi dari kepuasan/ketidakpuasan konsumen Sumber : Mowen dan Minor (2001, 101)
Pada gambar 2.2. di atas dapat dilihat bahwa kepuasan konsumen bermula dari pengalaman yang didapatkan konsumen ketika menggunakan suatu produk. Dari pengalaman menggunakan produk tersebut, konsumen mencoba membandingkan antara ekspektasi atas kinerja produk tersebut dengan evaluasi atas hasil kinerjanya. Dari proses tersebut didapatkan tiga alternatif hasil yaitu: kinerja merek tersebut memenuhi harapan (posistive), kinerja tidak terlalu berbeda dengan harapan (neutral) atau kinerja tidak sesuai dengan harapan (negative)
Menurut Sullivan dan Adcock (2002), kepuasan konsumen penting bagi peritel, karena kesuksesan suatu peritel bergantung pada konsumen yang puas. Kotler dan Keller (2006) berpendapat bahwa apabila konsumen sudah memiliki kepuasan terhadap suatu peritel, konsumen tersebut tidak akan mudah tertarik pada penawaran dari peritel lain, ia akan merekomendasikan peritel tersebut kepada orang
lain, membeli lebih banyak dari peritel,
memberikan ide pada peritel, dan melakukan transaksi secara rutin dengan peritel sehingga mengurangi biaya peritel. Kepuasan merupakan tujuan utama dalam pemasaran, sehingga keefektian pemasaran harus dapat diukur melalui kepuasan konsumen (Quester, McGuiggan, Perreault, dan McCarthy, 2004). Pada saat produk sebagai produk nyata, maka evaluasi terjadi pada saat produk tersebut digunakan atau dikonsumsi. Sedangkan untuk jasa, kepuasan dapat dievaluasi secara terusmenerus melalui penyampaian jasa dan proses konsumsi, daripada setelah pembelian atau setelah konsumsi (Gabbot dan Hogg 1998, dalam Harrison dan Shaw, 2004). Kepuasan pelanggan dievaluasi agar perusahaan dapat mengetahui seberapa besar komitmen konsumen terhadap perusahaan, karena Beatson et al. (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi kepuasan konsumen maka akan semakin tinggi pula komitmen konsumen terhadap suatu perusahaan. Hal ini menyebabkan pelanggan memiliki keengganan untuk berpaling ke perusahaan kompetitor.
2.5. Ketidakinginan untuk berubah Mengacu pada Taylor, Celuch, dan Goodwin (2004), ketidakinginan untuk berubah merupakan akar dan bukti dari komitmen dan dapat dijelaskan dengan konsep mengenai
komitmen. Menurut Sheth dan Mittal (2007), komitmen didefinisikan sebagai keinginan yang terus berlanjut dalam menjalani sebuah hubungan dan bekerja untuk meyakinkan keberlangsungan tersebut. Komitmen merupakan karakteristik yang penting dalam menjaga hubungan jangka panjang yang baik. Dalam pasar bisnis, komitmen tidak hanya menyangkut kewajiban dalam kontrak, akan tetapi komitmen membutuhkan setiap usaha untuk mempromosikan rekan bisnis. Mengacu pada Solomon (2007), dengan adanya komitmen, maka semakin banyak orang berdedikasi pada sebuah kelompok dan menghargai keanggotaannya akan menghasilkan semakin besar motivasi untuk mengikuti peraturan dari kelompok tersebut. Begitu pula menurut Litle dan Marandi (2003), komitmen merupakan bagian dari hubungan kepercayaan yang sedang berlangsung antara satu pasangan dengan yang lain dan sangat penting untuk menjamin dan memelihara hubungan secara maksimum. Apabila konsumen sudah memiliki komitmen terhadap suatu merek, maka konsumen tidak akan berpaling ke merek lain dari produk yang sama.
