BAB II LANDASAN TEORI A. Belajar Matematika Belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan, artinya tujuan kegiatan belajar adalah perubahan tingkah laku, baik yang menyangkut pengetahuan, keterampilan maupun sikap, bahkan meliputi segenap aspek pribadi (Djamarah dan Zain, 2002). Belajar senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan, misalnya membaca, mendengar, mengamati, meniru dan sebagainya, dan belajar itu akan lebih baik jika subyek belajar itu mengalami atau melakukannya sendiri (Sardiman dalam Nurlaili, 2007). Ciri-ciri tertentu dari suatu perubahan dalam arti belajar menurut Slameto (2003) adalah: Perubahan terjadi secara sadar dan bersifat positif, aktif, kontinu dan fungsional. Belajar bukan bersifat sementara namun mencakup seluruh aspek tingkah laku. Gordon (2003) mengemukakan tiga tujuan belajar: pertama, mempelajari keterampilan dan pengetahuan tentang materi-materi pelajaran spesifik dan siswa dapat melakukannya dengan lebih cepat, lebih, dan lebih mudah. Kedua, mengembangkan kemampuan konseptual umum, mampu belajar menerapkan konsep yang sama atau yang berkaitan dengan bidang-bidang lain. Ketiga, mengembangkan kemampuan dan sikap pribadi yang secara mudah dapat digunakan dalam segala tindakan siswa. Belajar merupakan suatu keharusan bagi setiap insan manusia, baik itu dikelas secara secara formal maupun non formal. Inti dari sebuah belajar adalah pengalaman dan dengan bekal pengalaman ini manusia akan dapat berubah dari dimensi tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi paham, sehingga implikasinya akan tampak pada tiga tataran domain kognitif, afektif, psikomotorik. Secara psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Susilo, 2006). Abdurahman (2003) mengemukakan bahwa matematika adalah salah satu cara untuk menemukan jawaban terhadap suatu masalah, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan. Senada dengan pendapat Nasution dalam Wawan (2012) menyatakan bahwa matematika dapat dipandang sebagai suatu ide yang dihasilkan oleh ahli-ahli matematika dan objek penalarannya dapat berupa benda-benda atau mahluk, atau dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Pengertian lain dikemukakan oleh Sutrisman dan Tambuan dalam Wawan (2012) bahwa matematika adalah pengetahuan tentang kuantitas ruang, salah satu dari sekian banyak cabang ilmu yang sistematis, terstruktur dan eksak.
4
5 Matematika merupakan suatu cabang ilmu yang menelaah tentang bentukbentuk geometri dan struktur-struktur abstrak serta hubungan-hubungan di antara mereka, untuk dapat memahami srtuktur-struktur serta hubunganhubungan tentu saja diperlukan pemahaman konsep-konsep yang terdapat di dalam matematika ini. Dengan demikian, belajar matematika berarti belajar tentang konsep-konsep dan struktur-struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari, serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur tersebut. Supaya belajar matematika terjadi, bahasan matematika seyogyanya tidak disajikan dalam bentuk yang sudah tersusun secara final melainkan siswa dapat terlibat aktif di dalam menemukan konsepkonsep, struktur-struktur sampai kepada teorema atau rumus (Hudojo, 2001). Belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tidak langsung menurut Gagne dalam Abyfarhan (2011). Objek-objek langsung pembelajaran matematika terdiri atas fakta-fakta matematika, keterampilan-keterampilan matematika, konsep-konsep matematika, prinsip-prinsip matematika. Objekobjek tidak langsung pembelajaran matematika adalah kemampuan berpikir logis, kemampuan memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan, dan ketelitian. Berdasarkan pendapat diatas maka Kolb dalam Wardani (2003) mendefinisikan belajar matematika sebagai proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa itu