2.6. Merek Berdasarkan American marketing Association (AMA), merek merupakan nama, tanda, simbol, atau desain, atau kombinasi seluruhnya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang dan jasa dari seorang penjual atau sekelompok penjual dan untuk membedakan produk tersebut dari pesaing. Melalui definisi ini, cara untuk menciptakan merek adalah dengan memilih sebuah nama, logo, simbol, desain kemasan, atau karakteristik lain yang dapat mengidentifikasi produk dan membedakannya dari produk lain (Keller, 2008). Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2005) menyatakan bahwa membangun merek yang kuat merupakan tujuan dari sebagian besar perusahaan karena dapat memberikan banyak
keuntungan bagi perusahaan, seperti mengurangi persaingan dalam tindakan pemasaran, margin yang lebih besar, kerja sama yang lebih kuat, serta kesempatan dan dukungan untuk melakukan ekstensi merek (brand extension). Menurut Solomon, Marshall, dan Stuart (2008), merek sangat penting karena merek yang baik dapat membangun koneksi emosi dengan konsumen, merek yang kuat tidak hanya memenuhi kebutuhan konsumen secara rasional, namun menciptakan reaksi emosi. Melalui merek, ada tiga tujuan yang dapat dicapai yaitu identifikasi produk, pengulangan penjualan, dan penjualan produk baru (Lamb, Hair, dan Daniel, 2005). Mengacu pada Solomon, Marshall, dan Stuart (2008), ada sepuluh karakteristik yang dapat membuat merek menjadi sukses. Pertama, manfaat yang diberikan merek melebihi keinginan konsumen. Kedua, merek tetap relevan. Ketiga, strategi menentukan harga didasarkan pada persepsi konsumen terhadap nilai. Merek memiliki posisi yang baik, merek yang konsisten, dan merek yang memiliki portfolio dan hirarki yang masuk akal menjadi karakteristik keempat, kelima, dan keenam. Selanjutnya, karakteristik ketujuh adalah melalui merek dapat terkoordinir kegiatan untuk membangun ekuitas. Kedelapan, manajer merek mengerti arti merek bagi konsumen. Merek memberikan dukungan yang dapat bertahan pada jangka panjang dan perusahaan dapat mengawasi sumber dari ekuitas merek menjadi karaktersitik yang kesembilan dan kesepuluh.
2.6.1. Ekuitas Merek Menurut Sheth dan Mittal (2004) ekuitas merek didefinisikan sebagai peningkatan dalam kegunaan yang diterima dan yang diinginkan yang diberikan merek terhadap suatu produk. Sedangkan Duncan (2005) berpendapat bahwa ekuitas merek merupakan nilai tidak nyata dari sebuah perusahaan diluar nilai fisik perusahaan tersebut.
Pentingnya ekuitas merek dalam suatu perusahaan meningkat karena disebabkan oleh dua hal yaitu product commodization (semua produk memiliki esensi yang identik) dan meningkatnya persaingan (Duncan 2005). Mengacu pada Peter dan Olson (2005), ekuitas merek fokus pada nilai dari merek untuk pemasar dan konsumen. Dari sudut pandang pemasar, ekuitas merek dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar, arus kas yang lebih banyak, dan pangsa pasar yang lebih besar. Sedangkan dari sudut pandang konsumen, ekuitas merek mencakup evaluasi yang baik mengenai merek yang didasarkan pada arti dan kepercayaan yang dapat diterima oleh memori. Hal tersebut dapat menciptakan hubungan konsumen dan merek yang kuat dan baik yang menjadi modal yang penting bagi perusahaan. Sedangkan menurut Pappu dan Quester (2006), membangun ekuitas merek menjadi hal yang penting bagi peritel karena dapat mempertahankan dan meningkatkan kinerja ekonomi mereka. Lebih lanjut, Peter dan Olson (2005) menjelaskan bahwa untuk menghasilkan ekuitas merek, dapat diperoleh melalui tiga cara. Cara yang pertama adalah membangun ekuitas merek dengan meyakinkan bahwa pada dasarnya merek menghasilkan konsekuensi yang positif dan secara konsisten mengiklankan konsekuensi yang penting tersebut. Cara kedua adalah meminjam ekuitas merek dengan memperluas nama merek yang positif ke produk lain. Cara ketiga adalah membeli ekuitas merek dengan membeli merek yang sudah memiliki ekuitas.
2.6.2. Afek merek Afek merupakan salah satu jenis respon mental konsumen mengenai stimuli dan kejadian di lingkungan sekitar. Afek didefinisikan sebagai perasaan konsumen mengenai stimuli dan kejadian, seperti konsumen menyukai atau tidak menyukai produk (Peter dan Olson, 2005). Sedangkan menurut Evans, Jamal, dan Foxall (2006), afek mencakup perasaan atau emosi
seseorang mengenai isu tentang suatu obyek, dimana perasaan tersebut bisa positif dan negatif, yang didasarkan pada kepercayaan yang diyakini oleh konsumen mengenai obyek tersebut. Mengacu pada Shiffman et al. (2008), pengalaman afek dapat ditunjukan melalui pernyataan emosi seperti kebahagaiaan, kesedihan, rasa malu, marah, bersalah, kaget, dan lainlain, dimana pernyataan emosi ini dapat meningkatkan pengalaman positif maupun negatif, dimana pada akhirnya ingatan akan pengalaman-pengalaman tersebut yang akan membentuk dan mempengaruhi pikiran dan tindakan individu. Dalam ilmu pemasaran, emosi dapat mempengaruhi proses informasi, menjadi mediator respon, menjadi ketertarikan yang meyakinkan, mengukur pengaruh dari stimuli pasar, dan mengukur kesejahteraan konsumen (Taylor, Celuch, dan Goodwin, 2004). Dalam mengukur loyalitas, konsep mengenai afek dapat dilihat melalui afek merek. Menurut Chaudhuri dan Holbrook (2001), afek merek merupakan potensi yang dimiliki merek untuk menghasilkan respon emosi yang positif dari pelanggan atas merek tersebut. Respon emosi yang positif tersebut dapat menghasilkan kepercayaan konsumen terhadap merek.
2.6.3. Kepercayaan terhadap merek Mengacu pada Sheth dan Mital (2004), kepercayaan merupakan keinginan untuk mengandalkan kemampuan, integritas, dan motivasi dari pihak lain untuk melayani kebutuhan dan ketertarikan seseorang secara implisit maupun eksplisit. Berdasarkan definisi ini, ada beberapa elemen yang patut diperhatikan. Pertama, seseorang dengan kepercayaan memiliki keyakinan bahwa ia mau mengandalkan orang lain. Kedua, kepercayaan menyangkut tiga aspek karakteristik rekan yaitu kemampuan, integritas, dan motivasi. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang menilai rekannya berkompeten untuk melakukan kewajibannya. Ketiga, orang yang
dipercayai akan memperhatikan kebutuhan dan ketertarikan kedua belah pihak. Terakhir, perilaku rekan akan mengikuti berbagai ekspektasi. Kepercayaan telah mendapat perhatian besar dalam ilmu pendidikan seperti ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, dan diterapkan dalam beberapa area, termasuk manajemen dan pemasaran (Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman, 2005). Kepercayaan merupakan hal yang penting dan menjadi bahan dasar dalam hubungan bisnis maupun sosial. (Sheth dan Mital, 2004). Menurut Jahangir, Parvez, Bhattacharjee, dan Ahamed (2009), kepercayaan merupakan variabel kunci dalam membangun keinginan untuk menjaga hubungan jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian Deldago-Ballester et al. (2003) mengenai kepercayaan terhadap merek (brand trust), dipertimbangkan bahwa atribut spesifik dari kepercayaan terhadap merek terdiri dari aspek teknis dan intentional, yang sering kali dihubungkan dengan dua ide dimensi dalam ilmu manajemen dan pemasaran. Oleh karena itu, kepercayaan terhadap merek terbagi menjadi dua dimensi. Dimensi pertama, secara teknis mencakup kemampuan dan keinginan untuk untuk mejaga janji dan memenuhi kebutuhan konsumen. Dimensi kedua mengenai atribut dari maksud yang baik terhadap merek dalam hubungannya dengan ketertarikan dan kesejahteraan konsumen. Lebih lanjut, merek yang dapat dipercaya adalah merek yang dapat menjaga janji atas nilai untuk konsumen secara rutin, melalui cara produk tersebut dibentuk, diproduksi, dijual dan diiklankan (Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman, 2005). Dengan begitu, merek dapat menumbuhkan loyalitas pada diri konsumen terhadap merek dari suatu produk.