sendiri melalui transformasi pengalaman individu siswa. Pendapat Kolb ini intinya menekankan bahwa dalam belajar siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang dipelajari dan siswa harus didorong untuk aktif berinteraksi dengan lingkungan belajarnya sehingga dapat memperoleh pemahaman yang lebih tinggi dari sebelumnya. Berbeda dengan pendapat Dienes dalam Widyanto (2013) menyatakan bahwa belajar matematika melibatkan suatu struktur hierarki dari konsepkonsep tingkat lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah terbentuk sebelumnya. Sedangkan Russeffendi dalam Wawan (2012) mengemukakan bahwa belajar matematika bagi seorang siswa merupakan proses yang kontinu sehingga diperlukan pengetahuan dan pengertian dasar matematika yang baik, proses belajar matematika haruslah diawali dengan mempelajari konsepkonsep yang lebih mendalam dengan menggunakan konsep-konsep sebelumnya atau dengan kata lain bahwa proses belajar matematika adalah suatu rangkaian kegiatan belajar mengajar dalam interaksi hubungan timbal balik antara siswa dengan guru yang berlangsung dalam lingkungan yang ada di sekitarnya untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa belajar matematika adalah proses dalam diri siswa yang hasilnya berupa perubahan pengetahuan, sikap, keterampilan dan untuk menerapkan konsep-konsep, struktur dan pola dalam matematika sehingga menjadikan siswa berpikir logis, kreatif, sistematis dalam kehidupan sehari-hari. Belajar matematika akan lebih
6 berhasil bila mengarah pada pengembangan berpikir, pengembangan konsep atau ide-ide terdahulu yang dipersiapkan untuk mempelajari dan menguasai konsep baru. B. Siswa Laki-laki dan Perempuan Dalam Belajar matematika Perbedaan perempuan dan laki-laki hampir terjadi dalam berbagai bidang, yaitu bidang pendidikan, pekerjaan, politik dan sebagainya. Siswa laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik tertentu, baik secara fisiologis maupun psikologis. Faktor fisiologis berkenaan dengan kondisi fisiknya, panca indera, dan sebagainya. Sedangkan faktor psikologi menyangkut minat, tingkat kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampuan kognitifnya. Hal tersebut dapat mempengaruhi bagaimana proses dan hasil belajarnya (DePorter dalam Utami 2013). Menurut Keitel dalam Trisnawati (2013) menunjukkan bahwa gender mempengaruhi cara memperoleh pengetahuan matematika, dimana siswa perempuan secara umum lebih unggul dalam bahasa dan menulis, sedangkan siswa laki-laki lebih unggul dalam matematika karena kemampuan-kemampuan ruangnya yang lebih baik. Hasil penelitian oleh Trisnawati (2013) menunjukkan bahwa siswa perempuan secara konsisten memperoleh prestasi yang lebih baik daripada siswa laki-laki di kelas. Berdasarkan hasil penelitian Krutetskii dalam Soenarjadi (1994), menjelaskan bahwa terdapat perbedaan karakter antara siswa laki-laki dan perempuan. Secara garis besar siswa laki-laki lebih baik dalam penalaran sedangkan siswa perempuan lebih dalam hal ketepatan, ketelitian, kecermatan dan keseksamaan berpikir. Siswa laki-laki memiliki kemampuan matematika dan mekanik yang lebih baik daripada siswa perempuan. Maccoby dan Jacklin dalam Soenarjadi (1994) juga menjelaskan bahwa siswa perempuan mempunyai kemampuan verbal lebih tinggi daripada siswa laki-laki, sedangkan siswa laki-laki lebih baik dalam kemampuan visual spasial (penglihatan keruangan) dan matematika daripada siswa perempuan. Siswa laki-laki dan perempuan adalah berbeda, dan sebagai akibatnya muncul perbedaan tentang cara belajar mereka. Orhun dalam Trisnawati (2013) menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara gaya belajar yang lebih disukai oleh siswa laki-laki dan perempuan. Siswa perempuan lebih menyukai gaya belajar konvergen yang menggunakan konseptualisasi abstrak dan melakukan eksperimentasi secara aktif. Sedangkan siswa laki-laki lebih suka gaya belajar asimilator dengan kemampuan belajar menggunakan konseptualisasi abstrak dan observasi refleksi, dan belajar dengan melihat dan berpikir. C. Gaya Belajar Belajar merupakan suatu kebutuhan dan keharusan manusia yang harus dilakukan, karena tanpa belajar manusia tidak akan memiliki pengetahuan,