2.7. Loyalitas
Loyalitas memiliki definisi sebagai komitmen konsumen terhadap sebuah merek, produk, dan penyedia barang yang didasarkan pada sikap menyenangkan yang kuat dan pembelian berulang yang konsisten. Oliver (1999) mendefinisikan loyalitas sebagai komitmen yang dimiliki untuk melakukan pembelian ulang sebuah barang atau jasa yang dipilih secara konsisten pada masa depan, sehingga menyebabkan pembelian berulang atas merek yang sama, meskipun pengaruh situasi dan usaha pemasaran memiliki potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. Untuk menghasilkan loyalitas konsumen, perusahaan harus menyediakan merek yang memenuhi kebutuhan konsumen dan secara terus menerus memberi iklan mengenai keunggulan merek untuk meningkatkan kepercayaan konsumen atas produk (Chitty, Barker, dan Shimp, 2005). Menurut Bowen dan Chen, Zins (2001) ada tiga konsep sudut pandang dalam mendefinisikan loyalitas pelanggan yaitu, behavioral loyalty (perspektif keperilakuan), attitudinal loyalty (perspektif kesikapan), dan composite loyalty (perspektif gabungan, yang merupakan gabungan dari loyalitas kesikapan dan loyalitas keperilakuan). Schiffman dan Kanuk (2007) menjelaskan bahwa loyalitas merupakan gabungan antara keperilakuan dan kesikapan, karena para peneliti yang menekankan perspektif keperilakuan yakin bahwa loyalitas terhadap merek dapat diperoleh dari percobaan pertama atas produk dan ditingkatkan melalui kepuasan sehingga akan menghasilkan pembelian kembali. Sedangkan para peneliti yang menggunakan perspektif kesikapan menekankan peran dari proses mental dalam membangun loyalitas terhadap merek, dimana konsumen terikat dengan proses pemecahan masalah yang luas mencakup merek dan perbandingan atribut yang pada akhirnya membuat konsumen mempunyai pilihan atas merek yang kuat dan menghasilkan pembelian kembali. Lebih lanjut, Datta (2003) juga menyatakan bahwa apabila konsumen melakukan pembelian kembali, hal itu tidak berarti bahwa konsumen lebih memilih produk tersebut dibanding produk
dari merek lain, mungkin hanya karena kebiasaan dan kenyamanan, sehingga seorang konsumen dapat dikatakan loyal juga dengan melihat sikap konsumen terhadap produk lebih baik bila dibandingkan dengan sikap konsumen terhadap merek lain. Akan tetapi, banyak penelitian menilai loyalitas yang dihubungkan dengan pengaruh loyalitas hanya dari segi keperilakuan saja (Shukla, 2004) atau hanya dari segi kesikapan saja (Caruana dan Fenech, 2005), sehingga masih sedikit penelitian yang menggunakan pendekatan gabungan dalam menjelaskan konsep loyalitas pelanggan. Hal ini dapat dilihat dari daftar beberapa penelitian mengenai loyalitas dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut seperti terlihat pada Tabel 2.1. sebagai berikut:
Tabel 2.1. Penelitian tentang loyalitas sebelumnya Peneliti (Tahun)
Ferrinadewi dan Djati (2004) Wang, Liang, Wu (2006) Bloemer dan OdekerkenSchroder (2002) Streukens dan Ryter (2004) Wong dan Sohal (2003) Chiou et.al (2002) Mathur (1998) Fankhouser, Parket, Chatterjee (1994) Datta (2003) Fader dan Schmittlein (1993) Da Silva dan Alwi Bell, Auh, Smalley (2005)
Pendekatan Kesikapan
Pendekatan Keperilakuan
Pendekatan Kesikapan dan Keperilakuan
X X X X X X X X X X X X
Pendekatan Gabungan
Olsen (2002) Caruana dan Fenech (2005) Chaudhuri dan Holbrook (2001) Yi dan Jeon (2003) Shamdasani dan Balakrishnan (2000) Vlachos, Tsamakos, Vrechopoulos dan Avramidis (2007) Stern dan Hammond (2004) Delgado-Ballester dan MunueraAleman (2001) Fandos dan Flavia (2006) Suh dan Yi (2006) Lau dan Lee (1999) Kenhove, Wulf, Steenhaut (2003) Javadein, Khanlari dan Estiri (2008)
X X X
M
X
elalui X
tabel 2.1. X X
dapat dilihat
X X
bahwa
X X X
dari
24
penelitia
n tentang loyalitas, hanya ada satu penelitian yang menyertakan variabel loyalitas kesikapan dan keprilakuan dalam penelitiannya, sedangkan penelitian yang lain hanya memuat salah satu dari atribut loyalitas.
2.7.1. Loyalitas Kesikapan Dalam istilah kesikapan, loyalitas merupakan tingkat penempatan komitmen pelanggan terhadap produk (Chiou dan Droge, 2006). Loyalitas kesikapan juga dapat berarti sikap konsumen terhadap merek yang merupakan hasil dari konfirmasi berulang atas harapan pelanggan berdasarkan pengetahuan tentang merek dan manfaat dari produk (Ferrinadewi dan Djati, 2004). Schiffman dan Kanuk (2007) mengungkapkan bahwa kesikapan mengandung tiga buah komponen, komponen kognitif, komponen afektif, dan komponen konatif. Kognitif merupakan tahap dimana pengetahuan dan persepsi yang diperoleh dari kombinasi pengalaman langsung dengan obyek dan berhubungan dengan informasi dari berbagai sumber.
Afektif merupakan perasaan atau emosi konsumen mengenai sebuah produk atau merek yang
dijadikan evaluasi dasar untuk menilai obyek. Konatif merupakan dorongan atau keinginan yang membuat konsumen mengambil tindakan terhadap suatu obyek, yang sering kali dianggap sebagai keinginan konsumen untuk membeli produk (Schiffman dan Kanuk, 2007).
2.7.2. Loyalitas Keperilakuan Dalam istilah keperilakuan, loyalitas merupakan konsistensi pelanggan untuk membeli produk secara berulang. Loyalitas keperilakuan menunjukkan pengulangan pembelian merek oleh pelanggan (Chiou dan Droge, 2006). Loyalitas keperilakuan dapat merefleksikan seberapa sering konsumen membeli merek dan berapa banyak jumlah yang dibeli oleh konsumen (Keller, 2008). Dari gabungan kekuatan perspektif kesikapan dan keperilakuan, diperoleh empat jenis loyalitas seperti terlihat pada Tabel 2.2. (Sheth dan Mital, 2004). Tabel 2.2. Klasifikasi Loyalitas Pelanggan Kesikapan relative Tinggi Rendah
Pembelian kembali Tinggi Rendah Loyalitas premium Loyalitas terpendam (Premium loyalty) (Latent loyalty) Loyalitas palsu Tidak ada loyalitas (Spurious loyalty) (No loyalty)
Sumber : Dick dan Basu (1994, 104)
2.7.3. Loyalitas Kesikapan Keprilakuan Loyalitas kesikapan keprilakuan merupakan gabungan loyalitas dari perspektif kesikapan dan keperilakuan, sehingga memiliki definisi gabungan dari definisi loyalitas kesikapan dan loyalitas keperilakuan. Munculnya konsep loyalitas gabungan disebabkan karena ada beberapa peniliti yang menyatakan bahwa dalam menilai loyalitas pelanggan, tidak dapat hanya melalui satu sudut pandang saja.