7 bahkan mulai siswa dilahirkan sudah membutuhkan belajar, terutama belajar mengenal orangtua. Semua manusia sama-sama belajar, tetapi yang membedakan adalah bagaimana cara mereka belajar. Masing-masing orang memiliki gaya belajar sendiri-sendiri, karena kemampuan masing-masing individu tidak sama dengan individu yang lain. Seperti yang diungkapkan oleh Nasution (2010) yang menyatakan bahwa tidak semua orang mengikuti cara yang sama, masing-masing menunjukkan perbedaan dan gaya belajar erat pribadi seseorang yang tentu dipengaruhi oleh pendidikan. Nasution (dalam Nurlaili, 2007) menemukan adanya berbagai gaya belajar pada siswa yang dapat digolongkan menurut kategori-kategori tertentu, yaitu sebagai berikut: 1. Tiap siswa belajar dengan caranya sendiri yang kita sebut dengan gaya belajar, guru juga mempunyai gaya mengajar masing-masing. 2. Kita dapat menemukan gaya belajar itu dengan instrumen tertentu. 3. Kesesuaian gaya mengajar dengan gaya belajar mempertinggi efektivitas belajar. Tiap individu memiliki kekhasan sejak lahir dan diperkaya melalui pengalaman hidup. Semua orang belajar melalui alat indrawi, baik penglihatan, pendengaran, dan kinestetik. Setiap orang memiliki kekuatan belajar atau gaya belajar, semakin kita mengenal baik gaya belajar maka semakin mudah dan lebih percaya diri dalam menguasai suatu ketrampilan dan konsep-konsep dalam hidup. Jika seseorang telah akrab dengan gaya belajarnya sendiri, maka dia dapat membantu dirinya sendiri dalam belajar lebih cepat dan lebih mudah (Qomariyah, 2010). Kolb dalam Naneyan (2011), menyatakan bahwa gaya belajar melibatkan pengalaman baru, mengembangkan observasi atau merefleksi, menciptakan konsep, dan menggunakan teori untuk memecahkan masalah. Sejalan dengan Winkel (2005) yang menyatakan gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa. Kemampuan seseorang untuk memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti berbeda tingkatnya, ada yang cepat, sedang, dan ada pula yang sangat lambat. Oleh karena itu, mereka seringkali harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau pelajaran yang sama. Menurut Nasution (2010) gaya belajar atau “learning style” siswa yaitu cara siswa bereaksi dan menggunakan perangsang-perangsang yang diterimanya dalam proses belajar. Berbeda dengan DePorter dan Hernacki (2004) yang berpendapat bahwa gaya belajar merupakan suatu kombinasi dari bagaimana seseorang menyerap, dan kemudian mengatur serta mengolah informasi. Gaya belajar bukan hanya berupa aspek ketika menghadapi informasi, melihat, mendengar, menulis dan berkata tetapi juga aspek pemrosesan informasi sekunsial, analitik, global atau otak kiri-otak kanan, aspek lain adalah ketika merespon sesuatu atas lingkungan belajar (diserap secara abstrak dan konkret). DePorter dan Hernacki (2004) berpendapat bahwa, jika seseorang tidak dapat melihat atau mendengar, atau jika seseorang tidak dapat merasakan tekstur, bentuk, temperatur, atau berat, atau penolakan di lingkungan, berarti