Melalui sudut pandang loyalitas gabungan, dapat dilihat konsep loyalitas konsumen secara utuh, tidak hanya dari salah satu sudut pandang saja, sehingga dapat melihat konsep loyalitas konsumen dengan lebih kompleks. Hal ini juga sesuai dengan Pritchard dan Howard (1997) dalam Javadein, Khanlari, dan Estiri (2008), loyalitas gabungan merupakan alternatif dari loyalitas afektif, karena mencakup gabungan loyalitas kesikapan dan keperilakuan, sehingga dapat meningkatkan kekuatan dalam memprediksi loyalitas.
2.8. Hubungan antara kepuasan dengan loyalitas pelanggan Kepuasan konsumen dapat menjadi perwakilan dari pengaruh pengalaman yang terjadi sebelumnya, karena merupakan penilaian keseluruhan dari pengalaman konsumsi setiap individu (Suh dan Yi, 2006). Kepuasan konsumen dapat menjadi kunci dalam membina hubungan jangka panjang antara pembeli dan penjual Geyskens, Steenkamp, dan Kumar (1999), dalam Lam, Shankar, dan Murthy (2004). Pelanggan yang puas atas layanan dari penjual akan termotivasi untuk berlangganan dengan penjual atau merekomdasikan penjual kepada konsumen lainnya (Lam, Shankar, dan Murthy, 2004). Kepuasan pelanggan dapat berperan sebagai dasar dari loyalitas pelanggan Hal ini terbukti dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan mempengaruhi variabel yang menjadi indikator dari loyalitas pelanggan atau orientasi terhadap hubungan jangka panjang, seperti Da Silva dan Alwi (2006); Musanto (2004); Bloemer dan Odekerken-Schroeder (2002); Yu, Chang, dan Huang (2006); Chiou, Droge, dan Hanvanich (2002); Olsen (2002); Lam, Shankar dan Murty (2004); Shamdasani dan Balakrishnan (2000); Delgado-Balester dan Munuera Aleman (2001); Paswan, Spears, dan Ganes (2007); Julander dan Soderlund (2003).
2.9. Hubungan antara nilai dan loyalitas pelanggan Nilai merupakan penilaian keseluruhan pelanggan terhadap sebuah produk, dihubungkan dengan kegunaan dari produk tersebut dan didasarkan dengan persepsi apa yang sudah diberikan dan apa yang diperoleh (Caruana dan Fenech, 2005). Konsumen tidak selalu mencari harga yang terbaik namun setiap konsumen akan tertarik dengan nilai yang dapat merefleksikan pengalaman berbelanja yang superior (Berman dan Evans, 2004). Nilai akan semakin tinggi apabila kegunaan produk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan dengan harga yang sesuai (Caruana dan Fenech , 2005).
Pada saat
konsumen memberi penilaian semakin tinggi terhadap suatu produk, maka pelanggan akan melakukan pembelian ulang terhadap produk karena sudah memiliki loyalitas atas produk tersebut. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian mengenai nilai dan loyalitas pelanggan, seperti Shang, Chen, dan Liao (2006); Yi dan Jeon (2003); Lam, Shankar, dan Murty (2004); Chang, Lee dan Chen (2008); Haksever, Chaganti dan Cook (2004).
2.10. Hubungan antara ketidakinginan berubah dengan loyalitas pelanggan. Ketidakinginan berubah merupakan bukti dan hasil dari adanya komitmen pelanggan menurut Pritchard et al. (1999), dalam Taylor, Celuch, dan Goodwin, (2004). Komitmen terbentuk berdasarkan pada emosi dan keinginan konsumen untuk terlibat ke dalam perusahaan (Verhoef, 2003). Dengan terciptanya komitmen dari konsumen, konsumen tidak akan berubah dan berpaling ke kompetitor. Sehingga, konsumen akan memiliki loyalitas pada perusahaan.
Hubungan antara ketidakinginan untuk berubah dan loyalitas telah diuji dalam beberapa penelitian seperti yang dilakukan oleh Kenvauf, Wulf, dan Steenhaut (2009); Beatson et al. (2006); Taylor dan Hunter (2003).