8 seseorang tersebut sama sekali tidak mempunyai gaya belajar. Kebanyakan kita belajar dengan banyak gaya, namun kita biasanya lebih menyukai satu cara dari pada yang lainnya. Banyak orang yang tidak menyadari bahwa mereka lebih suka pada satu gaya karena tidak ada sesuatu yang eksternal yang mengatakan kepada mereka bahwa mereka berbeda dari orang lain. Gaya belajar juga sering didefinisikan sebagai cara-cara yang digunakan untuk mempermudah proses belajar. Seorang siswa atau peserta didik akan menggunakan cara-cara tertentu untuk membantunya menangkap dan mengerti suatu materi pelajaran. Siswa harus bisa memperhatikan bagaimana gaya belajar tersebut supaya siswa bisa lebih mudah mengerti materi pelajaran dan siswa bisa mengembangkan potensi belajar dengan lebih optimal, yang menjadi landasan untuk mengetahui pentingnya gaya belajar adalah supaya siswa dapat memahami dengan cepat dan optimal dalam materi pelajaran (Susilo, 2006). Natalia (2011), menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan pembahasan gaya belajar diketahui bahwa tidak ada dua individu yang memiliki inteligensi sama. Setiap individu memiliki gaya belajar yang berbeda dalam menerima informasi baru yang diterimanya. Meskipun setiap individu tersebut mendapat perlakuan yang sama saat belajar namun setiap peserta didik memiliki pemahaman, pemikiran dan pandangan yang berbeda saat informasi baru yang diterimanya. Ada siswa yang biasa memahami materi dengan mengamati apa yang dilakukan oleh gurunya, ada pula siswa yang lebih senang memikirkan segala sesuatu yang ia pelajari, atau ada pula siswa yang senang belajar sesuatu yang melibatkan dirinya dan melakukan tindakan dalam pembelajaran tersebut. Bahkan ada pula siswa yang senang belajar dengan melibatkan perasaannya dalam suatu pembelajaran. Setiap siswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak ada suatu gaya belajar yang lebih baik atau lebih buruk daripada gaya belajar yang lain. Setiap siswa antara yang satu dengan yang lain memiliki cara yang berbeda dalam mengolah informasi yang berkaitan dengan proses belajarnya. Pengolahan informasi yang berkaitan dengan proses belajar ini disebut gaya belajar. Rita dan Ken Dunn dalam Gunawan (2003), mengatakan bahwa walaupun ada banyak pendekatan dalam gaya belajar, hal yang paling penting adalah bagaimana pengetahuan mengenai gaya belajar yang dapat digunakan untuk membantu siswa memaksimalkan proses pembelajaran, karena dengan mengerti gaya belajar siswa, sehingga pembelajaran tidak terpaku pada satu gaya saja, serta menyadari bahwa gaya belajar patut untuk diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bawa gaya belajar adalah cara belajar efektif yang dimiliki seseorang dalam memperoleh suatu pemahaman, pegetahuan, pengalaman serta sikap dalam belajar. Jika siswa akrab dengan gaya belajarnya, maka dapat mengambil langkah-langkah
9 penting untuk membantu diri siswa belajar lebih cepat dan lebih mudah (Nurlaili, 2007). D. Macam-macam Gaya Belajar DePorter dalam Sudarmi (2006) berpendapat bahwa terdapat tiga macam gaya belajar yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditori dan gaya belajar kinestetik. Pelajar auditori lebih suka mendengarkan materinya dan kadangkadang kehilangan urutannya jika mereka mencoba mencatat materinya selama presentasi berlangsung. Pelajar visual lebih suka membaca makalah dan memperhatikan ilustrasi yang ditempelkan pembicara di papan tulis, mereka juga membuat catatan-catatan yang sangat baik. Pelajar kinestetik lebih baik dalam aktivitas bergerak dan interaksi kelompok. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Fleming dalam Purwandari (2007) bahwa terdapat 4 modalitas belajar, yaitu Visual, Aural, Read/Write, dan Kinesthetic (VARK). Terdapat 4 macam gaya belajar seseorang yaitu visual lebih menyukai mendapatkan informasi dari yang dilihat oleh mata, aural lebih menyukai mendapatkan informasi melalui apa yang didengar, read/write lebih menyukai mendapatkan informasi melalui apa yang dilihat tetapi sambil menuliskan katakata/bahasa pada teks yang mereka baca kemudian teks tersebut mereka tuliskan dengan pemahaman sendiri, dan kinestethic lebih menyukai mendapatkan informasi melalui indra pada tubuh oleh sentuhan, mempraktekan, menggerakan, dan sebagainya tetapi tentu melalui apa yang dilihat dan didengar. Gordon (2003) mengemukakan tiga gaya utama belajar yang meliputi, Pelajar haptik, dari kata Yunani yang berarti “bergerak bersama”. Siswa belajar paling baik ketika mereka terlibat, bergerak, mengalami, dan mencoba-coba. Sering disebut juga pelajar kinestetik. Pelajar visual, yang belajar paling baik ketika mereka melihat gambar-gambar yang mereka pelajari. Sebagian kecil berorientasi pada “teks tercetak” dan dapat belajar melalui mambaca. Pelajar auditori, yang belajar paling baik melalui suara, musik, dan berbicara. Dalam bukunya DePorter & Hernacki (2004), secara umum kita menggunakan tiga preferensi sensori yaitu berdasarkan pada visual (penglihatan), auditori (pendengaran), dan kinestetik (sentuhan dan gerakan), ini yang kita kenal dengan nama modalitas V-A-K. Selanjutnya saya akan menggunakan istilah gaya belajar V-A-K. Gaya belajar dapat digolongkan menjadi tiga macam gaya yaitu visual, auditori dan kinestetik, dari ketiga gaya belajar ini ada individu yang cenderung memiliki salah satu gaya dan ada juga yang memiliki semua gaya. Ketiga gaya belajar tersebut adalah sebagai berikut: 1. Gaya Belajar Visual Gaya belajar visual cenderung lebih dominan dalam penglihatan dan cenderung lebih khusus belajar melihat fokus telaahannya. Gunawan (2003) mengatakan bahwa orang visual akan sangat mudah melihat atau
10 membayangkan apa yang dibicarakan, mereka sering melihat gambar yang berhubungan dengan kata atau perasaan dan mereka akan mengerti informasi bila mereka melihat kejadian, informasi tersebut dalam bentuk tulisan atau gambar. Berikut ini beberapa Ciri-ciri gaya belajar visual oleh DePorter dalam Nurlaili (2007) diantaranya: rapi dan teratur, berbicara dengan cepat, perencana dan pengatur jangka panjang yang baik, teliti dan mendetail, mementingkan penampilan dan tulisan, mengingat apa yang dilihat, daripada yang didengar, mengingat dengan asosiatif visual, pembaca cepat dan tekun, lebih suka seni lukis, drama, tarian, dan sejenisnya daripada musik. Strategi yang digunakan untuk mempermudah proses belajar siswa dengan gaya belajar visual adalah belajar dengan menggunakan materi visual seperti gambar-gambar, diagram, dan peta. Siswa akan lebih senang belajar jika tempat belajarnya tertata dengan rapi. Guru juga dapat mengajak siswa untuk mengilustrasikan ide-idenya ke dalam gambar. Mata/penglihatan merupakan peranan penting bagi siswa yang memiliki gaya belajar visual, dalam hal ini penggunakan metode pengajaran guru lebih dititikberatkan pada peragaan atau media. Gaya belajar visual harus melihat bahasa tubuh dan ekspresi muka gurunya supaya mengerti materi pelajaran. Siswa cenderung berpikir menggunakan gambar-gambar di otak mereka dan belajar lebih cepat dengan menggunakan tampilantampilan visual, seperti diagram, buku pelajaran bergambar, video dan lebih suka mancatat sampai detil dalam mendapatkan informasi. Umumnya orang yang memiliki gaya belajar visual adalah arsitek, pelukis, pemahat, pemain catur, naturalis, ahli fisika, ahli strategi perang (Gordon, dalam Nurlaili 2007). 2. Gaya Belajar Auditori Gaya belajar auditori lebih cenderung melalui suara dalam proses pembelajaran. Gunawan (2003) berpendapat bahwa orang auditori mengekspresikan diri mereka melalui suara, baik melalui komunikasi internal maupun eksternal dengan orang lain. Individu ini cenderung mengakses segala bunyi dan kata yang dapat diingat, lebih suka musik dan belajar sambil mendengarkan musik. Siswa yang memiliki gaya belajar auditori dapat belajar lebih cepat dengan menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan apa yang guru katakan, serta lebih senang pembelajaran dengan menggunakan media audio, namun sangat sensitif terhadap suara atau bunyi-bunyian, sehingga konsentrasi mudah terganggu dengan suarasuara tersebut ketika belajar. Strategi yang digunakan untuk mempermudah proses belajar siswa denga gaya belajar auditori adalah mengajak siswa untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi baik di dalam kelas maupun di dalam keluarga. Gunakan musik untuk mengajarkan siswa. Gaya belajar auditori dapat belajar lebih cepat dengan menggunakan diskusi verbal dan mendengarkan penjelasan