2.11. Hubungan antara afek merek dengan loyalitas pelanggan Menurut Kim et al. (1998) dalam Taylor, Celuch, dan Goodwin (2004), afek dapat mempengaruhi sikap pelanggan, meskipun pada saat pelanggan tidak memiliki kepercayaan terhadap produk. Sedangkan menurut Oliver (1997) dalam Taylor, Celuch, dan Goodwin (2004), afek memiliki peran dalam kepuasan konsumen. Hal ini diperkuat oleh Martila dan Enz (2002) yang menyatakan bahwa penilaian konsumen terhadap suatu produk memiliki korelasi yang tinggi dengan emosi selama interaksi antara pelanggan dan penjual berlangsung. Taylor, Celuch, dan Goodwin (2004) mengemukakan bahwa afek dapat mempengaruhi proses komunikasi, memediasi respon dalam proses pembujukan, mengukur hasil dari stimulus pemasaran, dan mengukur kesejahteraan pelanggan. Dengan begitu, pada akhirnya afek akan mempengaruhi loyalitas pelanggan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara afek dan loyalitas pelanggan seperti Chaudhuri dan Holbrook (2001); Auh, Bell, McLeod dan Shih (2007); dan Taylor dan Hunter (2003).
2.12.
Hubungan
antara
kepercayaan
merek
dengan
loyalitas
pelanggan Kepercayaan merupakan perasaan dan pikiran seseorang tentang keamanan yang didasarkan pada keyakinan bahwa perilakunya dipimpin dan dimotivasi oleh maksud yang baik, menyenangkan, dan positif terhadap kesejahteraan dan ketertarikan partnernya (Delgado-
Ballester dan Munuera-Aleman, 2005). Dalam teori komitmen-kepercayaan yang dikembangkan oleh Morgan dan Hunt (1994) dalam Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2005), kepercayaan merupakan dasar dan elemen yang sangat penting dalam membangun dan menjaga hubungan jangka panjang. Oleh karena itu, dengan adanya kepercayaan, maka dapat timbul loyalitas. Kepercayaan yang dijadikan dasar dan pendahulu dari timbulnya loyalitas sudah diteliti dalam banyak penelitian. Hal ini didukung dengan beberapa penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara kepercayaan terhadap merek dan loyalitas oleh Reast (2005); Lau dan Lee (1999); Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2001); Delgado-Ballester dan Munuera Aleman (2005); Chiou, Droge, dan Hanvanich (2002); Wang, Liang dan Wu (2006); Ferrinadewi dan Djati (2004); Chio dan Droge (2006).
2.13. Hubungan antara ekuitas merek dengan loyalitas pelanggan Ekuitas merek merupakan efek atau pengaruh lain dari pengetahuan akan merek (brand knowledge) terhadap respon pelanggan untuk pemasaran merek tersebut. Pengaruh positif akan timbul apabila konsumen memberikan reaksi yang menyenangkan dan positif atas produk yang ditawarkan oleh merek, dan pengaruh negatif akan timbul apabila konsumen memberikan reaksi yang tidak menyenangkan atas produk yang ditawarkan oleh merek. Oleh karena itu, ekuitas merek memiliki hubungan dengan loyalitas merek menurut Keller (1998) dalam Taylor, Celuch, dan Goodwin (2004). Hal ini didukung oleh sudah banyak penelitian mengenai hubungan antara ekuitas merek dan loyalitas seperti yang dilakukan oleh Leone, Rao, Keller, Luo, McAlister, dan Srivastava (2006);
Delgado-Ballester dan Munuera-Aleman (2005); Walgren, Ruben dan
Donthu (1995); Erdam dan Swait (1998); Park dan Srinivasan (1994).
2.14. Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang loyalitas kesikapan, keprilakuan, dan kesikapan keprilakuan sebelumnya dilakukan oleh Stephen, Goodwin dan Celuch pada tahun 2004. Penelitian ini dimuat dalam sebuah jurnal yang diberi judul The Importance of Brand Equity to Customer Loyalty dalam The Journal of Product and Management, 2004, vol. 13.