11 guru. Gaya belajar auditori dapat mencerna makna penyampaian melalui suara, pitch (tinggi rendahnya kecepatan berbicara dan hal-hal auditori lainnya). Siswa auditori dapat menghafal lebih cepat dengan membaca dengan bersuara serta melalui media seperti kaset, radio, dll. Umumnya orang yang memiliki gaya belajar auditori ini adalah seorang pemain sandiwara, pengubah lagu, penikmat musik, pembuat instrumen musik, penyelaras piano (Gardon, dalam Nurlaili 2007). 3. Gaya Belajar Kinestetik Gaya belajar kinestetik memiliki gaya belajar dengan melakukan segala sesuatu secara langsung melalui gerak dan sentuhan. Ciri-ciri gaya belajar kinestetik diantaranya: berbicara dengan perlahan, belajar melalui praktik, menghafal dengan cara berjalan dan melihat, tidak dapat duduk diam untuk waktu yang lama, berorientasi pada fisik dan senang bergerak, menyukai belajar dengan praktek langsung daripada hal yang sifatnya teoritis (DePorter dalam Nurlaili, 2007). Strategi yang digunakan untuk mempermudah proses belajar siswa dengan gaya belajar kinestetik adalah jangan paksakan siswa untuk belajar sampai berjam-jam, ajak siswa untuk belajar sambil mengekplorasi lingkungannya, biarkan siswa menyentuh sesuatu yang berhubungan dengan pelajarannya, beri kesempatan untuk mempraktekkan apa yang dipelajarinya, memberi kesempatan untuk berpindah tempat, karena siswa dengan gaya ini cenderung tidak bisa diam Siswa yang mempunyai gaya belajar kinestetik belajar melalui gerakan, menyentuh, dan melakukan. Siswa seperti ini sulit untuk duduk diam berjam-jam karena keinginan mereka untuk beraktifitas dan bereksplorasi sangatlah kuat. Sehingga gaya belajar seperti ini, proses belajarnya melalui gerak dan sentuhan. Pemilik dari gaya belajar kinestetik ini pada umumnya adalah seorang penari, aktor, atlit, ahli bedah, pembalap, bakat mekanis (DePorter, dalam Nurlaili 2007). Silberman (2004) menyatakan bahwa sebagian siswa belajar dengan sangat baik hanya dengan melihat orang lain melakukannya dan biasanya mereka ini menyukai penyajian informasi yang runtut. Mereka lebih suka menuliskan apa yang dikatakan guru, selama pelajaran mereka biasanya diam dan jarang terganggu oleh kebisingan. Peserta didik visual ini berbeda dengan peserta didik auditori yang biasanya tidak sungkan-sungkan untuk memperhatikan apa yang dikerjakan oleh guru. Mereka mengandalkan kemampuan untuk mendengar dan mengingat. Selama pelajaran, mereka mungkin banyak bicara dan mudah teralihkan perhatiannya oleh suara atau kebisingan. Peserta didik kinestetik belajar terutama dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Mereka cenderung impulsive, semau-gue, dan kurang sabaran. Selama pelajaran,
12 mereka mungkin saja gelisah bila tidak bisa leluasa bergerak dan mengerjakan sesuatu. Cara mereka belajar boleh jadi tampak sembarangan dan tidak karuan. E. Cara Menemukan Gaya Belajar Secara umum gaya belajar merupakan kombinasi dari beberapa faktor (Gordon 2001, dalam Nurlaili, 2007), kombinasi tersebut adalah: a. Bagaimana menyerap informasi dengan mudah Mengenali gaya belajar yang dimiliki sendiri itu lebih penting daripada langsung praktek, sedangkan dirinya belum tahu gaya belajar mana yang sesuai dengan tipenya. Jadi kemampuan memahami dan merasa sangat penting dalam menentukan gaya belajar. b. Bagaimana mengatur dan memproses