2.14.1. Latar Belakang Penelitian Sebelumnya Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kesadaran bahwa manajemen merek akan semakin berperan dalam pemasaran sebuah produk. Merek yang baik diharapkan akan dapat mengomunikasikan pesan, sekalipun pesan yang kompleks, kepada pelanggannya dan pelanggan dapat mengerti pesan tersebut. Lebih daripada itu, merek yang baik diharapkan mampu mengikat hubungan antara merek dan pelanggannya. Ikatan tersebut yang dinamakan sebagai loyalitas pelanggan terhadap merek. Penelitian dari Stephen, Celuch, dan Goodwin ini mengambil data penelitian dan sampel dari sebuah perusahaan business to business yang bergerak dalam jual beli mesin dan peralatan berat di Amerika. Mereka melakukan penelitian ini berdasarkan model dalam gambar 2.3 sebagai berikut
Gambar 2.3.: Model Penelitian sebelumnya Sumber: Taylor, Celuch, Goodwin (2004,2)
Pada gambar 2.3. di atas menggambarkan bahwa loyalitas pelanggan dipengaruhi oleh nilai, kepuasan, ketidakmauan untuk berubah, afek merek, kepercayaan merek, dan ekuitas merek. Loyalitas pelanggan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu keprilakuan dan kesikapan, namun terdapat dalam satu lingkaran yang sama sehingga ditambahkan lagi sebuah variabel terikat yaitu loyalitas kesikapan keprilakuan yang dalam penelitian ini disebut loyalitas gabungan
2.14.2. Metodologi Penelitian Sebelumnya
Data survey diambil dari daftar pembeli produk di perusahaan tersebut selama dua tahun dan mencapai total 9,998 pelanggan yang disurvey. Hasil survey tersebut dianalisis menggunakan software statistik dari SPSS terutama untuk uji validitas, reliabilitas serta uji asumsi. Penelitian ini juga menggunakan software LISREL 8.53 untuk menganalisis covariance.
2.14.3. Hasil Penelitian Sebelumnya Dari 9,998 survey yang diambil berupa kuesioner, terdapat 457 kuesioner yang tidak dapat digunakan. Data sampel yang dapat digunakan diolah menggunakan SPSS untuk melihat reliabilitas dan validitasnya dan hasilnya semua data memiliki angka Cronbach Alpha diatas 0,7 yang menandakan bahwa penelitian ini telah melewati uji reliabilitas dan uji validitas. Hasil dari analisis loyalitas keprilakuan menyebutkan bahwa loyalitas keprilakuan dipengaruhi secara signifikan hanya oleh ekuitas merek dan kepercayaan merek. Variabel lainnya seperti nilai, ketidakinginan untuk berubah, dan afek merk juga mempengaruhi loyalitas keprilakuan dalam konteks yang lebih lemah. Namun secara mengejutkan kepuasan tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap loyalitas keprilakuan Unruk loyalitas kesikapan, dalam penelitian ini, dipengaruhi secara kuat oleh kepercayaan merek dan ekuitas merek. Kepuasan dan afek merek juga mempengaruhi loyalitas kesikapan dalam kontek yang lebih lemah. Walaupun demikian, nilai dan ketidakinginan untuk berubah tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap loyalitas kesikapan. Untuk loyalitas kesikapan keprilakuan yang dalam penelitian ini disebut loyalitas gabungan juga hanya dipengaruhi secara kuat oleh kepercayaan merek dan ekuitas merek.
2.14.4. Kesimpulan Penelitian Sebelumnya Dalam penelitian ini variabel kepercayaan merek dan ekuitas merek mempengaruhi secara signifikan terhadap loyalitas kesikapan, loyalitas keprilakuan dan loyalitas gabungan. Jadi penelitian ini menyarankan agar para pemasar perusahaan tidak memfokuskan diri pada pencapaian kepuasan pelanggan, namun berfokus pada peningkatan kepercayaan merek dan ekuitas merek sehingga tercipta loyalitas pelanggan terhadap mereknya