informasi Otak kiri pada seseorang mampu menyerap informasi secara logis, mereka dapat menyerapnya dengan mudah jika informasi itu disajikan dalam urutan yang logis. Sedangkan otak kanan dominan biasanya senang menemukan gambaran besarnya terlebih dahulu. Mereka sangat sangat menyukai presentasi yang melibatkan visualisasi, imajinasi, musik, dan intuisi. Jika anda menghubungkan keduanya itu dan membuka jalan ke pusat-pusat kecerdasan berganda, maka kita dapat menyerap dan memproses informasi secara lebih efektif. c. Kondisi yang mempermudah menyerap dan menyimpan informasi Emosi seseorang berperan penting dalam proses belajar, dalam banyak hal emosi adalah kunci bagi sistem memori otak. Muatan emosi dari presentasi dapat berpengaruh besar dalam memudahkan pelajaran untuk menyerap informasi dan ide. Sebagian siswa tidak suka belajar dengan temannya, dan sebagian lebih suka belajar dengan kelompok dan ada pula yang menginginkan kehadiran orang dewasa. Dunn menyatakan bahwa kebanyakan siswa yang tidak berprestasi, sangat kurang mendapat mototivasi dari rekan sebaya. F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya Belajar Menurut Susilo (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi gaya belajar yaitu: a. Kecenderungan untuk mengamati dan berpikir secara analisis. b. Ketahanan terhadap kecenderungan untuk meninggalkan arah atau cara yang telah dipih dalam mempelajari sesuatu. c. Luas sempitnya pembentukan pengertian (konseptualisasi) apakah seseorang cenderung untuk membentuk konsep-konsep yang luas dan lebih terbatas. d. Kecenderungan untuk sangat memperhatikan perbedaan antara objekobjek atau kurang memperhatikan.
13 e. Kecenderungan yang dipengaruhi oleh gaya kognitif yang mendasari yaitu bereaksi sangat cepat namun kurang tepat (impulsive) atau bereaksi dengan lebih lamban tetai tepat (reflektif). f. Tipe belajar menunjuk kepada kecenderungan seseorang untuk mempelajari suatu cara dengan lebih visual atau auditif. g. Teknik-teknik studi atau cara belajar secara efisian dan efektif. Slameto (2003) mengatakan bahwa proses belajar yang berlaku pada siswa satu dengan siswa lain berbeda, siswa yang terbiasa mengikuti gaya belajar yang tepat akan meningkatkan kemampuan belajarnya. G. Manfaat Gaya Belajar Pada Siswa Menurut Prasetyawati (2004), dengan siswa mengetahui gaya belajarnya maka dapat diperoleh rasa kenyamanan belajar dan dapat menggali potensi yang ada pada diri siswa dan menciptakan kebutuhan akan belajar sehingga siswa tidak semata-mata belajar dengan perintah orang lain, namun siswa dapat merasakan pentingnya belajar seperti layaknya kebutuhan makan, minum dan istirahat. Sedangkan menurut Yusrizal (2009) dengan mengetahui gaya belajar siswa maka orang tua dan guru dapat membantu mereka dalam proses belajar. H. Kerangka Berpikir Belajar Matematika
Hasil Belajar
Faktor- Faktor yang Mempengaruhi
Internal
Eksternal
Gaya Belajar
Visual
Auditori
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Kinestetik
14 Siswa dalam belajar matematika akan mendapatkan/ memperoleh hasil belajar, hasil belajar tersebut dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi gaya belajar yang dibagi menjadi tiga, yaitu gaya belajar visual, auditori dan kinestetik. Gaya belajar yang akan diteliti berhubungan dengan belajar matematika. I.
Hipotesis penelitian Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul (Arikunto dalam Nurlaili, 2007). Berdasarkan kajian teori di atas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang signifikan antara gaya belajar siswa laki-laki dan perempuan dalam belajar matematika pada siswa kelas VIII SMP Kristen Satya Wacana Salatiga. Gaya belajar mana yang cenderung dimiliki oleh siswa laki-laki dan gaya belajar mana yang cenderung dimiliki oleh siswa perempuan dalam belajar matematika.